Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Buku Kumpulan Cerpen is Coming!!

Akhirnya, setelah sekian lama tertunda, buku kumpulan cerpen terbaikku di kemudian.com akan kubukukan secara self-publish di nulisbuku.com. Kenapa self-publish? Karena itu gampang, bwahahaha!!

Detailnya cara belinya nant aja deh kalau udah terbit. Kover buku ini sekali lagi di desain oleh kak Zula yang keren :


Mungkin agak terlihat sedikit cinta, tapi percayalah, isinya malah kebanyakan cerita komedi. List cerpen yang kumasukkan adalah :

1. Jika Hidupku adalah Film India
2. Moongazer
3. Jika Temanku adalah Dora
4. Cerita Sebatang Pohon
5. Terjebak di Masa Depan (karya Tiara)
6. Para Hantu Malam Jumatan
7. Kita Bertemu di Sana
8. Gak Bayar Rujak, Apa Kata Bu Nia?
9. Kerupuk Eating World Championship
10. Hadiah Ulang Tahun
11. Malaikat Maut yang Ceroboh
12. Jika Aku adalah Little Red Riding Hood
13. Dunia Satu Toilet (karya Tiara)
14. Ketika Bulan Jatuh Cinta pada Matahari
15. Aku Diselamatkan Power Rangers
16. Menemani Pacar Belanja

The Conjuring Legion Part 3 : Turnamen



(Frank)

Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Terakhir kuingat, aku dipukul Ali dengan koran. Entah kenapa hal itu bisa menyebabkan aku hilang ingatan.

Sekarang kami semua berkumpul di sebuah warung makan. Kami memang sudah makan tadi, tapi kini lapar lagi karena capek berkelahi (paling tidak itu yang mereka bilang, aku tidak tahu apa yang sudah terjadi).

Kemal, Ali dan dua orang yang baru kuketahui bernama Zico dan Niko sedang asyik membicarakan pertarungan itu. Kemal dan Zico saling mengagumi kekuatan mereka. Niko terlihat gugup, tapi senang juga bisa membantu. Sedangkan Ali berkali-kali melihatku karena merasa bersalah.

“Aku tidak apa-apa,” kataku.

“Kau kupukul dengan besi lho,” balas Ali.

“Seingatku kau memukulku dengan koran.”

“Yang sudah berubah jadi besi. Kekuatanku, ingat?”

Kata-katanya membuatku gelisah, “Kalian tidak merasa ini semua terlalu aneh? Aku belum tahu kekuatanku apa sih, tapi kalian semua tiba-tiba mendapat sesuatu yang ajaib seperti itu...ini sangat aneh kan?”

“Ya memang sih,” kata Niko. “Aku tidak tahu Pak Moes siapa, tapi semua ini sangat tidak masuk akal.”

Kemal ikut dalam pembicaraan, “Aku yakin sekali dia sedang pingsan saat aku dan Ali bertarung. Tahu-tahu saja, dia berada di tempat Niko dan Zico.”

“Dia muncul dari kamar mandiku saat aku sibuk merakit koleksi Gundam yang lain,” sambung Zico. Mendengar cerita mereka, aku merasa Pak Moes punya obsesi berlebihan terhadap kamar mandi atau lemari. Aku sendiri bertemu dengannya ketika sedang mengamen di sebuah bus.

Mereka kini mulai berdiskusi soal siapa Pak Moes sebenarnya. Semua pembicaraan ini membuatku makin gelisah dan takut terlibat dengan hal yang merepotkan. Aku ini musisi yang mencari cinta! Masalahku sudah cukup banyak!

Ngomong-ngomong soal masalah, aku jadi teringat cewek yang menolakku tadi siang. Padahal aku sudah menembaknya dengan jantan, yaitu ketika dia sedang di sekolah bersama-sama temannya. Siapa yang mengira dia akan berteriak malu dan melempariku dengan sepatunya hanya karena dia ditertawai sedikit oleh teman-temannya.

Kuambil gitarku dan aku mulai melantunkan nada sendu. Aku hanya berimprovisasi, yang penting terdengar mewakili perasaanku. Aku mengingat kembali penolakan itu dan mencoba menjiwai musiknya.

Untuk sesaat, aku tidak mempedulikan apapun. Aku sangat suka saat-saat seperti itu, saat dimana aku hanya berkonsentrasi penuh terhadap musik yang kumainkan. Perasaan sedih itu seperti menjadi nyata lagi.

Ketika aku berhenti, semua orang di sekitarku sudah diam. Aku jadi malu, “Maaf...”

Tiba-tiba Ali menangis. Kemal berjalan ke pojok warung lalu duduk di sana sambil merunduk, terlihat sangat depresi. Niko dan Zico berpelukan lalu menangis bersama.

“Ka...kalian kenapa?” kataku panik.

“Sangat menyedihkan!!” isak Zico.

“Apanya??”

“Aku tidak tahu! Tapi aku merasa sangat sedih!”

Kenapa mereka? Bukankah tadi mereka sedang semangat-semangatnya membicarakan masalah kekuatan ini?

Beberapa lama kemudian, tangisan itu berhenti. Masing-masing dari mereka kini terlihat bingung.
“Apa yang terjadi barusan?” tanya Kemal, “Kenapa aku duduk di pojok seperti ini?”

“Dan kenapa kau memelukku??” Zico mendorong Niko. Niko sendiri tergagap, “A..aku juga tidak tahu.”

Ali mengelap air matanya, jelas heran kenapa dia bisa sampai menangis.

“Apa yang terjadi, Frank?” tanya Zico.

“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja kalian menangis dan terlihat depresi.”

“Itu karena kekuatanmu Frank.”

Pak Moes keluar sambil membawa lima mangkok mie goreng untuk kami. Dia lalu duduk di sebelahku.

