Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Epilog (Petualangan di Zombie Apocalypse 2)


baca episode sebelumnya di sini

“Kurasa kau sudah gila.” Itulah responku ketika Clara mengatakan rencananya untuk kembali ke motel malam ini.

“Kenapa gila??”

“Kenapa katamu? Kau lihat sendiri kalau tempat itu masih dipenuhi zombie.”

“Memang, tapi lebih cepat lebih baik. Aku tak suka pergi kemana-mana tanpa kelompok seperti ini.”

“Ini kan baru dua hari, dan belum ada sesuatu aneh yang terjadi. Lebih baik kita di sini beberapa hari lagi, lalu pergi mencari Ali.”

“Dengar ya,” Clara memijit kepalanya karena capek berdebat, “ini juga salah satu alasanku mau kembali ke sana. Jika kita bisa menghubungi markas dari sana, mereka mungkin akan mengirimkan bantuan. Indra sudah pernah melakukannya. Kita bisa memakai bantuan itu untuk mencari Ali.”

Aku memang ingat Indra pernah bilang kalau ada semacam ruang komunikasi di motel itu tempat dia meminta helikopter datang. Tapi aku juga teringat fakta dia pergi meninggalkan kami begitu saja.

Clara sepertinya mengerti pikiranku, “Hei, kalaupun Indra menolak, masih ada dua temanmu lagi kan? Mereka pasti akan memaksa jika tahu kita masih selamat.”

Memang, masih ada Rere dan Zico di sana. Tapi jikapun Rere kembali, itu pasti hanya karena dia ingin menyelamatkan Ali. Sedangkan aku masih bermasalah dengan Zico karena kasus Tori.

“Kau yakin?” tanyaku sekali lagi. “Kita aman di sini.”

“Kita tidak aman di sini!!” teriaknya. “Pada akhirnya kita tidak aman. Kau lihat apa yang terjadi pada Medina dan Intan kan?”

Mau tak mau, hatiku terluka lagi ketika dia menyebut nama Medina. Beberapa hari ini, aku masih melihatnya dalam tidur. Rasanya sangat aneh dia tak ada lagi di sini. Dan itu membuatku sedikit depresi.

“Baiklah,” kataku menyerah. “Jadi apa rencananya?”

Clara tersenyum, membuatku merasakan firasat buruk.




“Jika aku mati karena ini, akan kupastikan aku mengejarmu sebagai zombie,” kataku sembari Clara memberiku beberapa kembang api yang kami temukan di rumah seseorang sehari sebelumnya.

“Berhenti mengomel, kau hanya perlu memastikan kalau zombie-zombie itu bisa melihatmu. Lalu kau bisa bersembunyi dan menyusulku ke rumah.”

“Yah, tapi kau lupa kalau aku akan memancing puluhan zombie.”

Clara tak mempedulikan keluhanku dan memberikan pemantik. “Nyalakan semua kembang api itu sekitar 10 menit lagi. Aku akan mencari posisi yang pas untuk menerobos masuk.”

Dia juga memberikan aku sebuah pistol dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri. “Pelurunya tinggal sedikit. Gunakan hanya jika perlu.”

“Maksudmu ketika aku dikepung puluhan zombie?” tanyaku sarkastik.

Clara tersenyum mengejek, “Tenang, kau akan baik-baik saja.”

Tentu saja dia bisa bilang begitu. Kan bukan dia yang harus menjadi umpan di sini. Tapi Clara tak menungguku menggerutu dan pergi dari tempat persembunyian kami.

Sepuluh menit kemudian, aku memulai rencana. Sebenarnya itu bukan kembang api, tapi lebih seperti mercon roket yang akan menembakkan cahaya terang ke langit diiringi bunyi keras. Ketika aku menyalakan kembang api pertama, suaranya sangat keras sampai kupingku agak berdengung.

Sesuai rencana, zombie-zombie tertarik oleh bunyi itu. Dalam sekejap banyak zombie sudah megikutiku. Aku menyalakan satu kembang api lagi agar menarik lebih banyak zombie dari motel. Sekilas aku melihat bayangan masuk ke hotel. Kurasa itu Clara.

Sekarang aku hanya perlu kabur dari sini. Kutinggalkan sebuah kembang api yang paling besar menyala dalam sumbunya. Itu akan memberikan waktu untukku bersembunyi sebelum para zombie mendekat ke sumber suara.

