baca part sebelumnya disini.
Dan tidur yang paling nyaman itu
terganggu dengan cepat.
Indra membangunkanku dengan
menggoyang-goyangkan badanku, “Hoi bangun.”
Sepertinya nyawaku masih setengah entah
dimana. Untuk sesaat aku bahkan bingung dimana diriku. Suara hujan masih
terdengar di luar.
“Kenapa?”
“Sepertinya aku mendengar suara mobil.”
Kata-katanya butuh satu detik untuk
masuk ke otakku, tapi setelah itu aku sadar sepenuhnya karena tegang. “Maksudmu
para bandit?”
“Ssstt diam. Mulai sekarang bicara
dengan lebih pelan. Siapa para bandit yang kau bilang ini?”
Aku menceritakan tentang kejadian saat
Tori diculik. Untunglah Zico pergi entah kemana, kalau tidak dia bisa
menghajarku lagi.
“Jadi ada geng bandit lain di kota ini
yang menghabisi geng bandit yang menculik kalian?”
“Ya begitulah,” kataku. “Kami tak pernah
melihat para bandit ini, tapi sepertinya mereka lebih pintar daripada yang
menculik kami. Oh, dan lebih kejam juga.”
Indra mengagguk, “Baru kali ini aku
melihat orang yang menggunakan zombie sebagai senjata. Memang kejam, tapi
pintar.”
“Kurasa tak ada perlunya memuji musuh.
Apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika itu memang mereka, maka kemungkinan
mereka sekarang sedang menyiapkan pasukan zombie untuk membunuh kita.”
“Tenang dulu.” Indra mengintip keluar. “Aku
tidak melihat apa-apa. Hanya suara mobil, tapi bisa saja mereka hanya lewat.
Yang kita bisa lakukan sekarang hanyalah menunggu. Tak bagus jika kita
melakukan sesuatu jika tidak tahu rencana mereka. Lagipula, rumah ini bisa
menjadi tempat perlindungan yang bagus.”
Aku melihat sekeliling. Rumah ini tidak
bisa dibilang tempat perlindungan, tapi masih lebih bagus daripada di luar. “Oke,
terserah katamu saja.”
“Untuk berjaga-jaga, sebaiknya kau tidak
tidur dulu. Kita perlu beberapa orang untuk mengawasi keadaan.”
“Apa? Aku ngantuk,” keluhku. “Dimana
Zico? Biar dia saja yang jaga duluan.”
“Terakhir kulihat dia pergi ke belakang
rumah,” katanya sambil menunjuk arah yang dimaksud. “Pergi bilang dia situasi
sekarang.”
Aku dengan malas bangun dari sofa.
Setelah peregangan sebentar, aku berjalan ke bagian belakang rumah. Di situ
terletak dapur dan pintu ke halaman belakang yang sepertinya dulu untuk
mencuci. Tidak ada Zico.
Aku mengecek kamar Ali. Aku lupa Rere
sedang menjaga Ali di kamar yang sama, dan saat kubuka ternyata Ali sedang
mengecup dahi Rere. Mereka langsung terlihat malu saat melihatku.
Komentarku sebagai orang yang jarang
terlibat situasi seperti itu sangatlah bagus, “Ngg..ngg...mhh...keren.”
Keren? Aku baru saja melihat adegan
mesra dan yang kubilang malah ‘keren’? Kadang aku tidak mengerti dengan diriku
sendiri.
“Mal, ketuk dulu dong!” kata Ali dengan
muka merah. Rere juga memerah. Tapi aku yang melihatnya justru lebih malu.
“Anu, aku hanya ingin bertanya apa
kalian melihat Zico,” tanyaku.
Mereka menggeleng.
“Oke, keren. Lanjutkan apapun yang
sedang kalian lakukan tadi. Atau...jangan. Entahlah.”
Aku segera keluar dari kamar itu karena
tidak tahan dengan suasana canggung di sana. Bisa-bisanya mereka mesra di saat
seperti ini. Oh ya, aku lupa menjelaskan situasi sekarang. Tapi sudahlah, aku
bisa menjelaskan nanti. Malas ke kamar mereka lagi.
Aku menuju kamar Medina, dan belajar
dari pengalaman, aku mengetuk pintu (bukan karena kau merasa Medina sedang
mencium Clara atau apa, tapi ini kan kamar cewek dan aku harus menghargai
privasi).
“Kenapa?” Intan yang membuka pintu. Aku
menceritakan apa yang didengar Indra. Dia terlihat cemas.
“Oke, aku akan berjaga-jaga dari sini.
Kebetulan kamar ini menghadap ke depan,” katanya.
“Bagus. Ngomong-ngomong, apa kau melihat
Zico?”