“Kekuatanmu itu seperti mengendalikan perasaan orang dengan musik gitarmu. Kekuatan yang bisa menjadi sangat berguna nantinya.”

“Wow keren,” puji Kemal. Dia sudah makan duluan.

“Kekuatanmu hebat juga,” kata Zico, “tapi bukankah akan sulit main gitar dalam pertarungan?”

Pak Moes mengangguk, “Memang, karena itulah kalian akan bekerja sama dalam satu tim.”

“Tunggu sebentar.” Niko menghentikan kata-katanya, “Apa maksudnya semua ini? Aku masih belum mengerti untuk apa kami dikumpulkan dan siapa orang-orang yang kita lawan tadi.”

“Baik, akan kujelaskan semuanya,” kata Pak Moes. “Jadi seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku adalah utusan dewa. Nama asliku Moeskovic dan aku adalah salah satu pengawal dewa. Apakah sampai ini semuanya mengerti?”

“Itu tidak masuk akal,” komentar Kemal, “tapi silahkan lanjutkan.”

“Jadi suatu hari dewa mengumumkan kalau dia akan membuat turnamen dimana semua staff di istana langit bisa ikut serta. Pemenangnya akan menjadi ‘staff of the year’ dan mendapatkan hadiah besar. Kurasa dewa hanya sedang bosan.”

Cerita dia makin lama makin aneh. Dewa sedang bosan? Apa-apaan itu?

Pak Moes melanjutkan ceritanya, “Tapi supaya menarik, kami tidak boleh terlibat secara langsung. Dewa menyarankan agar kami mengambil anak-anak manusia berbakat dan memberinya kekuatan yang sesuai sifat atau hobi mereka.”

Niko memotongnya lagi, “Lalu kenapa kekuatanku bisa menghilang? Maksudku, aku tidak punya hobi menghilang.”

“Kurasa itu karena kau punya sifat tertutup. Kekuatan itu cocok untukmu yang pemalu.”

Dibilang seperti itu, Niko malah makin malu.

“Jadi, turnamen seperti apa ini?” Giliran Ali yang bertanya.

“Ah ya, tidak terlalu aneh kok. Kalian hanya akan saling bunuh dengan tim lain.”

Hening.

“Mmh, maaf,” kataku memecah keheningan, “maksudnya...akan ada yang mati?”

Pak Moes mengangkat bahu, seakan-akan itu masalah sepele, “Kami akan berusaha mungkin itu tidak terjadi. Tapi buat jaga-jaga, sebaiknya kalian pamit pada orang yang kalian sayang.”

Hening lagi.

“Tidak bisa seenaknya begitu!” Niko yang pertama berteriak. “Kami tidak perlu mengikuti semua ini! Aku punya tujuan hidup. Aku ingin masuk universitas. Kenapa aku harus ikut dengan permainan gilamu?”

“Ya, aku setuju dengan Niko. Walaupun punya kekuatan keren, tapi ini gila,” kata Ali.

Kemal dan Zico pun terlihat tidak suka dengan Pak Moes sekarang. Aku tidak menyalahkan mereka. Hidupku sudah cukup kacau sebelum Pak Moes datang dan ingin aku mati agar bisa menyenangkan dewa.

“Aku tidak mau ikut ini,” kataku tegas.

“Ya, ya! Kami tidak punya kewajiban untuk ikut denganmu!” teriak Niko lagi.

Pak Moes tiba-tiba menggebrak meja, menjatuhkan beberapa mangkok mie (yang sepertinya membuat Kemal sangat sedih).

“Kalian tidak mengerti situasinya. Ini bukan hanya tentang kalian, tapi juga tentang dunia kalian.”
“Ke..kenapa?” tanyaku.

Pak Moes terlihat tenang kembali. “Turnamen ini bisa menjadi bencana bagi kerajaan dewa. Banyak orang dalam istana yang sangat ingin mengambil tahta dewa. Dan mereka bukanlah orang-orang yang baik. Mereka tidak suka manusia.”

“Kenapa??” tanyaku lagi, sangat tidak kreatif.

“Menurut mereka, manusia adalah perusak. Yah, aku lumayan setuju sih, tapi tetap saja itu bukan alasan untuk memusuhi manusia biasa. Turnamen ini benar-benar saat yang tepat untuk mereka. Dewa tidak boleh turun tangan langsung menghadapi manusia, sehingga mereka bisa mengalahkan dewa dengan tim manusia yang mereka buat. Contohnya adalah Kevin dan Gin Gin yang kalian lawan tadi.”

Kemal memotongnya, “Tapi kenapa mereka menyerang kita?”

“Karena mereka tahu pengawal dewa yang setia tidak akan membiarkan rencana mereka rusak. Aku adalah salah satu dari pengawal itu. Tentu saja timku akan menjadi ancaman untuk mereka.”

Suasana hening lagi. Terlalu banyak yang harus diproses. Ini semua terlalu tiba-tiba.

“Jadi...kami harus ikut?” tanyaku.

“Ya.”

“Walaupun sebenarnya aku takut?”

“Tidak apa-apa, itu wajar. Tapi jika kalian bisa menggunakan kekuatan kalian dengan benar, seharusnya tidak ada masalah. Kalian berlima adalah lima orang berbakat yang bisa kupercaya.”

Mendengarnya bicara seperti itu, aku jadi malu juga. Sebelumnya belum pernah aku merasa dibutuhkan seperti ini. Bahkan kadang orang tidak mau dekat-dekat denganku, terutama cewek.

Aku melihat teman-temanku yang lain. Mereka sepertinya masih ragu.

“Jadi...bagaimana?” kata Pak Moes menunggu.

“Aku ikut,” kataku, membuat yang lain terkejut, “maksudku, toh kita tak punya pilihan lain. Aku biasanya hanya mengamen. Jadi menyelamatkan dunia mungkin lebih baik.”

