Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Dari Batu ke Hongkong (Part 1)


Liburan kemarin, aku pergi ke berbagai tempat. Tentu saja itu dimulai dengan pergi ke ibukota kita tercinta, Jakarta. Perjalanan dari Bandung ke Jakarta kutempuh dengan sangat menyakitkan. Sekitar 7-8 km dari Jakarta, aku sudah mulai kebelet pipis.

Awalnya kupikir pasti bisa kutahan, toh tinggal dekat ini. Tapi aku lupa Jakarta terkenal akan kemacetannya, sehingga perjalanan yang tadinya palingan setengah jam lagi juga udah sampe, berubah menjadi neraka selama dua jam lebih.Jujur aja, aku sempat beberapa kali pasrah dan sudah membayangkan skenario terburuk jika aku harus ngompol di travel. Tapi berkali-kali juga kuingatkan diriku agar tidak menyerah, mengingat masih ada masa depan yang harus kuperjuangkan. Akhirnya aku bisa sampai tanpa bocor, walau sangat nyaris. Awal yang bagus untuk liburan.

Di Jakarta, aku berkumpul bersama keluarga plus tante dan nenekku. Besoknya kami melakukan perjalanan ke Surabaya. Seperti biasa, pesawatnya datang telat. Malah kelewat telat sampai-sampai orang-orang sudah berkumpul di meja resepsionis dan marah-marah. Setelah naik, aku baru tahu alasan kenapa pesawat itu telat, yaitu kursi pesawatnya baru dipasang. Hmm, baru kali ini aku mendengar alasan begitu. Aku hanya berharap mereka sudah ingat untuk memasang mesin pesawat dengan benar.

Sampai di Surabaya, kami langsung melakukan perjalanan darat ke Batu. Disinilah kami akan tinggal untuk beberapa hari.

Mungkin kau bertanya-tanya, memang ada apa sih di Batu? Kebun binatang!! Semuanya terletak di Jatim Park 2. Disini aku pergi ke dua jenis kebun binatang. Yang pertama aku pergi ke kebun binatang yang isinya patung semua. Tapi jenis hewannya sangat banyak, dan beberapa ditampilkan dengan sangat gaya seakan-akan mereka masih hidup.

hug me brotha!!

Bukan hanya hewan dari masa kini, tapi juga banyak patung hewan dari masa lalu, termasuk tulang dinosaurus! Gak tau deh itu nyata atau enggak.

Di tempat ini juga disediakan semacam panggung bagi yang ingin foto-foto. Kalau mau difoto dengan kamera bagus juga bisa. Tapi yah, bayar dong. Secara umum, tempat ini sangat bagus dan tertata rapi. Aku pernah sekali ke museum kayak gini, yaitu di Museum Rahmat di Medan, hanya saja ini jauh lebih besar.

menangkap buaya dengan jantan

Kebun binatang satu lagi benar-benar memperlihatkan hewan yang masih hidup. Aku tak terlalu ingat semua binatang disana, mungkin jenis binatangnya tidak terlalu banyak berbeda dari kebun binatang lain. Hanya saja, tempat ini besar dan menurutku cukup bersih. Walaupun tempatnya dibagi-bagi, pengunjung dibuat hanya berjalan di satu jalur sehingga semua binatang dapat dilihat tanpa harus berputar-putar. Itu juga salah satu kelebihan kebun binatang ini.

Tentu saja di kebun binatang ini juga ada tempat foto-foto dengan hewan asli. Ada yang bisa dengan burung, dengan kera, hingga dengan harimau kecil. Karena aku jantan, aku memilih hanya berfoto dengan burung elang.
Kemal si manusia petualang

Selain meliha-lihat binatang, kami juga sempat main arung jeram. Ini permainan arung jeram pertamaku dan aku sempat ketakutan. Kami harus mendengar kata-kata instruktur sebelum terjun ke sungai. Kami diberikan beberapa instruksi yang akan dipakai saat nanti, seperti misalnya jika instrukturnya bilang, "Dayung kanan!!" berarti yang duduk sebelah kanan dayung (udah jelas banget ya). Dia juga bilang kalau air terjun pertama yang akan kami lewati adalah yang paling menakutkan. Itu jelas menambah turun semangatku.

Seperti yang dia bilang, air terjun pertama memang yang paling mengerikan. Ketika aku tercebur, helmku lepas entah kemana. Setelah itu, untungnya tidak ada yang terlalu mengerikan lagi. Arusnya jadi cukup deras karena hujan turun cukup lebat, tapi paling tidak kami selamat tanpa ada satupun yang tenggelam. Kami sempat berhenti ketika arusnya pelan. Pemandangannya sangat cantik, ditambah lagi karena adanya hujan. Sayang gak bisa foto-foto.

Jika kau merasa itu masih kurang, di Batu juga ada semacam taman lampu yang sering didatangi orang saat malam hari. Aku tak sempat kesana karena sekitar tengah malam, kami mau ke Gunung Bromo.

Aku awalnya gak tahu mau kesana, jadi kaget juga. Aku tadinya emang udah pengen banget kesana sama teman-teman kampus, tapi gak kesampaian. Untunglah bisa pergi sama keluarga.

