Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Seorang Mayat Berteriak Melihatku (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 7)



baca part sebelumnya disini.

“Bagaimana ini?” bisik Medina, panik.

Mereka semakin dekat, dan aku tak tahu harus melakukan apa lagi, “Jangan dibunuh ya.”

Kami meloncat dari tempat persembunyian. Saat mereka kaget dengan kemunculan tiba-tiba itu, aku menembak kaki salah satu dari mereka sementara Medina melakukan hal yang sama terhadap temannya.

“AAHHH!!” Mereka berdua jatuh sambil mengucapkan semua nama binatang yang mereka tahu dengan keras.

“Oke, sekarang.” Kami secepatnya berlari ke ruang generator.

Ruangan itu terletak di pojok tempat parkir. Untungnya tidak ada zombie disitu sehingga kami dapat menyalakannya tanpa gangguan. Ruangan parkir itu menjadi terang.

Medina mengambil tali yang disangkut di ruangan itu, “Buat ikat para bandit.”

Aku mengangkat bahu tanda tidak keberatan. “Ayo kita kembali ke atas.”

Bandit-bandit itu masih menyumpah-nyumpah saat kami kembali.

“Kubunuh kalian!! Awas saja nanti!”

“Hei diam, kalau tidak kutembak lagi kakimu.” Aku mengeraskan suaraku agar tidak terlihat takut. Kuikat tangan mereka dengan paksa. Dengan begini, kami akan aman. Atau begitulah yang kukira.

“Kenapa kalian? Kenapa tiba-tiba terang?”

Terdengar suara seseorang dari luar tempat parkir. Ternyata masih ada teman mereka.

“Disini!! Ada orang selain kita!! Bunuh mereka!!” teriak salah satu bandit. Aku menendang badan mereka karena kesal.

“Diam, dasar sialan!!”

“Kem, kita harus cepat ke atas,” kata Medina yang terlihat cemas dengan situasi ini.

Aku mengikuti dia lari ke atas. Di bawah, bandit yang kuikat berteriak-teriak marah menunjukkan kemana kami kabur. Pintu bawah yang dibanting terbuka menandakan bahwa temannya ini sudah mulai mengejar.
Aku menghentikan Medina, “Tunggu.”

“Apa?”

“Dia cuma sendiri. Kita berdua bisa mengatasinya.”

Aku sudah mau menghadapinya ketika bandit itu mengeluarkan sesuatu yang membuat keberanianku lenyap. AK-47 yang bisa menembakkan peluru jauh lebih cepat daripada handgun yang kupegang, dan sebuah bom molotov.

“Ya ampun, lari!!”

Ketika melihat kami, dia menembak membabi buta. Aku dan Medina harus merunduk untuk menghindari terjangan peluru.

Aku membalas tembakannya ketika dia berhenti. Kakinya terpeleset di anak tangga saat mencoba menghindar. Kami mengambil kesempatan itu untuk lari.

“Kita harus berpencar,” saranku.

“Apa? Tidak.”

“Dengar dulu, kau lari aja ke tempat Rere, lindungi dia disana. Aku akan mengalihkan perhatiannya supaya mengejarku ke lantai yang lain.”

Aku berhenti di pintu lantai dua, “Kau terus aja naik.”

“Tapi...ini berbahaya.”

“Tak ada waktu untuk berdebat. Aku bakal baik-baik aja. Cepat!”

Medina memberiku tatapan cemas terakhir sebelum melanjutkan pelarian ke atas. Aku sendiri menunggu waktu yang tepat sampai bandit itu bisa melihatku lari ke lantai dua.

“Hei, jangan kabur!!” Saat aku mendengar itu, aku langsung kabur. Sesuai rencana, dia mengikutiku ke lantai dua. Bandit ini sepertinya terlalu bodoh untuk menyadari kalau Medina sudah tidak bersamaku.

Aku lari sedikit lalu berbalik menunggu. Ketika dia hendak masuk, aku menembakkan pistolku. Tapi bandit itu bereaksi cepat dan berlindung. Sebagai balasannya, dia melempar bom molotov ke arahku.

“Sialaan!!!” Aku melompat mencoba menghindar. Bom itu jatuh di dekatku dan dengan cepat membakar sebagian tempat.

Tidak cukup sampai disitu, dia mengeluarkan pistolnya lagi. Aku dengan panik kembali lari. Untungnya, asap dari api membuatnya sulit melihatku. Aku berbelok dan masuk ke salah satu kamar, berharap dia kehilanganku.

Aku menahan nafas. Suara langkah kaki melewati pintu itu. Bagus, dia tidak melihatku masuk kesini.

Pada saat aku bisa menarik nafas lega, barulah aku sadar kamar yang kumasuki. Kamar mayat.

Kamar itu dipenuhi rak-rak besar di dindingnya. Setauku disanalah mereka menyimpan mayat agar tidak membusuk. Satu mayat yang ditutupi selimut seluruhnya terbaring di tempat tidur. Pantas saja kamar ini bau.

Aku belum bisa keluar, paling tidak sampai yakin bandit itu pergi. Yah, lihat sisi positifnya, paling tidak mayat di kamar ini tidak bergerak dan memakan orang.