“Entahlah Frank, aku tidak tahu,” sahut Zico sambil menggaruk-garuk kepala. “Kekuatanku memang keren sih, tapi ini terlalu berbahaya.”

“Oh ya Zico, Tori juga ikut turnamen ini,” kata Pak Moes tiba-tiba.

Zico langsung terdiam. Aku tidak tahu Tori itu siapa, tapi sepertinya dia adalah orang penting untuk Zico.

“Aku ikut!!” kata Zico, kini tanpa ragu. Pak Moes melihat ke Kemal.

“Yah, aku akan mencoba tidak mati. Aku ikut.”

“Kalau Kemal sudah seyakin itu, aku juga ikut deh,” kata Ali.

Kini tinggal Niko. Hanya dia yang sepertinya masih sangat ragu.

“Aku tidak mau mati,” bisiknya.

“Akan kuusahakan untuk menjagamu,” kata Pak Moes.

Dia masih terlihat cemas. Lalu dia melihat ke arahku.

“Frank, mainkan lagu yang penuh keberanian.”

Aku terkejut diminta seperti itu, tapi aku mengangguk saja. Satu-satunya lagu yang kuingat tentang keberanian adalah lagu nasional ‘Bagimu Negeri’.

Maka kumainkanlah lagu itu. Beberapa saat kemudian, Niko sudah terlihat lebih berani. Bukan hanya itu, yang lain juga sudah mulai menangis terharu.

“Aku ikut!!” teriak Niko.

“Demi bangsa Indonesia, kita harus menang! Uwooo!” Ali ikut-ikutan berteriak.


Dan malam itu kami semua sepakat pergi bertaruh nyawa, sambil meneriakkan Indonesia berkali-kali.



Bersambung. . .

Hujan


Aku berlari-lari kecil mencari tempat berteduh dari hujan kecil yang tiba-tiba saja turun. Aku tak menyangka acara perpisahan salah satu seniorku di kantor bisa selama ini. Sekarang sudah jam 10 malam, dan aku yakin tidak ada lagi angkot jam segini. Tahu begitu, aku numpang nginap di rumah temanku saja tadi.
Lalu aku melihat seorang wanita sedang berdiri di depan salah satu warung yang sudah tutup. Sepertinya dia juga berteduh dari hujan. Karena ini sudah sangat malam, maka yang kupastikan terlebih dahulu adalah apa wanita itu punya kaki atau tidak. Setelah memastikan dia berpijak di tanah, aku jadi lebih lega.
Sialnya, hujan semakin deras saja. Maka aku memutuskan untuk ikut berteduh dengannya dan mungkin memanggil taksi.
Dengan sedikit canggung, aku mengambil posisi di sebelahnya. Aku sudah siap-siap saja kalau dia melihatku dengan aneh atau malah menjauh dariku. Wajar saja kalau cewek merasa tidak enak jika bersama cowok asing, apalagi saat sudah larut seperti ini.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia menyapaku dengan ramah, “Kehujanan juga?”
“Ya, haha.” Diperlakukan ramah seperti itu malah membuatku kaget dan menjawab dengan agak malu.
“Hujannya awet banget ya. Aku jadi gak bisa pulang juga,” katanya sambil merasakan hujan dengan tangannya. “Mana angkot udah gak ada lagi.”
Setelah yakin kakinya ada, aku mulai memperhatikan wanita disebelahku ini dengan lebih cermat. Dia memakai jilbab yang dirangkai dengan bergaya. Mukanya terlihat cerah, tipe-tipe orang yang akan tersenyum sangat lebar terhadap lelucon yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Dia tidak terlalu tinggi, kira-kira hanya sebahuku.
Karena dia tadi menyebut angkot, aku jadi teringat untuk memesan taksi. Kukeluarkan handphoneku dan mulai menelpon taksi.
Sekilas, aku melihat wanita itu menatapku, tapi dia buru-buru melihat ke depan lagi dengan malu. Aku merasa tahu penyebabnya.
“Ya, saya pesan dua taksi ya,” kataku di telepon. Wanita itu terkejut, tapi kemudian tersenyum senang, senyuman yang lebar dan manis.
“Maaf ya, hapeku mati dan tadi aku bingung harus bagaimana,” katanya.
Aku tersenyum saja, “Ya gak papa. Rumahmu jauh?”
“Ya begitulah. Aku tadi terlalu asyik belanja sampai lupa waktu.”
Wah, sangat tipikal wanita ya. Kalau sudah belanja, semuanya dilupakan.
Tak lama kemudian, satu taksi datang. Karena merasa bisa menunggu, aku menyuruhnya duluan. Dia awalnya menolak, tapi aku tahu itu hanya basa-basi.
“Terima kasih ya,” katanya lagi.
“Ya sama-sama. Tapi saranku saja, mungkin lain kali kau sebaiknya tidak terlalu akrab dengan cowok asing.” Aku bilang begitu karena merasa sikap ramahnya itu bisa berbahaya.
“Haha, kau tidak terlihat jahat kok.”
“Banyak orang jahat yang terlihat baik lho.”
“Tapi kau baik kok,” katanya tersenyum sambil masuk taksi. “Nasihatmu tetap akan kusimpan.”
Lalu dia pergi. Beberapa saat kemudian aku baru sadar kalau aku belum tahu namanya. Walaupun begitu, entah kenapa aku merasa lebih bersemangat malam itu.