Perjalanan ke sana cukup memakan waktu. Tiga jam perjalanan darat lalu disambung naik mobil Jeep setengah jam untuk mencapai puncak gunung. Cuacanya disana itu dinginnya minta ampun. Baru kali itu aku sampai harus membeli sarung tangan dan topi untuk mengatasi dingin.

Di puncak gunung, sudah disediakan tempat bagi orang-orang yang ingin melihat matahari terbit. Kami masih harus menunggu sekitar 30 menit lagi sampai matahari benar-benar keluar. Suasana di atas Gunung malah lebih dingin, ditambah sesekali angin kencang. Tapi jujur aja aku gak menyesal. Pemandangan di atas sangatlah bagus. Kita seperti berada di lautan awan, dengan puncak gunung yang lain terlihat samar-samar.

kedinginan di lautan awan

Jujur aja, matahari terbitnya justru gak terlalu keliatan karena kehalangan awan, tapi seperti yang kubilang tadi, pemandangannya tetep sangat keren. Banyak banget orang disini buat foto-foto.

Perjalanan ke Bromo tidak berhenti sampai disitu. Kami juga menjelajahi ke lembah gunung. Disana ada lapangan yang sangat luas. Kita bisa menaiki kuda disana, atau bisa juga memanjat ke atas dengan berjalan kaki. Hanya saja meneruskan ke atas akan membutuhkan waktu satu jam jika tidak memakai kuda. 

abang dan adikku (kuda tidak termasuk)

Setelah itu kami berhenti lagi dua kali di tempat-tempat yang mirip, hanya berbeda-beda pemandangan saja. Semua perjalanan itu dilakukan dengan Jeep khusus karena jalannya hanya berupa tanah, mobil biasa tidak akan bisa melewatinya. Senang rasanya melihat gunung yang hijau-hijau setelah lama di kota mulu.

pemandangan yang indah sepanjang jalan

Akhirnya setelah berputar-putar, kami kembali ke bawah. Matahari juga mulai menghangatkan cuaca sehingga rasanya enak sekali. Kami kembali ke Batu dan beristirahat sebentar, lalu kembali ke Surabaya selama dua hari. 

Kami tak hanya diam di Surabaya. Kali ini kami menuju air terjun....aku lupa namanya. Pokoknya air terjun. Tempat itu juga dipenuhi pengunjung, terutama anak-anak sekolah yang sepertinya melakukan darmawisata. Air mancurnya, yaah tidak jelek sih, tapi juga tak bisa dibilang spesial. Tak ada terlalu banyak yang bisa dilihat disitu, jadi setelah makan, kami langsung kembali. Ngomong-ngomong, disitu ada juga jual sate kelinci. Aku sangat ingin coba makan sate kelinci, tapi secara bersamaan juga merasa tak enak karena penjualnya harus memotong binatang seimut itu.

seperti kencing di pagi hari

Puas jalan-jalan di Batu dan Surabaya, kami melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih jauh, yaitu ke Hongkong.

Kita Bertemu Disana


Fandi dengan gugup memasuki ruangan itu. Ini pertama kalinya dia akan bertemu dengan orang-orang yang akan melakukan ekspedisi besar ke hutan amazon bersamanya. Fandi langsung duduk di kursi. Orang-orang yang berada dalam ruangan ini hanyalah dia, dua orang pria lain dan satu wanita yang dari tadi mendengarkan musik dari handphone. Mereka semua terlihat gugup.
Salah seorang pria menyapanya, “Hai, namaku Alan.”
“Fandi.” Mereka saling berjabat tangan.
“Rasanya hebat ya, kita bisa terpilih sebagai wakil Indonesia untuk penjelajahan besar ini,” kata Alan.
“Memang, tapi aku juga gugup dengan apa yang menanti kita disana.”
Alan tertawa, “Aku dan temanku juga dari tadi membicarakan itu. Soalnya wilayah yang akan kita jelajahi kan masih sangat misterius.”
Obrolan mereka terputus dengan masuknya seseorang. Orang itu berbadan kekar. Dia sepertinya sudah makan asam garam dalam hal penjelajahan seperti ini. Yang lain segera duduk di tempat masing-masing dan menunggu dengan tenang.
“Selamat datang bagi kalian yang sudah terpilih untuk mengikuti ekspedisi Amazon ini. Namaku Lamda.” Suaranya berat, tapi nadanya riang, seakan-akan dia benar-benar senang melihat para penerusnya. “Seperti yang kalian ketahui, kita akan bergabung dengan kelompok peneliti alam dari Brazil dan akan menjelajahi wilayah yang sebelumnya masih misterius.Pertama-tama aku ingin tahu siapa nama kalian dan kenapa kalian ingin mengikuti penjelajahan ini. Ayo, perkenalkan diri kalian.”
Setelah hening agak lama, Alan menunjuk tangan, “Nama saya Alan Milado. 26 tahun. Motivasi saya mengikuti penjelajahan ini karena ingin menjadi orang yang dicatat dalam sejarah sebagai penemu hewan-hewan baru disana.”
Satu ruangan bertepuk tangan. Lamda mengangguk senang, “Motivasi yang bagus. Kita memang mungkin akan menemukan banyak sesuatu yang baru disana. Oke, yang lain? Bagaimana denganmu?”
Lamda menunjuk Fandi. Fandi sedikit terkejut, tapi berdiri juga.
“Ngg, nama saya Fandi Ramadhan. Umur 25 tahun.”
“Apa motivasimu mengikuti ekspedisi ini?” tanya Lamda.
Fandi berpikir sebentar, “Karena aku suka alam.”
Lamda menunggu, lalu tersadar Fandi tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. “Hanya itu?”
“Yaahh sebenarnya aku merasa ada hal lain...” kata Fandi sedikit bingung, “Tapi aku lupa apa.”
Lamda akhirnya menyuruhnya duduk. Dia lalu melanjutkan menanyai dua orang lainnya.
“Lho, kurasa ada satu orang dari kalian yang belum datang.” Lamda melihat kami. “Bukannya seharusnya ada lima orang.”
Fandi, yang belum mengenal satu sama lain, hanya diam karena tidak tahu. Tapi dia memang ingat ada lima orang yang akan dipilih.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Semuanya menengok ke belakang.
“Ahh, kamu ya orang yang satu lagi?” tanya Lamda.

