Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Walking Dead 2 Episode 1 Review : Situasi Makin Sulit Bagi Clementine


Warning : Aku akan mencoba tidak spoiler apapun, tapi jika kau ingin atau sedang main game ini, lebih baik selesaikan dulu dan jangan baca ini. Aku sudah memperingatkanmu.

Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku sangat sangat senang ketika Telltale Game akhirnya memberitahu kalau mereka akan mengeluarkan Walking Dead season 2. Season 1 sangat bagus dan aku sangat menunggu game ini. Maka ketika dua hari yang lalu game ini dirilis, aku langsung memainkannya.

Kita kilas balik sedikit ke Season 1. Bagi yang belum main, sebaiknya tidak membaca ini, karena aku akan memberitahu garis besar ceritanya. Lee Everett adalah tokoh utama di Season 1. Dia bertemu dengan Clementine, seorang gadis 8 tahun, yang sendirian di rumahnya saat semua terjadi dan bertanggung menjaganya sepanjang waktu.

Bagi yang sudah main, pasti tahu kalau Lee tidak selamat, meninggalkan Clementine sendirian. Di akhir cerita, Clementine menemukan sosok dua orang di kejauhan.


Oke ini spoiler sedikit, dua orang itu ternyata memang Omid dan Christa, teman Lee dan Clementine yang terpisah di menjelang akhir cerita. Jadi Season 2 akan dimulai dengan Clementine bersama Omid dan Christa.

Kita akan bermain sebagai Clementine kali ini. Tentu saja ini bukan Clementine yang sama dengan yang di Season 1. Clementine disini sudah menjadi lebih dewasa dan mandiri, mungkin karena semua hal yang telah terjadi.


Season 2 akan menempati waktu sekitar 1 tahun setelah meninggalnya Lee. Tapi suasana tetap berbahaya dimana-mana, apalagi ditambah akan datangnya salju, jadi kini mereka juga harus bertarung melawan cuaca. Disini mereka akan bertemu sebuah grup baru, tentu saja dengan karakter berbeda tiap orangnya, yang membuat penyelesaian masalah biasanya dilalui dengan diskusi.

Kelebihan game Walking Dead adalah kita bisa menjalin hubungan dengan karakter lain, membuat kita mengerti bagaimana kisah mereka dan merasa terhubung. Itulah yang membuat banyak orang menangis ketika Lee meninggal dan Clementine harus berjuang sendiri. Bagian itu tetap ada di Season 2. Kita akan banyak melakukan dialog untuk mengenal orang-orang baru ini.

Dari sisi segi jalan cerita, banyak kejadian tidak terduga yang selalu membuat suasana menegangkan. Dan game ini makin sedih saja. Ada satu bagian dimana aku sampai depresi ketika itu terjadi. Aku benar-benar hanya diam selama 10 menit, mencoba mencerna apa yang terjadi. Untuk episode pertama, banyak sekali kejadian yang membuat keadaan Clementine makin sulit.


Sekali lagi, pilihan kita akan mempengaruhi jalan cerita. Kita bisa menjadi Clementine yang baik, tapi kita juga bisa menjadi Clementine yang sinis. Pada akhir game, kita akan terpaksa memilih salah satu pilihan sulit, seperti yang biasanya kita lakukan di Season 1.

Baiklah, ayo kita review sisi positifnya. Pembangunan karakter masih menjadi keunggulan dari game ini. Aku tak akan heran jika orang bisa menangis hanya karena salah satu karakter utama tidak selamat (seperti yang banyak terjadi di Season 1). Sisi positif lain adalah jalan cerita yang sulit ditebak. Aku benar-benar kaget dengan banyaknya kejadian diluar perkiraanku.


Telltale Game juga berhasil membuat karakter Clementine dengan baik disini. Bukannya manja dan sangat bergantung pada Lee seperti sebelumnya, disini Clementine bisa melawan zombie sendirian dan banyak membuat keputusan penting sendiri. Dan walaupun Clementine adalah karakter yang banyak disukai orang, mereka tak segan membuat Clementine berada posisi sulit dan membuatnya penuh darah.

Sisi kurangnya mungkin hanyalah episode ini kurasa terlalu pendek. Aku hanya bermain selama dua jam kurang untuk menyelesaikannya. Aku sedikit kecewa ketika tahu episode ini sudah berakhir dan sekarang harus menunggu sebulan lebih untuk episode dua. Tapi aku akan menunggu. Pasti kutunggu.

