baca part sebelumnya disini.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan pada
dia?”
Ali bertanya padaku tentang Farandi yang
kami kunci di kamar sebelah. Dia terbangun ketika kami kembali, sementara Rere
dengan lelapnya masih tidur di kamar yang lain. Medina sudah menyusulnya.
“Entahlah, kita lihat keadaannya dulu.
Tapi aku tak pernah berpikir mau membawanya,” kataku.
“Ngomong-ngomong soal itu, bagaimana
dengan kita?”
“Apanya?”
“Mau kemana kita sekarang?”
Benar juga. Tujuan kami ke kota ini
adalah mencari kekasih Zico, yang sudah meninggal. Zico malah sudah pergi. Kami
tak perlu berlama-lama di kota ini lagi.
“Aku mengambil handphone Bima, tapi
sejauh ini belum ada kabar dari Intan dan yang lain. Kita tunggu kakimu sembuh
dulu lalu pikir langkah selanjutnya.”
Ali menggerak-gerakkan kakinya, “Sudah
tidak terlalu parah. Kurasa aku harus mencoba berjalan-jalan disekitar sini.”
“Nanti pagi saja. Lebih baik kita tidur
sekarang.”
Suara gedoran pintu dari kamar Farandi
terdengar lagi. “Mana mungkin kita bisa tidur nyenyak sementara dia begitu terus.”
Aku menghela nafas, “Biar kuurus.”
Dia menggedor lagi ketika aku berjalan
kesana. “Hei diam!!” kataku setengah berteriak.
“Keluarkan aku dari sini!!” balasnya
dari dalam.
“Berisik! Kami harus kayak gini buat
jaga-jaga tahu.”
“Kenapa kalian harus kurung aku? Biarin
aja aku pergi!”
Wah iya juga ya. Kenapa pula kami harus
repot-repot jaga dia. Aku membuka kunci pintunya, “Oke, sana pergi.”
“Kau akan membiarkanku pergi begitu saja
tanpa senjata?”
“Aku tidak perlu membagi senjata sama
penjahat sepertimu,” kataku ketus. “Hus hus sana.”
Kelihatan sekali walaupun dia kesal,
tapi anak ini mengerti berkeliaran malam hari tanpa sejata sama saja dengan
bunuh diri. Dengan kesal, dia masuk lagi ke kamar dan membanting pintu di
depanku.
Suasana pun sepi lagi. Aku mengambil
handphone dan mencoba menelpon nomor Intan. Sesuai dugaan, tak ada jawaban. Aku
hanya berharap kami punya tujuan setelah ini. Dengan banyak pikiran seperti
itu, aku masuk ke kamar untuk tidur.
Suara gedoran di pintu membangunkanku.
Awalnya kukira itu berasal dari Farandi, tapi ternyata seseorang menggedor
pintu kamarku. Mungkin itu Medina atau Rere.
Kulihat Ali masih tertidur pulas, jadi
dengan malas aku bangun dari tempatku tidur dan bergerak menuju pintu yang
lagi-lagi digedor.
“Ya ya bentar,” kataku sambil membuka
pintu.
Itu bukan Rere dan Medina, tapi zombie.
Kututup pintu. Tunggu, apa aku masih
belum bangun? Kenapa ada zombie disini?
Dengan ragu kubuka lagi pintu. Kini
zombie itu mengerang dan menerjang ke arahku. Aku menutup pintu dengan
tergesa-gesa.
Ini nyata. Entah bagaimana caranya,
zombie masuk ke rumah sakit. Aku membangunkan Ali dengan panik sementara pintu
digedor-gedor dengan keras.
Terkutuklah Ali yang tidur seperti orang
mati di saat-saat seperti ini. Aku harus menekan kakinya yang luka agar dia
bisa benar-benar bangun.
“Aduuh!! Apa sih kau sialan??” teriaknya
kesakitan.
“Li, ada zombie diluar.”
“Hah?” Ali menggosok-gosok matanya, dia
masih setengah sadar.
“Ada zombie!!”
Dia menatapku, “Berapa banyak?”
“Ngg kayaknya sih cuma dua.”
“Ya udahlah kalau segitu, kau kan bisa
kalahin. Kenapa juga takut?”
Ini orang kayaknya nganggap lawan dua
zombie itu sama seperti lawan dua ayam. Tapi benar juga sih, aku kan sudah
pernah melawan lebih dari ini.
Kuambil parang yang tadi kusimpan. “Oke...”
Kubuka pintu dan siap melawan zombie yang masuk.
