Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Aku Melawan Ibu-Ibu Jago Karate (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 9)


Baca part sebelumnya disini.

“Suara apa itu?” tanya Tori.

“Kurasa Zico dan Rere. Sudah kubilang mereka akan datang menolong kita.” Aku mengintip dari jendela, tapi tidak terlihat apa-apa kecuali zombie dari jauh mulai mendekat karena tertarik bunyi tembakan. “Apa yang mereka pikirkan? Menyerang dengan terang-terangan begini?”

“Memang ada pilihan lain? Lebih bagus menyerang langsung kan.”

“Tidak juga. Mereka bisa menyelinap pelan-pelan. Menyerang tanpa tahu jumlah musuh seperti ini bisa berbahaya.”

“Tapi, pahlawan kan seperti itu,” kata Tori.

Tori sepertinya menganggap Zico seperti pahlawan di film-film yang tidak pernah kena tembakan walau musuh mengepung.

Masalahnya, aku bukan hanya mengkhawatirkan jumlah musuh yang dihadapi, tapi juga jumlah zombie yang kini mendekat karena kekacauan ini.

Terdengar suara orang lari-lari ke bawah. Benar juga, masih ada banyak orang lagi diatas.

“Sekarang saatnya!” kataku.

“Apa?”

“Kita kabur dari sini. Lalu bantu mereka dari belakang.”

Tori berdiri, “Tapi bagaimana? Pintunya dikunci.”

“Kita dobrak saja. Saat kekacauan seperti ini, pasti mereka tidak akan mendengar suaranya.”

Aku mengambil jarak, lalu berlari menghantamkan badan ke pintu. Masih belum terbuka.

“Oke, sekali lagi.” Aku berlari lagi. Tiba-tiba saja, pintunya dibuka oleh pengawal botak yang tadinya menjaga pintu depan. Aku tidak bisa menghentikan lariku.

Aku menabraknya dengan keras hingga kami berdua terjatuh keluar ruangan.

“Sialan!! Ngapain kalian bangsat!! An.....”

Aku tidak menunggunya menyelesaikan umpatannya dan menghajar mukanya sekeras mungkin. Kutarik pistolku, lalu kutembak kakinya. Dia berteriak kesakitan. Memang sepertinya itu terlalu kejam, tapi aku memilih melakukan itu daripada dia membunuhku saat kami mencari jalan keluar.

Kupanggil Tori, “Ayo. Tapi tetap tenang.”

Dia mengangguk dan mengikutiku keluar. Para bandit berkonsentrasi pada pintu depan sehingga kami bisa berkeliaran dengan mudah. Suara adu tembak membuatku sangat khawatir dengan Zico dan Rere. Aku harus secepatnya membantu mereka.

Kami tidak bertemu siapa-siapa. Aku memutuskan untuk mengecek ruangan di lantai ini sebelum membantu mereka, mana tahu ada sesuatu yang berguna.

Kubuka pintu paling ujung di koridor tersebut. Tidak ada apa-apa kecuali banyak kertas dan mesin fotokopi, yang kurasa tak akan berguna di situasi seperti ini.

Aku memeriksa pintu sebelahnya. Terkunci. Hmm, biasanya kan kalau terkunci, berarti ada sesuatu yang berharga kan?

Kudobrak pintu itu, membuat Tori heran, “Kau sedang apa? Ayo kita bantu mereka.”

“Sebentar.” Dengan sekali hantaman lagi, pintu itu terbuka lebar.

Didalamnya tidak ada senjata yang berharga atau semacamnya, tapi ada seorang ibu-ibu tertidur dengan pulas. Mungkin itu sandera juga. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri.

“Bu! Bu! Bangun, kita kabur dari sini!” Kugoyangkan badannya dengan keras. Matanya terbuka sedikit. “Ayo Bu. Disini tidak aman!!”

“HIYAAA!!”

Ibu itu bangun lalu langsung menendangku dengan keras. Kekuatan tendangannya bahkan sampai membuatku terlempar jauh kebelakang. Aku terbatuk-batuk saat mencoba bangun. Kaget dan rasa sakit bercampur.

Kini wanita setengah tua itu sudah bangun, dan dia terlihat marah. “Enak saja kau panggil Ibu! Panggil aku Kakak!! Namaku Hune! Aku bos disini!”

Apa? Bos mereka adalah ibu-ibu setengah baya yang ingin dipanggil kakak? Yah, paling tidak aku tahu kalau dia memang kuat.

Tori membantuku bangun. Aku melihat keadaan sekitar ruangan, tidak ada senjata. Kucoba menggertak dia.

“Heh, kami berdua dan kau sendiri. Kau bahkan tidak bisa memiliki senjata, memangnya kau bisa apa?”

Dia tersenyum mengejek. Lalu dengan kecepatan idiluar dugaan, dia berhasil melucuti pistol dari tanganku. Aku bahkan tidak sempat bereaksi.

“Lihat? Aku sudah terlatih untuk bergerak cepat ketika obral baju,” kata Hune bangga. “Selain itu, dulu aku juga sabuk hitam di karate. Pistol dan senjata hanya untuk orang lemah.”

