Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Aku Melihat Zombie Terpeleset (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 8)



baca part sebelumnya disini.

Semua sepakat menyalahkanku ketika aku dan Zico kembali ke kamar operasi untuk memberitahu kabar buruk yang kami lihat. Yah, memang tidak menyalahkan secara langsung, tapi Rere yang berkali-kali menggumamkan “Seharusnya aku tidak meninggalkannya,” membuatku merasa sangat bersalah.

“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Medina.

“Aku akan pergi menolongnya. Terserah dengan kalian,” jawab Zico. Dia memang berkata begitu, tapi tatapan marahnya kepadaku mengatakan kalau aku harus ikut untuk membalas perbuatanku sebelumnya.

“Aku akan membantu Zico,” kataku.

“Aku ikut!” Rere mengusulkan diri.

“Jangan. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi, bisa jadi sangat berbahaya,” larang Zico. “Lebih baik kita bergerak dengan sedikit orang. Lagipula, kau harus menjaga Ali.”

“Tapi, aku sudah bersama Tori beberapa hari ini. Dia teman yang baik. Aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Biar Ali dijaga Medina, dia akan aman disini. Kau mau kan?”

Rere bertanya pada Medina yang dijawab dengan hening. Kurasa Medina tidak mau ditinggalkan sendirian disini menunggu orang sakit.

Kami semua tahu kalau Rere sudah keras kepala begini, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.

“Baiklah,” kata Zico akhirnya. “Medina, kau jaga Ali ya.”

Medina menyerah, “Ya, oke.”

Setelah sepakat, kami bertiga bergegas keluar dari kamar operasi dan menyiapkan senjata masing-masing. Rencananya adalah mencari mobil pickup itu berdasarkan arah yang kami lihat dan semoga itu mengantarkan kami ke tempat persembunyian mereka.

Hanya saja ada satu masalah, dan kami baru menyadarinya saat kami keluar.

“Hujannya deras banget,” kata Rere.

Memang, ketika di kamar operasi, kami tak mendengarnya. Kami baru sadar kalau diluar sudah dilanda hujan deras ketika melihat ke jendela. Beberapa hari ini memang turun hujan terus, dan ini sepertinya yang paling deras. Cuaca seperti ini akan menyulitkan kami mencari Tori.

Tapi Zico tidak peduli, “Ayo. Aku sangat khawatir dengan Tori.”

Ini berarti kami harus hujan-hujanan mencarinya. Dalam sekejap saja, badan kami sudah basah kuyup. Rere yang sepertinya paling tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Dingin banget...” kata Rere dengan gemetar.

“Kau bisa kembali kalau mau.” Zico terus saja berjalan. Rere hanya merengut dibilang seperti itu.

Aku melihat di kejauhan ada zombie sedang berjalan terseok-seok. Dia lalu terpeleset di jalan yang licin dan kepalanya menabrak tiang rambu lalu lintas ketika terjatuh. Aku susah payah menahan tawa. Pistol yang dipegang Zico membuatku tidak nyaman untuk tertawa.

“Baiklah, kita melihat mereka tadi kesini. Ayo.” Aku membiarkan Zico yang memimpin karena sepertinya dia ahli dalam mencari sesuatu seperti ini.

Kami berhenti di sebuah perempatan. Zico berlutut, memegang jalan dengan jari lalu menjilatnya.

“Uggh, untuk apa kau lakukan itu?” tanyaku heran.

“Aku melihatnya di acara tv saat mereka mencari binatang buruan.”

“Mereka mencoba rasa jalan?”

Zico menunjuk ke salah satu belokan. “Kesana!”

Aku kagum, “Kau benar-benar bisa menentukan arah dari rasa jalan?”

“Tidak, aku hanya menunjuk berdasarkan insting.”

“Lalu untuk apa kau menjilat jalan??” Zico tidak menjawab dan mulai berjalan lagi. Aku mengikutinya dengan pasrah. Semoga kami tidak nyasar.

Dan tentu saja, berlawanan dengan keinginanku, kami nyasar. Sudah setengah jam kami berjalan tanpa arah dan tidak ada tanda-tanda mobil yang kami lihat tadi.

Kami semua sudah sangat basah dan memutuskan untuk berhenti sebentar untuk berteduh.