***

5 bulan yang lalu.
“Kau terlalu banyak membaca tahu? Dan bukannya itu buku anak kecil?” kata Rizki ketika mereka sedang istirahat makan siang. Fandi terlambat merespon karena sedang asyik mendalami buku bergambar yang dia pegang.
“Ngg, oh maaf. Kau bilang apa tadi?”
Rizki mendesah. “Sudahlah. Tapi aku tidak percaya kau benar-benar mengikuti lomba untuk menjalani ekspedisi berbahaya itu.”
Fandi menutup bukunya, “Tidak terlalu berbahaya jika kita punya persiapan kok.”
“Tapi itu amazon! Ada anakonda raksasa disana! Mereka akan menelanmu hidup-hidup.”
Fandi tertawa pelan, “Ya ampun, kau terlalu banyak menonton film. Tidak ada ular yang sebesar itu. Yah, memang ular disana cukup besar juga sih, tapi seperti yang kubilang tadi, kita akan baik-baik saja jika ada persiapan.”
“Dasar kau ini, benar-benar tidak takut alam liar ya?”
“Aku bukan tidak takut, tapi aku juga suka dengan alam dan hewan-hewan, makanya aku mau kerja di kebun binatang ini. Kau sendiri kenapa?”
“Karena aku perlu uang, sesimpel itu.” Rizki mengunyah rotinya lagi. Fandi kini ikut makan bersama dia.
“Kenapa kau tidak coba hutan Indonesia dulu sih?” tanya Rizki tiba-tiba.
“Sudah pernah beberapa kali saat kuliah. Lagipula, aku harus ke Amazon.”
“Kenapa?”
Fandi terdiam, “Entahlah, pokoknya harus kesana.”
“Dasar orang aneh. Terserahmu saja deh. Belum tentu juga kan kamu yang terpilih nanti.”

***

4 tahun yang lalu.
Fandi mengelus kepalanya terus sehingga mengundang pertanyaan dari dosen yang sedang mengajar.
“Fandi, kamu kenapa? Mulai mengantuk ya?”
Fandi terkejut, “Eh, tidak kok Pak.”
“Perhatikan pelajaran!!”
“Ma..maaf Pak.”
Dosen mulai menuliskan rumus-rumus lagi di papan. Fandi mengeluh bosan di dalam hati. Siapa sangka mengambil jurusan Biologi berarti harus mempelajari Matematika juga. Dia tidak terlalu suka Matematika.
Teman dekatnya, Ali, berbisik pelan, “Kau kenapa sih?”
“Tidak apa-apa,” balas Fandi sambil berbisik juga. “Hanya saja luka di kepalaku kadang sakit sendiri.”
“Oh, luka yang kau dapat dari kecil itu ya?”
“Ya.” Fandi diam-diam mengelus lagi lukanya.
“Memangnya kau kenapa sih waktu itu?”
“Aku tidak terlalu ingat, tapi sepertinya kecelakaan mobil.”
“Kau tidak ingat tentang kecelakaan mobil yang kau alami? Wow, aku tak menyangka betapa pelupanya dirimu,” sindir Ali.
“Berisik ah!”
“Ali! Fandi! Kalau kalian berisik juga, sebaiknya kalian keluar saja!” Dosen itu berteriak dari depan. Mereka berdua diam saja selama sisa kelas itu.

***

8 tahun yang lalu
Fandi terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak saat mobil memelan memasuki pekarangan rumah kakeknya.
“Bangun juga akhirnya. Sana ambil barang di belakang,” perintah ibunya. Tidak seperti biasa, mereka kali ini akan menghabiskan liburan akhir semester di rumah kakeknya. Sudah lama sekali sejak dia kesini, mungkin saat dia masih berumur 6 atau 7 tahun. Biasanya kakek dan neneknya lah yang berkunjung ke rumah.
Fandi turun dari mobil dan melihat ke sekeliling. Tempat ini benar-benar berbeda dengan yang dia ingat. Dia cukup yakin dulu di dekat rumah kakek ada hutan yang cukup seram. Sekarang hutan tersebut sudah dipenuhi rumah-rumah.
Ibunya mendekati Fandi, “Kangen ya? Dulu kau suka kali main di hutan itu.”
“Ah masa sih?”
“ Ya dong, sambil membawa buku bergambar yang masih kau simpan itu. Kau ini dulu lincah banget.”
Fandi diam saja. Dia tidak terlalu ingat masa kecilnya, mungkin karena kecelakaan itu. Dia menurunkan barang dari mobil. Tak lupa dia mengambil majalah satwa yang tadi dibacanya di mobil.