Tiba-tiba saja selimut tempat mayat itu berbaring terangkat. Mayat itu bangun.

“AAHHH!!”  Aku berteriak kaget dan menyiapkan senjata.

“WAAAA!!” Mayat itu balas berteriak.

Eh, balas berteriak?

“Zico!!” Aku tak percaya apa yang kulihat. Satpam yang selama ini kami cari itu ternyata tidur di kamar mayat. Kulihat Zico sama kagetnya.

“Kemal, kenapa kau disini?”

“Kau sendiri? Kenapa di kamar mayat?”

Jawaban Zico tertunda karena bandit itu sepertinya mendengar suara teriakanku. Dia mencoba mendobrak pintu yang kukunci.

“Ada apa ini?” tanya Zico heran.

“Bandit. Bantu aku membereskannya.”

Pintu terdobrak terbuka dan bandit itu masuk.

“Sekarang!!”

Aku dan Zico mendorong tempat tidur beroda yang tadi ditiduri Zico ke arah bandit itu. Dia tak sempat menghindar. Ranjang itu menabraknya dengan keras. Senjata yang dia pegang terlempar dari tangannya.
Zico mengambil senjata itu. “Kita bunuh aja nih?”

“Jangan!” kataku, “Aku tak mau membunuh orang. Kunci saja dia di kamar mayat.”

Zico melempar bandit itu dengan paksa ke kamar mayat lalu mengunci pintunya. “Hilang deh tempat berlindungku.”

“Tempat berlindung? Kau selama ini berlindung di kamar mayat?”

“Hei, tempat itu adalah tempat yang sangat aman. Tak ada yang memeriksanya. Kau hany perlu tahan pada baunya. Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini?”

“Akan kujelaskan sambil jalan. Kita lebih baik ke lantai empat sekarang.”

Aku menceritakan semuanya, dari kejadian kebakaran di gedung tempat persembunyian, sampai saat Ali tertembak.

“Karena itu kami ke rumah sakit. Sekarang Rere sedang mencoba mengeluarkan peluru dari kakinya,” kataku menyelesaikan.

“Tunggu, kapan kau bertemu Rere?”

Aku lupa belum memberitahu hal penting itu, “Kami bertemu Rere di dekat kampus. Dia bersama Tori.”

Zico berhenti. “Apa?”

“Dia bersama Tori.”

“Kalian bertemu Tori??” Ekspresi Zico berubah menjadi campuran antara kaget dan senang.

“Ya. Dia bertemu Rere saat mencarimu.”

“Dimana dia sekarang? Di lantai empat?” Zico sudah sumringah.

“Dia tidak ikut kesini,” kataku ragu. “Aku menyuruhnya tetap di dekat kampus jika tiba-tiba kau muncul.”
“KAU MENINGGALKANNYA SENDIRIAN??”

Aku terkaget dengan suara Zico yang tiba-tiba meninggi.

“Kenapa kau meninggalkannya? Apa kau tidak sadar bahaya diluar sana?” bentak Zico.

“Kami tidak membawanya karena tidak enak dan supaya ada orang ketika kau muncul di kampus,” kataku beralasan. “Aku kan tidak tahu kau disini.”

Zico memegang kepalanya dengan frustasi. “Aku akan kesana.”

“Apa? Tunggu dulu!”

“Apa lagi? Aku kan kesini memang untuk mencari dia,” kaya Zico.

“Aku tahu. Paling tidak, kau harus ketemu dulu dengan yang lain di lantai empat. Mereka juga khawatir dengan keadaanmu tahu.”

Zico mendesah, “Oke oke.”

Kami berjalan ke ruang operasi dalam diam. Medina terlihat duduk sambil memegang pistol. Dia senang melihatku dan terkejut ketika melihat Zico ada bersamaku.

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Kemal?”

Aku yang menjawab, “Dia tidur di kamar mayat?”

“Apa?”

“Aku sudah sampai di kampus sekitar tiga hari yang lalu,” kata Zico. “Tapi aku tak menemukan siapapun disana, dan dengan adanya bandit dimana-mana, aku terus kabur. Sebenarnya tidur di kamar mayat cukup nyaman.”

Baru kali ini aku mendengar seseorang bilang kalau dia nyaman tidur di kamar mayat. “Bagaimana Ali?” tanyaku.

Medina menjawab dengan gelengan, “Rere tidak membiarkanku masuk. Katanya bisa mengganggu konsentrasi.”

Saat itulah Rere keluar. Dia terlihat sangat capek, tapi tersenyum senang. “Tenang saja, Ali bakal baik-baik saja....lho Zico??”

Zico dengan lelah menjelaskan lagi bagaimana dia bisa ketemu denganku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami berlima bersama lagi.

“Ali akan sadar tidak lama lagi. Tapi mungkin dia tidak akan bisa berjalan untuk beberapa saat,” jawab Rere ketika kutanya lagi kondisi Ali.

“Yah, bisa saja lebih buruk kan?” kataku mencoba optimis.

“Bagus. Bisa kita pergi sekarang? Aku khawatir dengan Tori,” potong Zico. Dia masih terlihat sedikit kesal.

“Tidak bisa,” sahut Rere ragu, “Ali masih harus beristirahat. Lebih baik dia tetap disini untuk sementara.”