Aku sedang berlari ke salah satu halaman rumah ketika kudengar suara mobil. Aku berhenti untuk menoleh. Jangan-jangan itu Ali?

Sebuah van putih besar mendekat. Van itu digambari logo aneh, seperti rambut bob yang dikelilingi pedang. Seseorang keluar, tapi aku tak kenal siapa dia. Sepertinya dia tertarik dengan bunyi kembang api yang kunyalakan.

Untunglah dia tak melihatku karena kaget dengan banyaknya zombie yang dihadapinya. Lalu tiba-tiba saja, zombie liar menerkamnya dari belakang. Aku buru-buru sembunyi lebih dalam ke semak-semak, melihat dengan keringat dingin.

Aku tak tahu dia siapa, tapi aku merasa dia sangat sial karena datang di saat yang paling tidak tepat. Itu membuatku sedikit bersalah. Sesuatu yang terjadi padanya bisa saja terjadi padaku tadi.

Zombie-zombie melewatiku tanpa sadar. Aku mencoba sebisa mungkin tidak menimbulkan suara ketika bergerak dari satu rumah ke rumah lainnya.

Aku mencapai rumah yang paling dekat dengan motel. Dari sini, aku hanya bisa menerobos paksa. Kulihat ada sekitar tiga zombie yang harus kubunuh.

Kutarik nafas dalam-dalam, lalu aku melompat keluar. Zombie pertama kubunuh secara tiba-tiba dari belakang. Dia tak bisa melakukan apa-apa. Satu lagi zombie yang mendekat berhasil kujatuhkan sebelum kutusuk kepalanya.

Zombie terakhir agak menyusahkan karena badannya sangat tinggi. Dia hampir saja menjangkau dengan tangannya yang panjang, tapi aku berhasil menahannya dengan tusukan ke badannya. Dia masih hidup dan meronta-ronta.

Sambil menahannya dengan satu tangan, aku mengeluarkan pistol dan memasukkan moncongnya ke mulut si zombie. Kepalanya meledak dengan cukup keras, tapi zombie-zombie lain lebih tertarik dengan bunyi kembang api yang tadi kunyalakan. Aku berhasil masuk ke dalam motel.

Di dalam sudah ada beberapa zombie yang terbunuh. Pasti ulah Clara. Sekarang aku harus mencari dimana kamar komunikasi itu.

Ternyata itu tidak sulit karena setelah beberapa saat, aku mendengar suara teriakan Clara dari salah satu kamar. Aku buru-buru masuk ke sana. Clara sedang memakai headphone dan memutar-mutar suatu alat yang mirip radio.

“Apa maksudmu mereka tak ada di sana??” teriaknya lagi.

“Hei tenangla....tunggu, apa?”

Suara di radio itu terputus-putus, “Indra.....tak ada.....hilang kontak....”

“Bicara yang benar dasar bodoh!!” Clara berkata tak sabar. Tapi kemudian, sambungan itu terputus. Clara melempar headphone dengan kesal.

“Ada apa?” tanyaku.

“Mereka mengatakan tak ada helikopter untuk menjemput sekarang. Satu-satunya helikpoter yang masih berfungsi adalah yang dipakai Indra, tapi mereka belum sampai di sana.”

“Mana mungkin,” kataku tak percaya, “mereka kan sudah pergi sejak beberapa hari yang lalu.”

“Itulah makanya. Kurasa dia berbohong pada kita.”

Masa sih mereka sampai setega ini? Aku malah merasakan firasat buruk kalau ada sesuatu yang lain.

Tiba-tiba radio berbunyi lagi. Clara buru-buru memasanga headphone-nya. “Markas? Di sini Clara.”

Suaranya statis untuk sesaat , tapi setelah itu terdengar suara orang yang sangat kukenal. “Hei, kalian di sana?”

“Zico!!” teriakku. Clara memberiku sebuah headphone juga. “Zico? Kau selamat? Bagaimana dengan yang lain?”

“Wah...akhirnya....sudah dua hari....” Suaranya terputus-putus. “Kami....terpaksa.....tentara......beliebers....”

“Apa? Aku tidak mengerti. Suaramu putus-putus.”

Suaranya statis lagi untuk sesaat, “....hati-hati.....you....him...oh......Medina....”

