Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Top 10 Ghost Pokemon

Kembali ke top 10 Pokemon. Sebelumnya aku sudah membuat untuk tipe Grass, Normal dan Psychic. Kali ini aku menyusun daftar top 10 tipe favoritku, yaitu tipe Ghost. Hanya saja, biar berbeda, kali ini aku membuatnya dalam model video yang kuupload di PikaSquad. Btw, siapa Pokemon Ghost favorit kalian?


The Conjuring Legion Part 1 : Pak Moes


Kau tahu kau bosan jika kau melihat keluar jendela saat pelajaran sedang berlangsung. Dan kau tahu kau mungkin gila ketika kau merasa melihat orang bersepeda di langit.

“Ngg, Li?”

“Ya?” kata Ali yang sedang membaca koran di bangku sebelah. Ya, dia bawa koran ke kelas.

“Mungkin gak sih ada orang yang bisa naik sepeda di udara?”

Dia melihatku dengan bingung, “Kurasa kau hanya lapar.”

Setelah dipikir-pikir, perutku memang keroncongan sejak tadi. Ini sudah jam tiga dan kami belum makan siang karena waktu istirahat yang dimanfaatkan untuk main. Kurasa kelaparan memang bisa bikin kau mengkhayal. Tapi tetap saja, aku merasa aku tak sekedar salah lihat.

Renungan itu terbuyarkan oleh bunyi dering bel kelas. Dering yang terdengar seperti suara malaikat bagiku.

“Yuk Bro, kita ke Pak Moes!” kataku pada Ali.

Pak Moes adalah warung mie yang terkenal di dekat sekolahku. Kami berdua bisa dibilang pelanggan setia karena sering banget pergi ke sana sampai-sampai kadang yang jualannya kasih kita diskon. Itu adalah bukti tak terbantahkan bahwa sudah terjalin hubungan harmonis antara penjual dan pembeli.

“Tunggu bentar Kem. Aku agak capek,” kata Ali.

Aku mengangkat alis, “Kenapa? Kau hanya duduk sambil membaca koran dari tadi. Dan soal itu, kenapa kau membawa koran ke dalam kelas?”

“Aku tidak mau ketinggalan berita hari ini. Pengetahuan itu penting tahu.”

“Kau bisa membacanya di internet kan?”

“Ckck, itulah anak muda jaman sekarang,” katanya sambil berdiri, “semuanya serba internet.”

“Kurasa kau juga masih muda. Walaupun memang gayamu memang seperti orang tua sih.”

Aku berkomentar seperti itu karena melihat Ali yang memegang punggungnya ketika berdiri, mengingatkan pada kakek-kakek yang encok.

“Kenapa koran sekarang berat-berat ya?”

“Hah?”

“Aku serius. Gak terlalu sih, tapi lumayan bikin tangan pegel.”

Kucoba mengangkat koran itu. Tidak terasa adanya berat tambahan. Aku bisa menyimpulkan dua hal : Ali stress karena tidak mengerti pelajaran tadi, atau dia sangat kelaparan.

Aku memutuskan pilihan kedua, “Ayo kita makan dulu ke Pak Moes. Kurasa kita berdua sama-sama sangat lapar.”

Maka pergilah kami berdua ke warung tercinta, Pak Moes. Di sana kami memesan mi goreng favorit kami. Sudah ada beberapa orang di sana sebelum kami. Tapi hari ini ternyata lumayan sepi.

“Hei, apa kau tahu siapa itu Pak Moes?” tanya Ali tiba-tiba saat kami sedang menyantap makanan.

“Apa?”

“Ya, pemilik nama warung ini. Apa jauh lebih hebat dalam membuat mie goreng daripada semua karyawan di sini?”

Harus kuakui aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.

“Benar juga, berarti mie gorengnya enak banget dong ya.”

“Aku ingin bertemu dengan Pak Moes ini,” kata Ali.

Aku mengangguk setuju. Jika namanya pantas untuk warung seenak ini, berarti dia adalah legend dalam membuat mie goreng.

Saat itu kami tak tahu, kalau pertemuan itu akan terjadi lebih cepat dengan cara yang mengejutkan.





Dan maksudku mengejutkan adalah aku menemukan dia sedang bersantai di lemari kamarku saat aku hendak mengganti baju sebelum tidur.

