Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Seorang Mayat Berteriak Melihatku (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 7)



baca part sebelumnya disini.

“Bagaimana ini?” bisik Medina, panik.

Mereka semakin dekat, dan aku tak tahu harus melakukan apa lagi, “Jangan dibunuh ya.”

Kami meloncat dari tempat persembunyian. Saat mereka kaget dengan kemunculan tiba-tiba itu, aku menembak kaki salah satu dari mereka sementara Medina melakukan hal yang sama terhadap temannya.

“AAHHH!!” Mereka berdua jatuh sambil mengucapkan semua nama binatang yang mereka tahu dengan keras.

“Oke, sekarang.” Kami secepatnya berlari ke ruang generator.

Ruangan itu terletak di pojok tempat parkir. Untungnya tidak ada zombie disitu sehingga kami dapat menyalakannya tanpa gangguan. Ruangan parkir itu menjadi terang.

Medina mengambil tali yang disangkut di ruangan itu, “Buat ikat para bandit.”

Aku mengangkat bahu tanda tidak keberatan. “Ayo kita kembali ke atas.”

Bandit-bandit itu masih menyumpah-nyumpah saat kami kembali.

“Kubunuh kalian!! Awas saja nanti!”

“Hei diam, kalau tidak kutembak lagi kakimu.” Aku mengeraskan suaraku agar tidak terlihat takut. Kuikat tangan mereka dengan paksa. Dengan begini, kami akan aman. Atau begitulah yang kukira.

“Kenapa kalian? Kenapa tiba-tiba terang?”

Terdengar suara seseorang dari luar tempat parkir. Ternyata masih ada teman mereka.

“Disini!! Ada orang selain kita!! Bunuh mereka!!” teriak salah satu bandit. Aku menendang badan mereka karena kesal.

“Diam, dasar sialan!!”

“Kem, kita harus cepat ke atas,” kata Medina yang terlihat cemas dengan situasi ini.

Aku mengikuti dia lari ke atas. Di bawah, bandit yang kuikat berteriak-teriak marah menunjukkan kemana kami kabur. Pintu bawah yang dibanting terbuka menandakan bahwa temannya ini sudah mulai mengejar.
Aku menghentikan Medina, “Tunggu.”

“Apa?”

“Dia cuma sendiri. Kita berdua bisa mengatasinya.”

Aku sudah mau menghadapinya ketika bandit itu mengeluarkan sesuatu yang membuat keberanianku lenyap. AK-47 yang bisa menembakkan peluru jauh lebih cepat daripada handgun yang kupegang, dan sebuah bom molotov.

“Ya ampun, lari!!”

Ketika melihat kami, dia menembak membabi buta. Aku dan Medina harus merunduk untuk menghindari terjangan peluru.

Aku membalas tembakannya ketika dia berhenti. Kakinya terpeleset di anak tangga saat mencoba menghindar. Kami mengambil kesempatan itu untuk lari.

“Kita harus berpencar,” saranku.

“Apa? Tidak.”

“Dengar dulu, kau lari aja ke tempat Rere, lindungi dia disana. Aku akan mengalihkan perhatiannya supaya mengejarku ke lantai yang lain.”

Aku berhenti di pintu lantai dua, “Kau terus aja naik.”

“Tapi...ini berbahaya.”

“Tak ada waktu untuk berdebat. Aku bakal baik-baik aja. Cepat!”

Medina memberiku tatapan cemas terakhir sebelum melanjutkan pelarian ke atas. Aku sendiri menunggu waktu yang tepat sampai bandit itu bisa melihatku lari ke lantai dua.

“Hei, jangan kabur!!” Saat aku mendengar itu, aku langsung kabur. Sesuai rencana, dia mengikutiku ke lantai dua. Bandit ini sepertinya terlalu bodoh untuk menyadari kalau Medina sudah tidak bersamaku.