Dua hari kemudian, aku terjebak hujan lagi, dan aku berteduh di tempat yang sama. Ini kan seharusnya musim panas, kenapa hujan melulu sih. Global Warming benar-benar nyata ya.
“Wah, kita bertemu lagi.”
Itu wanita yang sama-sama terjebak denganku dulu. Kali ini dialah yang berlari-lari karena kehujanan. Dia telihat senang melihatku.
“Aku baru saja berpikir bakal aneh kalau aku bertemu denganmu lagi, dan ternyata memang benar,” katanya dengan sedikit tertawa.
Dia mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman, “Hai, namaku Iffah. Terima kasih sudah membantuku kemarin.”
“Kemal,” kataku sambil menjabatnya, “belanja lagi?”
“Haha, yah begitulah. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan keluar.”
“Oh, sedang ada masalah?” tanyaku, tapi lalu aku merasa terlalu mencampuri urusan pribadinya. “Maaf aku terlalu banyak bertanya.”
“Oh tidak apa-apa. Hanya saja, ibuku baru saja memberi anjingku kepada orang lain. Dan itu membuatku agak kesal.”
Aku, sebagai orang yang suka dengan yang imut-imut, langsung kaget. “Sayang sekali. Anjing jenis apa?”
“Maltese. Imut-imut gitu deh. Sayang ibuku tidak sependapat.”
“Aku suka anjing yang imut!” kataku mungkin agak terlalu bersemangat. Iffah menatapku dengan sama bersemangatnya.
“Ya kan? Apa kau punya anjing?”
“Tidak, tapi suatu saat aku ingin punya satu. Aku tidak terlalu tahu jenis-jenis anjing sih.”
Iffah tampak berpikir sesaat, “Kau tahu, di dekat sini ada kafe yang buka 24 jam. Kita ke sana yuk, ngobrolin anjing sambil nunggu hujan. Punggungku pegal nih kalau berdiri terus.”
“Boleh juga,” kataku senang.
“Nanti aku yang akan pesan taksi untukmu, balasan untuk kemarin, haha.”
Lalu kami berlari-lari kecil menuju kafe agar tidak terlalu basah.


Aku melihat terus nomor Iffah di handphoneku. Setelah pembicaraan dari kafe kemarin, aku meminta nomornya dengan alasan jika aku ingin tanya-tanya tentang anjing nantinya. Kenyataannya aku hanya senang jika bisa berbincang dengan dia lagi. Dia sangat menyenangkan. Banyak bicara memang, tapi cocok denganku yang sulit mencari topik pembicaraan sehingga obrolan kami menyambung terus.
Dari kemarin sebenarnya aku ingin mengirim pesan sms ke dia, tapi aku tak tahu mau bilang apa dan aku takut dibilang agresif. Sekarang suasananya sedang mendukung karena hujan turun, dan aku dengan sengaja menunggu angkot di tempat biasa kami bertemu. Tapi aku tetap tak berani mengirim pesan itu.
Saat aku sudah menyerah dan mau memasukkan handphone ke kantong, sebuah pesan masuk. Dari Iffah.
“Hujan lagi nih, hehehe”
Aku jelas mengambil kesempatan itu. Kubalas pesannya, “Ya nih. Sekarang aku nunggu di tempat kemarin lagi, hahaha.”
Pesanku dibalas beberapa menit kemudian, “Oh ya, aku juga sedang menuju ke sana. Sampai jumpa kalau begitu.”
Entah kenapa mendengar dia mau ke sini, aku jadi panik. Kuperiksa baju dan rambutku, yang tentu saja berantakan. Saat aku mencoba merapikan sebisa mungkin, dia datang. Kali ini memakai payung dan memegang bungkusan besar di tangannya.
“Tumben pakai payung,” kataku.
“Haha, ya. Aku kan belajar dari kesalahan.”
“Hmm, belanja lagi?”
“Ya, untuk adikku.” Dia melipat payungnya dan berteduh bersamaku. “Besok hari ulang tahunnya dan orangtua kami terlalu sibuk dengan urusan mereka, jadi aku yang membelikan kado.”
“Kakak yang baik,” kataku sambil mengintip bungkusannya. Kurasa itu baju.
 “Kau punya adik?” tanyanya.
“Ya, ada tiga. Tapi aku bukan kakak yang sebaik dirimu.”
Iffah tertawa. Lho kok dia ketawa? Padahal itu benar. Aku sih tidak pernah membelikan kado untuk adikku. Malah yang ada aku menyuruh mereka membelikan kado untukku saat aku ulang tahun.
Iffah meluruskan punggungnya. Kemarin dia memang sempat bilang kalau punggungnya sering pegal sehingga teman-temannya suka mengejeknya.
“Kurasa kau harus melakukan sesuatu dengan punggungmu itu,” kataku. Dia membalas candaan itu dengan muka yang dibuat-buat marah.
“Hei, jangan ikut-ikutan mengejek dong.”
Kami lalu tertawa bersama. Saat itulah sebuah angkot berhenti di dekat kami, menunggu penumpang. Itu satu-satunya angkot yang lewat sini, dan itu berarti angkutan kami berdua. Aku merasa belum ingin naik karena masih ingin mengobrol.
Dan sepertinya, Iffah berpikiran sama.
“Aku tidak buru-buru nih,” katanya.
“Hmm, kafe?”
“Oke.”