Tapi perkiraanku salah, ternyata bukan
hanya dua, tapi seluruh lorong sudah dipenuhi zombie.
Aku dengan susah payah mendorong pintu
menutup lagi dan kini menahannya dengan pot bunga.
“Oke, ternyata bukan cuma dua...” kataku
pada Ali.
“Ya tahu, aku juga lihat.” Sekarang dia
baru terlihat cemas.
“Kau bisa jalan? Aku tak mungkin
mengalahkan mereka semua sendirian.”
Ali turun dari tempat tidurnya dan
mencoba berjalan. Dia merengut kesakitan sesaat kakinya menyentuh lantai.
Memang mustahil sekarang.
Aku mengambil pistol dan menyerahkannya
pada Ali, “Kau bantu saja dari tempat tidur. Aku akan membuka pintu dan
menghajar sebanyak mungkin. Tidak ada pilihan lain.”
Dia mengangguk mengerti. Aku memindahkan
pot yang menghalangi pintu. Tak lama setelah itu, zombie berhasil mendobrak
pintu.
Satu zombie langsung jatuh karena
tembakan Ali sementara aku menghajar yang lain dengan parang. Tapi zombie-zombie
lain masuk dengan cepat.
Aku berhasil menjatuhkan satu lagi
zombie. Satu zombie dari samping mencoba menyerangku, tapi Ali menghentikannya.
“Masih banyak gak?” tanya Ali.
“Mana kutahu! Konsentrasi saja menyerang
dulu.”
Tapi aku justru lengah saat berkata itu.
Zombie berhasil meraih tanganku dan mencoba menggigitnya. Aku bergerak lebih
cepat. Kuhajar kepala zombie tersebut dengan tangan yang memegang parang.
Aku tak bisa bergerak bebas karena masih
berusaha melepaskan tangan zombie sialan itu. Atu zombie berhasil melewatiku
dan menuju Ali.
“Ehh Kem...” Ali panik dan berakibat
dengan tembakannya yang kacau. Zombie itu hanya tertembak di badan.
Aku memutuskan untuk memotong tangan
yang memegangku. Setelah itu aku mengejar zombie itu dan menusuk kepalanya dari
belakang. Dia ambruk ke atas tempat tidur Ali.
“Jangan panik dong..” kataku.
Belum sempat aku beristirahat, banyak
lagi zombie yang masuk. Ali mengerang, “Bagaimana mungkin aku gak panik kalau
begini.”
Terdengar suara tembakan dari luar. Rere
dan Medina menjatuhkan zombie yang masuk satu per satu. Aku menarik nafas lega
dan membantu mereka.
“Bagaimana mereka jadi bergerombol masuk
kesini?” tanya Rere setelah kami mengalahkan semua zombie di lorong itu.
Aku melihat keluar jendela. Sebuah mobil
baru saja pergi. Itu mobil yang membawa zombie ke bandit tempat Tori sempat
disandera. Bukan hanya itu kabar buruknya. Banyak zombie berkeliaran di bawah,
padahal sebelumnya jalanan itu sangat kosong.
“Pintu darurat!” teriak Medina. Satu
zombie masuk lewat pintu itu. Aku berlari kesana dengan cepat, menembak zombie
itu di kepala lalu menutup pintu keras-keras.
“Sial, bagian bawah sudah tidak aman
lagi,” kataku.
“Jadi bagaimana?” tanya Medina.
“Kalau tidak bisa ke bawah, bagaimana
kalau ke atas?” saran Rere tiba-tiba.
Aku memikirkan kata-katanya, “Bagus juga
ide itu. Apa liftnya jalan?”
“Karena ada generator, harusnya sih
jalan,” kata Rere.
“Oke, ambil kursi roda untuk Ali. Kita
pergi ke atas. Pintu ini sebentar lagi akan didobrak zombie.”
Jadi dengan Ali kini didorong Rere, kami
masuk ke lift dan naik ke lantai teratas. Lantai itu berantakan, tapi tak ada
zombie. Kami bergegas menuju ke atap lewat tangga darurat. Bagian ini agak
sulit karena kami harus menggotong kursi roda Ali.
Walaupun begitu, kami akhirnya sampai ke
atap. Diluar masih mendung dan sepertinya akan hujan lagi. Anginnya sudah
sangat keras. Kami tak bisa berlama-lama disini.
“Sekarang apa?” tanya Ali.
Aku melihat ke sekeliling. Bangunan lain
terlalu jauh. Satu-satunya jalan hanyalah tangga tegak lurus yang terletak di
sisi bangunan. Tapi tangga itu akan sulit dipakai oleh Ali yang sebelah kakinya
cedera. Jangankan Ali, aku saja bakal takut memakai tangga itu karena tingginya
posisi kami sekarang. Salah sedikit, kaki bisa terpeleset dan yah....kau tahu
lah.