Ketika aku mendengar dia bicara tentang Medina, aku langsung bereaksi, “Medina? Medina apa?”

Tapi suaranya kali ini benar-benar putus. “Zic? Zic? Clara, tak bisakah kau melakukan sesuatu?”

Tapi Clara hanya terdiam. Mukanya terlihat pucat. “Oh tidak....”

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Ini situasi terburuk. Mereka dalam bahaya.”

“Kenapa? Jelaskan padaku apa yang terjadi sebenarnya!”

Clara melihatku, “Begini, ada beberapa organisasi yang terlibat dalam penyebaran virus zombie ini. Mereka adalah kelompok beliebers yang sangat loyal pada Justin Bieber. Di Indonesia, ada beberapa kelompok seperti itu. Pasukan Unit Rahasia Sektor 1077 sedang berperang melawan salah satu yang paling kejam.”

“Mereka sangat mengerikan,” lanjut Clara, “orang-orang yang tak segan memakai manusia sebagai bahan percobaan. Mereka juga terus mencari orang-orang yang bukan kelompoknya dan mengubah mereka menjadi zombie. Tujuan mereka jelas membuat Bieber menjadi pemimpin dunia.”

“Kelompok yang sedang kami perangi bernama Sword of Beliebers, dipimpin oleh seseorang yang saking menyeramkannya tak ada yang berani memanggil nama aslinya. Kami memanggilnya dengan sebutan You-Know-Him.”

Aku masih mencoba mencerna cerita itu, “Tadi sepertinya Zico ada menyebut nama itu...”

“Pasti Indra yang menyuruhnya memakai nama itu,” kata Clara. “Itu berarti mereka secara tak sengaja masuk ke wilayah Sword of Beliebers dan harus bersembunyi. Kalau mereka sampai tertangkap, bisa berbahaya.”

“Ma..maksudmu?”

“Mereka tak akan dibunuh langsung. Bisa saja mereka dijadikan bahan percobaan, dan jelas sekali mereka akan mengorek informasi tentang URS 1077 dari Indra.”

“Kalau begitu kita harus ke sana!” kataku.

Clara menggigit bibir tanda ragu.

“Hei, kita harus membantu mereka!!”

“Yahh...tapi tak semudah itu. Mereka tak akan bisa membiarkan kita masuk dengan mudah. Setahuku mereka hanya mengizinkan van khusus kelompok mereka yang bisa pergi ke wilayah itu.”

“Tapi tetap sa....eh tunggu.” Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Kenapa?”

“Apa?” tanya Clara.

“Apa logo kelompok mereka adalah rambut bob dengan hiasan pedang?”

Clara tampak terkejut, “Bagaimana kau tahu?”

Ini benar-benar kebetulan yang menguntungkan. Kuceritakan pada Clara saat aku menyalakan kembang api.

“Jadi jika firasatku benar, van itu masih ada di sana...dikelilingi banyak zombie,” kataku.

Clara berpikir sebentar, “Mungkin ini bisa berhasil. Kita hanya perlu memakai van itu dan masuk ke wilayah mereka kan? Berisiko, tapi mungkin berhasil.”

“Kita harus tinggalkan pesan pada Ali. Cepat atau lambat mereka akan ke sini.”

Clara mengangguk. Dia lalu keluar untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan pesan.

Aku terdiam di kamar. Sebentar lagi kami akan mencoba menyusup ke organisasi yang mulanya menyebarkan virus ini. Mungkin saja, kami bisa menemukan sesuatu yang lain di sana, seperti cara untuk menyembuhkan semua orang yang sudah menjadi zombie sekalipun.

Ketika aku sibuk merenung, suara di radio keluar lagi. Aku buru-buru memakai headphone.

“Zico? Ini kau?”

Hanya terdengar statis. Aku mencoba memutar-mutar di radio tanpa tahu fungsinya. Seandainya Clara belum keluar tadi.

Pada akhirnya, hanya terdengar satu kata sebelum radio itu mati lagi.


“....tolong...”

Moongazer (Story Telling Version)

Aku mencoba membuat story telling dengan cerita yang pernah kubuat di kemudian, supaya kalian yang malas baca bisa dengar aja, kecuali kalian juga malas dengar

suaraku ternyata gak sebagus yang kukira, tapi hei, aku membuat video ini selama 4 jam, dalam keadaan sambil ngerjain tugas, jadi kalau gak suka yah...jangan bully diriku *menangis secara jantan*

link asli cerita : http://www.kemudian.com/node/275227

cerita ini juga akan dimasukkan di buku terbaru yang merupakan kompilasi cerpen.