Dia mengangkat bahu, “Dia tidak masuk ke
sini yang pasti.”
Aneh, dimana tuh anak. Aku baru akan
pergi lagi ke depan untuk membicarakan hal ini dengan Indra ketika tiba-tiba
pintu belakang menjeblak terbuka.
Awalnya kukira musuh, tapi ternyata itu
Zico.
“Dari mana kau?” tanyaku sedikit kesal
karena dia pergi tanpa memberitahu siapa-siapa.
Zico mengambil bungkus rokok dari
kantongnya, “Ambil ini di salah satu warung.”
“Aku tidak tahu kau merokok?”
“Sempat berhenti karena Tori menyuruhku,”
katanya. Dia lalu melewatiku begitu saja. Sejak bertemu dengannya, aku sudah
takut kami harus membahas soal Tori lagi.
“Dengar ya Zic, aku tak peduli kau masih
marah, tapi dengan adanya bandit yang berkeliaran sangat tidak bagus jika kau
pergi begitu saja. Mereka bisa menangkapmu.”
“Atau lebih parah,” kata Indra
tiba-tiba, masih mengintip jendela. “Mereka bisa mengikutimu kesini.”
Aku dan Zico sama-sama melihat ke luar
jendela. Benar saja, ada beberapa mobil van berhenti di dekat rumah kami.
Aku melihat ke Zico, “Lihat apa yang kau
lakukan?”
“Aku tak melihat apa-apa tadi,” katanya
mengelak.
“Apapun itu, ini berbahaya. Pergi
bangunkan yang lain. Aku dan Zico akan berjaga-jaga di sini.” Indra menyiapkan
senjatanya.
Kuberi Zico pandangan kesal terakhir
lalu pergi dari sana. Intan sudah keluar kamar duluan sebelum aku menggedor
pintunya.
“Apa ini yang seperti kupikirkan?”
tanyanya.
“Ya. Bangunkan Medina dan Clara.
Berkumpul di ruang depan.”
Setelah itu aku pergi ke kamar Ali. Aku
bahkan tidak mempertimbangkan untuk mengetuk pintu lagi walaupun sebelumnya
tejadi hal canggung seperti itu. Situasi sekarang sangat mendesak.
“Ali, Rere, kumpul di depan! Kita dalam
masalah!” kataku membuka pintu. Untunglah mereka hanya sedang ngobrol.
“Ada apa?” tanya Ali kaget.
“Kujelaskan di depan. Ayo. Kau bisa
jalan?”
“Sedikit. Tadi aku berlatih sebentar
dengan Rere.”
“Bagus, cepatlah kalau begitu.”
Aku kembali ke Zico dan Indra untuk
menanyakan situasi. “Bagaimana?”
“Belum ada gerakan apa-apa...” bisik
Indra. Medina dan yang lain akhirnya berkumpul bersama kami. Aku dengan suara
pelan menjelaskan keadaan yang kita hadapi sekarang.
“Bagaimana jika mereka membawa
zombie-zombie lagi untuk mengepung kita?” Medina menanyakan sesuatu yang paling
kutakutkan.
Indra yang menjawab. “Kita bisa melewati
ini jika kita tenang. Kalian semua kan sudah berpengalaman melawan zombie. Jika
mendesak, kita bisa gunakan ini untuk kabur.” Dia mengeluarkan granat.
“Kau yakin itu ide bagus?” Aku pernah
melempar granat sekali dan aku tidak suka dengan peledak itu.
“Ya, kita gunakan waktu sesaat dimana
mereka kebingungan. Tapi ini rencana darurat. Kalau memang keadaan mendukung,
kita bisa saja kabur dari pintu belakang. Yang harus kita lakukan sekarang
adalah melawan zombie yang mereka siapkan. Kita susun rencana setelah itu.”
Menyusun rencana sambil bertarung
bukanlah gayaku, tapi Indra adalah tentara dan dia lebih berpengalaman
daripadaku. Aku berharap banyak padanya. Sekarang aku harus menyiapkan diri
melawan manusia-manusia mati sebanyak mungkin.
Tapi satu suara membuatku tersadar kalau
kami tak akan melawan manusia mati.
Guk!!
Kami semua saling berpandangan dengan
ngeri.
“Apa tadi suara anjing?” tanya Ali.
Medina terlihat pucat. “Apa....masa
sih...”
“Anjing zombie,” kataku menyuarakan ketakutannya.
“Ya ampun...”
Ekspresi Indra kini berubah. Dia jelas
belum pernah berperang dengan anjing sebelumnya. “Jadi karena itu mereka
membutuhkan waktu untuk menyerang kita. Mereka membuat pasukan anjing zombie.”
Kami pernah melawan hewan yang berubah
menjadi zombie. Hewan itu adalah kucing, dan itu hampir membuat Zico menjadi
zombie. Entah bagaimana jika harus menghadapi anjing yang lebih ganas.
