Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Aku Melawan Ibu-Ibu Jago Karate (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 9)


Baca part sebelumnya disini.

“Suara apa itu?” tanya Tori.

“Kurasa Zico dan Rere. Sudah kubilang mereka akan datang menolong kita.” Aku mengintip dari jendela, tapi tidak terlihat apa-apa kecuali zombie dari jauh mulai mendekat karena tertarik bunyi tembakan. “Apa yang mereka pikirkan? Menyerang dengan terang-terangan begini?”

“Memang ada pilihan lain? Lebih bagus menyerang langsung kan.”

“Tidak juga. Mereka bisa menyelinap pelan-pelan. Menyerang tanpa tahu jumlah musuh seperti ini bisa berbahaya.”

“Tapi, pahlawan kan seperti itu,” kata Tori.

Tori sepertinya menganggap Zico seperti pahlawan di film-film yang tidak pernah kena tembakan walau musuh mengepung.

Masalahnya, aku bukan hanya mengkhawatirkan jumlah musuh yang dihadapi, tapi juga jumlah zombie yang kini mendekat karena kekacauan ini.

Terdengar suara orang lari-lari ke bawah. Benar juga, masih ada banyak orang lagi diatas.

“Sekarang saatnya!” kataku.

“Apa?”

“Kita kabur dari sini. Lalu bantu mereka dari belakang.”

Tori berdiri, “Tapi bagaimana? Pintunya dikunci.”

“Kita dobrak saja. Saat kekacauan seperti ini, pasti mereka tidak akan mendengar suaranya.”

Aku mengambil jarak, lalu berlari menghantamkan badan ke pintu. Masih belum terbuka.

“Oke, sekali lagi.” Aku berlari lagi. Tiba-tiba saja, pintunya dibuka oleh pengawal botak yang tadinya menjaga pintu depan. Aku tidak bisa menghentikan lariku.

Aku menabraknya dengan keras hingga kami berdua terjatuh keluar ruangan.

“Sialan!! Ngapain kalian bangsat!! An.....”

Aku tidak menunggunya menyelesaikan umpatannya dan menghajar mukanya sekeras mungkin. Kutarik pistolku, lalu kutembak kakinya. Dia berteriak kesakitan. Memang sepertinya itu terlalu kejam, tapi aku memilih melakukan itu daripada dia membunuhku saat kami mencari jalan keluar.

Kupanggil Tori, “Ayo. Tapi tetap tenang.”

Dia mengangguk dan mengikutiku keluar. Para bandit berkonsentrasi pada pintu depan sehingga kami bisa berkeliaran dengan mudah. Suara adu tembak membuatku sangat khawatir dengan Zico dan Rere. Aku harus secepatnya membantu mereka.

Kami tidak bertemu siapa-siapa. Aku memutuskan untuk mengecek ruangan di lantai ini sebelum membantu mereka, mana tahu ada sesuatu yang berguna.

Kubuka pintu paling ujung di koridor tersebut. Tidak ada apa-apa kecuali banyak kertas dan mesin fotokopi, yang kurasa tak akan berguna di situasi seperti ini.

Aku memeriksa pintu sebelahnya. Terkunci. Hmm, biasanya kan kalau terkunci, berarti ada sesuatu yang berharga kan?

Kudobrak pintu itu, membuat Tori heran, “Kau sedang apa? Ayo kita bantu mereka.”

“Sebentar.” Dengan sekali hantaman lagi, pintu itu terbuka lebar.

Didalamnya tidak ada senjata yang berharga atau semacamnya, tapi ada seorang ibu-ibu tertidur dengan pulas. Mungkin itu sandera juga. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri.

“Bu! Bu! Bangun, kita kabur dari sini!” Kugoyangkan badannya dengan keras. Matanya terbuka sedikit. “Ayo Bu. Disini tidak aman!!”

“HIYAAA!!”

Ibu itu bangun lalu langsung menendangku dengan keras. Kekuatan tendangannya bahkan sampai membuatku terlempar jauh kebelakang. Aku terbatuk-batuk saat mencoba bangun. Kaget dan rasa sakit bercampur.

Kini wanita setengah tua itu sudah bangun, dan dia terlihat marah. “Enak saja kau panggil Ibu! Panggil aku Kakak!! Namaku Hune! Aku bos disini!”

Apa? Bos mereka adalah ibu-ibu setengah baya yang ingin dipanggil kakak? Yah, paling tidak aku tahu kalau dia memang kuat.

Tori membantuku bangun. Aku melihat keadaan sekitar ruangan, tidak ada senjata. Kucoba menggertak dia.

