baca part sebelumnya disini.
Semua sepakat menyalahkanku ketika aku
dan Zico kembali ke kamar operasi untuk memberitahu kabar buruk yang kami
lihat. Yah, memang tidak menyalahkan secara langsung, tapi Rere yang
berkali-kali menggumamkan “Seharusnya aku tidak meninggalkannya,” membuatku
merasa sangat bersalah.
“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Medina.
“Aku akan pergi menolongnya. Terserah
dengan kalian,” jawab Zico. Dia memang berkata begitu, tapi tatapan marahnya
kepadaku mengatakan kalau aku harus ikut untuk membalas perbuatanku sebelumnya.
“Aku akan membantu Zico,” kataku.
“Aku ikut!” Rere mengusulkan diri.
“Jangan. Kita tidak tahu apa yang akan
kita hadapi, bisa jadi sangat berbahaya,” larang Zico. “Lebih baik kita
bergerak dengan sedikit orang. Lagipula, kau harus menjaga Ali.”
“Tapi, aku sudah bersama Tori beberapa
hari ini. Dia teman yang baik. Aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Biar Ali
dijaga Medina, dia akan aman disini. Kau mau kan?”
Rere bertanya pada Medina yang dijawab
dengan hening. Kurasa Medina tidak mau ditinggalkan sendirian disini menunggu
orang sakit.
Kami semua tahu kalau Rere sudah keras
kepala begini, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.
“Baiklah,” kata Zico akhirnya. “Medina,
kau jaga Ali ya.”
Medina menyerah, “Ya, oke.”
Setelah sepakat, kami bertiga bergegas
keluar dari kamar operasi dan menyiapkan senjata masing-masing. Rencananya
adalah mencari mobil pickup itu berdasarkan arah yang kami lihat dan semoga itu
mengantarkan kami ke tempat persembunyian mereka.
Hanya saja ada satu masalah, dan kami
baru menyadarinya saat kami keluar.
“Hujannya deras banget,” kata Rere.
Memang, ketika di kamar operasi, kami
tak mendengarnya. Kami baru sadar kalau diluar sudah dilanda hujan deras ketika
melihat ke jendela. Beberapa hari ini memang turun hujan terus, dan ini
sepertinya yang paling deras. Cuaca seperti ini akan menyulitkan kami mencari
Tori.
Tapi Zico tidak peduli, “Ayo. Aku sangat
khawatir dengan Tori.”
Ini berarti kami harus hujan-hujanan
mencarinya. Dalam sekejap saja, badan kami sudah basah kuyup. Rere yang
sepertinya paling tidak nyaman dengan keadaan ini.
“Dingin banget...” kata Rere dengan
gemetar.
“Kau bisa kembali kalau mau.” Zico terus
saja berjalan. Rere hanya merengut dibilang seperti itu.
Aku melihat di kejauhan ada zombie
sedang berjalan terseok-seok. Dia lalu terpeleset di jalan yang licin dan
kepalanya menabrak tiang rambu lalu lintas ketika terjatuh. Aku susah payah
menahan tawa. Pistol yang dipegang Zico membuatku tidak nyaman untuk tertawa.
“Baiklah, kita melihat mereka tadi
kesini. Ayo.” Aku membiarkan Zico yang memimpin karena sepertinya dia ahli
dalam mencari sesuatu seperti ini.
Kami berhenti di sebuah perempatan. Zico
berlutut, memegang jalan dengan jari lalu menjilatnya.
“Uggh, untuk apa kau lakukan itu?”
tanyaku heran.
“Aku melihatnya di acara tv saat mereka
mencari binatang buruan.”
“Mereka mencoba rasa jalan?”
Zico menunjuk ke salah satu belokan. “Kesana!”
Aku kagum, “Kau benar-benar bisa
menentukan arah dari rasa jalan?”
“Tidak, aku hanya menunjuk berdasarkan
insting.”
“Lalu untuk apa kau menjilat jalan??”
Zico tidak menjawab dan mulai berjalan lagi. Aku mengikutinya dengan pasrah.
Semoga kami tidak nyasar.
Dan tentu saja, berlawanan dengan
keinginanku, kami nyasar. Sudah setengah jam kami berjalan tanpa arah dan tidak
ada tanda-tanda mobil yang kami lihat tadi.