“Tidak masalah. Aku pergi saja sendiri kesana. Beritahu saja dimana kalian meninggalkannya.”

Ada nada sarkastis pada kata-kata Zico dan hal itu membuatku merasa bersalah. “Oke oke, akan kuantar kau kesana.”

“Sebentar.” Giliran Medina yang protes, “Masa kalian mau pergi begitu saja? Bagaimana kalau ada bandit kesini lagi.”

“Kami hanya akan pergi kesana, menjemput Tori, lalu kembali kesini lagi. Tidak akan lama kok.”

“Ayo cepat Kem!” Zico sudah mulai berjalan ke arah tangga darurat. Aku mengejarnya.

“Santai aja kali Zic. Kami baru meninggalkannya sebentar, memangnya apa yang bakal terjadi?”

Terdengar suara mobil diluar. Aku dan Zico bergegas melihat melalui jendela. Ada satu mobil pickup terbuka baru saja lewat. Di belakangnya terlihat beberapa bandit lagi sambil membawa senjata berat.

Tunggu, mereka sepertinya membawa sandera. Ada seorang wanita berjalan dengan tangan terikat. Itu......Tori. Zico melihatku dengan tatapan ingin membunuh.



Bersambung......ke part 8.

Kami Bertemu Orang Yang Mengejutkan (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 6)



Baca part sebelumnya disini.

Aku keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan. Medina tadinya ikut tapi aku meyakinkannya untuk menjaga Ali yang sedang terbaring lemah di kursi belakang.

“Hati-hati,” kata Medina.

Aku berjalan dengan hati-hati ke dekat kampus. Banyak sekali zombie, aku tidak mungkin menerobos masuk. Tadinya aku berniat paling tidak mengecek ke kelas tempat kami tinggal dulu, tapi kurasa bahkan Zico pun tidak bisa masuk kesana.

“Bagaimana?” Medina bertanya ketika aku kembali ke mobil.

“Kurasa Zico dan Rere tidak ada disana. Terlalu banyak zombie. Mungkin kita harus mencari mereka di sekitar sini.”

“Tapi....” Medina melihat cemas ke arah Ali. Aku tahu yang dia maksud, pendarahan Ali sudah terlalu parah. Ini bisa berbahaya.

“Kita cari tempat istirahat dulu di salah satu rumah. Sebisa mungkin kita harus menghentikan pendarahannya.”

Aku baru saja mau masuk ke mobil ketika kudengar seseorang memanggilku.

“Kemal!”

Secara refleks, aku bersembunyi. Lalu aku tersadar kalau orang itu tahu namaku. Dan suara itu, aku kenal suara itu. Ekspresi senang Medina membenarkan dugaanku.

“Rere!”

Rere dari kejauhan melambai-lambai dengan sangat girang. Seseorang bersama dia, tapi anehnya itu bukan Zico. Jutru yang bersamanya adalah seorang wanita yang sepertinya sedikit lebih tua dibandingkan aku.

Medina dan Rere berpelukan. Aku kadang heran kenapa kalau cewek berpelukan ketika jumpa dianggap biasa, tapi kalau sesama cowok berpelukan ketika mereka bertemu akan dianggap gay.

“Aku sangat senang melihat kalian! Aku terpisah dengan Ali, lalu kemudian harus terpisah juga dengan Zico. Beberapa hari ini sangat sulit.”

“Kami tahu kau terpisah dengan Ali,” kata Medina, menunjuk ke arah mobil.

“Ali bersama kalian?” Untuk sesaat, Rere tampak sangat senang. Tapi mukanya berubah ngeri ketika melihat keadaan Ali di mobil.

“Ya ampun, kenapa dia?”

Aku menceritakan semua kejadian yang kami alami sejak bertemu aku dan Medina bertemu Ali.

“Bandit sialan,” kata Rere setelah aku selesai, “Mereka selalu membuat masalah. Kami semua terpisah karena mereka.”

“Ya tentang itu, dimana Zico?” tanyaku.

Rere mendesah, “Kami melarikan diri dengan susah payah dari serangan bandit yang membuat kami terpisah dengan Ali. Aku sempat ingin menunggu Ali, tapi Zico menyarankan agar kami tetap pergi dan menunggu Ali di kampus. Walaupun aku kurang setuju, tapi itu pilihan terbaik yang kami punya saat itu.”

“Di kota tempat kalian mendapat masalah itu, aku terpisah dengan Zico. Karena banyaknya bandit, Zico menyuruhku pergi diam-diam dari kota sementara dia mengalihkan perhatian bandit,” lanjutnya. “Sekali lagi, aku tidak setuju. Tapi Zico meyakinkanku kalau dia tidak akan apa-apa dan menyusul dengan cepat. Aku belum melihatnya lagi sejak itu.”

Hening sejenak sebelum Rere melanjutkan ceritanya.

“Setelah itu, aku pergi ke kampus dan menemukan tempat itu sudah dipenuhi zombie. Karena tak tahu bagaimana, aku masuk ke salah satu rumah untuk berlindung. Dan ternyata di dalamnya sudah ada....dia.”
Rere menunjuk wanita yang dari tadi hanya diam saja. Aku mengajak berkenalan.