Farandi Memiliki Senjata Terkuat (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part Final)


baca part sebelumnya di sini.

“Awas di sampingmu!!” teriakku pada Ali. Ali menghajar zombie yang sudah sangat dekat dengannya itu. Jalannya masih sedikit terpincang, jelas sekali kakinya belum pulih sempurna.

Indra dan yang lain sudah berlari jauh di depan. Aku sendiri sedikit terhambat karena harus menggendong Farandi yang masih pingsan. Ali dan Rere mengawalku dari para zombie.

Kenapa aku harus repot-repot menggendong anak ini? Aku bisa saja meninggalkannya di situ dalam keadaan pingsan. Siapa yang peduli akan keselamatannya. Aku masih tak bisa memaafkannya atas kematian Medina.

Tapi aku memang tak tega, apalagi setelah semua ini terjadi. Jika bukan karena dia, kami bahkan tak akan bisa keluar dari motel itu.

“Itu dia..” kataku dengan terengah ketika melihat helikopter itu. Tapi suasananya tak bagus. Lapangan itu didatangi zombie hampir dari segala arah. Dari jauh, aku bisa melihat si pilot sedang mempertahankan helikopternya dengan susah payah. Sangat jelas terlihat kalau dia tak ingin lama-lama menunggu di situ.

Indra dan Clara yang sudah di depan mulai membantu si pilot. Zico juga membantu sebisanya dengan satu tangan. Aku mempercepat langkahku walaupun itu sangat sulit. Siapa sangka anak SMP cukup berat?
“Re, pergi duluan! Aku akan menemani Kemal,” kata Ali.

Kukira Rere akan mengucapkan sesuatu yang menggugah hati seperti “aku tak akan meninggalkanmu” atau semacamnya, tapi dia malah langsung lari sambil berkata, “Oke, hati-hati ya!” Ali terlihat sedikit sedih.

Walaupun mereka semua sudah terbiasa menghadapi zombie, kami jelas kalah jumlah. Zombie yang datang semakin banyak saja. Belum lagi angin yang mulai kencang. Helikopter harus diterbangkan sesegera mungkin.

“Cepat!!” Indra berteriak sambil menebas zombie. “Kita tak punya banyak waktu!”

Karena banyaknya zombie, pilot helikopter tiba-tiba saja sudah terkepung oleh mayat hidup itu. Aku dengan takut melihat ketika salah seorang zombie berhasil menggigitnya dari belakang. Kami semua tak bisa berbuat apa-apa ketika para zombie lain mengerumuninya dan menutupi suara teriakannya.

“Bagaimana ini? Pilot kita mati!” kataku.

Ali di depan berhasil menjatuhkan dengan mudah zombie kakek tua, “Entahlah, aku....oh tidak.” Ali melihat sesuatu yang mengerikan. Dan aku dengan cepat tahu apa.

Dua zombie liar berlari dengan kencang ke arah kami. Mereka berdua sepertinya pasangan, karena memakai couple dress. Betapa romantisnya, bahkan ketika jadi zombie pun mereka selalu bersama.

Ali tak akan bisa menangani mereka sendirian. Kutinggalkan Farandi di pinggir jalan, lalu mengeluarkan senjataku sendiri. Sisa peluru di pistolku tinggal tiga buah. Aku juga memegang parang.

“Kau habisi yang cowok, aku yang cewek,” kataku pada Ali.

“Apa? Kau saja yang cowok! Masa kau ngambil yang enak mulu.”

Aku melihatnya tak percaya, “Kau sadar gak sih kita bakal ngelawan zombie? Ini bukannya mau pedekate sama cewek.”

“Ya sudah, kau saja yang melawan cowok. Kan sama saja.”

“Oke oke, terserah aja,” kataku capek.

Aku bersiap menunggu zombie liar itu mendekat. Ketika kira-kira sudah berada dalam jarak tembak, aku memakai semua peluru pistolku untuk menembak kepalanya.

Harus kuakui kalau aku bukanlah yang paling hebat soal menembak. Dari tiga peluru, aku berhasil melukai dahinya sekali. Bukan hasil yang bagus.