“AAHHHH!!!”

“WAAAAA!” Eh nih bapak-bapak malah ikut teriak.

“Siapa kau? Sedang apa di sini?” kataku setengah takut setengah waspada. “Maling ya? Aku punya penggaris besi dan tak takut untuk menggunakannya!”

“Tenanglah.” Suaranya berat seperti Morgan Freeman. Kau tahulah, artis yang mempunyai suara berat keren itu. Hanya saja, bapak-bapak ini mirip gelandangan yang kau temui di pinggir jalan, dengan badan kerempeng dan muka penuh keriput.

“Kemal, kau sudah terpilih...” katanya.

“Hah? Apa maksudmu? Kau siapa??”

“Aku adalah,” dia memberi jeda untuk kesan dramatis, “Pak Moes.”

Aku terdiam untuk sesaat. Benarkah ini? Diakah Pak Moes yang mie gorengnya sangat melegenda hingga dipakai untuk nama warung makan?

Dia terus melihatku, menunggu respon.

“Apa...apa yang Pak Moes lakukan di dalam lemariku?”

“Aah, itu pertanyaan bagus,” jawabnya. Dia berjalan ke meja belajarku dan duduk di sana. “Aku menunggumu dari tadi. Tapi ketika kau masuk, aku panik dan bersembunyi di dalam lemari.”

“Kenapa kau bersembunyi kalau kau menungguku?”

“Aku tidak berpikir panjang. Daripada itu, apakah kau sudah siap menjadi salah satu yang terpilih?”
“Aku masih belum mengerti, apa maksudmu dengan ‘terpilih’ ini?”

Dia tersenyum, “Kau akan mengerti. Datanglah ke Pak Moes tengah malam ini. Aku juga sudah mengatakan kepada empat orang lainnya. Aku akan menjelaskan semuanya di sana.”

“Tapi,” aku melihat jam, “ini sudah jam satu.”

“Benarkah? Oh sial, aku terlambat.” Dia membuka jendela kamarku, “Kemal, kita bertemu di sana ya!” Dan dia pun pergi begitu saja dari jendela, persis seperti maling.




Diam-diam, aku keluar dari rumah. Aku tidak mau membangunkan ibuku dan izin untuk pergi ke warung makan jam segini, bisa-bisa dia akan memarahiku. Aku juga heran kenapa aku mau repot-repot mengikuti perkataannya. Walaupun dia mengaku Pak Moes, dia bisa jadi siapa saja. Mungkin saja dia penculik, dan sekarang sedang menungguku sambil tersenyum jahat.

Tapi aku merasakan semangat karena penasaran, sesuatu yang lama tidak kurasakan. Hidupku cukup membosankan belakangan ini, hanya bolak-balik sekolah dan rumah. Karena itu aku jika ada sesuatu yang bisa membuatku penasaran lagi, itu pantas untuk di cek. Walaupun bisa saja semua berakhir buruk dan besoknya aku sudah terikat di salah satu rumah kosong.

Jalanan sepi, yang wajar saja karena sudah malam. Kukira aku tak akan bertemu siapapun. Tapi lalu dari belokan muncullah Ali.

“Ali!!” teriakku memanggilnya.

Dia juga terkejut melihatku, “Kem, ngapain kau malam-malam gini?”

“Kau sendiri?”

“Kau tidak akan percaya apa yang akan kukatakan. Pak Moes muncul di kamar mandiku dan dia meminta aku pergi ke warungnya sekarang.”

Aku membelalak kaget, “Aku juga sama! Yaah, dia muncul di balik lemariku sih, tapi sisanya sama. Dia juga memintaku datang malam ini.”

“Apa? Kapan itu terjadi?”

“Baru saja.”

“Itu tidak mungkin! Aku juga baru saja bertemu dia.”

Kami diam dalam kebingungan.

“Sebaiknya kita bergegas ke Pak Moes saja. Pasti kita bisa tahu jawabannya di sana,” usulku. Ali mengangguk setuju.

Sampai di sana, ternyata sudah ada orang lain selain kami. Dia sepertinya adalah pengamen, jadi kami tidak tahu pasti apa dia juga dipanggil oleh Pak Moes atau kebetulan saja lewat. Dia sedang menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya tentang patah hati.