“Hai, aku Kemal. Siapa namamu?”

“Aku...Tori.”

Tunggu, rasanya aku kenal nama itu.

“Tori?” Medina ternyata juga sama herannya, “Tori yang dicari Zico?”

Oh ya, aku baru teringat lagi kalau selama ini yang Zico cari adalah wanita bernama Tori. Sekarang orangnya sendiri berdiri di depanku. Saking kagetnya dengan situasi aneh sekarang, aku hanya terdiam seperti orang bodoh untuk beberapa saat.

“Kukira Zico sudah mati karena saat aku kesini, kampus tempat dia bekerja sudah dipenuhi. Lalu Rere memberiku harapan, dia pasti masih selamat,” katanya malu-malu.

“Memang, tapi kita tidak tahu dia dimana sekarang.” Tori menunduk mendengar jawabanku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh ketika melihat Tori. Mungkin itu sedikit rasa marah. Wanita ini membuat kami berpisah, padahal tadinya semuanya seakan sudah selesai. Tapi aku juga mengerti betul kalau aku tak punya hak untuk marah-marah padanya, yang dia lakukan hanya mencari kekasihnya.

Rere menyelaku, “Kita harus menolong Ali. Sisanya kita pikirkan nanti.”

Benar, aku sempat lupa dengan Ali, “Bagaimana? Apa kau bisa mengobatinya?”

Rere masuk ke mobil untuk memeriksa luka Ali lebih teliti. Muka pucatnya sudah memberikan pesan kalau luka itu tidak akan sembuh dengan mudah.

“Ini tidak bagus. Pelurunya harus dikeluarkan, kalau tidak bisa berbahaya. Kita harus melakukan operasi.”

“Operasi?” aku kaget, “Apa memang harus sampai seperti itu?”

Rere mengangguk, “Lukanya sudah sangat berbahaya dan dia kehilangan banyak darah. Peluru di kakinya bisa menyebabkan infeksi. Tak ada pilihan lain, kita harus secepatnya melakukan operasi.”

“Tapi dimana kita melakukannya?” tanya Medina. “Operasi kan butuh banyak alat dan obat.”

“Jangan bilang kau mau melakukannya di mobil?” tebakku.

“Ya tidaklah.” Rere berkata marah, “Mana mungkin kulakukan disini. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”

“Rumah sakit?”

“Ya, tempat aku bekerja dulu.”

Kata-kata Rere mengingatkanku akan kejadian saat kami berupaya membawa kakak Medina, Frank, ke rumah sakit itu. Saat itulah kami bertemu Rere dan Niko. Saat itu juga kami kehilangan Frank. Kurasa Medina berpikiran sama karena dia terlihat sedikit sedih.

“Tapi katamu rumah sakit itu sudah kosong? Apa kau yakin masih ada peralatan yang kita butuhkan disana?” tanyaku.

“Ya, saat evakuasi, kami pergi dengan terburu-buru dan meninggalkan banyak obat dan peralatan. Tapi...”

“Tapi?”

“Saat aku pergi, sudah mulai banyak zombie yang masuk kesana. Aku tidak tahu berapa banyak yang harus kita lawan.”

Aku sekarang jadi ragu. Hanya saja, keadaan Ali membuat kami tidak memiliki pilihan lain. Lagipula, kami sudah berpengalaman melawan banyak zombie.

“Baiklah,” kataku memutuskan, “Kita bertiga akan membawa Ali kesana.”

“Bertiga?” Tori bertanya heran, “Bagaimana denganku?”

“Kau tidak perlu ikut bersama kami. Sejak awal ini kan masalah kami.” Rere menjelaskan.

“Tidak tidak. Kalian teman Zico, jadi aku harus membantu kalian.”

Rere melihatku, meminta agar aku yang memberi keputusan. Tambahan bantuan satu orang sangat menggoda, tapi jika terjadi apa-apa padanya, Zico akan membunuhku.

“Aku tidak tahu. Ini akan sangat berbahaya. Lebih baik kau menunggu disini, siapa tahu Zico datang sementara kami pergi.”

“Tapi...”

“Tidak. Itu keputusanku.”

Tori mengerang kesal, tapi tidak protes lagi. Aku tidak yakin alasanku tidak membawanya pergi memang yang seperti kubilang atau hanya karena aku masih sedikit kesal dengannya. Kami semua lalu naik mobil dan pergi ke rumah sakit. Tori melihat kami pergi menjauh.

“Kau yakin tidak apa-apa meninggalkannya sendirian? Dia banyak membantuku saat kalian tidak ada lho,” kata Rere.

“Kalau begitu dia pasti bisa menjaga diri sendiri,” jawabku selagi menyetir. “Aku tidak enak meminta dia melakukan hal berbahaya seperti ini padahal kita baru kenal.”

Rere tidak menjawab lagi. Sekarang dia lebih khawatir dengan keadaan Ali yang belum sadar juga.

Aku menyetir mobil melalui jalan memutar karena seingatku jalan utama dipenuhi zombie terakhir kali kami kesana. Rumah sakit itu sudah terlihat. Untungnya tidak terlalu banyak zombie yang berkeliaran di sekitarnya, masih dalam jumlah yang bisa kami atasi.