Trailer :

Kesurupan


(cerita ini pernah diposting di kemudian.com sekitar satu tahun yang lalu)

Waktu kecil aku takut banget sama yang namanya hantu. Ditambah lagi tontonan di tv dan bioskop yang rata-rata menceritakan hantu, maka makin parnolah aku. Kalau udah malam aku selalu gelisah. Takut ke kamar mandi sendiri, takut matiin lampu waktu tidur dan semacamnya.
Tapi makin bertambahnya usia, makin sadarlah aku kalau yang namanya hantu itu gak ada. Paling gak selama ini, aku gak pernah bener-bener ketemu sama yang namanya hantu. Aku sekarang malah lebih takut sama iklan so nice, yang makin lama kayaknya makin absurd aja dan makin mirip sama video yang digunakan untuk mencuci otak. Takut aja suatu hari kalau aku ditanya sama temanku. “Ada pulsa gak? Aku numpang satu sms dong.” Aku malah jawab, “SMS? Semuaaaaa makan so niceeee!!!!”
Karena itulah, aku selalu geli kalau ngeliat acara-acara hantu sekarang. Tahu kan, acara yang kayak berburu hantu atau pergi ke tempat-tempat mistis gitu yang menurutku konyol, ngapain juga sih hantu dicari. Ada juga yang bawa-bawa mediator yang bisa dirasuki dengan ikhlas supaya setannya bisa diajak bicara. Aneh banget kan? Entah apa yang mau ditanya sama hantu, emangnya hantu tahu tentang pergaulan manusia, gak bakal nyambung lah diajak bicara juga. Pepatahnya adalah kita suka nasi, dia suka menyan.
Terus aku juga heran kalau ngeliat berita tentang kesurupan bareng di suatu sekolah. Kenapa hantu jadi semacam penyakit menular gini?
Mengenai masalah kesurupan ini, aku pernah punya teman yang gampang banget kesurupan. Namanya Vera, dia temanku saat kelas 2 SMP. Orangnya aneh, sering bengong sendiri, sering ngomong sendiri, kayak punya dunia sendiri.
Aku pernah ngajak dia ngobrol waktu pertama kali kenalan.
“Hai, aku Kemal,” kataku sambil ngajak salaman.
“Vera.”
“Mmmh, jadi kamu orang mana? Orang Balikpapan?”
“Aku anak ibuku,” jawabnya.
“Haha, ya iyalah. Tapi asli Balikpapan kan?”
“Aku anak ibuku.”
Hening. Kenapa dia malah ngomong gitu berulang-ulang mulu? Dengan tatapan kosong pula. Aku jadi bingung mau ngomong apa lagi. Aku bisa aja sih bilang, “Cuacanya bagus ya” tapi kan lagi di dalam kelas, nanti malah gak nyambung.
“Hehe hehe,” akhirnya aku malah ketawa gugup, terus langsung pergi dari situ. Menurut anak-anak lain, Vera itu orangnya emang agak aneh, jadi jangan terlalu ditanggapin.
Suatu hari, ketika sedang dalam proses belajar mengajar yang normal (guru menerangkan, aku tidur), terjadi kehebohan. Teman sebangku Vera heran ngeliat Vera yang tiba-tiba nangis. Waktu ditanya, eh si Vera malah marah-marah. Temannya itu langsung teriak, “Vera kesurupan!!”
Secara refleks, anak-anak langsung lari keluar kelas, seakan-akan teriakan ‘Vera kesurupan’ sama dengan bencana alam. Si Vera sendiri masih nangis sendiri di dalam kelas. Akhirnya seorang guru yang terkenal ‘pintar’ menenangkannya lalu membawanya pulang.
Sejak saat itu si Vera sering gak masuk sekolah karena alasan sakit. Entah sakit beneran atau dia emang sering kesurupan di rumahnya. Pernah waktu dia masuk ke sekolah setelah sekian lama, aku pengen banget bilang, “Vera, jelek itu bukan termasuk sakit lho,” tapi kuurungkan karena ngeliat dia pegang pensil dan pensil itu bisa saja digunakan untuk mencolok mataku.
Vera kumat lagi waktu pelajaran olahraga. Saat itu kami sedang duduk istirahat setelah dengan brutalnya disuruh lari keliling sekolah sebanyak 10 kali. Vera sedang mengobrol dengan temannya, lalu secara tiba-tiba dia jatuh. Pingsan, tapi badannya getar-getar. Dia kesurupan lagi kayaknya. Kami bingung, mau dibawa takut ketularan, mau ditinggal bisa-bisa dia kelindes mobil lewat nanti. Guru akhirnya menyuruh beberapa orang membawanya ke ruang kesehatan. Dengan sialnya aku juga ikut dipilih. Aku berpesan pada temanku, “Jika terjadi apa-apa padaku, panggil Presiden!”
“Lebai kau Mal,” jawabnya.
Untunglah tak terjadi apa-apa.
Surup menyurup ini juga pernah terjadi dalam keluargaku. Korbannya adalah pembantu di rumah nenekku. Aku gak ngeliat sih, cuma diceritain doang sama sepupulu.
Alkisah di dalam kamar, beberapa saudaraku lagi ngobrol-ngobrol, sampai tiba-tiba pembantu yang tadinya diam-diam aja teriak histeris. Malah dengan brutal dia mencoba menyerang saudara-saudaraku.
Beberapa om-om yang badannya besar turun tangan untuk menghentikan aksi setan gak jelas itu. Tapi perlawanan hantu itu gak tanggung-tanggung. Malah menurut kabar, mbak pembantu itu bisa nempel di dinding waktu kesurupan. Wah ini sih kayaknya dia kesurupan setan spiderman.
“Emang dimana dia waktu kesurupan?” tanyaku.
“Disitu,” saudaraku menunjuk ke arahku, “Di tempat Kemal duduk sekarang lah.”
Mampus.