***

18 tahun yang lalu
Ayah mengendarai mobil sambil sesekali melihat ke belakang. “Bagaimana, kau nyaman kan?”
“Ya. Tenang aja,” kata Fandi. Tangannya masih belum bisa digerakkan dengan leluasa dan kepalanya masih diperban. Menurut ibunya, luka di kepalanya adalah yang paling parah.
“Kalau ada apa-apa, bilang aja sama Ibu ya.” Ibunya duduk disampingnya. Fandi senang-senang saja dengan itu karena dia bisa manja-manja selama perjalanan pulang ke rumah.
“Aku jadi tidak enak karena merepotkan kakek dan nenek,” kata ibu. “Padahal kita sekali-sekali kesana, tapi justru terjadi hal seperti ini.”
“Yang penting Fandi tidak apa-apa,” jawab ayah. Fandi memilih tidak berkomentar soal itu walaupun dia merasa sedikit bersalah.
“Memangnya aku kenapa sih? Aku tidak begitu ingat. Apa aku membuat masalah?” tanya Fandi.
Ibunya menjawab dengan halus, “Tidak kok. Kau hanya perlu lebih hati-hati lain kali. Jangan membaca buku saat sedang berjalan. Kata dokter, luka di kepalamu membuat kau kehilangan beberapa memori sementara, tapi semuanya akan baik-baik saja.”
Fandi merenung, “Hmm, aku masih ingat Ayah dan Ibu.”
Ibunya tersenyum, “Bagus, itu yang paling penting. Ayo, sekarang kau tidur saja.”
“Ah, tapi sepertinya melupakan sesuatu.”
“Apa?”
Fandi berpikir keras, “Entahlah. Aku tidak ingat.”
“Mungkin kau mencari buku ini.” Ibu mengambil sebuah buku dari tasnya. “Kau mengalami kecelakaan ketika membaca buku itu. Apa itu buku punya temanmu?”
Fandi mengambil buku bergambar yang berjudul ‘Keindahan Amazon’. Dia melihat-lihat isinya, dan dalam sekejap perasaannya dipenuhi rasa senang.
“Aku tidak ingat...” katanya. Walaupun begitu, dia berjanji akan menjaga buku itu baik-baik.

***

18 tahun yang lalu (dua bulan sebelumnya)
“Hati-hati di jalan ya! Jangan pulang malam lagi!” teriak Ibu dari dalam rumah. Ibu sedang asyik memasak bersama nenek, sedangkan ayah membaca koran. Fandi menemukan kakeknya sedang duduk-duduk di depan rumah.
“Eh Fandi. Mau kemana Nak?” tanya kakek.
“Mau ke hutan Kek. Main-main disana bersama teman.”
“Hati-hati. Jangan main terlalu jauh dan pulang terlalu malam.”
“Iya!!” Fandi melambai-lambai pada kakeknya lalu berlari keluar halaman rumah. Hutan itu terletak di seberang jalan. Dia melihat ke kiri dan kanan. Jalanan cukup sepi, tapi mobil kadang justru lewat dengan kecepatan tinggi.
Setelah memastikan aman, Fandi menyebrang jalan. Dibukanya buku bergambar yang kemarin diberikan temannya itu. Fandi tadi malam menemukan kumbang yang menyamar dengan sempurna di batang pohon sehingga mereka tidak melihatnya kemarin. Pasti dia akan terkejut jika melihatnya, pikir Fandi.
Dari jauh, mobil melaju kencang ke arahnya. Fandi tersadar dari lamunannya, lalu berlari kecil ke seberang. Tapi kakinya menghantam batu dan buku tersebut terlempar ke tengah jalan.
Tanpa pikir panjang, Fandi berlari mengambil bukunya. Sementara itu, pengendara mobil tersebut kaget karena melihat anak kecil yang tiba-tiba melompat lagi ke tengah jalan. Dia mencoba mengerem mobilnya, tapi terlambat.