Petikan gitarnya mengalun indah dan tersengar sangat merdu di telinga. Tapi sayangnya, suaranya tidak mendukung musik indah itu. Kau tahu suara kambing ketika disembelih saat Idul Adha? Yah, ini sedikit lebih jelek.

Anehnya, aku merasakan perasaanku sedikit tersentuh. Ali bahkan terpana sampai-sampai jika tidak kutarik, aku merasa dia akan menangis di tempat. Kami masuk ke Pak Moes dan mengambil tempat duduk di sebelah pengamen tersebut.

“Hai,” kataku, “kami mengganggu?”

Dia berhenti main gitar dan melihat kami, “Tidak tidak. Aku hanya sedang sedikit patah hati setelah ditolak cewek 49 kali beruntun. Namaku Frank btw.”

Wow, informasi yang terlalu banyak, “Aku Kemal dan ini Ali.” Ali melambai sambil senyum-senyum bodoh. “Jadi, apa kau juga dipanggil oleh Pak Moes?”

Frank melihat kami dengan ketertarikan baru, “Kau juga?”

“Ya! Jadi dia muncul di lemari atau kamar mandimu?”

“Hah? Tidak dua-duanya. Tadi aku mengamen untuk dia, tapi dia belum bayar. Katanya pergilah ke warung Pak Moes supaya bisa dibayar di sana.”

“Dan kapan ini terjadi?” tanya Ali.

“Baru saja. Mungkin setengah jam yang lalu.”

Ternyata benar. Orang yang mengaku Pak Moes ini muncul di banyak tempat sekaligus. Apa orang yang kami temui berbeda?

Frank melanjutkan, “Aku suka sekali makan di Pak Moes, dan ketika dia mengenalkan dirinya sebagai pemilik nama warung ini, aku jelas penasaran.”

“Sama, aku juga,” kataku bersemangat. “Jadi, dimana dia sekarang?”

“Di sini....”

Tiba-tiba dari balik bayangan dinding, muncullah Pak Moes.

“Sudah berapa lama kau di sana?” tanya Ali sedikit kaget.

“Cukup lama. Aku menunggu kalian menanyakanku sehingga aku bisa muncul dengan keren.”

“Oke, kau sudah terlihat keren,” kataku tak sabar, “bisa kau jelaskan sekarang kenapa kau mengumpulkan kami?”

“Kulihat masih kurang dua orang, tapi baiklah. Sebelum itu, mari nikmati hidangannya.”

Aku awalnya tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi tiba-tiba saja aku tersadar kalau sudah ada tiga mie goreng di meja kami.

“Kau...bagaimana...”

“Tidak usah dipikirkan. Mari kita bicara sambil makan, aku membuatnya spesial untuk kalian.”

Ternyata sesuai perkiraanku dan Ali, mie goreng buatan Pak Moes yang asli sangat sangat sangat enak. Aku tidak tahu bagaimana cara dia membuatnya, tapi aku mau saja membayar mahal untuk makanan seenak ini.

“Baiklah, aku akan mulai dari awal,” kata Pak Moes, dia juga duduk untuk makan.

“Namaku adalah Moeskovic. Dan aku adalah utusan dewa.”

“Moeskovic?” kata Ali, “Kau orang Rusia??”

Aku, walaupun juga terkagum dengan nama aslinya yang jantan, lebih penasaran dengan hal lain. “Apa maksudmu dengan utusan dewa?”

“Yah begitulah, dewa mengutusku ke sini. Dan kalian adalah orang yang kupilih untuk menyelamatkan dunia.”

Sulit menganggapnya serius karena dia membicarakan soal menyelamatkan dunia sambil makan mie goreng.

“Aku tidak mengerti,” kata Frank.

“Kau akan segera mengerti. Aku akan jelaskan detailnya nanti. Sekarang...” Dia berdiri dan mengambil koran dari dalam dapur. Dia lalu memberikan koran itu pada Ali.

Ali mengambilnya dengan bingung, “Buat apa nih? Koran lama juga.”

“Kau pernah bilang kalau koran kadang bisa berat kan?”

Aku memang ingat Ali mengatakan itu tadi siang di sekolah.

“Terus?”