Langkah Pertama (Pokemon Master Part 1)


Alarmku berbunyi dengan keras. Aku dengan malas mengambil jam itu, lalu melemparnya ke seberang ruangan. Kupeluk gulingku lagi, bermaksud tidur sekitar lima menit lagi.

Pintu menjeblak terbuka, lalu terdengar teriakan, “Growlithe, gunakan Ember!!”

Yang kutahu berikutnya, pantatku sudah terbakar.

“AAHHH!!” Aku berteriak sambil mencoba memadamkan api itu dengan tangan. Aku lalu lari ke kamar mandi dan membayur api itu.

“Ibu macam apa yang membangunkan anaknya dengan membakarnya??” protesku.

Ibuku, Delia, membelai Growlithe-nya dengan penuh kasih sayang, “Salah sendiri belum bangun. Prof. Oak mencarimu. Bukankah kau seharusnya menemuinya di Lab untuk mendapatkan Pokemon pertamamu?”

Oh ya, aku bisa memulai petualanganku menjadi Pokemon Master mulai hari ini. Ibuku keluar dari kamar, “Cepat siap-siap sana, nanti keburu didahului Ali lho.”

Ali adalah tetanggaku yang sama-sama menyukai Pokemon. Malah, dia adalah satu-satunya tetanggaku. Kotaku, Pallet Town, memang sangat aneh. Kota ini hanya memiliki tiga bangunan, rumahku, rumah Ali dan Laboratorium Prof. Oak.

Aku bergegas ganti baju dan lari ke bawah. Ibuku sedang berada di dapur, memasak sesuatu. Yang lucu dari Ibuku adalah, dia tidak mau punya kamar sendiri dan memilih tidur di dapur.

“Hati-hati ya,” katanya saat aku keluar rumah.

Aku berlari ke Lab karena sudah tidak sabar ingin melihat Pokemon pertamaku. Tapi ketika aku sampai disana, tidak ada orang.

“Lho kemana ya Profesor itu? Apa dia sedang keluar kota?”

Karena kota ini juga tidak besar-besar amat, aku mencoba mengintip sedikit ke jalan keluar kota. Biasanya aku tidak diperbolehkan melalui jalan berumput itu jika aku belum siap.

Aku ragu apakah akan terus dari sini, tapi kupikir tak ada salahnya toh melewati rumput sedikit.

Sesaat sebelum aku menginjakkan kaki di rumput, suara teriakan keras, “Jangan lewati rumput itu!!”

Aku terkejut. Profesor Oak menarikku dengan kasar lalu memarahiku, “Ada banyak bahaya jika kau pergi tanpa Pokemon ke rumput tahu. Dasar kau ini!”

“Aku dari tadi mencari anda. Profesor kemana tadi?”

“Aku ke rumahmu sebentar, kita pasti berselisih jalan. Ayo Kemal, ikut sekarang ke Lab.”

“Tunggu, ada urusan apa Profesor ke rumahku?”

Dia entah kenapa jadi salah tingkah, “Sudah tidak usah dibahas. Ayo ikut!”

Aku memutuskan tidak menghiraukan itu dan pergi ke Lab. Disana sudah berjejer tiga Pokeball. Aku yakin itu adalah Pokemon-Pokemon yang bisa kupilih.

“Jadi jelaskan padaku,” kata Prof. Oak, “kau ini laki-laki atau perempuan?”

Aku bingung, “Laki-laki lah. Apa maksudnya pertanyaan itu?”

“Aku hanya memastikan.”

Sekali lagi, aku mencoba menghiraukan sikap aneh Profesor ini, “Bisakah aku mendapatkan Pokemon-ku sekarang?”

Jawaban Prof. Oak terpotong oleh seseorang yang masuk ke dalam Lab. “Halo Kek. Aku siapa untuk Pokemon pertamaku.”