Saat aku sedang bingung, Medina bertanya
padaku, “Eh, mana anak SMP itu?”
Aku perlu beberapa saat untuk menyadari
masalah ini. Mulutku menganga mengingat Farandi masih terjebak sendirian di lantai
itu tanpa senjata. Aku terlalu sibuk memikirkan yang lain sampai melupakan dia.
“Eh anak SMP apa?” tanya Rere yang belum
pernah melihatnya.
“Sudahlah biarkan saja dia,” kata Ali. “Sejak
awal, kita tidak perlu menjaganya.”
Memang, tapi ada perasaan tidak enak
tentang ini. Kami pernah meninggalkan Niko begitu saja, dan itu berakibat cukup
buruk.
“Aku akan kembali untuk melihat apa yang
bisa kulakukan,” kataku akhirnya.
“Kau yakin?” tanya Ali tidak percaya.
“Tidak juga sih.”
“Tunggu, aku ikut!” Medina menahanku.
“Tak perlu, aku tak akan lama. Jika
memang keadaan tidak memungkinkan, aku akan kembali.”
Aku tak menunggu Medina protes dan
segera bergegas menuju lift lagi. Di dalam lift aku memikirkan lagi apa yang
kulakukan. Apa aku memang harus mengorbankan nyawa untuk seorang penjahat?
Toh aku sudah terlanjur ke bawah.
Untungnya, zombie belum menerobos masuk saat aku sampai disana. Sialnya, zombie
berhasil menerobos masuk saat aku membuka pintu kamar Farandi, membuatku kini
terjebak di kamar itu.
Kulihat Farandi meringkuk ketakutan di
pojok kamar. Disaat seperti ini dia baru terlihat seperti anak kecil.
“Kukira kau meninggalkanku disini...”
katanya ketakutan.
“Hampir sih. Sekarang kita terjebak
disini, dan hanya aku yang punya senjata,” keluhku.
“Aku punya satu nih.” Dia merogoh
kantongnya. Aku hampir kena serangan jantung saat dengan santainya dia
mengeluarkan granat.
“Kau punya granat??”
“Aku mengambil satu dari markas. Kita
bisa gunakan ini untuk kabur.
Aku tak suka mengakuinya, tapi dia
mungkin benar. Hanya saja, aku terlalu takut untuk menggunakan granat. Farandi
berdiri dengan sok karena melihatku ragu, “Huh, biar aku saja yang
melakukannya.”
“Apa kau bisa?”
Dia menarik cincin granat tersebut (yang
membuatku sekali lagi hampir kena serangan jantung), membuka pintu dan dengan
cepat melempar granat itu ke tengah kerumunan zombie.
“Tiarap!!” Dia membanting pintu.
Sedetik kemudian, terjadi ledakan
diluar. Suaranya masih menusuk telingaku walaupun kututup sekeras mungkin.
Kekuatan ledakan bahkan sampai merusak pintu.
Aku keluar dengan pelan untuk melihat
keadaan setelah ledakan. Sangat kacau. Darah dan organ-organ tubuh tersebar
dimana-mana. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk muntah.
“Ayo cepat ikut aku!” kataku.
Kami lari ke atas. Telingaku masih
berdengung sedikit karena kerasnya suara ledakan tadi. Farandi dibelakangku
tersenyum, “Keren kan tadi?”
“Keren apanya??”
Kami sampai di atap. Yang lain jelas
sekali terlihat cemas.
“Ada apa tadi? Aku mendengar suara yang
sangat keras,” kata Medina.
“Si sialan ini melempar granat.” Aku
menunjuk Farandi.
“Hei, aku menyelamatkan nyawa kita!!”
katanya marah.
“Aku yang datang menyelamatkan nyawamu
saat kau ketakutan tadi tahu!”
“Sudah sudah,” sela Rere. “Yang penting
kalian selamat. Aku belum kenal denganmu. Siapa namamu?”
Kukira Farandi akan menjawab Rere dengan
ketus, tapi ternyata dia malah balik bertanya, “Lho, kakak ini kak Rere kan?”
“Eh iya. Kau ini....oh!! Kau....
Farandi!”
Aku bingung, “Kalian saling kenal?”
Rere melihatku dengan tatapan aneh, “Dia.....adik
Niko.”
Oh tidak.
Bersambung.....ke part 12.
0 komentar:
Posting Komentar