“Dimana ojek payung saat kau membutuhkannya?” keluhku.

“Sudah jadi zombie mungkin,” jawab Rere. Zico hanya diam dengan muka serius. Aku tahu dia pasti khawatir dengan kekasihnya. Hujan yang makin deras tidak membantu sama sekali.

“Kita tidak bisa melihat apa-apa dari sini,” kataku.

“Aku tahu. Diamlah!” Zico sedikit frustasi.

“Tenang Zic, kita pasti akan me....KYAAA!!”

Aku dan Zico terkejut ketika Rere tiba-tiba berteriak. Ternyata zombie menangkapnya dari balik pintu toko tempat kami berteduh. Kami tidak mendengar dia datang karena bunyi hujan yang sangat deras.

Rere panik dan menarik tangannya dengan keras, menyebabkan zombie itu tertarik ke depan. Aku mengambil kesempatan itu untuk menendangnya. Zombie itu terlempar ke jalan, tapi karena tangannya memegang erat Rere, maka suster itu pun ikut terbawa.

“Kyaaa, tolong!!”

Zico bergegas  mengambil pisaunya dan menusuk zombie itu tepat di kepala. Pegangannya pun terlepas dari Rere.

Tapi masalah bertambah buruk. Teriakan Rere ternyata cukup kuat untuk memanggil banyak zombie lain. Bahkan tiba-tiba saja sudah ada yang berada di dekatku. Aku berhasil menjatuhkannya walau sempat kaget.
Hujan deras menghalangi penglihatan kami. “Sial, aku sulit melihat para zombie itu,” kataku.

“Aku tahu. Kita sebaiknya sembunyi dulu sekarang.” Zico menebas satu zombie lagi yang mendekat.

Aku terlambat menyadari kalau ada zombie lagi di belakang Zico. Dia menerjang hingga menyebabkan mereka berdua terjatuh. Pisau terlepas dari tangan Zico.

Aku mencoba menolongnya, tapi jalanan yang licin membuatku sulit untuk berlari cepat. Dalam keputusasaan, Zico menarik pistolnya dan menembak zombie itu di kepala.

Tentu saja suara itu menarik lebih banyak zombie lagi. Tapi ternyata bukan hanya zombie yang mendengarnya.

“Suara apa itu?” Aku mendengar seseorang berkata seperti itu di kejauhan. Mungkinkah itu bandit yang menculik Tori?

Zico menarikku dan Rere untuk bersembunyi di toko tempat kami tadi berteduh. Kami langsung menahan pintu agar zombie tidak ikut masuk.

“Zic, kau dengar gak?” kataku disela-sela mencari nafas, “Tadi ada suara seseorang.”

“Entahlah, aku terlalu sibuk menyelamatkan diri.”

Suara gedoran di pintu menandakan beberapa zombie melihat kami lari kesini. “Sepertinya ita harus keluar dari pintu belakang.”

Tapi gedoran itu berhenti oleh suara tembakan beruntun. Seseorang menembak zombie-zombie itu diluar.

Dia berteriak setelah suara tembakan mereda, “Kami tahu kalian di dalam! Keluar saja dan ikut kami!”
Aku berbisik pada Zico, “Itu mereka...”

Zico mengangguk. “Ini bisa jadi kesempatan kita. Salah seorang dari kita harus tertangkap.”

“Apa?”

Bandit itu sepertinya sudah mulai mencoba mendobrak.

“Apa maksudmu harus ada yang tertangkap?” tanyaku lagi.

Zico menjelaskan idenya dengan cepat, “Kau saja yang pura-pura tertangkap. Aku dan Rere akan bersembunyi lalu mengikuti bandit itu ke tempat persembunyiannya.”

Aku suka ide itu kecuali fakta bahwa dia mengusulkan aku yang harus pura-pura tertangkap. Tapi tidak ada waktu untuk protes karena bandit-bandit itu mendobrak pintu makin keras.

“Oke oke. Kalian sembunyi sana.”

“Semoga kau tidak apa-apa,” kata Rere sebelum dia mengikuti Zico ke salah satu ruangan.

Bandit-bandit itu akhirnya berhasil mendobrak pintu. Aku mengangkat tangan tanda tidak akan melakukan perlawanan.