Profesor itu mengelus dagunya, “Ah, kau cucuku. Ngg...siapa namamu?”

“Ya ampun, itu Ali. Masa sih Profesor tidak ingat nama cucu sendiri?” kataku.

“Yo Kemal. Biarkan saja, Kakek memang pelupa,” kata Ali tersenyum. “Daripada itu, aku tak menyangka kau juga akan memulai petualanganmu hari ini.”

“Ya. Sepertinya kita akan menjadi rival.”

“Rival? Pffttt, yang benar saja. Aku terlalu hebat untukmu!”

“Hei, jangan meremehkanku begitu.” Aku mulai kesal dengan sikap anak ini. Ali memang kadang bisa sangat menyebalkan.

“Sudah sudah, jangan bertengkar,” Profesor menyela, “Disini ada tiga Pokemon yang bisa kalian pilih : Bulbasaur, Charmander dan Squirtle. Silahkan pilih salah satu.”

“Kemal, kau yang lebih lemah, pilih saja duluan,” kata Ali.

Aku kesal, tapi tak merasa keberatan disuruh memilih duluan. Aku berjalan menuju salah satu Pokeball. Dari awal, aku sudah menentukan pilihan.

“Ah, jadi kau memilih Charmander,” kata Profesor melihatku.

“Ya.” Aku tersenyum, “Keluarlah Charmander.”

Aku melempar Pokeball ke atas, dan keluarlah Charmander itu. Aku menangkap dan memeluknya, akhirnya aku punya Pokemon sendiri. Charmander itu pun sepertinya senang bertemu denganku.

“Apa kau mau beri dia nama?” tanya Profesor.

Aku berpikir sebentar, “Ya, kuberi dia nama Brendon.”

“\ Oke, Ali, sekarang giliranmu.”

“Heh, kalau Kemal memilih Charmander, aku akan memilih ini.” Ali mengambil Pokeball yang berisi Bulbasaur.

Aku melihatnya dengan bingung, “Kau memilih tipe Grass padahal aku memilih Charmander yang tipe Fire?”

“Heh, kekuatan trainer yang menentukan tahu,” katanya sombong. “Untuk membuktikan, bagaimana kalau kita bertarung sekarang?”

“Apa? Disini?”

“Ya, atau kau takut?”

“Yang benar saja. Maju Brendon!!” Aku melempar Charmander-ku ke pertarungan. Ali sendiri mengeluarkan Bulbasaur-nya.

Karena Pokemon kami masih sama-sama level bawah, maka mereka belum belajar move yang hebat. Jadi aku berteriak pada Brendon untuk menggunakan Scratch, sedangkan Ali menyuruh Bulbasaur memakai tackle.

Kekuatan Pokemon kami seimbang, tapi satu cakaran dari Brendon yang ternnyata critical hit menjadi penentu.

“Hahaha, Brendon yang menang!!”

Ali menarik Bulbasaur kembali ke Pokeball, “Sialan, aku memilih Pokemon yang salah.”

“Memang dasar kau bodoh,” kataku sambil memasukkan Brendon ke Pokeball juga.

“Wah, kalian berdua sepertinya bisa menjadi trainer hebat suatu saat,” kata Prof. Oak yang melihat pertarungan itu. “Nah, sekarang sebelum kalian mulai perjalanan, jangan lupa untuk pamit dulu pada orangtua kalian.”

“Oke Kek.” Ali melihatku, “Kemal, aku punya peta wilayah Kanto di rumah, tapi aku tak akan membiarkan adikku meminjamkan kepadamu. Haha, smell ya later!!”

“Tunggu, apa? Kau mau membauiku nanti?”

“Bukan, ah sudahlah.” Ali lalu berlari keluar. Anak itu terlalu terburu-buru.

Aku sendiri berjalan ke rumahku. Ibuku sedang duduk membaca majalah wanita di dapur. Dia tersenyum melihatku datang, “Ah kau pulang juga. Sudah dapat Pokemon pertamamu?”

“Ya, aku memilih Charmander.” Kataku bangga.

“Oke, kurasa kau sudah siap pergi.”

Aku diam sebentar, “Udah gitu aja? Ibu gak bakal kangen aku selama aku pergi.”

“Hahaha, gak bakal. Sana pergi.”

Merasa seperti anak buangan, aku pergi dari situ. Aku lalu menuju ke rumah Ali. Dia sudah memberitahuku tentang peta dan aku memerlukannya. Selama perjalanan kesana, aku mencari alasan agar adiknya mau memberikan peta itu padaku.

Aku masuk ke rumah Ali, adiknya sedang asyik menonton TV.

“Hei...” kataku menyapa.

Dia melihatku, “Oh kak Kemal. Ini peta untukmu. Ambil aja.”