“Oke, pegangan ya.” Aku hendak menerobos pagar depan dengan mobil, tapi Rere menghentikanku.

“Jangan! Kita lewan pintu belakang saja. Disana ada tempat parkir untuk karyawan. Aku takut keadaan Ali akan memburuk jika terlalu banyak guncangan.”

Aku menuruti saran Rere dan menuju ke belakang rumah sakit. Disana memang tidak ada pagar, tapi ada palang parkir. Kami tidak mungkin menerobosnya tanpa guncangan.

“Terpaksa kita jalan dari sini. Medina, kau jalan di depan, bunuh zombie yang mendekat. Aku dan Rere akan menggotong Ali,” kataku.

Kami segera keluar dari mobil. Aku dan Rere menopang Ali dengan sangat sulit karena Ali pingsan. Sementara itu Medina menghajar satu zombie dengan parang yang dia bawa.

Jalan masuk ke rumah sakit harus melalui tempat parkir yang letaknya di bawah tanah. Tempat itu cukup gelap dan membuat kami harus ekstra hati-hati.

Suara erangan memudahkan Medina mengetahui ada zombie yang akan menyerang. Dia menusuk kepala zombie itu. Rere terkejut.

“Aku kenal dia. Sial, ternyata memang ada yang tidak selamat di rumah sakit ini.”

“Berarti mungkin masih akan ada lagi di dalam,” kataku putus asa.

Rere menunjuk sebuah lift, “Biasanya kami naik pakai lift itu.” Medina mencoba menekan tombolnya. Tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Aku yakin listrik sudah mati sejak lama.

“Kita harus naik tangga,” ucapku.

Menaiki tangga darurat sambil membawa Ali jauh lebih merepotkan dengan hanya menggotongnya. Bahkan Medina sampai harus turun tangan menjaga agar Ali tidak mengalami banyak guncangan sementara kami terus naik ke lantai empat, tempat ruangan operasi. Kami beruntung tidak menemukan zombie disana karena kalau kami diserang, itu akan sangat berbahaya.

Medina membuka pintu ke lantai empat. Lorong lantai empat sangat berantakan dengan kasur beroda jatuh dimana-mana. Kami mengambil salah satu kasur dan menaruh Ali disana untuk memudahkan membawanya ke ruang operasi.

“Itu ruang operasinya.” Rere mendorong kasur dengan cepat, sampai dia tidak memperhatikan sekilas ada bayangan di ruang itu.

“Tunggu!” Aku mengentikannya, “Sepertinya ada zombie di dalam. Biar aku urus.”

Aku mengendap-endap ke ruang itu. Kubuka pelan pintunya. Benar saja, di dalam ada seorang dokter dengan pakaian operasi dan memakai masker, tapi tak ada tanda kehidupan di matanya.

Zombie dokter itu melihatku. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa, aku menerjang duluan ke arahnya dan menghantam kepalanya. Pada serangan pertama, dia masih belum mati. Aku menusukkan pisauku makin dalam. Akhirnya zombie itu jatuh ke lantai.

Aku memberi tanda aman pada mereka diluar. Rere kembali kaget ketika masuk ke dalam dan melihat zombie yang baru kukalahkan.

“Kau kenal dia?”

“Ya, itu dokter Bryan. Sayang sekali, padahal dia orang yang baik.”

Kami memindahkan Ali ke meja operasi. Tapi ada satu masalah, ruangan ini terlalu gelap.

“Aku..aku tak bisa melakukan operasi dengan keadaan begini. Kalian pergilah menyalakan generator, kalau tidak salah ada di dekat tempat parkir.”

Aku sebenarnya malas ke bawah lagi, tapi apa boleh buat. Aku mengangguk dan mengajak Medina keluar. Kami bergegas ke tangga darurat lagi lalu turun ke bawah.

Sesuatu menghentikanku untuk langsung keluar ke tempat parkir. Aku menyuruh Medina untuk diam.

“Kenapa? Zombie?” bisiknya bertanya.

Aku tidak perlu menjelaskan karena saat itu terdengar suara orang-orang disana.

“Tidak ada gunanya kita kesini,” kata salah seorang dari mereka.

“Bos menyuruh kita untuk mencari obat yang tersisa. Jangan mengeluh terus.”

Mereka berhenti di depan lift, membuatku bisa melihat mereka dengan jelas. Keduanya seperti preman dengan tato di tangan mereka. Belum lagi senjata ukuran besar yang mereka pegang. Aku cukup yakin mereka bandit.

“Sial! Liftnya mati!!”

“Tentu saja bodoh!” kata yang mukanya kelihatan lebih pintar, “Kita naik lewat tangga darurat.”


Oh tidak, sekarang mereka menuju ke kami.





Bersambung.......ke part 7.