“Yah, tapi paling tidak mereka harus
mendobrak masuk kesini sebelum bisa memasukkan anjing. Ya kan?” kata Ali.
Sesaat setelah itu, kaca jendela
tiba-tiba pecah. Bandit-bandit sialan itu melempar batu besar ke jendela kami
sehingga menimbulkan lubang cukup besar yang bisa dimasuki anjing.
“Sialan. Semuanya cepat masuk ke kamar!!”
teriak Indra.
Kami tak sempat bergerak terlalu jauh.
Seekor anjing dilempar masuk ke dalam rumah kami melalui jendela diikuti dua
ekor lainnya. Mereka awalnya tak bergerak, tapi beberapa saat kemudian mereka
bangun lagi dengan mata merah. Air liur menetes-netes dari taring mereka.
Anjing-anjing itu melihat kami dan
mengejar dengan sangat cepat. Kami tidak berhasil mencapai kamar dan terpaksa
pergi berpencar untuk menghindari serangan itu.
Indra berhasil memukul salah satu dari
mereka dengan senjata besar yang dipegangnya, tapi dia tak membunuhnya.
Sementara itu, aku dan Zico terpaksa kabur ke dapur karena seekor anjing
memilih mengejar kami.
Anjing itu melompat ke arahku. Aku
melompat ke samping dan dia menabrak dinding dapur. Zico mencoba menyerangnya,
tapi reaksi anjing itu sangat cepat. Dia sepertinya merasa kesakitan dan
langsung melompat ke Zico.
Zico tak bisa menghindar. Tangannya
tergigit dengan telak.
“AAAKHHH!!” teriak Zico. Anjing itu
tidak melepaskan gigitannya. Dia justru makin menanamkan giginya ke lengan
Zico.
Bagusnya, itu membuatnya tidak bergerak
kemana-mana. Aku mengambil pisau dapur yang terletak di dekat situ dan langsung
menghujamnya ke kepala si anjing.
Gigitan itu akhirnya terlepas. Zico
jatuh ke bawah menahan sakit, darah bercucuran dengan keras.
“Tunggu disini! Aku akan memanggil Rere!”
kataku padanya. Aku keluar dapur untuk melihat keadaan.
Satu anjing sudah tergeletak mati,
sementara satu lagi sedang mencoba menyerang Medina dan Clara yang kini
bersembunyi di dalam lemari.
“Kemal, tolong!!” teriak Medina dari
dalam.
Aku mencoba mengalihkan perhatian anjing
itu, “Hei!! Anjing sialan, kesini!!”
Berhasil. Atau harus kubilang, sialnya
berhasil. Anjing itu kini berbalik mengejarku. Aku memegang erat pisauku dengan
takut. Aku tahu aku tak akan bisa menusuk anjing itu dengan tepat jika dia
berlari ke arahku dengan kecepatan seperti itu.
Untungnya aku tak perlu menghadapinya
secara langsung. Indra keluar dari salah satu kamar dan berhasil menembak
anjing itu dengan akurat. Tiga peluru di tubuh cukup membuat hewan itu tak
bergerak lagi.
“Bagaimana dengan anjing yang lain?”
tanya Indra.
“Sudah mati semua. Dimana Rere? Zico
tergigit dan perlu bantuannya!”
Indra terkejut. Dia memanggil Rere dari
kamar tempat dia keluar tadi. Ali dan Intan juga ada di sana.
Aku memberitahu kondisi Zico pada Rere.
Dia langsung berlari ke dapur untuk coba melakukan apa yang dia bisa.
“Yang lain tidak apa-apa?” tanyaku pada
Indra.
“Nyaris, tapi kurasa semua selamat. Mana
Clara dan teman cewekmu itu?”
Aku menunjuk ke arah lemari tempat
mereka bersembunyi. Sepertinya mereka masih belum berani keluar.
“Mungkin lebih baik mereka disana dulu
sampai kita bisa menyusun rencana,” ujar Indra. “Kita berharap saja mereka
tidak punya anjing zombie lagi.”
“Mereka punya.”
Aku dan Indra dikagetkan oleh seseorang
yang tiba-tiba masuk melalui jendela. Itu Farandi.
Indra langsung mengangkat senjatanya, “Siapa
kau? Apa yang kau mau?”
“Tunggu,” kataku menahannya. “Aku kenal
dia. Apa kau bersama mereka sekarang?”
“Aku ingin memperingatkan kalian,”
katanya tenang. Dia mengeluarkan pistolnya. Itu membuat Indra makin siaga.
“Kalau kau melukaiku, banyak lagi anjing
yang akan dilepaskan kesini. Kalian tidak akan selamat.”