Oke, itu mudah.

Sekarang aku sudah siap melakukan perjalanan pertamaku. Rasanya tegang juga bisa keluar dari kota kecil ini untuk pertama kalinya. Jalanan penuh rumput bernama Route 1 didepanku ini kabarnya penuh makhluk mengerikan. Tapi aku siap, Brendon pasti akan menolongku. Aku melangkahkan kakiku ke rumput. Ini adalah langkah yang bersejarah.

Ternyata semua yang dikatakan Profesor hanya bohong belaka. Bukannya Pokemon-Pokemon ganas, yang kutemukan hanyalah Pidgey dan Rattata. Dan rata-rata mereka tak bisa berbuat banyak menghadapi Brendon.

Aku belum punya Pokeball untuk bisa menangkap Pokemon, jadi aku menyuruh Brendon menghabisi Pokemon yang kami temukan untuk mencari Exp. Brendon terlihat seperti dewa kematian sekarang, membantai Pidgey dan Rattata satu per satu.

“Oke, kurasa itu cukup.” Aku menarik Brendon ke Pokeball. Dia sudah bisa mengeluarkan move Ember sekarang, yang akan sangat membantu.

Aku tiba di Viridian City sekarang. Kota ini cukup besar jika dibandingkan dengan Pallet Town. Aku melihat-lihat dengan senang pemandangan baru ini.

Seorang kakek-kakek terlihat tidur-tiduran di jalan. Aku heran, tapi memutuskan pura-pura tidak melihat.

“Hei!!” teriaknya tiba-tiba yang membuatku terlonjak kaget.

“Y...ya Kek?”

“Kau tidak boleh lewat sini. Aku belum minum kopi pagi ini!!”

“Hah? Tapi...”

“TAK ADA TAPI-TAPIAN!! PERGI SANA SIALAN!!”

Buset, ini kakek atau preman sih, galak bener. Aku memutar jalan dan masuk ke Pokemart terlebih dulu. Mungkin aku bisa beli Pokeball disini.

“Aku belum pernah melihatmu sebelumnya,” kata kasir. “Kau dari mana?”

“Oh, aku dari Pallet Town. Ini perjalanan pertamaku,” kataku malu-malu.

“Pallet Town? Berarti kau kenal dengan Oak dong!”

“Eh, maksudmu Profesor Oak? Ya.”

Dia lalu sibuk mencari sesuatu di bawah mejanya. “Ini, berikan pada Oak.” Dia menyerahkan parsel ukuran besar padaku.

“Parsel?”

“Ya, aku lupa mengirimkan pada Oak saat lebaran. Kau tidak keberatan kan membawanya?”

“Apa? Aku tidak mau kembali ke Pallet Town lagi sekarang.”

“Oh? Kalau kau tidak mau mengantarkan parsel itu, aku tak mau menjual apa-apa padamu.”

“Hah, apa-apaan itu!!”

Dia tak menghiraukanku dan justru membalik badan seakan-akan aku tidak ada disana. Bagus sekali, perjalanan pertamaku dimulai dengan dimarahi kakek-kakek preman dan diperbudak oleh kasir. Dengan berat hati aku kembali ke Pallet Town.

Selagi aku disini, aku kembali ke rumah sebentar untuk melihat Ibuku. Tapi yang kutemukan di rumah ternyata bukan hanya Ibu, tapi juga Profesor Oak yang sepertinya sedang mengobrol riang.

“Lho Profesor?”

Dia terlihat sangat kaget dan salah tingkah ketika melihatku, “Ah Kemal! Kau cepat sekali pulang.”

“Ya begitulah. Aku disuruh mengantarkan parsel ini ke Profesor.”

“Oh terimakasih! Ayo kita ke Lab saja.” Dia menarikku tanpa menungguku protes. Ali juga ada di Lab.

“Kek, mana barang yang Kakek sebut itu?” tanyanya.

“Ya, mumpung kalian berdua ada disini, aku ingin menyerahkan ini.”

Profesor memberi kami masing-masing kotak merah.

“Itu Pokedex,” katanya. “Jika kau menangkap Pokemon, maka Pokedex akan merekamnya. Aku ingin kalian membantu melengkapi Pokedex.”

Aku tak mau bebanku bertambah, jadi aku protes, “Kenapa tidak Profesor saja yang melakukannya?”

“Aku sudah tua. Sebaiknya kalian yang muda yang mengerjakan tugas ini. Oh ya, ini untuk membantu kalian.” Profesor menyerahkan pada kami lima buah Pokeball.

“Yes, makasih Kek.” Ali girang. “Aku akan menangkap Pokemon-Pokemon keren. Lihat saja nanti.” Ali lalu berlari lagi keluar.