Tapi untungnya aku bisa dibilang cukup berpengalaman melawan zombie liar. Triknya adalah menghindar sesedikit mungkin. Ketika terjangannya meleset, saat itulah zombie itu bisa diserang. Aku berhasil menghujamkan parangku ke kepalanya dan membantingnya ke tanah.

Ali tidak seberuntung itu. Tebasannya kurang dalam sehingga zombie perempuan itu masih bisa melawan. Dia mengayun-ayunkan tangannya secara liar dan tak sengaja berhasil menjatuhkan senjata yang dipegang Ali.

“Ngg...Kem, bantuin bisa gak?”

“Kau bodoh! Lawan cewek aja kalah!” Aku buru-buru berlari ke arahnya, tapi sebelum aku sampai, zombie itu sudah mati duluan. Clara muncul dengan pistolnya dan menembak jatuh zombie itu.

“Indra menyuruhku membantu kalian. Ayo cepat! Tak ada waktu lagi!” katanya.

“Tunggu, siapa yang akan menerbangkan helikpoternya?”

“Indra bisa menerbangkannya.”

Oh ya, aku lupa ketika pertama kali aku bertemu dengannya, dia menerbangkan helikopter. Aku bisa melihat Rere sedang membantu Zico naik ke helikopter sementara Indra bersiap-siap di tempat kemudi.

“Oke, kalian pergi duluan, aku akan menggendong Farandi,” kataku.

“Ngomong-ngomong soal itu, mana dia?”

Aku melihat ke tempat aku tadi meninggalkan Farandi. Atau paling tidak, ke tempat seharusnya aku meninggalkannya karena sekarang dia tak ada.

“Si sialan itu....jangan-jangan dia kabur...” Aku menggeram marah. Setelah susah payah yang kulakukan.

“Ya sudahlah,” kata Ali tidak peduli, “jika dia memang mau kabur biarkan saja. Lebih baik kita prioritaskan keselamatan kita lebih dulu.”

Benar juga. Toh dari awal aku memang tidak suka dengan keberadannya. “Kalau begitu ayo.”

Clara sudah berlari duluan di depan dan aku serta Ali mengikutinya. Rasanya menyenangkan tidak perlu menggendong orang lagi. Kini aku juga bisa membantu mengalahkan zombie yang menghalangi.

Ketika aku sedang sibuk memukul kepala zombie sampai hancur, aku mendengar teriakan Clara. Awalnya aku tak bisa melihatnya, tapi ternyata bukanlah zombie yang menjadi masalah Clara sekarang.

“Oh tidak, itu si Bos...” kata Ali dengan suara bergetar.

Si bos bajak laut itu menahan leher Clara dengan sebelah tangan kaitnya dan memegang pistol di tangan satunya, dengan moncong ke arah kepala Clara.

Aku dengan putus asa mencoba bernegoisasi, “Hei...jangan sakiti dia...”

“Diam!” dia berteriak. “Dan jangan bergerak, atau cewek ini mati. Jatuhkan senjata kalian.”

Aku saling pandang dengan Ali dengan ragu. Kami bukan dalam posisi bisa menawar, tapi jika kami menurutinya begitu saja, kami semua akan mati. Si bos ini tidak terlihat seperti orang pemaaf, apalagi setelah kami membuat markasnya porak poranda.

Lalu tiba-tiba saja aku mendengar suara baling-baling helikopter. Masa sih....

Helikopter di lapangan itu terbang begitu saja. Mereka lalu pergi menjauh.

 “Mereka meninggalkan kita!!” kataku tak percaya. “Indra dan Zico...”

“Rere juga...” Ali bergumam dengan sedih. Dia terlihat lebih kaget.

“Hahahaha!!” si Bos sepertinya sangat senang dengan keadaan itu, “bahkan temanmu lebih mementingkan dirinya. Memang begitulah cara bertahan di dunia ini.”

Aku tahu angin memang sudah sangat kencang, dan jika mereka tak segera menerbangkan helikopter bisa-bisa angin akan terlalu kencang untuk terbang. Tapi aku masih tak percaya mereka meninggalkan kami begitu saja. Hal ini membuat semangatku merosot drastis. Kini apa yang harus kami lakukan?