“Nah, mie goreng yang kau makan tadi pasti sudah mengaktifkan kekuatanmu. Frank, bisa minta bantuanmu sebentar.”

Dengan segan, Frank mendekat ke Pak Moes.

“Ali, tahan nafas dan pukul Frank dengan koran itu. Tidak apa-apa kan Frank?”

“Cuma koran?” Frank sedikit menahan tawa, “Yah, pukul saja sekerasmu.”

“Bener nih?” Ali mulai melipat korannya hingga berbentuk pemukul.

“Ya, gunakan semua kekuatanmu. Aku santai aja.”

“Oke.”

Ali menahan nafas, dan memukulkan korannya ke muka Frank. Bunyi pukulannya bergema keras dan Frank terlempar hingga menabrak tembok. Tembok itu bahkan sampai sedikit retak. Aku menganga.

Ali sama terkejutnya denganku, “Wow! Untuk sesaat koran ini jadi berat sekali!”

Pak Moes mengangguk, “Itulah kekuatanmu, mengubah koran menjadi besi selama kau menahan nafas. Plus, kekuatanmu juga bertambah jika kamu menggunakan kekuatanmu. Makanya Frank sampai terlempar,” katanya sambil menunjuk Frank yang tidak bergerak.

“Wooowww,” Ali melihat korannya dengan pandangan kagum, “lihat Kem, kekuatanku ini unik banget!”

“Sebenarnya, itu mirip banget sama kekuatan Sano dari Law of Ueki.”

Tapi Ali tak mendengarkanku, dia sudah tenggelam dengan kekagumannya atas kekuatan baru itu.

Aku melihat ke Frank yang masih tak bergerak, “Ngg, apa dia tak apa-apa?”

“Tenang saja. Dia salah satu yang terpilih, badannya cukup kuat. Nah berikutnya kau...” Dia menunjukku. Aku langsung bersemangat. “Setahuku kekuatanmu adalah mewujudkan sesuatu dari tulisan. Coba tulis sesuatu.”

Pak Moes memberiku pulpen dan aku dengan cepat menulis ‘Pedang Super Kuat’.

Tidak terjadi apa-apa.

“Mmh, mungkin kau salah?” tanyaku.

“Tidak, aku ingat dewa mengatakan sesuatu tentang tulisan. Mungkin tulisanmu saja terlalu jelek,” kata Pak Moes. Dia juga terlihat bingung. Memang sih, tulisanku memang mirip tulisan dokter.

“Masa sih? Pasti kau salah. Mungkin saja kekuatanku itu lebih keren seperti mengendalikan api?”

“Aku yakin tidak. Tunggu, aku punya alat tulis lain, mungkin kita bisa....”

Perkataannya terpotong oleh sebuah ledakan besar. Kami terlempar keluar warung karena angin ledakan. Badanku nyeri di berbagai tempat.

“Sial, mereka melacak kita...” kata Pak Moes.

“Siapa maksudmu? Mereka yang bikin ledakan itu?”

“Yah, mereka sama seperti kalian. Orang-orang terpilih yang akan mengikuti turnamen.”

Aku ingin menanyakan apa yang dia maksud dengan turnamen, tapi aku terhenti karena melihat dua sosok teroris yang meledakkan warung itu.

Salah satu adalah laki-laki bertubuh pendek yang langsung kuanggap bodoh. Kenapa? Karena dia memakai kacamata hitam waktu malam gini. Yang satunya lagi seperti orang yang terlalu banyak memakai steroid karena ototnya terlalu kekar.

“Jadi kalian...orang-orang dari Black Pegasus,” kata Pak Moes. “Berani sekali kalian muncul di sini.”

“Maaf ya Moeskovic, Bos menyuruh kami melakukan tindakan pencegahan dan menghabisi anak buahmu terlebih dahulu, bener kan Gin Gin?”

“Begitulah Bro!!” kata orang berotot yang dipanggil Gin Gin, terdengar terlalu bersemangat, “Kalian semua akan mati di sini!”

“Heh, ini kesempatan bagus untuk mengetes tim ini.” Pak Moes melihat ke kami, “Dengar ya, si pendek itu namanya Kevin. Kekuatannya adalah bisa meledakkan apa saja selama dia tidak melihat. Dialah yang patut kalian waspadai, temannya hanya si bodoh berotot.”

