Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Medina Membangunkanku Dengan Sadis (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 10)



baca part sebelumnya disini. 

Saat kami kembali ke ruang operasi, Ali sudah sadar dan sedang bermain kartu dengan Medina. Aku penasaran dari mana mereka mendapat kartu itu.

Medina yang pertama menyadari kedatangan kami, “Akhirnya! Bagaimana?”

Muka sedih kami menjawab pertanyaannya, dan dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ali tentu saja memiliki otak yang sedikit lebih lamban.

“Lho, bukannya kalian pergi nyelamatin Tori? Mana dia?”

Zico makin murung mendengar kata-kata tidak sensitif itu. Aku memberi Ali ekspresi muka kesal.

“Ya ampun, kalian gagal ya?” katanya lagi. Oh, aku sangat ingin menonjoknya sekarang. Zico keluar dari kamar itu dengan membanting pintu. Saat itulah Ali baru sadar akan kebodohannya.

“Aku salah bicara ya?”

“Bukan, kau hanya bodoh,” kataku malas. “Kapan kau bangun?”

Medina yang menjawab pertanyaanku, “Sekitar 30 menit setelah kalian pergi. Dia awalnya bingung, lalu aku jelaskan semua kejadian sejak dia pingsan. Aku khawatir karena kalian pergi cukup lama.”

“Yah, kami sempat nyasar. Banyak yang terjadi.”

Aku menceritakan hal-hal yang terjadi saat kami mencoba menolong Tori, sementara itu Rere berbincang-bincang dengan Ali. Medina bingung ketika aku menceritakan saat Tori meninggal.

“Dia berubah secepat itu?” tanyanya.

“Tidak sempat berubah sih, tapi ya, proses menjadi zombie sekarang menjadi lebih cepat daripada sebelumnya. Bima juga dulu begitu kan. Aku tak mengerti kenapa itu terjadi.”

Dia terlihat cemas, “Kalau begitu ini sangat bahaya. Jika tergigit, bisa-bisa kita tak sempat menyembuhkannya.”

“Jangan sampai tergigit kalau gitu,” kataku enteng.

“Memangnya gampang?” sengit Medina, “buktinya kau, Ali dan Zico sudah pernah digigit kan?”

Memang sih. Ali adalah yang pertama kena gigit. Aku hampir saja membunuhnya kalau saja kami tidak sengaja menemukan anti-virus ini. Lalu aku juga pernah digigit saat sedang main-main dengan zombie. Zico paling parah, dia pernah digigit sampai tiga kali saat kami melawan zombie. Kami semua memag masih hidup, tapi sekarang tak ada jaminan lagi kami bisa seberuntung itu.

“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Zico?”

Aku menggeleng. Zico diam saja sejak kami mengubur Tori.

“Kurasa seseorang harus menghiburnya. Pasti ini sangat sulit buatnya.” Medina mengisyaratkan kalu aku yang harus pergi menghibur Zico.

“Medina, cowok sejati itu gak perlu dihibur, dia hanya perlu dibiarkan sendirian sebentar untuk meredakan kesedihannya.”

“Hibur dia!”

“Oke oke, santai dong.” Aku keluar menyusul Zico.

Diluar masih saja turun hujan. Zico sedang termenung sendirian menatap hujan. Termenung menatap hujan adalah tanda universal bahwa orang itu sedang galau. Aku mengambil tempat disampingnya.

“Ini semua salahmu.”

Aku bahkan belum sempat berkata apa-apa dan terkejut ketika dia mengatakan itu.

“Maksudnya?”

Dia melihat dengan marah ke arahku, “Karena kau Tori mati.”

“Hei, aku tahu kau sedang sed...”

Zico menyelaku lagi, “Tidak. Ini memang salahmu. Kau yang pertama kali meninggalkannya sendirian. Kau ada bersamanya saat dia digigit. Kau tidak berguna sama sekali.”

