baca part sebelumnya disini.
Saat kami kembali ke ruang operasi, Ali
sudah sadar dan sedang bermain kartu dengan Medina. Aku penasaran dari mana
mereka mendapat kartu itu.
Medina yang pertama menyadari kedatangan
kami, “Akhirnya! Bagaimana?”
Muka sedih kami menjawab pertanyaannya,
dan dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Ali tentu saja memiliki otak yang
sedikit lebih lamban.
“Lho, bukannya kalian pergi nyelamatin
Tori? Mana dia?”
Zico makin murung mendengar kata-kata
tidak sensitif itu. Aku memberi Ali ekspresi muka kesal.
“Ya ampun, kalian gagal ya?” katanya
lagi. Oh, aku sangat ingin menonjoknya sekarang. Zico keluar dari kamar itu
dengan membanting pintu. Saat itulah Ali baru sadar akan kebodohannya.
“Aku salah bicara ya?”
“Bukan, kau hanya bodoh,” kataku malas. “Kapan
kau bangun?”
Medina yang menjawab pertanyaanku, “Sekitar
30 menit setelah kalian pergi. Dia awalnya bingung, lalu aku jelaskan semua
kejadian sejak dia pingsan. Aku khawatir karena kalian pergi cukup lama.”
“Yah, kami sempat nyasar. Banyak yang
terjadi.”
Aku menceritakan hal-hal yang terjadi
saat kami mencoba menolong Tori, sementara itu Rere berbincang-bincang dengan
Ali. Medina bingung ketika aku menceritakan saat Tori meninggal.
“Dia berubah secepat itu?” tanyanya.
“Tidak sempat berubah sih, tapi ya,
proses menjadi zombie sekarang menjadi lebih cepat daripada sebelumnya. Bima
juga dulu begitu kan. Aku tak mengerti kenapa itu terjadi.”
Dia terlihat cemas, “Kalau begitu ini
sangat bahaya. Jika tergigit, bisa-bisa kita tak sempat menyembuhkannya.”
“Jangan sampai tergigit kalau gitu,”
kataku enteng.
“Memangnya gampang?” sengit Medina, “buktinya
kau, Ali dan Zico sudah pernah digigit kan?”
Memang sih. Ali adalah yang pertama kena
gigit. Aku hampir saja membunuhnya kalau saja kami tidak sengaja menemukan
anti-virus ini. Lalu aku juga pernah digigit saat sedang main-main dengan
zombie. Zico paling parah, dia pernah digigit sampai tiga kali saat kami
melawan zombie. Kami semua memag masih hidup, tapi sekarang tak ada jaminan
lagi kami bisa seberuntung itu.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Zico?”
Aku menggeleng. Zico diam saja sejak
kami mengubur Tori.
“Kurasa seseorang harus menghiburnya.
Pasti ini sangat sulit buatnya.” Medina mengisyaratkan kalu aku yang harus
pergi menghibur Zico.
“Medina, cowok sejati itu gak perlu
dihibur, dia hanya perlu dibiarkan sendirian sebentar untuk meredakan
kesedihannya.”
“Hibur dia!”
“Oke oke, santai dong.” Aku keluar
menyusul Zico.
Diluar masih saja turun hujan. Zico
sedang termenung sendirian menatap hujan. Termenung menatap hujan adalah tanda
universal bahwa orang itu sedang galau. Aku mengambil tempat disampingnya.
“Ini semua salahmu.”
Aku bahkan belum sempat berkata apa-apa
dan terkejut ketika dia mengatakan itu.
“Maksudnya?”
Dia melihat dengan marah ke arahku, “Karena
kau Tori mati.”
“Hei, aku tahu kau sedang sed...”
Zico menyelaku lagi, “Tidak. Ini memang
salahmu. Kau yang pertama kali meninggalkannya sendirian. Kau ada bersamanya
saat dia digigit. Kau tidak berguna sama sekali.”
Dibilang seperti itu, emosiku naik.