Bos sialan itu tak memberi kami meratap berlama-lama, “Nah, jatuhkan senjata kalian.”

“Ugh..” Aku tak punya pilihan lain selain melakukan perintahnya. Clara sama sekali tak bisa melawan.

Ali terlihat lebih merana daripadaku. Kurasa dia malah tak mendengar sama sekali apa yang dikatakan si Bos.

“Hei kau!! Jatuhkan senjatamu!” perintah Bos lagi.

“Li!” aku memanggilnya, “aku tahu kau patah hati dan semacamnya, tapi jika kau tak meletakkan senjatamu sekarang, bukan hanya hati taruhannya.”

Ali melihatku dengan pandangan paling menyedihkan yang pernah kulihat, tapi kali ini dia menurut. Dibantingnya senjatanya ke tanah.

“Bagus,” kata si Bos sambil tersenyum jahat.

Aku kini bukan hanya cemas karena kami tak bersenjata, tapi karena zombie yang di lapangan kini menuju arah kami.

“Lepaskan Clara,” kataku.

“Oh tidak semudah itu.”

“Apa kau tidak lihat keadaan sekitarmu?” Aku kehilangan kesabaran. “Kita dikepung banyak zombie. Lepaskan Clara, dan kami berjanji akan membantumu keluar dari masalah ini. Lalu kita berpisah, tanpa mengganggu sama lain. Bagaimana?”

Bos sialan itu memperlihatkan pose pura-pura berpikir yang menyebalkan, “Hmm bagaimana ya? Kau sudah menghancurkan markasku dan semua anak buahku. Tidak mengganggu satu sama lain? Oh kurasa tidak...ya, TIDAK!!”

Dia mendorong Clara ke depan dengan keras. Clara kehilangan keseimbangan dan jatuh. Si Bos mengarahkan senjatanya ke Clara lagi.

“Satu orang dulu..”

“JANGAN!!” teriakku.

Aku hanya melihatnya sekilas. Ketika si Bos hampir menarik pelatuknya, sebuah benda melayang ke arahnya. Benda yang sangat kuat. Benda yang konon saking kuatnya bisa menghancurkan apa saja. Benda itu...adalah Nokia 3310.

Handphone mengerikan itu menghantam muka si Bos dengan keras, dan dia terlempar ke belakang. Dia tak bergerak lagi. Kekuatan hantaman Nokia 3310 terlalu mengerikan.

Aku melihat ke arah handphone itu dilemparkan. Farandi dengan muka pucat berdiri di sana.

“Kau punya Nokia 3310 selama ini?” tanyaku masih kaget.

Dia berjalan dengan lemas, “Ya begitulah. Itu senjata andalanku.”

“Ngg, terima kasih...” kataku dengan sedikit malas. Aku dilema, dia memang penyebab meninggalnya Medina, tapi dia baru saja menghindarkan kami dari kematian.

Farandi cuek saja dan pergi ke tempat si Bos tergeletak. Dia mengeluarkan pisaunya. Sepertinya dia akan memastikan si Bos mati.

Aku tak peduli apa yang akan dia lakukan. Aku mengecek Clara.

“Kau tidak apa-apa?”

Dia sedikit terbatuk-batuk, “Tak apa-apa. Ayo kita pergi dari sini.”

Gerombolan zombie makin mendekat, kami harus segera pergi. Tapi kemana? Sakit hati karena ditinggalkan kembali menusukku.

Yang jelas, kami memang harus pergi ke suatu tempat untuk sekarang. Aku membantu Clara berdiri lalu berteriak ke Ali dan Farandi, “Hei, ayo pergi. Ikuti aku, kita cari tempat persembunyian.”

“Tunggu sebentar,” kata Farandi. Dia berlutut dan siap menusukkan pisaunya ke kepala si Bos.

Tapi yang terjadi di luar dugaan. Kait tangan si Bos lebih dulu menusuk ke bahunya. Dia masih hidup.

“Hhh, jika aku akan mati, kalian akan kubawa.” Si Bos mengeluarkan semacam detonator dari kantongnya dan menekannya.

Farandi berhasil menikam kepala si Bos, tapi kait masih menyangkut di bahynya. “Dia membawa bom di tubuhnya!” katanya sambil mengerang kesakitan.

Posisiku terlalu jauh. “Ali, selamatkan Farandi!!”