Dibilang seperti itu, emosiku naik.

“Jangan menyalahkanku atas semua yang terjadi. Aku meninggalkannya karena berbahaya jika membawanya.”

“Ya, lebih berbahaya daripada diculik bandit,” kata Zico sinis.

“Aku bahkan tidak tahu ada bandit di kota ini! Lagipula dia awalnya pergi mencarimu sementara kau sembunyi di kamar mayat.”

Aku langsung menyadari kalau itu adalah kata-kata yang salah karena sekarang Zico sangat marah.

“Jadi menurutmu akulah penyebab Tori meninggal?”

“Tidak, maaf, aku....”

Zico tidak membiarkanku menyelesaikan kata-kataku, “Seharusnya aku memang tidak perlu ikut kalian sejak awal. Aku aman-aman saja di kampus sampai kalian datang. Sejak bersama kalian, yang kudapat hanya masalah.”

“Kau tidak perlu berkata seperti itu,” bujukku.

“Memangnya kenapa? Memang iya kan. Aku bersusah payah membantu cari obat buat pacarmu sementara kau membiarkan pacarku mati!”

“Medina bukan pacarku, dan aku tidak membiarkan Tori mati! Kenapa sih kau ngotot sekali. Seharusnya kau marah pada bandit yang melepaskan zombie-zombie itu. Aku sudah berusaha untuk melindunginya!”
“Tapi dia tetap digigit kan? Itu semua karena kau tidak berguna!”

“Oh begitu? Lalu bagaimana denganmu yang lebih tidak berguna karena hanya bisa bersembunyi?”

Kata-kata terakhirku menjadi pemicu meledaknya emosi Zico. Dia menerjangku dan memukulku berkali-kali. Kami berdua terjatuh dalam pergulatan. Aku berusaha membalas setiap kali dia memukul.

Entah bagaimana, aku sudah berada dalam posisi menahannya dengan pistol di tanganku mengarah ke kepalanya.

Saat itulah aku menyadari kalau Zico menangis.

“Kau sialan!! Semua salahmu!” teriaknya.

“Ini bukan salah siapa-siapa!! Berhenti merengek! Kita bisa menyelesaikan ini baik-baik!”

Dia memukulku ketika aku lengah. Pistolku terlepas dari genggaman dan Zico berhasil melepaskan diri. Zico berdiri lalu menarik pistolnya sendiri. Sementara itu, aku berhasil mengambil kembali pistolku.

Kami berdua kini saling menodongkan pistol. Tak ada diantara kami yang berbicara, tak ada yang mau menurunkan senjata.

“Apa yang kalian lakukan??”

Itu Rere. Dia bingung dan kaget melihat kami berdua sekarang. Teriakan Rere  menyadarkanku dari emosi. Aku pun menurunkan senjata. Zico melakukan hal yang sama.

“Maaf...” Aku mencoba minta maaf duluan, tapi Zico malah berbalik pergi.

“Zico mau kemana?” tanya Rere.

“Terserahku,” jawab Zico. “Aku tak perlu lagi bersama kalian.”

“Tapi, kenapa? Tunggu dulu!”

Zico tidak menghiraukannya. Aku tahu dia benar-benar akan pergi. “Sudahlah Re. Biarkan saja dia.”
“Lho, emangnya kenapa Mal?”

“Nanti kujelaskan.”

Zico pun keluar lewat tangga darurat. Aku merasa itulah terakhir kalinya aku melihat satpam itu.



Medina membangunkanku di tengah malam.

“Ng....apa?” kataku masih setengah sadar.

“Aku perlu ke minimarket sekarang. Temani aku ya?”

“ Hah? Kau lapar?”

“Bukan, aku.....perlu sesuatu.”

“Ya udahlah, tunggu pagi aja. Masih hujan juga kan?” Aku mencoba tidur lagi, tapi Medina dengan sadis menyiram mukaku dengan air.

“Apaan sih??” kataku kesal.