“Tolong jangan sakiti aku...” kataku mencoba terlihat takut. Itu tidak susah karena aku memang takut.

Ada dua orang yang mendobrak masuk. Satu memakai bandana dan semacam jaket kulit yang pasti tidak akan enak dipakai di saat hujan begini. Yang lain sepertinya hanyalah anak muda. Mungkin sekitar umur anak SMP. Tapi dia tetap terlihat galak.

“Kau yang tadi melawan zombie-zombie itu?” kata si jaket kulit.

“Ya.”

Dia melihat ke sekeliling. “Kau sendiri saja?”

“Ya, seperti yang kau lihat.”

Dia terlihat tidak yakin. “Far, coba kau cek.”

Anak SMP yang dipanggil Far itu mengangguk. Dia berjalan kebelakangku sambil memegang senjatanya. Ya ampun, kuharap Zico dan Rere sudah bersembunyi dengan baik.

Tiba-tiba muncul zombie di pintu. Si jaket kulit terkejut dan menembak hancur kepala zombie itu secara refleks.

“Bangsat! Kita tidak bisa berlama-lama disini. Far, kita kembali! Bawa orang itu!”

Anak SMP sialan itu menarikku dengan kasar. Yah paling tidak, mereka lupa mengambil senjataku dan Zico-Rere tidak ketahuan.

Aku dipaksa berlari kecil dalam hujan untuk menghindari melawan zombie. Anak SMP itu menendangku, “Cepat sedikit dong sialan!”

Oh, aku sangat ingin memukul anak kecil itu.

Aku dibawa ke sebuah gedung tua. Gedung itu mirip dengan tempat yang kami tinggali bersama Bima dan yang lain, hanya saja lebih kecil, mungkin hanya tiga lantai. Kurasa ini dulunya kantor perusahaan kecil. Ternyata mereka bersembunyi di tempat seperti ini.

Seseorang menyambut mereka di depan pintu. Badannya besar dan kepalanya botak licin. Saking licinnya aku merasa bisa bercermin di kepalanya.

“Siapa itu Kuda?” Suaranya dalam dan mengerikan.

Aku menyangka ada kuda nyasar sampai aku sadar kalau nama si jaket kulit itu adalah Kuda. “Kami menemukannya bersembunyi dari zombie. Dia bisa berguna nanti.”

Si botak melihatku, lalu berkata lagi pada Kuda, “Baiklah, masukkan saja dia ke tempat kita menahan cewek itu. Mood bos lagi tidak enak karena hujan ini.”

Bos? Sepertinya masih ada orang lagi selain mereka. Si anak SMP mendorongku masuk dengan kasar.
“Biasa aja dong. Aku bisa jalan kok,” kataku protes.

“Berisik. Aku tidak mau mendengar kau mengeluh.” Dia menuntunku ke lantai dua dan memasukanku ke ruangan yang penuh dengan arsip-arsip kantor. Disana ada Tori sedang berlutut di pojok ruangan, kedinginan mungkin.

Anak SMP itu pergi dengan membanting pintu. Setelah kurasa aman, aku mendekat ke Tori.

“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.

“Kau...salah satu teman Rere. Aku lupa namamu. Kau tertangkap juga.”

“Aku Kemal. Tidak juga, aku pura-pura tertangkap agar Zico dan Rere bisa mengikutiku kesini. Mereka akan menolong kita.”

“Kau bertemu Zico??” Tori berkata senang.

“Ya, dia ada di kamar mayat selama ini.”

“APA? DIA MATI?”

“Tidak. Kalau dia mati, mana mungkin dia akan menolong kita. Ceritanya panjang.”

Hening sesaat sebelum Tori berkata lagi, “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang.”

“Entahlah, untuk awal, sebaiknya kita keluar dari sini.”

“Tidak bisa. Pintunya dikunci dari luar.”

Aku mencobanya sendiri. Memang pintunya dikunci. Aku bisa saja mendobraknya, tapi bisa ketahuan dari suaranya.


Selagi aku berpikir cara melarikan diri, terdengar suara tembakan dari luar. Zico dan Rere sudah datang.



Bersambung.....ke part 9.

0 komentar:

Posting Komentar