“Heh, kami berdua dan kau sendiri. Kau bahkan tidak bisa memiliki senjata, memangnya kau bisa apa?”

Dia tersenyum mengejek. Lalu dengan kecepatan idiluar dugaan, dia berhasil melucuti pistol dari tanganku. Aku bahkan tidak sempat bereaksi.

“Lihat? Aku sudah terlatih untuk bergerak cepat ketika obral baju,” kata Hune bangga. “Selain itu, dulu aku juga sabuk hitam di karate. Pistol dan senjata hanya untuk orang lemah.”

Hune menghajarku di muka dan aku pun terjatuh lagi. Sial, dia terlalu kuat. Aku tidak pernah latihan bela diri, paling mentok cuma nonton film kungfu dan mencoba mempraktekannya. Aku juga tahu pasti kekuatan ibu-ibu saat obral, mereka sangat mengerikan. Jika Hune sudah terlatih dari situ, maka peluang menang kami kecil.

Aku tak boleh kalah disini. Aku berdiri lagi dan mencoba menggertak lebih keras, “Kau meremehkan kami. Aku adalah master Jijutsu dan Aikido. Temanku disini dulunya preman kelas kakap. Dia pernah menghabisi 12 polisi sendirian hanya dengan menggunakan tangan kirinya.”

Tori kaget karena tiba-tiba dilibatkan, tetapi dia mencoba mendukung ceritaku dengan membuat mukanya lebih kejam. Gagal.

Hune tertawa dan sudah bersiap menghajar kami lagi. Tapi raut mukanya berubah menjadi takut.
Awalnya kukira gertak sambalku berhasil, ternyata yang dia takutkan bukan kami, tapi sesuatu dibelakang kami.

Tori menarikku tepar di saat zombie melompat dari belakang mencoba menerkamku. Dia meleset dan terjatuh kedalam ruangan. Hune terjebak. Kami mundur ke pojok koridor, sama terjebaknya.

Tiga zombie lagi naik ke atas, beberapa dengan merayap. Hune memanggil-manggil pengawalnya untuk menolong. Tapi tak ada yang datang.

“Ayo, kita harus menerobos  zombie-zombie ini. Tetap dekat denganku,” kataku pada Tori. Kukeluarkan pisauku. Untungnya dua zombie memutuskan untuk berbelok ke ruangan tempat Hune terus berteriak. Kalau hanya satu zombie sih gampang.

Atau begitulah yang kupikir, sampai aku sadar kalau itu zombie liar. Dia berlari dengan gila ke kami.

“Awas! Menghindar!!”

Tori tidak sepenuhnya bisa menghindar. Zombie itu berhasil menerkam tangannya dan menggigitnya.

“KYAAA!!”

Dalam panik, aku berhasil menusukkan pisauku ke kepala zombie itu. Dia terjatuh tak bergerak.

Tori menangis melihat tangannya yang kini bersimbah darah, “Oh tidak...tidak....”

“Tenang!! Rere bisa mengobatinya nanti.”

“Kau tidak lihat aku digigit??” bentaknya. “Aku akan menjadi zombie!”

“Tenanglah, kita punya penangkal virus itu di rumah sakit. Kau akan sembuh asal kita bergerak cepat.”

“Benarkah?” Tori terlihat tidak terlalu percaya, tapi paling tidak dia berhenti menangis.

Aku mengangguk dan memimpin jalan ke tangga. Keadaan sepertinya sangat kacau dibawah. Aku berjalan siaga jika saja masih ada bandit lain atau zombie. Mayat orang dan mayat zombie bercampur di dekat pintu depan. Satu-satunya yang masih bergerak hanyalah satu zombie yang sedang memakan bandit.

Pemandangan yang memualkan, aku ingin segera cepat keluar dari sini. Kuambil pistol dari tangan bandit yang sudah mati, lalu menembak zombie terakhir di kepala. Bagaimana mungkin Zico dan Rere melakukan ini semua?

Kami keluar dari bangunan itu dan mencari mereka. Terdengar suara siulan dari belokan. Zico melambai ketika kami melihat.

Tori berlari ke Zico lalu memeluknya.

“Kukira kau sudah mati...” kata Tori.

“Enak aja. Aku ini jago tahu.” Zico tersenyum.

Aku menunggu adegan mesra itu berakhir sebelum marah-marah pada Zico, “Apa sih yang kau pikirkan? Menyerang dari depan, membawa zombie kesana, kami hampir mati tahu!”