Kami semua sudah sangat basah dan
memutuskan untuk berhenti sebentar untuk berteduh.
“Dimana ojek payung saat kau
membutuhkannya?” keluhku.
“Sudah jadi zombie mungkin,” jawab Rere.
Zico hanya diam dengan muka serius. Aku tahu dia pasti khawatir dengan
kekasihnya. Hujan yang makin deras tidak membantu sama sekali.
“Kita tidak bisa melihat apa-apa dari
sini,” kataku.
“Aku tahu. Diamlah!” Zico sedikit
frustasi.
“Tenang Zic, kita pasti akan
me....KYAAA!!”
Aku dan Zico terkejut ketika Rere
tiba-tiba berteriak. Ternyata zombie menangkapnya dari balik pintu toko tempat
kami berteduh. Kami tidak mendengar dia datang karena bunyi hujan yang sangat
deras.
Rere panik dan menarik tangannya dengan
keras, menyebabkan zombie itu tertarik ke depan. Aku mengambil kesempatan itu
untuk menendangnya. Zombie itu terlempar ke jalan, tapi karena tangannya
memegang erat Rere, maka suster itu pun ikut terbawa.
“Kyaaa, tolong!!”
Zico bergegas mengambil pisaunya dan menusuk zombie itu
tepat di kepala. Pegangannya pun terlepas dari Rere.
Tapi masalah bertambah buruk. Teriakan
Rere ternyata cukup kuat untuk memanggil banyak zombie lain. Bahkan tiba-tiba
saja sudah ada yang berada di dekatku. Aku berhasil menjatuhkannya walau sempat
kaget.
Hujan deras menghalangi penglihatan
kami. “Sial, aku sulit melihat para zombie itu,” kataku.
“Aku tahu. Kita sebaiknya sembunyi dulu
sekarang.” Zico menebas satu zombie lagi yang mendekat.
Aku terlambat menyadari kalau ada zombie
lagi di belakang Zico. Dia menerjang hingga menyebabkan mereka berdua terjatuh.
Pisau terlepas dari tangan Zico.
Aku mencoba menolongnya, tapi jalanan
yang licin membuatku sulit untuk berlari cepat. Dalam keputusasaan, Zico
menarik pistolnya dan menembak zombie itu di kepala.
Tentu saja suara itu menarik lebih
banyak zombie lagi. Tapi ternyata bukan hanya zombie yang mendengarnya.
“Suara apa itu?” Aku mendengar seseorang
berkata seperti itu di kejauhan. Mungkinkah itu bandit yang menculik Tori?
Zico menarikku dan Rere untuk
bersembunyi di toko tempat kami tadi berteduh. Kami langsung menahan pintu agar
zombie tidak ikut masuk.
“Zic, kau dengar gak?” kataku
disela-sela mencari nafas, “Tadi ada suara seseorang.”
“Entahlah, aku terlalu sibuk menyelamatkan
diri.”
Suara gedoran di pintu menandakan
beberapa zombie melihat kami lari kesini. “Sepertinya ita harus keluar dari
pintu belakang.”
Tapi gedoran itu berhenti oleh suara
tembakan beruntun. Seseorang menembak zombie-zombie itu diluar.
Dia berteriak setelah suara tembakan
mereda, “Kami tahu kalian di dalam! Keluar saja dan ikut kami!”
Aku berbisik pada Zico, “Itu mereka...”
Zico mengangguk. “Ini bisa jadi
kesempatan kita. Salah seorang dari kita harus tertangkap.”
“Apa?”
Bandit itu sepertinya sudah mulai
mencoba mendobrak.
“Apa maksudmu harus ada yang tertangkap?”
tanyaku lagi.
Zico menjelaskan idenya dengan cepat, “Kau
saja yang pura-pura tertangkap. Aku dan Rere akan bersembunyi lalu mengikuti
bandit itu ke tempat persembunyiannya.”
Aku suka ide itu kecuali fakta bahwa dia
mengusulkan aku yang harus pura-pura tertangkap. Tapi tidak ada waktu untuk
protes karena bandit-bandit itu mendobrak pintu makin keras.
“Oke oke. Kalian sembunyi sana.”
“Semoga kau tidak apa-apa,” kata Rere
sebelum dia mengikuti Zico ke salah satu ruangan.
Bandit-bandit itu akhirnya berhasil
mendobrak pintu. Aku mengangkat tangan tanda tidak akan melakukan perlawanan.