Aku tidak bertemu dengannya lagi seminggu ini. Cuacanya juga cerah terus. Sepertinya aku hanya bisa bertemu dengan dia saat hujan. Aku tertawa sendiri dengan pikiran itu.
Makanya aku kaget ketika menemukan dia di sebuah bangku taman. Aku biasanya duduk di situ sambil makan es krim yang dijual dekat sini.
Aku hendak menyapanya ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Iffah tidak tersenyum seperti biasanya. Justru kali ini kebalikannya, dia terlihat sehabis menangis.
Aku jadi bingung harus melakukan apa. Aku tidak pernah tahu harus melakukan apa jika ada cewek yang menangis. Apalagi ini Iffah yang menangis, wanita yang baru dikenalnya beberapa kali walaupun dia entah kenapa terasa jauh lebih bersahabat untuk sekedar kenalan.
Setelah lama mondar-mandir di tempat, aku memutuskan mendekatinya. Aku pura-pura terkejut melihatnya. Iffah juga sepertinya terkejut ketika melihatku. Dia buru-buru mengelap air matanya.
“Hai Kemal,” katanya sambil tersenyum. “Tumben ya kita ketemu di sini?”
“Ya ya. Boleh aku duduk di situ?”
Iffah menggeser duduknya menandakan kalau dia mengizinkan aku duduk di sebelahnya.
“Soal kata-katamu tadi, aku juga kaget kita bertemu di sini,” kataku. “Aku malah mengira kita tak akan bertemu kalau tidak hujan.”
Iffah tertawa. Tapi rasanya berbeda. Dia tidak tertawa seriang sebelumnya, dan itu rasanya agak aneh. Selama ini aku selalu bertemu dia yang ceria, jadi aneh rasanya melihat dia sedih.
“Jadi...kau ada masalah?”
Iffah menunduk dan terdiam. Aku jadi merasa aku salah sudah bertanya.
“Ngg, jika kau tak mau bicara juga tak apa-apa,” kataku cepat-cepat.
Dia melihatku lalu tersenyum, “Tidak kok. Aku hanya sedang mengalami masalah dengan orangtuaku.”
“Oh..” Sesuai dugaa, aku tak tahu harus bicara apa. Keadaan jadi hening untuk sesaat.
“Kadang aku merasa orangtuaku hanya memikirkan mereka,” kata Iffah tiba-tiba. “Tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anak ketika mereka bertengkar.”
Aku tetap diam, masih takut salah bicara. Tapi kurasa aku bisa mengerti apa yang dia maksud.
“Mereka...mereka terus saja bertengkar.” Iffah mulai terisak lagi, membuatku makin bingung. “Dan mereka bertengkar di depan adik-adikku. Apa mereka tidak berpikir tentang kami? Kenapa mereka harus seegois itu?
Dia lalu menutup mukanya dan mulai menangis. Aku hanya terdiam. Seseorang lewat di depan kami dan melihatku dengan pandangan mencela. Mungkin dikiranya akulah yang membuatnya menangis.
“Hmm, tenanglah,” kataku akhirnya. “Semuanya akan membaik setelah ini.”
Tapi dia terus menangis. Aku melihat ke kanan kiri dengan canggung. Akhirnya, aku memutuskan untuk merangkulnya.
Iffah awalnya kaget, tapi kemudian ikut merangkulku, tidak mengetahui kalau mukaku mungkin sudah sangat merah.
“Tenanglah,” kataku lagi. “Bagaimanapun juga, mereka tetap orangtua. Mereka pasti tetap menyayangi kalian.”
Dia terus terisak beberapa menit setelahnya, tapi perlahan dia menjadi tenang. Lalu dia melepas rangkulan dan tersenyum kepadaku. Senyumnya terasa lebih hangat sekarang.
“Terima kasih. Aku memang baru mengenalmu, tapi kau terasa seperti sahabat lama,” katanya.
Tepat seperti yang kupikirkan!
“Kau mau kubelikan es krim?” tanyaku.
“Wah kau baik sekali, boleh dong!”
“Aku hanya basa-basi sih.....tapi okelah.” Aku menuju tempat penjual es krim diiringi tawa kecil Iffah.
Saat aku kembali ke sana sambil memegang dua es krim, hujan mulai turun.
“Tuh kan bener, kita cuma bisa ketemu saat hujan!” seruku.
“Haha, ayo kita berteduh. Sini es krimnya.”
Dia mengambil satu es krim dan menarik tanganku. Kami berlari sambil bergandengan tangan.


Ketika aku melihatnya lagi, dia sedang berdiri di tempat pertama kami bertemu.
“Kenapa kau diam di situ?” tanyaku padanya, “Kan sedang tidak hujan. Tidak ada angkot yang lewat sini?”
Iffah tersenyum padaku, “Aku sedang menunggu kau.”

Valiant Hearts : The Great War Review


Kalian suka Perang Dunia 1? Yah, kau aneh! Ada masalah dengan moralmu jika kau suka dengan perang. Tapi apakah kau suka membaca cerita tentang Perang Dunia 1? Maka Valiant Hearts adalah game yang tepat untukmu.

Tapi Valiant Hearts adalah game yang berbeda dengan game perang pada umumnya. Game ini tidak memakai sistem FPS dan menembak semuanya. Game ini berbentuk 2D platform yang memakai sistem point-and-click dengan berfokus pada cerita orang-orang yang terlibat dalam perang. Apa yang karakter game ini alami bisa dibilang menggambarkan apa yang dirasakan orang yang terlibat di Perang Dunia 1.

Ada 6 karakter utama di game Valiant Hearts :

1. Emile


Emile adalah mantan petani. Dia tinggal bersama anaknya Marie dan menantunya Karl. Dia kemudian dipanggil untuk bergabung tentara Prancis yang sedang berperang dengan Jerman, negara asal Karl. Emile kemudian bersahabat baik dengan Freddie dan bersama mereka membantu Anna mencari ayahnya. Emile digambarkan sebagai orang tua yang benci dengan perang, tapi tak punya pilihan lain selain mengikuti perintah. Pada akhirnya, dia memimpin pemberontakan tentara Prancis.

2. Freddie


Freddie adalah tentara Prancis yang sebenarnya berasal dari Amerika. Salah satu alasannya ikut perang adalah untuk membalas dendam kepada Jerman yang telah merenggut nyawa istrinya. Freddie sempat dikira mati oleh Emile akibat ledakan. Tapi bersama ayah Anna, dia berhasil meloloskan diri. Freddie punya adik di Amerika. Dan di akhir cerita, dia mendapat kabar kalau Amerika akan ikut perang dari adiknya.