Ya, Rattata dan Pidgey memang keren, pikirku dalam hati. Aku bertanya pada Profesor, “Sedang apa Profeor tadi di rumahku?”

“Eh...aku tidak ....hanya berkunjung...kenapa kau tanya itu?”

“Soalnya aku mulai berpikir Profesor menyuruhku mengisi Pokedex agar bisa mendekati Ibuku yang sendirian.”

“Mana mungkin! Sudah sana pergi!!”

Dia memang menyangkal, tapi sikap serba salahnya itu meyakinkanku. Awas saja kalau dia macam-macam pada ibuku, aku akan menyuruh Brendon membakar Lab ini.


Sekarang dengan Pokeball di tangan, aku siap keluar dari kota untuk kedua kali dan menangkap banyak Pokemon.


Bersambung...

Kami Meledakkan Banyak Zombie (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 11)


baca part sebelumnya disini.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan pada dia?”

Ali bertanya padaku tentang Farandi yang kami kunci di kamar sebelah. Dia terbangun ketika kami kembali, sementara Rere dengan lelapnya masih tidur di kamar yang lain. Medina sudah menyusulnya.

“Entahlah, kita lihat keadaannya dulu. Tapi aku tak pernah berpikir mau membawanya,” kataku.

“Ngomong-ngomong soal itu, bagaimana dengan kita?”

“Apanya?”

“Mau kemana kita sekarang?”

Benar juga. Tujuan kami ke kota ini adalah mencari kekasih Zico, yang sudah meninggal. Zico malah sudah pergi. Kami tak perlu berlama-lama di kota ini lagi.

“Aku mengambil handphone Bima, tapi sejauh ini belum ada kabar dari Intan dan yang lain. Kita tunggu kakimu sembuh dulu lalu pikir langkah selanjutnya.”

Ali menggerak-gerakkan kakinya, “Sudah tidak terlalu parah. Kurasa aku harus mencoba berjalan-jalan disekitar sini.”

“Nanti pagi saja. Lebih baik kita tidur sekarang.”

Suara gedoran pintu dari kamar Farandi terdengar lagi. “Mana mungkin kita bisa tidur nyenyak sementara dia begitu terus.”

Aku menghela nafas, “Biar kuurus.”

Dia menggedor lagi ketika aku berjalan kesana. “Hei diam!!” kataku setengah berteriak.

“Keluarkan aku dari sini!!” balasnya dari dalam.

“Berisik! Kami harus kayak gini buat jaga-jaga tahu.”

“Kenapa kalian harus kurung aku? Biarin aja aku pergi!”

Wah iya juga ya. Kenapa pula kami harus repot-repot jaga dia. Aku membuka kunci pintunya, “Oke, sana pergi.”

“Kau akan membiarkanku pergi begitu saja tanpa senjata?”

“Aku tidak perlu membagi senjata sama penjahat sepertimu,” kataku ketus. “Hus hus sana.”

Kelihatan sekali walaupun dia kesal, tapi anak ini mengerti berkeliaran malam hari tanpa sejata sama saja dengan bunuh diri. Dengan kesal, dia masuk lagi ke kamar dan membanting pintu di depanku.

Suasana pun sepi lagi. Aku mengambil handphone dan mencoba menelpon nomor Intan. Sesuai dugaan, tak ada jawaban. Aku hanya berharap kami punya tujuan setelah ini. Dengan banyak pikiran seperti itu, aku masuk ke kamar untuk tidur.




Suara gedoran di pintu membangunkanku. Awalnya kukira itu berasal dari Farandi, tapi ternyata seseorang menggedor pintu kamarku. Mungkin itu Medina atau Rere.

Kulihat Ali masih tertidur pulas, jadi dengan malas aku bangun dari tempatku tidur dan bergerak menuju pintu yang lagi-lagi digedor.

“Ya ya bentar,” kataku sambil membuka pintu.

Itu bukan Rere dan Medina, tapi zombie.

Kututup pintu. Tunggu, apa aku masih belum bangun? Kenapa ada zombie disini?

Dengan ragu kubuka lagi pintu. Kini zombie itu mengerang dan menerjang ke arahku. Aku menutup pintu dengan tergesa-gesa.

Ini nyata. Entah bagaimana caranya, zombie masuk ke rumah sakit. Aku membangunkan Ali dengan panik sementara pintu digedor-gedor dengan keras.

Terkutuklah Ali yang tidur seperti orang mati di saat-saat seperti ini. Aku harus menekan kakinya yang luka agar dia bisa benar-benar bangun.

“Aduuh!! Apa sih kau sialan??” teriaknya kesakitan.

“Li, ada zombie diluar.”

“Hah?” Ali menggosok-gosok matanya, dia masih setengah sadar.