“Siapa yang kau bilang bodoh, hah??” Gin Gin memamerkan ototnya dan menggerak-gerakkan otot dadanya.

Pak Moes melanjutkan seakan-akan tidak ada yang berbicara, “Kalian bisa memenangkan pertarungan ini. Tiga lawan dua.”

“Ngg Pak, sekedar informasi, hanya Ali yang bisa menggunakan kekuatan di sini. Frank malah pingsan,” kataku.

Hening.

“KENAPA FRANK BISA PINGSAN??”

“KAN KAU YANG MENYURUH ALI MEMUKULNYA!!”

Lalu pijakan Pak Moes meledak, melempar Pak Moes ke udara. Dia gosong dan terkapar di jalan.

“Meleset ya?” tanya Kevin.

“Ya, tinggal ke depan sedikit!!” seru Gin Gin.

Kevin mengulurkan tangannya, dan terjadi ledakan lagi. Aku dengan susah payah menghindar.

“Ali, gunakan kekuatanmu untuk melawannya!” teriakku, “Dia tidak bisa melihat selama memakai kekuatan itu. Ulur waktu sebentar, aku akan mencoba membangunkan Frank dan Pak Moes!”

“Oke!!”

Awalnya gugup, Ali berlari ke Kevin sambil menggulung korannya. Korannya mengeras menjadi besi.

Tapi pukulan korannya dihalangi dengan tangan kosong oleh Gin Gin.
“Hehe, adu kekuatan itu keahlianku!!”

Dia memukul balik Ali dengan keras. Beruntung Ali masih sempat menahannya dengan koran.
“Cepat Kem, orang ini kuat banget!!”

“Ya sebentar!!” Aku berlari ke arah Pak Moes terkapar. “Bangun woi, utusan dewa kok lemah banget sih!” Tak ada tanggapan. Aku mulai putus asa.

Lalu aku melihat di balik jasnya ada sebuah kertas catatan dan sebuah pensil.

“Kem, si Kevin mau menyerang lagi!”

Aku melihat Kevin sudah mengangkat tangannya lagi. Dengan panik, aku mengambil catatan  dan pensil itu kemudian menulis kata ‘perisai’. Lalu seperti sihir, kertas itu berubah bentuk menjadi perisai yang cukup besar untuk melindungi semua badanku.

Ledakan bergemuruh di dekatku. Aku berhasil bertahan dari angin ledakan.
“Kem!!” teriak Ali.

“Aku tidak apa-apa,” kataku keluar dari perisai. Anehnya, perisai itu berubah lagi menjadi kertas yang kini seperti bekas terbakar.

“Kau....darimana perisai itu?” Ali berlari mendekatiku.

“Wah wah,” kata Kevin, “akhirnya kau mengetahui kekuatanmu ya?”

Benarkah ini? Aku menulis kata ‘pedang’ di kertas, dan kertas tersebut langsung berubah bentuk menjadi pedang panjang.


Aku tersenyum, kuayun-ayunkan pedang itu, “Oke Li, saatnya kita lakukan serangan balasan.”



Bersambung. . .