3. Karl


Karl adalah suami dari Marie dan menantu Emile. Dia kelahiran Jerman dan tinggal bersama-sama istrinya di pertanian milik Emile. Ketika perang meletus, Karl dipanggil oleh Jerman untuk melayani negara sebagai tentara. Dia sempat terluka parah dan kemudian dirawat oleh Anna. Karl lalu mencoba melarikan diri dari pasukan tentara karena khawatir dengan nasib istri dan anaknya yang masih kecil.

4. Anna


Anna adalah suster dari Belgia yang mencari ayahnya, seorang ilmuwan yang ditangkap oleh Jerman. Dalam perjalanan, dia menyelamatkan Emile dan Freddie dari serangan bom gas. Anna lalu kemudian ditangkap oleh pasukan Prancis, dan saat dalam masa tahanan, dia mengobati para tentara lainnya, termasuk Karl. Setelah bertemu ayahnya, dia pergi ke pertanian milik Emile untuk mengabarkan ke Marie tentang nasib suami dan ayahnya.

5. Marie


Marie adalah putri Emile dan istri Karl. Dia tetap tinggal bersama anaknya di pertanian ketika Karl dan Emile dipanggil untuk perang. Marie sangat mencemaskan kedua orang itu dan rajin memberi kabar tentang keadaannya lewat surat kepada Emile dan Karl.

6. Walt


Walt adalah anjing medis yang awalnya dimiliki oleh pasukan Jerman. Saat Jerman diserang, dia menolong Emile dan sejak saat itu pergi bersamanya. Walt berkali-kali membantu menyelesaikan masalah, seperti saat dia melewati gas berancun di saat para tentara tidak bisa. Walt jugalah yang kemudian memanggil bantuan ketika Karl terluka.



Seperti yang kubilang, Valiant Hearts mentitik beratkan pada sisi storyline. Cerita bagaimana sulitnya orang tua seperti Emile untuk tetap ikut berperang, bagaimana kisah Freddie yang awalnya bahagia kemudian menjadi penuh dendam, atau bagaimana sulitnya hidup Marie yang hanya bersama anaknya di tengah kepungan tentara.


Fitur-fitur dari game ini menguatkan storyline. Tiap karakter punya diary yang bisa kita baca, dan di situ mereka menceritakan bagaimana perasaan mereka di setiap event. Ada juga fitur fakta yang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat Perang Dunia beserta fotonya. Itu akan menjadi tambahan yang menarik bagi pecinta sejarah. Game ini juga menyediakan banyak collectible item yang masing-masing punya penjelasan sendiri, seperti surat dari tentara.

Walaupun aku bilang game ini lebih ke storyline, bukan berarti grafis dari game ini jelek. Malah menurutku, game perang dengan gameplay 2d itu sangat unik dan lebih mudah bagi kita untuk menerima dunia mereka. Game ini penuh detail dan memiliki soundtrack klasik yang cocok untuk suasana masa itu.


Valiant Hearts adalah game yang harus kau mainkan sendiri untuk bisa memahami ceritanya. Tidak masalah jika kau tidak suka perang atau sejarah, aku sendiri awalnya tidak terlalu mengerti sejarah Perang Dunia. Kau tetap bisa menikmati cerita hidup masing-masing karakter selama kau mengerti alur ceritanya. Jadi yah, aku sangat merekomendasikan Valiant Hearts : The Great War.

Rumah Sakit Dongeng (Malam 1 : Cinderella)


Ibu mengecup pipiku sebelum pulang ke rumah.
“Ingat ya, kalo susah kemana-mana panggil aja susternya, gak usah malu,” katanya.
“Ya ya bu.”
Ibu hanya tersenyum, sadar kalau aku masih kesal. Bisa-bisanya tanganku patah karena jatuh saat bermain sepakbola, di depan cewek yang kusuka lagi! Dan sekarang aku harus tinggal di rumah sakit. Benar-benar hari yang menyebalkan.
“Oh ya,” kata ibuku sebelum keluar dari pintu, “jangan lupa ajak main tuh.”
Maksud ibuku adalah anak kecil yang ada di tempat tidur di sebelahku. Aku memang masuk ke bangsal yang bisa diisi dua orang. Gadis kecil itu berumur 7 tahun, dan namanya Asha. Yah, hanya itu yang aku tahu, karena dia terlalu asyik membaca buku bergambarnya untuk menjawab pertanyaanku yang lain.
Suasana langsung sunyi saat ibuku akhirnya meninggalkan bangsal.
“Hei,” kataku mencoba memecah keheningan, “apa orangtuamu tak datang?”
Yap, sudah kuduga. Tidak ada jawaban. Dia malah tersenyum-senyum sendiri membaca bukunya.
Aku jadi penasaran buku apa yang dia baca. Dengan susah payah, aku mencoba melihat kover bukunya.
Cinderella. Ternyata memang buku untuk anak-anak cewek. Tapi Asha membacanya dengan mata berseri-seri. Dia lucu juga.
“Kalau kau ada perlu bantuan atau apa, bangunkan saja kakak ya. Kakak mau tidur,” kataku padanya. Tapi dia cuek aja. Aku menghela nafas dan memejamkan mataku, mencoba tidur. Ini hari yang melelahkan.