“Ada zombie!!”

Dia menatapku, “Berapa banyak?”

“Ngg kayaknya sih cuma dua.”

“Ya udahlah kalau segitu, kau kan bisa kalahin. Kenapa juga takut?”

Ini orang kayaknya nganggap lawan dua zombie itu sama seperti lawan dua ayam. Tapi benar juga sih, aku kan sudah pernah melawan lebih dari ini.

Kuambil parang yang tadi kusimpan. “Oke...” Kubuka pintu dan siap melawan zombie yang masuk.

Tapi perkiraanku salah, ternyata bukan hanya dua, tapi seluruh lorong sudah dipenuhi zombie.

Aku dengan susah payah mendorong pintu menutup lagi dan kini menahannya dengan pot bunga.

“Oke, ternyata bukan cuma dua...” kataku pada Ali.

“Ya tahu, aku juga lihat.” Sekarang dia baru terlihat cemas.

“Kau bisa jalan? Aku tak mungkin mengalahkan mereka semua sendirian.”

Ali turun dari tempat tidurnya dan mencoba berjalan. Dia merengut kesakitan sesaat kakinya menyentuh lantai. Memang mustahil sekarang.

Aku mengambil pistol dan menyerahkannya pada Ali, “Kau bantu saja dari tempat tidur. Aku akan membuka pintu dan menghajar sebanyak mungkin. Tidak ada pilihan lain.”

Dia mengangguk mengerti. Aku memindahkan pot yang menghalangi pintu. Tak lama setelah itu, zombie berhasil mendobrak pintu.

Satu zombie langsung jatuh karena tembakan Ali sementara aku menghajar yang lain dengan parang. Tapi zombie-zombie lain masuk dengan cepat.

Aku berhasil menjatuhkan satu lagi zombie. Satu zombie dari samping mencoba menyerangku, tapi Ali menghentikannya.

“Masih banyak gak?” tanya Ali.

“Mana kutahu! Konsentrasi saja menyerang dulu.”

Tapi aku justru lengah saat berkata itu. Zombie berhasil meraih tanganku dan mencoba menggigitnya. Aku bergerak lebih cepat. Kuhajar kepala zombie tersebut dengan tangan yang memegang parang.

Aku tak bisa bergerak bebas karena masih berusaha melepaskan tangan zombie sialan itu. Atu zombie berhasil melewatiku dan menuju Ali.

“Ehh Kem...” Ali panik dan berakibat dengan tembakannya yang kacau. Zombie itu hanya tertembak di badan.

Aku memutuskan untuk memotong tangan yang memegangku. Setelah itu aku mengejar zombie itu dan menusuk kepalanya dari belakang. Dia ambruk ke atas tempat tidur Ali.

“Jangan panik dong..” kataku.

Belum sempat aku beristirahat, banyak lagi zombie yang masuk. Ali mengerang, “Bagaimana mungkin aku gak panik kalau begini.”

Terdengar suara tembakan dari luar. Rere dan Medina menjatuhkan zombie yang masuk satu per satu. Aku menarik nafas lega dan membantu mereka.

“Bagaimana mereka jadi bergerombol masuk kesini?” tanya Rere setelah kami mengalahkan semua zombie di lorong itu.

Aku melihat keluar jendela. Sebuah mobil baru saja pergi. Itu mobil yang membawa zombie ke bandit tempat Tori sempat disandera. Bukan hanya itu kabar buruknya. Banyak zombie berkeliaran di bawah, padahal sebelumnya jalanan itu sangat kosong.

“Pintu darurat!” teriak Medina. Satu zombie masuk lewat pintu itu. Aku berlari kesana dengan cepat, menembak zombie itu di kepala lalu menutup pintu keras-keras.

“Sial, bagian bawah sudah tidak aman lagi,” kataku.

“Jadi bagaimana?” tanya Medina.

“Kalau tidak bisa ke bawah, bagaimana kalau ke atas?” saran Rere tiba-tiba.

Aku memikirkan kata-katanya, “Bagus juga ide itu. Apa liftnya jalan?”

“Karena ada generator, harusnya sih jalan,” kata Rere.

“Oke, ambil kursi roda untuk Ali. Kita pergi ke atas. Pintu ini sebentar lagi akan didobrak zombie.”

Jadi dengan Ali kini didorong Rere, kami masuk ke lift dan naik ke lantai teratas. Lantai itu berantakan, tapi tak ada zombie. Kami bergegas menuju ke atap lewat tangga darurat. Bagian ini agak sulit karena kami harus menggotong kursi roda Ali.

Walaupun begitu, kami akhirnya sampai ke atap. Diluar masih mendung dan sepertinya akan hujan lagi. Anginnya sudah sangat keras. Kami tak bisa berlama-lama disini.