Pacar Selingkuh


Aku sudah mulai curiga ketika pacarku, Riri, mulai membicarakan cowok itu terus menerus. Karena beda kampus, aku tidak tahu bagaimana tampang si Alvin ini, tapi Riri menceritakannya dia dengan rasa kagum yang sangat besar.
"Tapi tenang saja, aku setia sama kamu kok," katanya. Sepertinya dia sadar kalau aku cemburu.
"Yah oke, aku percaya kok padamu," kataku saat itu.
Kepercayaanku mulai runtuh ketika pada suatu hari dia tidak mengabariku sama sekali. Aku, yang entah kenapa gampang berpikir negatif, langsung memikirkan hal-hal yang aneh. Mungkin dia kecelakaan. Atau mungkin dia diculik alien saat pulang kampus. Aku bolak-balik coba menghubungi dia, tapi tak ada jawaban.
Dia baru menghubungi lagi sekitar tengah malam. Saat itu aku sudah siap menghubungi Presiden dan memanggil anggota SWAT untuk mencari Riri. Maka kau mengertilah bagaimana leganya ketika aku mendengar suaranya. Aku langsung bertanya apa saja yang dia lakukan. Tapi berbeda denganku yang antusias, dia terlihat seperti capek dan malas bicara.
"Kamu kemana aja?" tanyaku.
"Banyaklah. Aku kan sibuuukk..."
"Pergi sama siapa aja? Kok gak ngabarin?"
"Sama temen. Sibuk, gak sempet balas telponmu. Udah ya, aku capek...."
Awalnya aku terima saja alasan itu. Aku sudah cukup senang dia tak apa-apa. Lalu besoknya, tepatnya ketika sedang di kelas, sebuah pemikiran menghantamku dengan sangat keras.
"Dia pergi sama Alvin!!!"
Seluruh orang di kelas melihatku. Aku sendiri baru sadar kalau aku bukan hanya memikirkannya, tapi juga mengatakannya keras-keras. Baru kali itulah dosen melihatku dengan tatapan kasihan.
Setelah itu aku langsung menelponnya dan menanyakan pikiran itu. 
"Yaah, aku memang pergi dia.." jawabnya.
"Kenapa kamu gak bilang??"
"Cuma jalan-jalan antar temen kok. Gak perlu khawatir. Masa aku harus lapor tiap pergi sama temen."
Masuk akal sih, tapi aku merasa Alvin ini tidak sekedar 'biasa'. Hanya saja aku tak mau menekannya, apalagi aku sadar kalau aku biasanya berpikir berlebihan.
“Oke, oke, tapi lain kali kasih tau kamu dimana dong.”
“Yaa sayaaang,” katanya manja, menghilangkan semua marahku. San sejak itu, hubungan kami mulai normal lagi.
Atau begitulah yang kupikir. Kira-kira seminggu kemudian, sesuatu yang mengerikan iu terjadi.
“Kurasa kita harus putus. Maaf, tapi aku perlu waktu untuk sendiri,” katanya di telepon.
Tentu saja aku protes, “Apa? Kenapa? Kalau kamu mau waktu sendiri, aku bisa kok!”
“Tidak, maaf, kamu terlalu baik untukku....”
Saat itu, aku sudah sadar kalau semua berakhir. Jika sampai pasanganmu bilang ‘kamu terlalu baik’, padahal kamu tau kamu gak baik-baik amat, maka itu sudah jelas dia cuma cari alasan dan dia bener-bener gak mau capek-capek mikirin kamu lagi.
Aku hanya diam, mencoba kalem, padahal dalam hati udah meraung-raung.
“Ooh, kamu yakin?” (Dalam hati : seriusaaaan niiihhh???? Huweeee!!!)
“Ya, maaf ya. Tapi kita bisa tetep temenan kok.”
“Haha, ya. Kita tetep temen ya.” (Dalam hati : temenaaan apaaan?? Aku maunya pacaran, pacaaraaaannn, huweeee!!)
“Udah dulu ya. Aku ada urusan.”
“Oke.” (Dalam hati : jangaan pergiii dong. Aku masiiihhh sayaaang bangeeet. Huweee!!)
Dia lalu menutup telpon, meninggalkanku yang dengan susah payah menahan tangis.
Malamnya aku jadi sangat lesu. Aku di kamar terus menerus sampai-sampai ibuku sulit memintaku untuk makan.
“Kemal! Makan sayurnya juga dong,  jangan nambah ayam goreng terus!” bentak ibuku.
“Ibu tidak mengerti!! Aku kan lagi galau!” balasku sambil tetap mencomot ayam goreng. Aku lalu meninggalkan meja makan dengan marah, “Aku gak mau makan lagi!!”