***

18 tahun yang lalu (dua bulan dan satu hari sebelumnya)
Fandi menemukan tempat yang bagus untuk bersembunyi. Awalnya, dia hanya lari tanpa arah karena ibunya menyuruh dia menghabiskan sayurnya. Dia lalu secara tak sengaja menemukan tempat yang indah di dalam hutan.
Ada tempat duduk kecil di bawah pohon, jadi dia duduk disana sambil menikmati pemandangan yang ada. Angin sejuk, lalu bunga-bunga merah tumbuh di dekat semak-semak. Belum lagi bunyi burung yang mendamaikan hatinya. Bahkan dia bisa mendengar suara sungai kecil di dekat situ. Ini benar-benar tempat indah untuk bersembunyi.
“Hei, itu tempatku.”
Fandi terkejut mendengar suara itu. Di dekat pohon, bersembunyi malu-malu, ada seorang gadis seumurannya. Dia memegang sebuah buku bergambar.
“Apa maksudnya tempatmu?”
“Aku selalu membaca buku disitu,” katanya. “Kau mengambil tempatku.”
“Kursi ini cukup untuk kita berdua. Kau duduk saja di sebelahku.”
Anak itu diam, mungkin menunggu Fandi pergi. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menyerah dan duduk di sampingnya.
Fandi teringat ibunya sering memperingatkan dia untuk berkenalan dengan taman baru, “Namaku Fandi. Kau siapa?”
Gadis itu diam dan mulai membaca buku.
Merasa kesal karena dicuekin, Fandi tidak mempedulikannya dan mulai melihat-lihat burung disekitar situ.
“Wendi Melati.”
“Eh apa?” Fandi kaget karena anak itu tiba-tiba berbicara.
“Namaku Wendi Melati.”
Fandi baru kali ini berkenalan dengan orang yang menyebutkan nama lengkapnya, jadi dia mengulang namanya, “Aku Fandi Ramadhan.”
Gadis itu diam lagi.
Karena penasaran, Fandi mengintip buku yang dia pegang. Dilihatnya gambar-gambar indah tentang hutan dan burung-burung yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Wow, itu gambar apa?”
Wendi melihatnya, “Ini hutan Amazon. Aku suka melihat-lihat gambarnya.”
“Yah, aku bisa mengerti. Lihat burung itu, cantik sekali.”
“Itu burung Rio Branco. Mereka sudah hampir punah.”
“Benarkah? Sayang sekali. Apa ikan ini juga?” Fandi menunjuk gambar ikan bergigi tajam yang berenang di sungai.
Untuk pertama kalinya, Wendi tersenyum. “Itu ikan Piranha. Dia bisa memakan semua dagingmu dalam sekejap.”
“Mana mungkin ikan sekecil ini bisa makan aku...”
“Semuanya mungkin.”
Fandi diam sejenak, “Kau tahu banyak ya soal ini. Keren.”
Bukannya menjawab, Wendi malah melihat Fandi dengan tatapan aneh. Fandi pun bertanya heran, “Kenapa?”
“Tidak. Teman-temanku semuanya mengejekku karena aku suka membaca tentang hutan. Cuma kau yang memujiku,” katanya.
“Masa sih? Menurutku kau keren. Aku juga suka hutan Amazon ini, walaupun ikannya menyeramkan.”
Wendi tertawa lagi. Mereka lalu bersama-sama melihat buku itu. Fandi terus bertanya, sementara Wendi menjawab yang dia tahu. Tak terasa langit mulai gelap.
“Aku harus pulang. Nanti Ibuku marah kalau aku pulang terlalu malam. Lagipula, aku sudah lapar.”
Wendi terlihat sedih. Fandi buru-buru menghiburnya, “Besok kita main lagi disini ya. Aku dan orangtuaku masih lama pulangnya kok.”
“Benar?” Wendi langsung ceria lagi.
“Tentu saja. Aku suka membaca buku itu. Lagipula aku juga masih ingin banyak tahu.”
Fandi sudah bersiap-siap pulang, tapi Wendi menghentikannya. “Nih.”
“Apa?”
“Kau boleh meminjam bukuku. Tapi besok harus dikembalikan.”
“Wah, makasih!” Fandi menerimanya dengan senang, “Kau baik sekali.”
“Kau berjanji besok akan kesini lagi?”
“Tentu saja.”
“Bagaimana kalau kau lupa? Atau kau ternyata harus pulang ke rumahmu besok?”
Fandi tersenyum, “Oke, begini saja. Kalau aku lupa, atau sesuatu terjadi dan kita tak bisa bertemu besok, mari kita bertemu di tempat lain.”
Wendi bingung, “Dimana?”
“Disini.” Fandi menunjuk bukunya, “Amazon. Kita bertemu di Amazon. Lalu kita berdua bisa melihat lebih banyak lagi hewan-hewan cantik.”
Gadis itu tersenyum senang, “Ya. Janji ya kita bakal ketemu di Amazon nanti?”
“Aku janji. Kita akan bertemu disana. Sudah ya, kau juga lebih baik pulang, daaahhh.” Fandi pun pergi meninggalkannya.

***

Masa kini.
“Lho, kurasa ada satu orang dari kalian yang belum datang.” Lamda melihat kami. “Bukannya seharusnya ada lima orang.”
Fandi, yang belum mengenal satu sama lain, hanya diam karena tidak tahu. Tapi dia memang ingat ada lima orang yang terpilih.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Semuanya menengok ke belakang.
“Ahh, kamu ya orang yang satu lagi?” tanya Lamda.
“Ya Pak. Maaf telat,” kata wanita yang baru datang itu.
“Tidak masalah. Siapa namamu?”
Fandi melihat senyum wanita itu, dan tiba-tiba saja dia ingat motivasi terbesarnya ingin pergi ke Amazon.
“Nama saya Wendi Melati.”

Kami Diselamatkan Ninja Dan Satpam (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 12)


baca part sebelumnya disini.

Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Ali sungguhlah bodoh, “Niko? Niko yang itu?” Aku menyuruhnya diam dengan canggung, tapi terlambat. Farandi sudah curiga duluan.

“Tunggu? Kalian juga kenal dia?” tanyanya.

Rere melihatku, jelas sekali dia ingin aku yang menjelaskan semua. “Yaa....kami sempat bertemu dengannya..kira-kira...”