Aku lari sedikit lalu berbalik menunggu. Ketika dia hendak masuk, aku menembakkan pistolku. Tapi bandit itu bereaksi cepat dan berlindung. Sebagai balasannya, dia melempar bom molotov ke arahku.

“Sialaan!!!” Aku melompat mencoba menghindar. Bom itu jatuh di dekatku dan dengan cepat membakar sebagian tempat.

Tidak cukup sampai disitu, dia mengeluarkan pistolnya lagi. Aku dengan panik kembali lari. Untungnya, asap dari api membuatnya sulit melihatku. Aku berbelok dan masuk ke salah satu kamar, berharap dia kehilanganku.

Aku menahan nafas. Suara langkah kaki melewati pintu itu. Bagus, dia tidak melihatku masuk kesini.

Pada saat aku bisa menarik nafas lega, barulah aku sadar kamar yang kumasuki. Kamar mayat.

Kamar itu dipenuhi rak-rak besar di dindingnya. Setauku disanalah mereka menyimpan mayat agar tidak membusuk. Satu mayat yang ditutupi selimut seluruhnya terbaring di tempat tidur. Pantas saja kamar ini bau.

Aku belum bisa keluar, paling tidak sampai yakin bandit itu pergi. Yah, lihat sisi positifnya, paling tidak mayat di kamar ini tidak bergerak dan memakan orang.

Tiba-tiba saja selimut tempat mayat itu berbaring terangkat. Mayat itu bangun.

“AAHHH!!”  Aku berteriak kaget dan menyiapkan senjata.

“WAAAA!!” Mayat itu balas berteriak.

Eh, balas berteriak?

“Zico!!” Aku tak percaya apa yang kulihat. Satpam yang selama ini kami cari itu ternyata tidur di kamar mayat. Kulihat Zico sama kagetnya.

“Kemal, kenapa kau disini?”

“Kau sendiri? Kenapa di kamar mayat?”

Jawaban Zico tertunda karena bandit itu sepertinya mendengar suara teriakanku. Dia mencoba mendobrak pintu yang kukunci.

“Ada apa ini?” tanya Zico heran.

“Bandit. Bantu aku membereskannya.”

Pintu terdobrak terbuka dan bandit itu masuk.

“Sekarang!!”

Aku dan Zico mendorong tempat tidur beroda yang tadi ditiduri Zico ke arah bandit itu. Dia tak sempat menghindar. Ranjang itu menabraknya dengan keras. Senjata yang dia pegang terlempar dari tangannya.
Zico mengambil senjata itu. “Kita bunuh aja nih?”

“Jangan!” kataku, “Aku tak mau membunuh orang. Kunci saja dia di kamar mayat.”

Zico melempar bandit itu dengan paksa ke kamar mayat lalu mengunci pintunya. “Hilang deh tempat berlindungku.”

“Tempat berlindung? Kau selama ini berlindung di kamar mayat?”

“Hei, tempat itu adalah tempat yang sangat aman. Tak ada yang memeriksanya. Kau hany perlu tahan pada baunya. Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini?”

“Akan kujelaskan sambil jalan. Kita lebih baik ke lantai empat sekarang.”

Aku menceritakan semuanya, dari kejadian kebakaran di gedung tempat persembunyian, sampai saat Ali tertembak.

“Karena itu kami ke rumah sakit. Sekarang Rere sedang mencoba mengeluarkan peluru dari kakinya,” kataku menyelesaikan.

“Tunggu, kapan kau bertemu Rere?”

Aku lupa belum memberitahu hal penting itu, “Kami bertemu Rere di dekat kampus. Dia bersama Tori.”

Zico berhenti. “Apa?”

“Dia bersama Tori.”

“Kalian bertemu Tori??” Ekspresi Zico berubah menjadi campuran antara kaget dan senang.

“Ya. Dia bertemu Rere saat mencarimu.”

“Dimana dia sekarang? Di lantai empat?” Zico sudah sumringah.