Indra kini ragu. “Kutanya sekali lagi,
apa yang kau mau?”
“Bosku ingin kalian menyerah dan
bergabung dengan kami. Mereka membutuhkan orang untuk menyerang kelompok lain
dan kalian sepertinya cocok.”
“Bos? Kau benar-benar bergabung dengan
mereka ya?” tanyaku sinis. “Padahal mereka sudah membunuh semua temanmu.”
“Aku tidak punya teman. Dan ya, aku
bergabung dengan mereka untuk bertahan hidup. Mereka sudah menguasai kota ini
tahu. Di masa seperti ini, hanya beberapa orang yang bisa terus hidup dan kami
menawari kalian kesempatan itu.”
“Lalu apa yang akan kalian lakukan jika
kami bergabung?” Indra masih siaga dengan pistolnya.
“Kalian harus membantu kami merebut kota
lain dari para bandit. Kita perlu sebanyak mungkin apapun yang bisa membantu
kita selamat. Kita tak bisa berbagi dengan orang lain,” jawab Farandi.
“Kau mau kami membantu kalian membunuh
banyak orang? Tidak, terima kasih,” kata Indra. Farandi terlihat marah karena
dilecehkan seperti itu.
Aku tak bisa seyakin Indra. Sekarang
kami berada dalam situasi sangat terpojok. Kata-kata menantang seperti yang dia
lakukan mungkin tidak terlalu membantu sekarang.
“Kemal, keadaan Zico gawat...” Rere
datang dari dapur. Dia berhenti ketika melihat Farandi. “Lho, kenapa kau ada
disini?”
“Zico kenapa?” Aku menyelanya.
“Lukanya terlalu dalam. Perlu dijahit,”
kata Rere.
“Sepertinya kalian dalam masalah.
Pertimbangkan lagi soal tawaran itu,” Farandi berkata lagi. “Dan Rere, aku
ingin bertanya sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kak Niko?”
Kami berdua mematung. “A...apa maksudmu?”
“Aku ingin tahu bagaimana dia meninggal.”
Farandi mengangkat pistolnya ke arah kami. “Dan jangan berbohong padaku. Aku
merasa kalian menyembunyikan sesuatu saat aku bertanya soal ini di atap.”
“Turunkan senjatamu!!” bentak Indra.
“Kau yang turunkan senjata! Tembak aku
dan bersiaplah menghadapi banyak anjing zombie!” balasnya.
Aku saat itu bisa melihat keadaan
Farandi yang sebenarnya. Badannya gemetar dan penuh keringat. Dia berlagak
berani, tapi aku tahu dia lelah dan takut dengan semua ini. Dia melakukan ini
demi mengetahui kebenaran tentang kakaknya Aku tak tega berbohong lagi.
“Akan kukatakan yang sejujurnya,”
kataku. “Aku membunuh kakakmu.”
Farandi sangat terkejut. Dia berkata
terbata-bata,”Kau...kenapa?”
“Karena dia mencoba membunuh kami juga.
Banyak yang terjadi, tapi dia jadi dendam terhadap kami. Jika aku tak
membunuhnya, dialah yang akan membunuhku.”
Farandi terdiam.
“Dengar, aku menyesal semua itu terjadi.
Tolong maafkan aku.”
Farandi melihatku. Air mata menggenang
di matanya. Dia mengarahkan pistolnya ke arahku sambil gemetar.
“Jatuhkan pistol itu!” Ancam Indra lagi.
Kali ini Farandi tidak menjawab. Dia terus melihatku dengan marah.
Aku melihat Medina keluar dari lemari
dengan pelan. Farandi tidak menyadarinya. Hatiku berdegup keras. Tapi inilah kesempatan
terbaikku. Aku harus tetap mengalihkan perhatiannya.
“Far, kau harus tenang..” kataku
berpura-pura membujuk.
“Tenang??” Suaranya bergetar dalam
amarah. “Bagaimana mungkin aku tenang?”
Medina mengambil asbak di meja. Farandi
belum sadar.
“Tak ada untungnya kau membunuhku,”
kataku. “Mungkin aku memang salah saat itu, tapi aku melakukannya untuk
bertahan hidup.”
Farandi kini ragu. Dia sepertinya
memikirkan kata-kataku. Kesempatan. Medina mendekat dari belakang.
Kaki Medina secara tak sengaja
menghantam meja. Suara itu membuat Farandi kaget dan secara refleks menembak ke
belakangnya.
Medina tak bergerak. Perutnya
mengeluarkan darah. Dia sempat melihatku sebelum akhirnya ambruk ke lantai.
Ketakutan menjalar di jantungku
melihatnya terbaring di lantai.
Bersambung....ke part 14.
0 komentar:
Posting Komentar