Top 7 Youtubers

Sejak setahun yang lalu, aku kecanduan sama Youtube. Ya, bukannya kecanduan narkoba atau rokok, aku malah kecanduan sama situs yang banyak menampilkan video tentang kucing. Tapi apa kau tahu kalau para youtubers kadang-kadang membuat video yang jauh lebih kreatif daripada yang pernah kulihat di TV. Inilah yang membuatku tak pernah absen membuka Youtube. Berikut adalah top 7 Youtubers favoritku yang selalu kutunggu video-video barunya :

1. Smosh

Smosh adalah youtubers pertama yang aku tahu dan alasan kenapa aku jadi mulai sering menjelajah Youtube. Pertama kali aku cuma iseng ngeliat video-video tentang Pokemon sampai gak sengaja ngebuka video Smosh yang berjudul 'Pokemon in Real Life', dan aku suka banget. Sejak saat itu aku terus ngikutin Smosh yang update videonya tiap minggu. Smosh sendiri membuat video tentang sketsa komedi dan kadang membuat musik.


2. Pewdiepie

Pewdiepie adalah youtubers dengan subscriber terbanyak di Youtube. Dia membuat video tentang Lets Play dan komentator game. Pewdiepie menjadi terkenal karena dia sangat lucu ketika bermain game, entah melalui komentarnya atau reaksinya. Nama penggemarnya adalah Bro Army, itu karena Pewdiepie selalu memanggil orang yang menonton videonya sebagai Bro, entah dia cowok ataupun cewek. Aku secara pribadi sangat menyukai videonya ketika sedang bermain Happy Wheels.


3. Epic Rap Battle of History


Menurutku Epic Rap Battle oh History adalah youtubers dengan konsep paling original. Mereka membuat video tentang tokoh-tokoh dunia, kebanyakan tokoh sejarah, untuk bertanding rap. Epic Rap Battle of History awalnya dibuat oleh youtubers bernama Nicepeter di channelnya dengan bantuan Epiclloyd berjudul 'John Lennon vs Bill O'Reilly' yang kemudian menjadi sangat populer. Video-video selanjutnya pun mendapat feedback positif sehingga mereka memutuskan membuat channel Epic Rap Battle of History.


4. Jacksfilms

Aku pertama kali tahu Jacksfilms dari video 'Your Grammar Sucks 50' dimana ada Smosh, Pewdiepie dan banyak youtubers lain menjadi bintang tamu. Jacksfilms adalah channel yang dijalankan oleh Jack Douglas. Your Grammar Sucks intinya mengejek komen-komen dengan grammar hancur di Youtube dan media sosial lain. Selain itu, Jacksfilms juga mengepost video bernama PMS atau Parody, Music dan Sketch, yang dilakukan secara bergantian.


5. Nigahiga

Nigahiga, nama aslinya Ryan Higa, awalnya banyak melakukan vlog atau video blog, tapi lama kelamaan dia makin sering melakukan sketsa komedi. Yang kusuka dari nigahiga adalah kadang videonya bisa sangat kreatif dan permainan kata yang sangat lucu. Video-videonya tentang fake trailer juga sangat bagus.


6. Schmoyoho

Sebenarnya aku baru-baru ini demen sama Schmoyoho. Schmoyoho sering membuat video-video viral dan video berita menjadi sebuah lagu yang keren. Awalnya aku pertama kali tahu nama Schmoyoho dari video Epic Rap Battle yang dibuat oleh mereka. Lalu setelah itu ada video 'Jabba the Hut' di channel Pewdiepie yang juga dibikin oleh mereka. Karena penasaran, aku mencoba melihat video-video mereka dan langsung suka. Schmoyoho dibuat oleh Gregory Brothers.


7. Ray William Johnson


Ray William Johnson adalah youtuber yang membuat video dengan membahas video-video yang sedang populer. Komentarnya bisa dibilang cerdas tapi tetap lucu. Hanya saja, kadang dia membuat lelucon yang sedikit kotor atau menyinggung beberapa ras. Jika kau tidak suka dengan lelucon semacam itu, lebih baik jangan menontonnya. Ray juga pemegang subscriber terbanyak sampai tahun 2012.



Sebenarnya masih banyak lagi Youtubers keren lain seperti Lindsey Stirling, Freddiew, Mystery Guitar Man, atau Epic Meal Time, tapi yang kusebutkan di atas adalah yang aku paling rutin melihat videonya. Mungkin aku akan bahas youtuber lain suatu saat.