“Tolong jangan sakiti aku...” kataku
mencoba terlihat takut. Itu tidak susah karena aku memang takut.
Ada dua orang yang mendobrak masuk. Satu
memakai bandana dan semacam jaket kulit yang pasti tidak akan enak dipakai di
saat hujan begini. Yang lain sepertinya hanyalah anak muda. Mungkin sekitar
umur anak SMP. Tapi dia tetap terlihat galak.
“Kau yang tadi melawan zombie-zombie
itu?” kata si jaket kulit.
“Ya.”
Dia melihat ke sekeliling. “Kau sendiri
saja?”
“Ya, seperti yang kau lihat.”
Dia terlihat tidak yakin. “Far, coba kau
cek.”
Anak SMP yang dipanggil Far itu
mengangguk. Dia berjalan kebelakangku sambil memegang senjatanya. Ya ampun,
kuharap Zico dan Rere sudah bersembunyi dengan baik.
Tiba-tiba muncul zombie di pintu. Si
jaket kulit terkejut dan menembak hancur kepala zombie itu secara refleks.
“Bangsat! Kita tidak bisa berlama-lama
disini. Far, kita kembali! Bawa orang itu!”
Anak SMP sialan itu menarikku dengan
kasar. Yah paling tidak, mereka lupa mengambil senjataku dan Zico-Rere tidak
ketahuan.
Aku dipaksa berlari kecil dalam hujan
untuk menghindari melawan zombie. Anak SMP itu menendangku, “Cepat sedikit dong
sialan!”
Oh, aku sangat ingin memukul anak kecil
itu.
Aku dibawa ke sebuah gedung tua. Gedung
itu mirip dengan tempat yang kami tinggali bersama Bima dan yang lain, hanya
saja lebih kecil, mungkin hanya tiga lantai. Kurasa ini dulunya kantor perusahaan
kecil. Ternyata mereka bersembunyi di tempat seperti ini.
Seseorang menyambut mereka di depan
pintu. Badannya besar dan kepalanya botak licin. Saking licinnya aku merasa
bisa bercermin di kepalanya.
“Siapa itu Kuda?” Suaranya dalam dan
mengerikan.
Aku menyangka ada kuda nyasar sampai aku
sadar kalau nama si jaket kulit itu adalah Kuda. “Kami menemukannya bersembunyi
dari zombie. Dia bisa berguna nanti.”
Si botak melihatku, lalu berkata lagi
pada Kuda, “Baiklah, masukkan saja dia ke tempat kita menahan cewek itu. Mood
bos lagi tidak enak karena hujan ini.”
Bos? Sepertinya masih ada orang lagi
selain mereka. Si anak SMP mendorongku masuk dengan kasar.
“Biasa aja dong. Aku bisa jalan kok,”
kataku protes.
“Berisik. Aku tidak mau mendengar kau
mengeluh.” Dia menuntunku ke lantai dua dan memasukanku ke ruangan yang penuh
dengan arsip-arsip kantor. Disana ada Tori sedang berlutut di pojok ruangan,
kedinginan mungkin.
Anak SMP itu pergi dengan membanting
pintu. Setelah kurasa aman, aku mendekat ke Tori.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Kau...salah satu teman Rere. Aku lupa
namamu. Kau tertangkap juga.”
“Aku Kemal. Tidak juga, aku pura-pura tertangkap
agar Zico dan Rere bisa mengikutiku kesini. Mereka akan menolong kita.”
“Kau bertemu Zico??” Tori berkata
senang.
“Ya, dia ada di kamar mayat selama ini.”
“APA? DIA MATI?”
“Tidak. Kalau dia mati, mana mungkin dia
akan menolong kita. Ceritanya panjang.”
Hening sesaat sebelum Tori berkata lagi,
“Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang.”
“Entahlah, untuk awal, sebaiknya kita
keluar dari sini.”
“Tidak bisa. Pintunya dikunci dari luar.”
Aku mencobanya sendiri. Memang pintunya
dikunci. Aku bisa saja mendobraknya, tapi bisa ketahuan dari suaranya.
Selagi aku berpikir cara melarikan diri,
terdengar suara tembakan dari luar. Zico dan Rere sudah datang.
Bersambung.....ke part 9.
0 komentar:
Posting Komentar