“Dia tidak ikut kesini,” kataku ragu. “Aku menyuruhnya tetap di dekat kampus jika tiba-tiba kau muncul.”
“KAU MENINGGALKANNYA SENDIRIAN??”

Aku terkaget dengan suara Zico yang tiba-tiba meninggi.

“Kenapa kau meninggalkannya? Apa kau tidak sadar bahaya diluar sana?” bentak Zico.

“Kami tidak membawanya karena tidak enak dan supaya ada orang ketika kau muncul di kampus,” kataku beralasan. “Aku kan tidak tahu kau disini.”

Zico memegang kepalanya dengan frustasi. “Aku akan kesana.”

“Apa? Tunggu dulu!”

“Apa lagi? Aku kan kesini memang untuk mencari dia,” kaya Zico.

“Aku tahu. Paling tidak, kau harus ketemu dulu dengan yang lain di lantai empat. Mereka juga khawatir dengan keadaanmu tahu.”

Zico mendesah, “Oke oke.”

Kami berjalan ke ruang operasi dalam diam. Medina terlihat duduk sambil memegang pistol. Dia senang melihatku dan terkejut ketika melihat Zico ada bersamaku.

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Kemal?”

Aku yang menjawab, “Dia tidur di kamar mayat?”

“Apa?”

“Aku sudah sampai di kampus sekitar tiga hari yang lalu,” kata Zico. “Tapi aku tak menemukan siapapun disana, dan dengan adanya bandit dimana-mana, aku terus kabur. Sebenarnya tidur di kamar mayat cukup nyaman.”

Baru kali ini aku mendengar seseorang bilang kalau dia nyaman tidur di kamar mayat. “Bagaimana Ali?” tanyaku.

Medina menjawab dengan gelengan, “Rere tidak membiarkanku masuk. Katanya bisa mengganggu konsentrasi.”

Saat itulah Rere keluar. Dia terlihat sangat capek, tapi tersenyum senang. “Tenang saja, Ali bakal baik-baik saja....lho Zico??”

Zico dengan lelah menjelaskan lagi bagaimana dia bisa ketemu denganku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami berlima bersama lagi.

“Ali akan sadar tidak lama lagi. Tapi mungkin dia tidak akan bisa berjalan untuk beberapa saat,” jawab Rere ketika kutanya lagi kondisi Ali.

“Yah, bisa saja lebih buruk kan?” kataku mencoba optimis.

“Bagus. Bisa kita pergi sekarang? Aku khawatir dengan Tori,” potong Zico. Dia masih terlihat sedikit kesal.

“Tidak bisa,” sahut Rere ragu, “Ali masih harus beristirahat. Lebih baik dia tetap disini untuk sementara.”

“Tidak masalah. Aku pergi saja sendiri kesana. Beritahu saja dimana kalian meninggalkannya.”

Ada nada sarkastis pada kata-kata Zico dan hal itu membuatku merasa bersalah. “Oke oke, akan kuantar kau kesana.”

“Sebentar.” Giliran Medina yang protes, “Masa kalian mau pergi begitu saja? Bagaimana kalau ada bandit kesini lagi.”

“Kami hanya akan pergi kesana, menjemput Tori, lalu kembali kesini lagi. Tidak akan lama kok.”

“Ayo cepat Kem!” Zico sudah mulai berjalan ke arah tangga darurat. Aku mengejarnya.

“Santai aja kali Zic. Kami baru meninggalkannya sebentar, memangnya apa yang bakal terjadi?”

Terdengar suara mobil diluar. Aku dan Zico bergegas melihat melalui jendela. Ada satu mobil pickup terbuka baru saja lewat. Di belakangnya terlihat beberapa bandit lagi sambil membawa senjata berat.

Tunggu, mereka sepertinya membawa sandera. Ada seorang wanita berjalan dengan tangan terikat. Itu......Tori. Zico melihatku dengan tatapan ingin membunuh.



Bersambung......ke part 8.

0 komentar:

Posting Komentar