Mengejar Mas-Mas


"Halo, nunggu lama ya?" kataku menyapa.
Iis melihatku dan tersenyum senang, "Gak kok, baru juga lima menit.  Kenapa bawa tas ransel?"
"Oh, habis ini aku mau ketemu teman kantor. Jadi kemana kita sekarang?"
"Hmm, terserah kamu aja deh."
"Nonton aja dulu terus makan, gimana?"
"Hmm, pengen makan dulu, udah lapar."
Ya ampun, kalau gitu kenapa tanya pendapatku. Tapi sudahlah, hari ini aku akan melakukan apa yang dia mau. Kami sudah pacaran selama lima tahun dan makin lama kami makin jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Dia sudah beberapa kali mengeluhkan ini dan berbicara masa depan. Aku ingin menebusnya di kencan kali ini.
Kami memutuskan untuk makan di sebuah restoran yang enak tapi masih bisa dijangkau dompet, biasalah akhir bulan. Pelayan mempersilahkan kami duduk di meja dengan dua kursi lalu memberikan menu.
"Mau makan apa Kem? Aku ikut aja deh," kata Iis.
"Makanku banyak lho, masa mau diikutin semua."
"Biar deh, aku lagi pengen senang-senang hari ini."
Aku tersenyum. Iis punya kelebihan unik, walaupun makan banyak, badannya tetap kurus. Kelebihan yang diinginkan oleh banyak wanita lain. Aku memesan dua nasi goreng spesial ditambah satu porsi kentang goreng untuk kami bagi berdua.
"Kenapa? Kok kayaknya gugup?" Iis mengejekku yang dari tadi diam.
"Eh, enggak kok. Biasanya kan kamu yang suka bicara. Cerita dong selama gak ketemu ngapain aja?"
Iis mulai berbicara soal pekerjaannya. Dia bekerja sebagai sekretaris di suatu perusahaan besar. Karena itulah kadang dia sibuk sekali mengurus banyak dokumen. Iis juga mengeluhkan bosnya yang selalu bau badan.
"Kadang bau banget sampai aku berharap gajiku dinaikin untuk bertahan disana,." Kami tertawa bersama-sama. Inilah yang kusuka dari Iis, bahkan di banyaknya kesibukan dan kesulitan, dia selalu menghadapinya dengan ceria.
Setelah dia menceritakan hari-harinya, giliranku yang berbicara. Aku bekerja sebagai penulis dan sekarang sedang masa-masa sulit karena mendekati deadline.
"Emang gak papa kita kencan saat kamu lagi dekat deadline gini?" tanyanya.
"Ini lebih penting untukku."
Iis tersipu malu mendengar jawabanku. Aku sendiri malu dengan jawabanku yang terdengar seperti gombalan om-om itu. Karena suasana canggung, aku izin sebentar ke kamar mandi.
Aku melihat pantulan bayanganku di cermin. "Kemal, kamu bisa buat ini sebagai kencan yang paling berkesan. Jangan gugup." Kukatakan itu pada diriku sendiri.
Saat aku keluar dari kamar mandi, terlihat seorang mas-mas sedang mengangguk-angguk di meja kami. Apa-apaan dia? Dia lalu pergi sambil membawa sesuatu di pelukannya.
Aku kembali ke meja, "Kenapa dia? Jangan bilang dia goda kamu."
Iis tertawa, "Bukan sayang. Dia tadi gak sengaja nyenggol kursimu terus jatuh. Habis itu dia minta maaf."
Kursiku? Itu kan tempat aku menyimpan tasku tadi. Kuperiksa isi tasku.
Lho? Kenapa ada laptop?
"Kenapa Kem?" Iis heran melihat ekspresiku yang berubah.
"Ini bukan tasku," kataku pelan, "Apa orang tadi bawa tas yang sama denganku?"
Iis mencoba mengingat, "Mungkin, aku tidak terlalu perhatiin. Emang kenapa? Tasnya ketukar?"
"Kayaknya...YA AMPUN!!" 
Aku berlari keluar dengan tergesa-gesa. Mas-mas itu tidak tampak lagi.
Iis mengejarku, dia bingung melihatku tiba-tiba panik seperti itu, “Kenapa Kem? Ada barang penting ya di dalamnya?”
“Ada naskah ceritaku...”
“Oh, emangnya gak ada backupnya?”
“Ada sih, tapi ada nintendo DS juga di tas itu.”
“Nintendo?” Iis bertanya heran, “Kamu bawa-bawa game ke kencan kita?”
“Aku...aku hanya sedang sangat suka main itu. Masalahnya sekarang dimana dia?”
Iis mengangkat bahu,  “Sudahlah, pasti dia entar juga sadar dan kembali kok. Yuk kita makan lagi.”
“Ini gak seenak yang kamu bilang! Nintendoku!”
Muka Iis merengut. Aku tersadar kalau kata-kataku tadi terlalu keras kuucapkan. “Maaf Is, cuma....ini penting.”
Iis hendak menjawab, tapi dia melihat sesuatu, “Eh, itu dia masnya.”
Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Mas itu berada di seberang dan baru saja menaiki taksi.
“Oh tidak. Aku akan mengejarnya!”
“Eh, bagaimana makanannya?”
“Kan belum datang juga. Ayo, nanti kita makan di tempat lain.” Kutarik tangan Iis ke seberang lalu memanggil taksi yang kebetulan lewat. Sempat kulihat pelayan restoran keluar dengan marah-marah.
“Mau kemana?” tanya supir taksi.
“Kejar taksi itu.” Taksi yang kutunjuk sudah sangat jauh, tapi masih terlihat.
Supir taksi itu mengerutkan dahinya, “Apa kau polisi?”
“Maaf?”