“Kira-kira? Dimana dia sekarang?”

Tak ada yang menjawab. Farandi melihat kami tidak percaya. Dia sepertinya sudah tahu jawabannya dari diamnya kami, tapi tetap meminta kami mengatakannya langsung.

Akhirnya Rere yang menjawab, “Dia tidak selamat dari zombie. Maaf.”

Farandi tertunduk lesu. Aku bersyukur Rere tidak bilang kalau akulah orang yang mendorongnya ke kumpulan zombie. Aku memang punya alasan kuat untuk melakukan itu, mengingat dia hampir membunuhku juga, tapi cerita itu pasti akan membuat Farandi marah.

Suasana hening lagi. Keadaan tidak enak itu dipecahkan oleh suara gedoran di pintu. Zombie akhirnya naik kesini.

“Nanti lagi ceritanya. Kita pergi dulu dari sini,” kataku.

“Tapi bagaimana?” tanya Medina, “Tidak ada jalan turun.”

Kami kembali lagi ke masalah utama, mencari cara pergi dari gedung ini. Bisa-bisa atap ini menjadi perangkap kematian kalau kami tak segera menemukan solusi. Gedoran yang makin keras tidak membantu memecahkan masalah.

“Turun lewat tangga saja!” kata Farandi tiba-tiba.

“Tidak bisa, Ali masih memakai kursi roda.” Rere tidak setuju.

“Masa bodo dengan dia. Aku memikirkan keselamatan diriku sendiri!”

Kata-katanya membuatku kesal, “Kami tidak akan meninggalkan siapa-siapa disini. Kalau mau pergi, pergi saja.”

“Oke,” katanya menantang. “Berikan aku senjata dan aku akan pergi.”

Aku melihat ke Ali untuk meminta pendapat, tapi dia hanya mengangkat bahu. Aku mengeluarkan satu pistol kecil.

“Jika kuberikan ini, kau janji tidak akan menembak kami?”

“Tidak ada untungnya untukku.” Farandi mendengus marah.

Aku percaya padanya. Kuberikan senjata itu, dan saat itu juga dia langsung berlari ke tangga, meninggalkan kami.

Rere terlihat bersalah, “Aku tak mengira anak itu masih bertahan hidup selama ini. Niko memang sempat mengatakan ingin mencarinya setelah semua ini terjadi.”

“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.

“Yah, kami bertemu kalian.”

Oke, sekarang akulah yang merasa bersalah.

Tapi tak ada waktu untuk itu. Pintu tangga darurat sepertinya bisa didobrak kapanpun. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Gedoran terjadi lagi, dan kini makin keras.

“Ngg, tidakkah sebaiknya kita ganjal dulu pintunya?” saran Medina.

Aku melihat ke sekeliling, mencari sesuatu untuk menahan pintu, tapi nihil. Atap ini benar-benar kosong, tak ada benda yang cukup berat yang bisa jadi penahan. Atau....

“Ali!!” teriakku.

“Ya?” jawabnya sedikit kaget.

“Kau tidak mau terjadi apa-apa pada Rere kan?”

“Tentu saja! Aku rela mati untuknya!” Jawaban itu membuat Rere sedikit tersipu.

“Aku juga rela kau mati asal tidak terjadi apa-apa pada Medina.”

“Bagu....eh apa?”

“Maaf ya.”

Aku mendorong kursi rodanya ke depan pintu sebagai penahan. “Woi Mal!! Apa-apaan ini??”

“Sebentar aja kok!! Tahan aja pintunya!” Aku lagu meninggalkannya, tidak mempedulikan teriakan-teriakan mengejek. Aku bergabung dengan Medina dan Rere untuk mencari jalan keluar.

“Jadi...bagaimana?” Aku bertanya kemajuan mereka.

Medina menggeleng, “Tidak ada jalan lagi selain tangga itu.”

“Tapi bagaimana dengan Ali?” tanya Rere.

Aku berpikir keras. Apakah aku bisa menggendong Ali sambil menuruni tangga? Tidak, itu tidak mungkin. Turun sendiri saja sulit di ketinggian seperti ini, apalagi jika membawa orang.

Apa pilihan lain? Apakah kami bisa melawan? Mungkin jika kami membiarkan zombie masuk satu per satu...
“Kita lawan?” saranku.

Rere jelas tidak setuju, “Kau gila? Apa kau tidak lihat berapa banyaknya mereka?”

“Biarkan mereka masuk satu per satu. Jujur saja, aku tak bisa melihat cara lain selain turun tangga dan meninggalkan Ali. Aku tak mungkin menggendongnya turun. Peluang hidup lebih besar jika kita melawan. Apa kau mau kita meninggalkan Ali?”

“Tidak...” jawab Rere pelan.

“Nah, kecuali kalian berdua mau pergi sendiri ke bawah sekarang, kita lebih baik bertarung.”

“Aku tak akan pergi jika kau tidak pergi!” kata Medina.

Aku tersenyum padanya, lalu berpaling pada Rere, “Bagaimana denganmu?”

Dia diam sejenak, lalu menjawab dengan pasrah, “Baiklah, kita lawan.”

Setelah sepakat, kami kembali ke Ali. Rere sempat marah padaku karena membiarkan Ali menjadi penahan pintu, tapi hei, paling tidak sampai sekarang zombie belum masuk karenanya.