“Baguslah, udah nambah tiga piring juga.”
Setelah semalaman penuh kesedihan, aku memutuskan untuk menceritakan pada teman baikku, Frank, yang berkunjung keesokan harinya. Ternyata dia sudah tahu sedikit masalahnya sehingga aku tinggal menceritakan detailnya.
“Sudah, sudah...” Frank coba menenangkanku.
“Tapi Frank, sakitnya tuh di sini!” Aku menunjuk badanku.
“Di....jantungmu?”
“Maksudku di hatiku!”
“Tapi kau menunjuk jantungmu...”
“Kau tahulah maksudku.”
Aku menangis tertahan lagi, “Aku tak percaya dia melakukan ini padaku. Aku sangat kesepian sekarang.”
“Kem,” Frank menaruh tangannya di bahuku, “pintu rumahku selalu terbuka kok.”
“Karena itulah aku tak mau ke rumahmu. Maling terlalu gampang masuk.”
Frank cemberut, tapi tidak protes juga.
“Aku yakin dia udah ada rasa sama si Alvin ini sejak awal,” kataku sedikit terisak.
Frank tampak berpikir. Dia lalu bertanya padaku, “Apa kau tahu bagaimana muka si Alvin ini?”
“Gak juga sih.”
“Coba cari di facebook.”
Benar juga, kenapa aku gak berpikir seperti itu sebelumnya. Dengan mudah aku menemukan profilnya di facebook. Yang perlu kulakukan hanyalah mencari nama Alvin di list friend profil milik mantanku.
“Ini dia nih. Padahal gak ganteng-ganteng amat ya kan,” kataku.
“Nah, kau tahu apa yang harus kita lakukan kan?”
“Eh, apa?”
Frank tersenyum jahat, “Kita sergap dia di tengah jalan, lalu pukuli sampai pingsan!”
“Wow hei hei,” kataku kaget, “kurasa kau berlebihan.”
“Oh lihat, aku secara tak sengaja membawa dua pemukul baseball.” Dia mengeluarkan pemukul itu entah dari mana.
“Kau tidak sengaja membawa itu? Kau gi...”
“Ssstt, dengar dulu rencanaku. Lihat, aku sudah membuat persentasi untuk rencana penyerangan kita.”
Frank lalu mengeluarkan laptop dan membuka ppt berjudul ‘Rencana Penyerangan’. Di sana dijelaskan semua dari tahap ke tahap bagaimana kami sebaiknya menjalankan proses penyerangan ke Alvin ini.
“Kau gila...” kataku setelah slide terakhir yang memperlihatkan gambar Hello Kitty dengan tulisan ‘Terima Kasih’.
“Memangnya kau tidak marah padanya yang sudah merebut pacarmu?”
“Ya emang sih, tapi kan...”
“Oke, kalau begitu kita sepakat. Ayo!”
Frank menarikku ke mobilnya tanpa mendengar keluhanku. Kami lalu bergerak menuju kampus mantanku. Aku setengah berharap kalau kami tidak bertemu dengan Alvin. Memang sih godaan untuk menghajarnya cukup besar, tapi entahlah, aku bukanlah orang yang biasa melakukan kekerasan.
Sesuai perkiraanku, banyak mahasiswa yang berkeliaran di kampus itu. Susah untuk menemukan Alvin.
“Sudah kita menyerah saja,” kataku, “tak mungkin kita bisa menemukan dia di kerumunan i...”
“Itu dia!!” Frank menunjuk ke salah satu orang. Dan dia benar, itu Alvin yang kulihat di foto. Bagaimana dia bisa menemukannya, aku tak tahu.
“Bagus, dia sepertinya mau pulang. Kita ikuti dia pelan-pelan.”
Aku mulai curiga kalau Frank menikmati menjadi orang jahat, “Kau yakin?”
“Ya, pakai ini.”
Dia memberiku sebuah stocking.
“Pakai itu di kepalamu,” katanya.
“Kau membuat kita seperti perampok bank tahu.”
“Mungkin kita bisa merampok bank setelah ini. Kan udah sekalian jadi kriminal juga.”
“Oke, itu terakhir kali aku curhat kepadamu.” Tapi kupakai juga stocking itu di kepalaku. Aku benar-benar merasa bodoh.
Kami mengikuti Alvin dengan mobil, sebisa mungkin menjaga jarak dan mencari kesempatan di saat sepi.
“Aku mulai merasa ini bukan ide yang bagus,” kataku ragu.
“Oke, sekarang saatnya!!”
“Kau dengar gak sih apa yang kubilang??”
Frank keluar dari mobil sebelum bisa kucegah. Dia menghadang Alvin dari depan, sementara aku (menurut rencana di ppt tadi) akan mengepungnya dari belakang.