“Sekarang apa?” tanya Ali.

Aku melihat ke sekeliling. Bangunan lain terlalu jauh. Satu-satunya jalan hanyalah tangga tegak lurus yang terletak di sisi bangunan. Tapi tangga itu akan sulit dipakai oleh Ali yang sebelah kakinya cedera. Jangankan Ali, aku saja bakal takut memakai tangga itu karena tingginya posisi kami sekarang. Salah sedikit, kaki bisa terpeleset dan yah....kau tahu lah.

Saat aku sedang bingung, Medina bertanya padaku, “Eh, mana anak SMP itu?”

Aku perlu beberapa saat untuk menyadari masalah ini. Mulutku menganga mengingat Farandi masih terjebak sendirian di lantai itu tanpa senjata. Aku terlalu sibuk memikirkan yang lain sampai melupakan dia.
“Eh anak SMP apa?” tanya Rere yang belum pernah melihatnya.

“Sudahlah biarkan saja dia,” kata Ali. “Sejak awal, kita tidak perlu menjaganya.”

Memang, tapi ada perasaan tidak enak tentang ini. Kami pernah meninggalkan Niko begitu saja, dan itu berakibat cukup buruk.

“Aku akan kembali untuk melihat apa yang bisa kulakukan,” kataku akhirnya.

“Kau yakin?” tanya Ali tidak percaya.

“Tidak juga sih.”

“Tunggu, aku ikut!” Medina menahanku.

“Tak perlu, aku tak akan lama. Jika memang keadaan tidak memungkinkan, aku akan kembali.”

Aku tak menunggu Medina protes dan segera bergegas menuju lift lagi. Di dalam lift aku memikirkan lagi apa yang kulakukan. Apa aku memang harus mengorbankan nyawa untuk seorang penjahat?

Toh aku sudah terlanjur ke bawah. Untungnya, zombie belum menerobos masuk saat aku sampai disana. Sialnya, zombie berhasil menerobos masuk saat aku membuka pintu kamar Farandi, membuatku kini terjebak di kamar itu.

Kulihat Farandi meringkuk ketakutan di pojok kamar. Disaat seperti ini dia baru terlihat seperti anak kecil.

“Kukira kau meninggalkanku disini...” katanya ketakutan.

“Hampir sih. Sekarang kita terjebak disini, dan hanya aku yang punya senjata,” keluhku.

“Aku punya satu nih.” Dia merogoh kantongnya. Aku hampir kena serangan jantung saat dengan santainya dia mengeluarkan granat.

“Kau punya granat??”

“Aku mengambil satu dari markas. Kita bisa gunakan ini untuk kabur.

Aku tak suka mengakuinya, tapi dia mungkin benar. Hanya saja, aku terlalu takut untuk menggunakan granat. Farandi berdiri dengan sok karena melihatku ragu, “Huh, biar aku saja yang melakukannya.”

“Apa kau bisa?”

Dia menarik cincin granat tersebut (yang membuatku sekali lagi hampir kena serangan jantung), membuka pintu dan dengan cepat melempar granat itu ke tengah kerumunan zombie.

“Tiarap!!” Dia membanting pintu.

Sedetik kemudian, terjadi ledakan diluar. Suaranya masih menusuk telingaku walaupun kututup sekeras mungkin. Kekuatan ledakan bahkan sampai merusak pintu.

Aku keluar dengan pelan untuk melihat keadaan setelah ledakan. Sangat kacau. Darah dan organ-organ tubuh tersebar dimana-mana. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk muntah.

“Ayo cepat ikut aku!” kataku.

Kami lari ke atas. Telingaku masih berdengung sedikit karena kerasnya suara ledakan tadi. Farandi dibelakangku tersenyum, “Keren kan tadi?”

“Keren apanya??”

Kami sampai di atap. Yang lain jelas sekali terlihat cemas.

“Ada apa tadi? Aku mendengar suara yang sangat keras,” kata Medina.

“Si sialan ini melempar granat.” Aku menunjuk Farandi.

“Hei, aku menyelamatkan nyawa kita!!” katanya marah.

“Aku yang datang menyelamatkan nyawamu saat kau ketakutan tadi tahu!”

“Sudah sudah,” sela Rere. “Yang penting kalian selamat. Aku belum kenal denganmu. Siapa namamu?”

Kukira Farandi akan menjawab Rere dengan ketus, tapi ternyata dia malah balik bertanya, “Lho, kakak ini kak Rere kan?”

“Eh iya. Kau ini....oh!! Kau.... Farandi!”

Aku bingung, “Kalian saling kenal?”

Rere melihatku dengan tatapan aneh, “Dia.....adik Niko.”


Oh tidak.



Bersambung.....ke part 12.