“Apa kau polisi? Dan yang kau kejar itu penjahat? Ooh..apa ibu ini rekan sesama polisi?”
“Sudah, kejar saja!!”
Supir taksi itu tidak berkata apa-apa lagi dan menginjak gas. Mobil kami melaju cepat. Taksi itu masih jauh di depan, dan jalanan yang ramai tidak membantu kami.
Kulihat Iis duduk murung di sebelahku, “Maaf Is, kencan kita jadi kacau, tapi aku sangat membutuhkan tas itu.”
“Ya, ya, aku tahu. Ada Nintendo kan di dalamnya.” Dia lalu diam dan hanya melihat keluar jendela. Aku merasa tidak enak, tapi sekarang ini lebih penting.
“Itu, itu dia taksinya! Lebih cepat!”
Supir itu mempercepat mobilnya. Kini kami sejajar dengan mobil tersebut.
“Oke, sekarang tabrak dia!!”
“APA??” Iis dan supir itu berkata bersamaan.
“Kita harus menghentikan taksi itu.”
“Jangan asal tabrak juga Kem.”
Sebagai gantinya, supir kami mengklakson agar supir taksi yang lain bisa mendengarnya. Percuma, dia tidak mendengar. Aku bisa melihat kalau mas-mas itu memang memegang tasku, tapi sepertinya dia belum sadar kalau tasnya tertukar.
Tiba-tiba saja, taksinya membelok dan berhenti di pinggir jalan. Taksi kami, yang melaju dengan kecepatan tinggi, tidak bisa mengikutinya dan harus berhenti jauh di depan.
“Sialan, ayo kita kejar mas-mas itu.”
“Eh, bayar dulu mas!” Supir taksi itu menahanku. Aku merogoh kantong, lalu tersadar dompetku ada di tas itu. Aku melihat Iis dengan pandangan memohon.
“Uuh, iya iya. Dasar.” Iis mengeluarkan uang untuk membayar taksi.
Kami berhenti di sebuah jalan dekat sungai. Kulihat orang itu sedang berjalan ke arah jembatan. Sepertinya dia hendak menyebrang sungai.
“HEIII TUNGGU!!” Aku berlari ke arahnya.
Mas itu kaget. Tapi bukannya menunggu aku menghampirinya, dia malah lari sambil berteriak, “Aaahh tolong!!”
Kini giliranku yang kaget, “Tunggu! Aku cuma mau bicara!!” Sepertinya faktor muka membuat dia malah takut kepadaku.
Dia tidak menghiraukanku dan terus saja berlari. Untunglah aku berlari lebih cepat daripada dia. Aku berhasil mendekatkan jarak ketika dia naik ke jembatan.
“Kubilang....tunggu!!” Aku melompat untuk menangkapnya. Berhasil, aku menabraknya dan kami jatuh bersama. Sialnya, tas yang dia pegang terlepas dari tangannya dan jatuh ke sungai.
“Tidak...tidak...” Aku tidak bisa berkata lagi melihat tasku hanyut terbawa arus sungai.
Mas itu mendorongku, “Apa-apaan kau? Lihat yang kau lakukan pada tasku!”
“Itu tasku...”
“Apa maksudmu? Itu tasku!”
Iis datang saat itu dengan berlari juga. “Larimu cepat banget,” dia menenangkan nafas sebentar, lalu berkata pada mas itu, “Oh ya mas, ini tas anda.”
Mas itu bingung lalu mengecek isi tas. “Ini tasku! Jadi yang tadi....ya ampun, maafkan aku. Sepertinya aku salah membawa tas.”
Setelah minta maaf berkali-kali, mas itu pergi. Aku masih merenung sambil melihat sungai. Tas itu tidak mungkin kutemukan lagi sekarang. Iis memegang tanganku.
“Maaf, aku tahu kamu sedih soal tas itu.”
Aku mengehela nafas, “Tidak, akulah yang salah. Aku ingin membuat kencan yang akan kau ingat, tapi justru malah kukacaukan. Aku tahu kamu sudah berharap banyak.”
“Berharap banyak?”
“Yaahh akhir-akhir ini kamu bicara tentang masa depan. Aku tahu kamu sudah ingin kita ke tahap selanjutnya...kau tahu, menikah.”
Iis tertawa pelan, “Kem, aku memang ingin menikah, tapi tidak perlu sekarang. Kapanpun kamu siap aja. Aku tunggu kok.”
Aku terpana, “Benarkah? Jadi kamu masih mau menunggu?”
Dia mengangguk pelan.
Aku tersenyum, “Tapi tetap saja aku mengacaukan kencan kita.”
Iis mengapit tanganku, “Ayo, kita makan lalu nonton. Hari ini aku bayarin dulu deh sampai kamu bisa mengganti kartu ATM yang hilang. Jangan biarkan ini menghalangi kencan terbaik kita.”
Sekali lagi, aku merasa beruntung memiliki pasangan seperti dia. Pasangan yang selalu berpikir positif bagaimanapun keadaannya. Kami lalu bergandengan tangan sambil mencari warung makan yang murah.
***
Seorang anak yang sedang bermain di pinggir sungai menemukan sebuah tas yang hanyut. Dia mengambil dengan bantuan tongkat kayu panjang.
“Dapat.,” katanya ketika dia berhasil mengaitkan tongkat itu ke tas lalu mengangkatnya dari sungai.
Dia membuka tas itu. Banyak kertas basah di dalamnya. Dia merogoh-rogoh lagi untuk mencari barang lain.
“Oh wow, Nintendo DS! Aku sudah lama ingin ini!”
Tapi berapa kalipun dia mencoba menyalakan, Nintendo itu tetap mati. Dia mengecek baterainya apakah basah atau tidak.
Ketika dibuka kotak baterainya, dia tidak menemukan baterai. Justru yang dia temukan adalah sebuah cincin yang sangat indah.