“Itu bukan kami,” kata Zico. “Saat kami tiba, sudah ada truk disana. Orang-orang didalamnya turun lalu mulai menembak membabi buta. Mereka bahkan membawa dua zombie dan membiarkannya masuk kedalam.”

“Apa? Maksudmu, ada orang selain kita di kota ini?”

Zico mengangguk, “Bandit lain tepatnya. Mereka sepertinya dendam terhadap kelompok itu, entah kenapa. Setelah berhasil menarik lebih banyak zombie, mereka pergi begitu saja. Saat kami mau mencari, kalian sudah keluar duluan.”

Aku tidak tahu mana yang lebih mengerikan, masih ada bandit lain atau fakta mereka menggunakan zombie untuk menyerang lawannya.

“Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang, kita punya urusan yang lebih mendesak.” Aku melihat pada Tori. Zico terlihat tidak senang.

“Apa? Apa yang mereka lakukan padamu?”

“Bukan para bandit itu...” Tori menunjukkan luka gigitannya.

“Kau digigit??” Rere shock.

“Tenang,” kataku, “Medina punya kaset Queen. Kita cuma harus membawanya ke rumah sakit dan mencari tape player.”

Zico masih terlihat cemas, “Oke, dari sini ke rumah sakit kira-kira 30 menit. Kita harus cepat tapi tetap hati-hati karena bandit-bandit masih berkeliaran.”

Kami semua bergegas pergi dari situ. Saat aku melihat bangunan itu untuk terakhir kali, aku melihat anak SMP yang membawaku tadi keluar dengan ketakutan. Entah bagaimana dia bertahan hidup. Dia tidak melihat kami dan pergi ke arah yang berlawanan. Aku sempat kasihan, tapi sekarang tak ada yang bisa kulakukan.

Kami berlari dari satu gang ke gang lain, mencoba menghindari jalan besar. Sepanjang perjalanan, kami hanya bertemu dua zombie dan itu bisa dengan mudah diatasi.

Rumah sakit mulai terlihat, mungkin hanya tinggal lima menit lagi.

“Tunggu...” Tori menghentikan kami. Dia terlihat sangat lelah. “Aku tidak bisa berlari lagi.”

Lebih gawat lagi, badannya mulai menghitam dan matanya memerah. Rere sepertinya juga mengkhawatirkan itu.

“Keadaanya sudah sangat parah. Kita harus cepat.”

Zico mendekat, “Sini biar kubantu berjalan.”

Tori meresponnya dengan jatuh ke tanah. Kami semua kaget, tapi Zico-lah yang paling panik.

“Kenapa dia?”

“Sepertinya dia sudah mau berubah...” kataku.

“Mana mungkin? Ini baru setengah jam!”

Memang, tapi Bima juga berubah hanya dalam waktu 4 jam, dan yang menggigit Tori kali ini adalah zombie liar.

“Mungkin, mungkin sekarang virus itu semakin cepat menyebar...”

Zico menggendong Tori, “Ayo!! Kita harus lebih cepat!!”

Aku berlari di depan untuk berjaga-jaga jika kami bertemu zombie. Rere berada di dekat Zico untuk terus memeriksa keadaan Tori. Dia terlihat mau menangis.

“Zico!! Dia tidak bernafas!”

Aku melihat ke belakang dengan ngeri. Zico menurunkannya dan memberi nafas buatan.

“Kau tidak boleh mati!” Zico berteriak pada Tori, “Kita baru bertemu, tolong jangan lakukan ini!!”

Tapi sebanyak apapun Zico memberi nafas buatan, Tori tetap tidak bernafas. Rere menggeleng sambil meneteskan air mata, pertanda Tori sudah tiada. Zico tidak bisa berbicara saking shocknya.

Aku mendekatinya, “Zic...kita tidak bisa membiarkan dia berubah kan?”

Dia tidak menjawab.

Kukeluarkan, “Biar aku yang lakukan.”

“Tidak tunggu!” Zico menghentikanku. “Biar aku saja. Dia tanggung jawabku.”

Aku mengangguk. Kuajak Rere yang menangis terisak-isak untuk menjauh dari sana. Kami hanya akan melihatnya dari jauh.

Aku bisa melihat Zico bergetar karena sedih saat dia mengangkat pistolnya. Dia ragu untuk sesaat, tapi akhirnya menarik pelatuknya.


Saat itulah hujan turun lagi. Hujan itu membasahi kami dan Zico yang kini berlutut karena menangisi kekasihnya.



Bersambung......ke part 10.

0 komentar:

Posting Komentar