Aku memberi instruksi pada Medina, “Buka pintunya sesedikit mungkin, buat agar zombie hanya bisa masuk satu per satu.”

Medina mengangguk lalu mengambil posisi. Sementara itu cuaca pun mulai memburuk. Gerimis turun dan angin mulai kencang. Sepertinya keadaan terus melawan kami.

Medina terlihat tegang saat berkata padaku, “Siap?”

Aku memegang pisau di tangan dan pistol di kantung untuk berjaga-jaga. Rere berjaga di dekat Ali sambil memegang parang. Ali sendiri memegang pistol dan bersiap membantu dari jauh.

Tak ada waktu lagi untuk ragu. Kuberi tanda pada Medina agar dia membuka pintunya.

Rencana kami berantakan dengan cepat. Zombie pertama yang menerobos masuk adalah zombie liar. Dia menabrak pintu dengan kerasnya hingga Medina terlempar ke belakang dan membuat pintu terbuka lebar.

Aku dengan panik langsung menembakkan senjataku melihat zombie yang dengan liarnya ingin memakanku. Kurasa hanya dengan membunuh satu zombie itu, aku telah menghabiskan tiga peluru.

Zombie-zombie lain masuk. Dalam sekejap atap itu sudah dipenuhi zombie. Medina mengabaikan tugasnya yang harusnya menahan pintu dan mulai menghajar zombie yang berada dalam jangkauannya.

Aku juga tidak menunggu lagi. Zombie berjenggot yang mendekatiku kujatuhkan dan aku menghampiri musuh yang lain. Tidak ada lagi zombie liar, tapi melawan zombie biasa yang berjumlah banyak sama menyusahkannya.

Suasana sangat kacau. Bunyi tembakan terdengar dan sayatan di daging memenuhi telingaku. Aku tidak sempat memperhatikan bagaimana keadaan yang lain karena zombie-zombie ini tidak memberiku kesempatan untuk bernafas.

Aku terpaksa berlari-lari, berusaha untuk tidak terkepung. Sebisa mungkin aku hanya akan melawan jika zombie berada di depanku, dan bukannya di sekelilingku.

Setelah menghancurkan kepala zombie ketigaku, aku melihat ke sekeliling. Medina sedang melarikan diri dari tiga zombie yang mengejarnya. Rere dan Ali saling menjaga sebaik mungkin, tapi perlahan zombie-zombie mulai mendekatinya. Aku sendiri kini terpojok ke pinggir atap.

Dalam hati, aku merasa inilah akhir hidup kami. Tak ada harapan lagi.

Tunggu, suara apa itu? Samar-samar aku mendengar sesuatu yang makin lama makin keras.

Lalu terdengarlah suara tembakan entah dari mana. Zombie-zombie di depanku langsung roboh begitu saja. Kepala mereka semua terkena tembakan.

Angin tiba-tiba saja menjadi sangat kencang. Bunyi yang tadi kudengar kini sangat jelas dan keras. Itu adalah bunyi helikopter. Tembakan itu berasal dari dua orang yang menembak dengan cermat dari sisi pintu helikopter.

Lebih mengejutkannya lagi, aku kenal kedua orang itu. Yang pertama adalah ninja teman Medina bernama Clara, lalu yang satunya lagi adalah satpam kesayangan kami semua, Zico.

Zico berhasil menjatuhkan pengejar Medina dari jarak jauh. Harus kuakui, akurasi tembakannya jauh melebihi kami semua. Clara, yang kukira hanya cewek lemah, ternyata juga penembak jitu. Setelah berhasil menembak zombie di dekat Rere, dia menurunkan tali gantung.

“Naik!!” teriaknya dari atas.

Helikopter itu menjaga jaraknya cukup dekat ke atap, tapi angin yang berhembus kencang, ditambah masih banyaknya zombie yang masuk membuatku sedikit ragu.

“Naik saja!!” teriak Clara lagi, “Kami akan menghabisi zombie yang mendekat.”

Aku berlari ke Ali, “Kau bisa memanjat tangga itu dengan satu kaki?”

Dia awalnya ragu, tapi memaksakan terlihat percaya diri, “Tentu saja. Kau kira aku lemah?”

Aku membantu memapahnya ke arah tangga. Ali berhasil meraih tangga itu, lalu dengan perlahan dan susah payah, dia naik ke helikopter. Sementara menunggu, aku membantu Rere mengalahkan zombie. Kutusuk satu zombie wanita di belakang kepalanya, sementara zombie lain yang berada di dekatku jatuh ditembak, entah oleh Clara atau Zico.

Zico menarik Ali ke dalam helikopter. Sekarang giliran Rere yang memanjat naik. Ketika sudah setengah jalan, Medina langsung menyusul. Aku kini sendirian di bawah.

Zombie tidak habis-habisnya masuk. Aku terpaksa menghabiskan peluru terakhirku pada zombie yang sudah sangat dekat denganku.

“Kemal, naik!!” teriak Medina setelah dia masuk ke helikopter.

Aku menebas zombie terakhir, membiarkan pisauku tetap di kepalanya, dan berbalik untuk menaiki tangga. Saat aku mulai memanjat, kakiku tiba-tiba ditarik. Kulihat salah satu zombie berhasil memegang kakiku.