“Kak....kak...”
“Mmmhhh...” Aku terbangun mendengar panggilan itu. Saat kulihat, Asha sudah berada di sebelahku.
“Ke..kenapa?” tanyaku. “Kau mau pipis?”
“Aku ingin ke pesta dansa. Tapi aku tidak punya baju pesta.”
“Hah?” Aku mengucek-ngucek mata. Dia ini bicara apa sih?
“Tolong aku kakak peri!”
Aku terdiam untuk beberapa saat, lalu aku sadar apa yang sedang terjadi. Anak ini pasti sedang berperan sebagai Cinderella, tokoh dari buku yang dia baca sejak tadi.
Kulihat jam dinding, jarumnya sudah menunjuk jam 10. “Sudah saatnya kau tidur. Besok saja kita main ya.”
“Cuma bisa hari ini kak peri!” kata Asha. Dia mulai merengek. “Nanti ibu tiri tidak akan membiarkan aku keluar lagi.”
“Ibu tiri? Sudahlah, besok saja ya kita main.”
Tiba-tiba pintu kamar dibanting keras, membuatku sangat terkejut. Lalu masuklah sebuah tante-tante yang mempunyai ekspresi kejam. Dia memakai baju entah dari jaman kapan.
“Cinderella, kami akan pergi ke istana sekarang! Kau tetap di sini dan bersih-bersih!” bentaknya pada Asha. Asha sendiri hanya menunduk ketakutan.
Aku hanya bisa mematung saat tante-tante itu terus merepet soal tugas yang harus diselesaikan Cinderella dan saat dia pergi lagi.
Yang pertama keluar dari mulutku adalah, “Kau benar-benar punya ibu tiri yang jahat ya?”
“Tentu saja. Karena itu kakak peri, bantu aku datang ke pesta itu. Aku...ingin bertemu pangeran.”
Matanya bersinar saat berkata pangeran. Aku jadi bingung apa dia sedang bersandiwara atau tidak.
Aku memutuskan mengikuti permainannya, “Oke....jadi apa yang harus kulakukan.”
“Mmmhhh...” Dia terlihat berpikir. Sesaat kemudian, dia mengambil apel dari meja dan memberinya padaku.
“Ubah ini jadi kereta kuda!”
“Apa? Mana mungkin!”
“Kakak kan peri! Pasti bisa dong.”
“Aku bukan peri. Ini bukan buku dongeng. Tidak ada sihir atau semacamnya.
Dia melihatku dengan sedikit kesal. Aduh, apa aku sudah merusak imajinasi masa kecilnya. Asha lalu merogoh-rogoh sesuatu dari laci meja.
“Pakai ini.” Dia memberiku sebuah tongkat yang biasa dimainkan anak-anak cewek. Kau tahu, tongkat yang bisa bersinar dan ada bentuk bintang di ujungnya. Aku mengambil tongkat itu dengan tangan yang baik-baik saja.
“Itu tongkat sihir. Ayunkan saja, dan semua pasti bisa. Ayo kakak peri!” katanya dengan semangat tinggi.
Ya ampun, dia imut banget sih. Aku jadi tersenyum sendiri. Ya sudahlah, sudah terlanjur juga, aku ikuti saja apa yang dia mau.
Aku ayunkan tongkat itu dengan main-main. Hal yang terjadi berikutnya diluar perkiraanku.
Apel itu awalnya bergerak-gerak memutar sendiri (aku hampir saja terkena serangan jantung ketika melihatnya), lalu tiba-tiba saja, apelnya membesar dengan sangat cepat. Saking cepatnya, apel itu menghantamku dan menghempaskanku ke balik tempat tidur.
“Aaggghhh!” Tanganku yang patah rasanya nyeri. Walaupun begitu, aku langsung bangkit.
“A..apa yang terjadi??”
Di depan mataku, di dalam kamar rumah sakit ini, sebuah kereta labu berdiri gagah, dan parahnya lagi, dua kuda juga ada sebagai penarik kereta itu.
Asha terlihat sangat gembira. Kebalikan denganku yang menganga, tak tahu harus berkata apa.
“Nah nah, sekarang bajuku. Ayo ubah bajuku kakak peri!”
Aku, masih dengan kepala dipenuhi pertanyaan, mengayunkan tongkat ajaib itu sekali lagi. Tiba-tiba Asha dipenuhi cahaya yang sangat menyilaukan sampai-sampai aku harus memalingkan pandangan.
Saat aku bisa melihat lagi, Asha sudah terbungkus dengan baju pesta model lama tapi masih sangat bagus. Dan hal itu membuatnya lebih bahagia lagi.
“Terima kasih kakak peri!!” Dia lalu memelukku.
Aku sendiri masih takjub dengan apa yang terjadi. Apa aku punya kekuatan sihir? Apa aku memang penyihir? Jangan-jangan nanti Hagrid akan datang ke kamarku dan berkata, “Kau adalah penyihir Kemal!”
Asha lalu naik ke kereta labu itu.
“Eh tunggu, kau mau pergi dengan itu?” tanyaku kaget.
Asha tidak sempat menjawab karena kuda-kudanya langsung berlari begitu saja. Mereka dengan semena-mena menabrak pintu hingga terlepas dan pergi entah kemana.
Aku menampar-nampar mukaku. Ini bukan mimpi kan?
Aku ingin memanggil suster, tapi aku takut akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa jika menceritakan semua yang terjadi. Aku sendiri masih tidak percaya.
Dengan ragu, aku berjalan keluar.
“Ashaaaa...” panggilku dengan pelan. Aku takut mengganggu pasien lainnya, walaupun sepertinya lorong rumah sakit sepi-sepi saja.
Aku menyusuri lorong itu. Untungnya tidak terlalu gelap sehingga aku bisa melihat ke sekeliling dengan mudah. Anehnya tidak ada tanda-tanda Asha atau kereta kuda lewat sini.
Anehnya lagi, tempat ini terlalu sepi. Saat aku ke resepsionis, tidak ada suster di situ. Kemana semua orang pergi??
Sebuah poster di dinding menangkap perhatianku.