Alvin mulai curiga ketika melihat Frank yang memakai stocking di kepala mendekatinya dengan perlahan. Lalu ketika dia berbalik, dia kaget ketika melihatku. Rencana kami berhasil.
“Ma...mau apa kalian? Jangan mende....eh....”
Karena paniknya, secara tak sengaja kakinya terpeleset. Dia terjatuh dengan kepala menghantam lantai. Dia tak bergerak. Kami hanya bisa melihat semua kejadian itu dan kini tak yakin harus berbuat apa.
“Apa dia mati?” tanya Frank memecah keheningan.
Aku dengan panik mengecek nafasnya, “Masih ada!!”
“Sial,” komentar Frank, “berarti dia pingsan duluan sebelum kita pukul.”
“Bukan itu masalahnya! Sekarang harus apa yang kita lakukan?”
Frank melihatku dengan gaya tersinggung, “Kau gak ingat persentasiku tadi?”
“Aku...sudahlah, apa rencananya?”
“Kita tinggalkan dia di rumah mantanmu, jadi terlihat kalau dialah yang melakukan kejahatan ini.”
Dalam hati, aku berpikir kalau Frank terlalu banyak cerita Conan, tapi kami masukkan juga dia ke mobil lalu kami berkendara ke rumah Riri.
“Sip, suasananya lagi aman,” kata Frank sambil melihat sekeliling. “ Ayo kita keluarkan dia.”
Kami menyeret Alvin dengan perlahan ke halaman rumah. Aku sangat takut jika tiba-tiba seseorang keluar dari rumah dan memergoki kami. Jaman sekarang jika kita ketahuan melakukan sesuatu yang salah, bukan hanya polisi yang harus kita hadapi, tapi juga hinaan dan hujatan dari teman-teman di sosial media. Aku tak mau itu terjadi.
Kami berhasil membawa Alvin cukup dengan rumah. Malah saking dekatnya, aku bisa mendengar suara Riri yang sedang berbicara pada ibunya.
“Aneh deh Bu, si Alvin gak jawab telponku melulu,” kata Riri.
Kata-kata itu membuatku panas dingin. Dingin karena takut perbuatan kami sudah ketahuan dan panas karena Riri membicarakan Alvin.
“Memangnya kalian mau ngapain?” tanya seseorang yang kurasa adalah ibunya.
“Aku kan udah bilang, mau beli hadiah buat Kemal yang ulang tahun hari ini. Aku udah sengaja pura-pura putus kemarin supaya bisa kagetin Kemal malam ini. Katanya Alvin mau temenin aku, tapi dia kemana ya?”
Aku menganga. Jadi ini semua hanya untuk kejutan nanti malam. Aku bahkan tak ingat kalau aku hari ini ulang tahun karena sedih diputusin.
Kulihat Frank sama terkejutnya denganku.
“Selamat ulang tahun bro,” bisiknya.
“Kubunuh kau nanti. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Aku tak tahu. Kita pergi saja.”
“Aku mendengar sesuatu di luar,” kata Riri.
“Oh sial,” aku makin panik, “cepat, tirukan suara binatang!”
“Eh, eh, mbeeeekkkk.”
“Kenapa suara kambing???”
“Hanya itu yang terpikirkan olehku,” balas Frank dengan kesal.
“Oh cuma kambing,” kata Riri. Aku takjub rencana itu berhasil. Sebelum terjadi sesuatu lagi, kami berdua kabur ke mobil.
Untunglah kami tidak ketahuan. Riri banyak bercerita soal kekagetannya menemui Alvin pingsan di halaman rumahnya lewat sosial media, tapi sepertinya dia mengira Alvin terpeleset saat hendak menemuinya. Hebatnya, Alvin pun sepertinya tidak ingat apa yang terjadi padanya.
Dan malamnya, sesuai perkiraan, Riri dan teman-temanku yang lain mengadakan pesta kejutan di rumahku. Aku harus bersandiwara dengan pura-pura terkejut dan menangis bahagia agar teman-temanku senang. Bagian bahagia tidak terlalu susah karena aku memang sangat bahagia sekarang.
“Aku sayang kamu deh,” kataku sambil memeluk Riri.
Tapi Riri tiba-tiba melepas pelukanku.
“Eh, kenapa?” tanyaku cemas.
“Itu buat apa?” Dia menunjuk ke sebuah benda di atas tempat tidurku. Stocking yang dipinjami Frank tergeletak manja di situ.
Ini akan sulit untuk dijelaskan.