Ali tak perlu disuruh dua kali. Dia dengan sedikit panik mencoba melepaskan kait itu. Farandi berteriak nyaring ketika kait itu terlepas. Setelah itu Ali memapah Farandi dan membawanya menjauhi mayat si Bos.

Ali dan Farandi berlari tidak terlalu jauh ketika bom itu meledak. Aku dan Clara merunduk menghindari angin ledakan.

“Ali!!” teriakku memanggil. Aku tak bisa melihat mereka. Ledakan membuat debu bertebangan dan menutupi pandangan. Selain itu, suara ledakan bom juga menarik lebih banyak lagi zombie.

“Kita harus pergi. Sekarang.” Clara menarik tanganku.

“Tapi...Ali dan Farandi?”

Seorang zombie menyerangku dari balik asap. Aku harus menendangnya menjauh sebelum Clara membunuhnya.

“Tak ada waktu!!”

Aku melihat sekali lagi ke arah asap. Jika mereka masih hidup, aku tak bisa melihatnya. Dengan kesal, aku berteriak sekali lagi, “Jangan mati!!!”

Clara kini berlari duluan, “Ayo!”


Aku mengikutinya, meninggalkan kepulan asap dan banyak zombie di belakang.

Gen 3 Remake : Pokemon Omega Ruby dan Alpha Sapphire


Akhirnya, sesuatu yang sudah lama diidam-idamkan Hoenn fanboy menjadi kenyataan. Nintendo mengumumkan akan membuat gen 3 remake yang akan diluncurkan bulan November nanti, Pokemon Omega Ruby dan Alpha Sapphire!!

Sebenarnya sudah lama para fans memprediksikan ini akan terjadi, mengingat Pokemon sebelumnya juga membuat remake gen 1 dan gen 2. Apalagi banyak 'hint' di Pokemon X dan Y kalau gen 3 akan dibuat. Tapi konfirmasi seperti inilah yang membuat para fans lega. Kita kan gak suka digantungin (eh?)

Sejujurnya, aku sendiri menganggap gen 3 adalah gen yang paling tidak kusukai. Evil teamnya sangat bodoh dan aku tidak suka map Hoenn yang terlalu banyak air. Tapi bukan berarti aku tidak menunggu remake ini. Justru aku sangat menunggunya karena merasa Hoenn akan sangat keren jika dibuat dalam 3d. Lalu aku juga menantikan mega evolution dari dua starter lain. Tidak mungkin hanya Blaziken yang mendapat mega kan?

Aku juga merasa bahwa pengumuman ini datang di saat waktu yang tepat karena kini kegairahan main Pokemon X dan Y hanya sebatas di competitive battle. Aku masih kecewa dengan post game dari X dan Y yang menurutku sangat jelek. Mungkin saja di Omega Ruby dan Alpha Sapphire nanti, akan dibuat post game yang berhubungan dengan sesuatu di Kalos.

Jadi yah, pada intinya aku sangat senang dengan pengumuman ini dan membuatku bersemangat lagi main Pokemon. Ngomong-ngomong, aku jelas akan mengambil Pokemon Omega Ruby dan berharap temanku Ali akan mengambil Alpha Saphhire. Bagaimana denganmu?

Mei Mop!!

Ini tanggal 1 Mei dan aku merayakannya sebagai Mei Mop! Apa itu Mei Mop katamu? Kau tahu kan tiap tanggal 1 April selalu dirayakan sebagai April Mop dan orang-orang mengerjai satu sama lain. Aku merasa itu tidak berguna dan tidak produktif.

Karena itulah setiap tanggal 1 Mei, aku akan merayakan Mei Mop, dimana dalam merayakannya aku akan mengepel rumah-rumah. Jauh lebih produktif daripada mengerjai orang. Dan lagi, orang akan senang dan bukannya ingin membunuhmu karena kau membuang kucing peliharaannya sebagai tanda 'iseng'.

Dan tentu saja, kau juga bisa merayakannya! Mulailah dari mengepel rumahmu, rumah tetanggamu lalu rumah guru-gurumu sebagai tanda bakti. Lalu pergilah ke rumah mantanmu dan ngapel...... sekalian ngepel. (omaigot joke of the year).

Sekali lagi aku mengajakmu untuk merayakan Mei Mop. Ayo kita buat Indonesia yang bersih....lantainya!