“Pesta dansa?” kataku setelah membacanya. Poster itu kurang lebih menjelaskan tentang pesta dansa dimana pangeran akan memilih pasangannya. Yup, seperti di cerita Cinderella.
Poster itu juga menunjukkan tempatnya. Lantai 3 ruang 3015. Karena sangat penasaran, maka pergilah aku ke sana.
Saat sampai, aku langsung ragu untuk lanjut. Aku berdiri di depan kamar yang bertuliskan ‘kamar mayat’.
Oke, aku biasanya adalah orang yang tidak percaya dengan hantu. Tapi mengingat ada kuda dan kereta labu yang keluar dari apel, aku jadi tidak memiliki kepercayaan diri itu lagi.
Samar-samar, aku mendengar suara orang di dalam kamar. Memang ada sesuatu di dalam sini.
Kutarik nafas dan kuberanikan diriku. Lalu kubuka pintunya.
Kamar yang seharusnya diisi mayat itu kini digantikan oleh aula besar dengan hiasan di sana-sini. Bukan hanya itu, banyak sekali orang yang ada di kamar ini. Mereka semua memakai gaun pesta. Beberapa sedang berdansa di tengah-tengah. Tidak terlihat kalau ini kamar mayat sama sekali.
“Hei, kenapa di sini ada pesta?” tanyaku pada seseorang yang memakai baju pelayan dan sedang membawa nampan. Dia tidak menjawabku.
“Nggg, hei!”
Berkali-kali kupanggil pun, dia tidak melihat sama sekali. Seakan-akan aku ini tidak terlihat.
“Kakak kan peri, mana bisa dilihat orang lain kecuali aku.”
Itu Asha yang berbicara. Dia sudah di sebelahku entah sejak kapan.
“Kau...bagaimana ini bisa terjadi?”
“Hmm, imajinasi?”
“Ini jelas bukan imajinasi! Ini semua kan nyata!”
Asha malah senyum-senyum sendiri. “Ini imajinasi yang jadi nyata. Keren ya Kak.”
Aku memasang muka tak percaya. Memang harus kuakui ini keren, tapi masa dia tidak heran semua ini terjadi begitu saja.
Aku hendak protes lagi, tapi sesuatu mengalihkanku. Di meja pesta, makanan berjejer dengan indahnya. Hanya dengan melihatnya liurku sudah bercucuran.
“Mau kemana Kak? Pangeran sudah mau keluar lho,” tanya Asha ketika melihatku buru-buru ke meja makan.
Bodo amat soal pangeran. Kalo memang imajinasi ini nyata, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk makan makanan mewah seperti ini.
Ketika aku sedang asyik-asyiknya menyantap ayam panggang, suasanan musik berubah. Terompet-terompet dibunyikan dan orang-orang yang ada di pesta lalu berkumpul. Pangeran datang.
Pangeran itu secara mengejutkan memiliki muka kebapakan dan bukannya wajah rupawan ala anak remaja. Aku cukup yakin dia berumur diatas 30-an. Agak kurang cocok dengan gambaran pangeran yang selama ini kubayangkan.
Aku melihat ke kerumunan gadis-gadis itu. Asha terlihat sangat lucu dengan badan kecilnya, sementara gadis-gadis yang lain menjulang tinggi di sekitarnya. Jujur saja, dia tidak akan punya kesempatan memenangkan hati pangeran dengan badan sekecil itu. Yah, alasan lain adalah karena dia masih anak kecil. Mana mau pangeran dengan anak kecil.
Tentu saja aku salah. Pangeran itu bahkan tidak melihat gadis lain saat dia mendekat ke Asha dan memintanya berdansa. Gadis-gadis lain melihat Asha dengan pandangan cemburu, sementara Asha tersenyum sangat lebar.
Agak aneh pangeran memilih dia, tapi setelah kupikir-pikir, ini adalah imajinasi Asha kan? Berarti semuanya pasti sesuai dengan keinginan Asha.
Mereka mulai berdansa di tengah-tengah dialuni musik pelan. Aku menikmati suasana ini dengan makan sebanyak-banyaknya. Walaupun awalnya terkejut, aku mulai terbiasa dengan keadaan ajaib ini. Makanan membantu sih.
Lalu berdentanglah jam dengan keras, menandakan sudah jam 12. Aku sudah menantikan ini sejak tadi. Karena kita semua tahu kalau ini adalah saatnya sihir Cinderella hilang.
Asha terlihat panik dan buru-buru pergi. Sementara itu pangeran bapak-bapak itu mencoba menghentikannya. Asha sudah berada di depan pintu ketika dia ingat dia harus meninggalkan sepatu kacanya. Maka dengan buru-buru dia melepas sepatunya dan keluar. Aku tersenyum sendiri melihat adegan itu.
Aku tak mau kembali dulu ke kamar. Makanan masih banyak tersedia, sayang banget kalau ditinggalkan begitu saja.
Lalu tiba-tiba saja ruangan menjadi gelap lagi. Aku tak bisa melihat apa-apa dan dengan panik mencoba meraba-raba. Aku memegang sesuatu yang dingin.
“Apa ini?”
Saat mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, aku tersadar kalau ruang ini sudah menjadi kamar mayat lagi. Dan....tanganku memegang sebuah mayat.
“AAAAHHHH!!!”
Aku lari sekencang-kencangnya keluar sambil berteriak seperti anak kecil. Di luar, seorang suster menghampiriku.
“Ke...kenapa Mas? Kok Mas ada di sini?”
Sambil menenangkan nafasku, aku menjelaskan padanya kalau aku tidur sambil berjalan dan tak sengaja datang ke sini. Sepertinya dia masih ragu, tapi dibawanya juga aku ke kamarku.
Di kamar, aku melihat Asha tertidur lelap. Dan dia tersenyum, seakan-akan sedang mimpi indah. Seandainya saja aku bisa seperti dia. Kurasa aku akan mimpi buruk malam ini.