Kutendang-tendang mukanya agar dia tidak bisa menggigit. Tendangan terakhirku berhasil merontokkan beberapa giginya dan dia pun melepaskan pegangannya.

“Jalan saja!!” aku berteriak pada orang di atas.

Clara memberi tanda pada pilot. Perlahan-lahan helikopter mulai naik. Aku bisa melihat banyak zombie melihatku sambil mengangkat tangan ke atas, mencoba meraihku tanpa daya.

Aku lega untuk sesaat. Menaiki tangga helikopter ketika helikopter tersebut terbang di udara ternyata sangat mengerikan. Tangga menjadi melambai secara tak terkendali dan aku harus berpegangan dengan saat erat agar tidak jatuh. Pada akhirnya, Zico dan yang lain harus menarik tangga ke atas karena aku tidak berani bergerak.

“Kau sungguh berat tahu,” kata Zico ketika aku naik ke helikopter.

Aku harus menenangkan jantungku yang berdetak sangat keras sebelum akhirnya aku berterima kasih. Tapi Zico menolaknya.

“Aku belum memaafkanmu soal Tori. Hanya saja, aku juga tak mau meninggalkan kalian begitu saja.”

“Kami bertemu dia di pinggiran kota,” kata Clara. Kepalanya masih diperban akibat cedera ledakan di markas sebelumnya. “Dia mengatakan kalian ada di rumah sakit dan bersedia memandu kami kesana. Untunglah kami tiba pada waktunya.”

“Clara!!” Itu Medina yang berteriak. Mereka lalu berpelukan ala cewek melepas rindu. Aku tidak percaya dia baru saja menyelamatkan nyawa kami tadi.

Kulihat di kursi depan, ada Intan dan seorang pilot dengan baju tentara. Di bajunya terpasang nama Indra.

“Dimana Bima?” tanya Intan saat melihatku.

Aku bertukar pandang dengan Medina. Aku benar-benar tidak suka menceritakan kabar ini padanya. Pertama Niko, sekarang Bima, berapa banyak lagi orang harus bertanya padaku tentang kematian orang lain.

Medina melihat keresahanku dan memutuskan dia sendiri yang akan memberitahu Intan. Intan awalnya shock, lalu dia hanya diam tanpa berkata apa-apa. Untungnya, setelah semua kejadian tadi, aku pun belum mau membicarakan orang yang sudah tidak ada.

“Jadi, kemana kita sekarang?” tanya Ali.

Zico tidak mau menjawab, jadi Clara yang berbicara, “Kita akan kembali ke markas rahasia. Lebih aman disana.”

“Jangan terlalu cepat senang,” kata pilot Indra tiba-tiba. “Angin sedang sangat kencang. Aku takut kita harus mendarat dulu.”

Memang, cuaca yang semakin memburuk saja membuat helikopter ini kadang bergoyang dengan menyeramkan. “Jadi bagaimana?” tanyaku.

Indra diam sejenak, “Kita akan mendarat disana.” Dia menunjuk sebuah lapangan yang kosong. “Berlindung di bangunan sekitar sampai cuaca membaik.”

Itu rencana yang lebih baik daripada menunggu helikopter jatuh karena angin kencang. Yang lain juga setuju. Jadi Indra, dengan sangat hati-hati, mendaratkan helikopter di tengah-tengah lapangan.

Aku memapah Ali turun. Indra memimpin di depan sambil memegang senjata yang cukup besar, aku tidak tahu apa namanya. Zico masih diam saja.

“Bangunan itu cukup bagus.” Indra menunjuk sebuah rumah yang cukup besar.

Bunyi helikopter memancing zombie-zombie di sekitar kami. Indra dengan mudah menghabisi musuh yang berada di jalur kami, sementara Clara dan Zico berjaga-jaga di samping.

“Jangan sampai keluar dar barisan!” perintah Indra. Tidak perlu disuruh menurutku.

Pelan tapi pasti, kami berhasil mencapai rumah itu. Jendelanya ditutup kayu dan pintunya dikunci. Indra mendobraknya dengan sekali tendang. Wow, orang ini benar-benar hebat.

“Waspada. Mungkin masih ada zombie disini.”

Kami mengecek masing-masing kamar. Rumah itu aman, tidak ada tanda-tanda mayat hidup berkeliaran. Aku langsung duduk dengan lega di salah satu sofa. Ali dibawa ke kamar oleh Rere untuk mengecek lukanya.

Indra datang mendekatiku, “Kau benar-benar dalam masalah besar tadi.”

“Ya, terima kasih sudah datang. Kau hebat.”

“Kau harus berterima kasih pada temanmu disana. Dia penembak yang bagus.”

Aku melihat ke arah Zico yang duduk diam melihat keluar. Dia masih menyalahkanku atas apa yang terjadi dengan Tori.

Hujan sudah turun dengan derasnya. Medina tertidur di salah satu kamar bersama Intan dan Clara. Ali dan Rere berada di kamar yang lain. Indra pun tertidur pulas di salah satu sofa. Hanya Zico lah yang masih terjaga.


Lama-kelamaan, bunyi hujan dan rasa lelah membuatku tertidur. Itu tidur paling nyaman dalam beberapa hari ini.



Bersambung....ke part 13.