“Jangan menyalahkanku atas semua yang
terjadi. Aku meninggalkannya karena berbahaya jika membawanya.”
“Ya, lebih berbahaya daripada diculik
bandit,” kata Zico sinis.
“Aku bahkan tidak tahu ada bandit di
kota ini! Lagipula dia awalnya pergi mencarimu sementara kau sembunyi di kamar
mayat.”
Aku langsung menyadari kalau itu adalah
kata-kata yang salah karena sekarang Zico sangat marah.
“Jadi menurutmu akulah penyebab Tori
meninggal?”
“Tidak, maaf, aku....”
Zico tidak membiarkanku menyelesaikan kata-kataku,
“Seharusnya aku memang tidak perlu ikut kalian sejak awal. Aku aman-aman saja
di kampus sampai kalian datang. Sejak bersama kalian, yang kudapat hanya
masalah.”
“Kau tidak perlu berkata seperti itu,”
bujukku.
“Memangnya kenapa? Memang iya kan. Aku
bersusah payah membantu cari obat buat pacarmu sementara kau membiarkan pacarku
mati!”
“Medina bukan pacarku, dan aku tidak
membiarkan Tori mati! Kenapa sih kau ngotot sekali. Seharusnya kau marah pada
bandit yang melepaskan zombie-zombie itu. Aku sudah berusaha untuk
melindunginya!”
“Tapi dia tetap digigit kan? Itu semua
karena kau tidak berguna!”
“Oh begitu? Lalu bagaimana denganmu yang
lebih tidak berguna karena hanya bisa bersembunyi?”
Kata-kata terakhirku menjadi pemicu
meledaknya emosi Zico. Dia menerjangku dan memukulku berkali-kali. Kami berdua
terjatuh dalam pergulatan. Aku berusaha membalas setiap kali dia memukul.
Entah bagaimana, aku sudah berada dalam
posisi menahannya dengan pistol di tanganku mengarah ke kepalanya.
Saat itulah aku menyadari kalau Zico
menangis.
“Kau sialan!! Semua salahmu!” teriaknya.
“Ini bukan salah siapa-siapa!! Berhenti
merengek! Kita bisa menyelesaikan ini baik-baik!”
Dia memukulku ketika aku lengah. Pistolku
terlepas dari genggaman dan Zico berhasil melepaskan diri. Zico berdiri lalu
menarik pistolnya sendiri. Sementara itu, aku berhasil mengambil kembali
pistolku.
Kami berdua kini saling menodongkan
pistol. Tak ada diantara kami yang berbicara, tak ada yang mau menurunkan
senjata.
“Apa yang kalian lakukan??”
Itu Rere. Dia bingung dan kaget melihat
kami berdua sekarang. Teriakan Rere menyadarkanku
dari emosi. Aku pun menurunkan senjata. Zico melakukan hal yang sama.
“Maaf...” Aku mencoba minta maaf duluan,
tapi Zico malah berbalik pergi.
“Zico mau kemana?” tanya Rere.
“Terserahku,” jawab Zico. “Aku tak perlu
lagi bersama kalian.”
“Tapi, kenapa? Tunggu dulu!”
Zico tidak menghiraukannya. Aku tahu dia
benar-benar akan pergi. “Sudahlah Re. Biarkan saja dia.”
“Nanti kujelaskan.”
Zico pun keluar lewat tangga darurat.
Aku merasa itulah terakhir kalinya aku melihat satpam itu.
Medina membangunkanku di tengah malam.
“Ng....apa?” kataku masih setengah
sadar.
“Aku perlu ke minimarket sekarang.
Temani aku ya?”
“ Hah? Kau lapar?”
“Bukan, aku.....perlu sesuatu.”
“Ya udahlah, tunggu pagi aja. Masih
hujan juga kan?” Aku mencoba tidur lagi, tapi Medina dengan sadis menyiram
mukaku dengan air.
“Apaan sih??” kataku kesal.