“Gak bisa, harus sekarang. Nanti keburu telat.”

“Emangnya perlu apa sih?”

Dia berbisik, “Kebutuhan cewek bulanan....”

Perlu waktu beberapa saat sampai aku mengerti, “Oh, kau perlu beli pembalut?”

Medina mencubit lenganku, “Jangan ngomong keras-keras!”

“Aduh, memangnya siapa yang dengar juga.”

“Udah, diam! Pokoknya temenin. Tadi aku mau minta tolong Rere, tapi gak tega juga. Dia udah kecapekan banget.”

“Emangnya aku gak capek apa?”

Dia cuek dengan keluhanku, “Aku tunggu di depan ya. Cepat lho.”

Aku akhirnya dengan ogah-ogahan mengambil senjataku lalu menyusul ke depan. Semua kejadian hari ini membuatku sangat lelah, belum lagi ditambah perkelahian dengan Zico. Aku ingin cepat menyelesaikan ini dan kembali tidur.

Hujan masih saja turun dengan deras. Mungkin memang sudah masuk musim hujan, aku tidak pernah memperhatikan tanggal lagi.

Pergi malam-malam saat hujan dengan fakta zombie berkeliaran biasanya bukan hal yang bagus, tapi Medina sepertinya tidak mempedulikan itu. Dia berjalan cepat ke minimarket terdekat.

“Awas ada zombie di depan sana,” kataku memperingatkan. Medina mengangguk. Kami berjalan pelan, mencoba tidak menarik perhatian. Kalau bisa, aku tidak mau melawan zombie dulu.

Kami sampai di minimarket dengan selamat. Minimarket itu sudah kehilangan hampir semua makanannya, kurasa bandit yang mengambilnya. Tapi untunglah barang yang dicari Medina masih ada. Dia terlihat sangat lega.
“Oke, kita kembali sekarang,” kataku.
Terdengar suara tembakan diluar. Aku dengan segera tiarap dan bersembunyi.

Medina bertanya tanpa suara apakah itu bandit. Kujawab dengan mengangkat bahu. Apapun yang terjadi diluar, kami lebih baik menghindarinya.

Lalu kami mendengar suara teriakan minta tolong. Benarkah itu bandit?

Karena penasaran, aku mengintip keluar. Ternyata anak SMP sialan yang menyanderaku sedang dikepung banyak zombie dan sepertinya dia baru kehabisan peluru.

“Kita harus menolongnya!” Medina ternyata sudah berada di sampingku.

“Entahlah, dia itu salah seorang bandit yang menyandera Tori.”

“Hah, anak sekecil itu?”

Dia minta tolong lagi. Posisinya sudah sangat terpojok.

“Kita tak bisa membiarkan anak itu mati...” kata Medina.

Aku harus mengambil keputusan sulit, meninggalkan anak itu atau membantunya dengan mempertaruhkan nyawa. Pada akhirnya aku merasa tidak benar membiarkan dia mati dimakan begitu saja.

“Baiklah, kau serang bagian kanan ya,” kataku pada Medina. Kami pun menerobos hujan untuk mengalahkan zombie satu per satu.

Aku berhasil menjatuhkan zombie yang paling dekat dengan anak itu, “Ayo ikut kami! Akan ada banyak lagi yang datang!”

Dia sepertinya mengenaliku, “Aku tidak perlu bantuanmu!”

“Hei, siapa namamu?”

“Aku...Farandi.”

“Oke, Farandi, kau tadi jelas-jelas meminta tolong. Aku bisa saja meninggalkanmu mati disini, itu terserahmu.”

Medina berteriak padaku, “Ayo kita kembali!!”

Aku melihat pada Farandi lagi, “Mau ikut tidak??”


Akhirnya dia menyerah dan mengikuti kami lari dari kejaran zombie ke rumah sakit.



Bersambung.....ke part 11.

0 komentar:

Posting Komentar