“Gak bisa, harus sekarang. Nanti keburu
telat.”
“Emangnya perlu apa sih?”
Dia berbisik, “Kebutuhan cewek
bulanan....”
Perlu waktu beberapa saat sampai aku
mengerti, “Oh, kau perlu beli pembalut?”
Medina mencubit lenganku, “Jangan
ngomong keras-keras!”
“Aduh, memangnya siapa yang dengar juga.”
“Udah, diam! Pokoknya temenin. Tadi aku
mau minta tolong Rere, tapi gak tega juga. Dia udah kecapekan banget.”
“Emangnya aku gak capek apa?”
Dia cuek dengan keluhanku, “Aku tunggu
di depan ya. Cepat lho.”
Aku akhirnya dengan ogah-ogahan
mengambil senjataku lalu menyusul ke depan. Semua kejadian hari ini membuatku
sangat lelah, belum lagi ditambah perkelahian dengan Zico. Aku ingin cepat
menyelesaikan ini dan kembali tidur.
Hujan masih saja turun dengan deras.
Mungkin memang sudah masuk musim hujan, aku tidak pernah memperhatikan tanggal
lagi.
Pergi malam-malam saat hujan dengan
fakta zombie berkeliaran biasanya bukan hal yang bagus, tapi Medina sepertinya
tidak mempedulikan itu. Dia berjalan cepat ke minimarket terdekat.
“Awas ada zombie di depan sana,” kataku
memperingatkan. Medina mengangguk. Kami berjalan pelan, mencoba tidak menarik perhatian.
Kalau bisa, aku tidak mau melawan zombie dulu.
Kami sampai di minimarket dengan
selamat. Minimarket itu sudah kehilangan hampir semua makanannya, kurasa bandit
yang mengambilnya. Tapi untunglah barang yang dicari Medina masih ada. Dia
terlihat sangat lega.
“Oke, kita kembali sekarang,” kataku.
Terdengar suara tembakan diluar. Aku
dengan segera tiarap dan bersembunyi.
Medina bertanya tanpa suara apakah itu
bandit. Kujawab dengan mengangkat bahu. Apapun yang terjadi diluar, kami lebih
baik menghindarinya.
Lalu kami mendengar suara teriakan minta
tolong. Benarkah itu bandit?
Karena penasaran, aku mengintip keluar.
Ternyata anak SMP sialan yang menyanderaku sedang dikepung banyak zombie dan
sepertinya dia baru kehabisan peluru.
“Kita harus menolongnya!” Medina
ternyata sudah berada di sampingku.
“Entahlah, dia itu salah seorang bandit
yang menyandera Tori.”
“Hah, anak sekecil itu?”
Dia minta tolong lagi. Posisinya sudah
sangat terpojok.
“Kita tak bisa membiarkan anak itu
mati...” kata Medina.
Aku harus mengambil keputusan sulit,
meninggalkan anak itu atau membantunya dengan mempertaruhkan nyawa. Pada
akhirnya aku merasa tidak benar membiarkan dia mati dimakan begitu saja.
“Baiklah, kau serang bagian kanan ya,”
kataku pada Medina. Kami pun menerobos hujan untuk mengalahkan zombie satu per
satu.
Aku berhasil menjatuhkan zombie yang
paling dekat dengan anak itu, “Ayo ikut kami! Akan ada banyak lagi yang datang!”
Dia sepertinya mengenaliku, “Aku tidak
perlu bantuanmu!”
“Hei, siapa namamu?”
“Aku...Farandi.”
“Oke, Farandi, kau tadi jelas-jelas
meminta tolong. Aku bisa saja meninggalkanmu mati disini, itu terserahmu.”
Medina berteriak padaku, “Ayo kita
kembali!!”
Aku melihat pada Farandi lagi, “Mau ikut
tidak??”
Akhirnya dia menyerah dan mengikuti kami
lari dari kejaran zombie ke rumah sakit.
Bersambung.....ke part 11.
0 komentar:
Posting Komentar