Hune menghajarku di muka dan aku pun terjatuh lagi. Sial, dia terlalu kuat. Aku tidak pernah latihan bela diri, paling mentok cuma nonton film kungfu dan mencoba mempraktekannya. Aku juga tahu pasti kekuatan ibu-ibu saat obral, mereka sangat mengerikan. Jika Hune sudah terlatih dari situ, maka peluang menang kami kecil.

Aku tak boleh kalah disini. Aku berdiri lagi dan mencoba menggertak lebih keras, “Kau meremehkan kami. Aku adalah master Jijutsu dan Aikido. Temanku disini dulunya preman kelas kakap. Dia pernah menghabisi 12 polisi sendirian hanya dengan menggunakan tangan kirinya.”

Tori kaget karena tiba-tiba dilibatkan, tetapi dia mencoba mendukung ceritaku dengan membuat mukanya lebih kejam. Gagal.

Hune tertawa dan sudah bersiap menghajar kami lagi. Tapi raut mukanya berubah menjadi takut.
Awalnya kukira gertak sambalku berhasil, ternyata yang dia takutkan bukan kami, tapi sesuatu dibelakang kami.

Tori menarikku tepar di saat zombie melompat dari belakang mencoba menerkamku. Dia meleset dan terjatuh kedalam ruangan. Hune terjebak. Kami mundur ke pojok koridor, sama terjebaknya.

Tiga zombie lagi naik ke atas, beberapa dengan merayap. Hune memanggil-manggil pengawalnya untuk menolong. Tapi tak ada yang datang.

“Ayo, kita harus menerobos  zombie-zombie ini. Tetap dekat denganku,” kataku pada Tori. Kukeluarkan pisauku. Untungnya dua zombie memutuskan untuk berbelok ke ruangan tempat Hune terus berteriak. Kalau hanya satu zombie sih gampang.

Atau begitulah yang kupikir, sampai aku sadar kalau itu zombie liar. Dia berlari dengan gila ke kami.

“Awas! Menghindar!!”

Tori tidak sepenuhnya bisa menghindar. Zombie itu berhasil menerkam tangannya dan menggigitnya.

“KYAAA!!”

Dalam panik, aku berhasil menusukkan pisauku ke kepala zombie itu. Dia terjatuh tak bergerak.

Tori menangis melihat tangannya yang kini bersimbah darah, “Oh tidak...tidak....”

“Tenang!! Rere bisa mengobatinya nanti.”

“Kau tidak lihat aku digigit??” bentaknya. “Aku akan menjadi zombie!”

“Tenanglah, kita punya penangkal virus itu di rumah sakit. Kau akan sembuh asal kita bergerak cepat.”

“Benarkah?” Tori terlihat tidak terlalu percaya, tapi paling tidak dia berhenti menangis.

Aku mengangguk dan memimpin jalan ke tangga. Keadaan sepertinya sangat kacau dibawah. Aku berjalan siaga jika saja masih ada bandit lain atau zombie. Mayat orang dan mayat zombie bercampur di dekat pintu depan. Satu-satunya yang masih bergerak hanyalah satu zombie yang sedang memakan bandit.

Pemandangan yang memualkan, aku ingin segera cepat keluar dari sini. Kuambil pistol dari tangan bandit yang sudah mati, lalu menembak zombie terakhir di kepala. Bagaimana mungkin Zico dan Rere melakukan ini semua?

Kami keluar dari bangunan itu dan mencari mereka. Terdengar suara siulan dari belokan. Zico melambai ketika kami melihat.

Tori berlari ke Zico lalu memeluknya.

“Kukira kau sudah mati...” kata Tori.

“Enak aja. Aku ini jago tahu.” Zico tersenyum.

Aku menunggu adegan mesra itu berakhir sebelum marah-marah pada Zico, “Apa sih yang kau pikirkan? Menyerang dari depan, membawa zombie kesana, kami hampir mati tahu!”

“Itu bukan kami,” kata Zico. “Saat kami tiba, sudah ada truk disana. Orang-orang didalamnya turun lalu mulai menembak membabi buta. Mereka bahkan membawa dua zombie dan membiarkannya masuk kedalam.”

“Apa? Maksudmu, ada orang selain kita di kota ini?”

Zico mengangguk, “Bandit lain tepatnya. Mereka sepertinya dendam terhadap kelompok itu, entah kenapa. Setelah berhasil menarik lebih banyak zombie, mereka pergi begitu saja. Saat kami mau mencari, kalian sudah keluar duluan.”

Aku tidak tahu mana yang lebih mengerikan, masih ada bandit lain atau fakta mereka menggunakan zombie untuk menyerang lawannya.

“Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang, kita punya urusan yang lebih mendesak.” Aku melihat pada Tori. Zico terlihat tidak senang.

“Apa? Apa yang mereka lakukan padamu?”

“Bukan para bandit itu...” Tori menunjukkan luka gigitannya.

“Kau digigit??” Rere shock.

“Tenang,” kataku, “Medina punya kaset Queen. Kita cuma harus membawanya ke rumah sakit dan mencari tape player.”

Zico masih terlihat cemas, “Oke, dari sini ke rumah sakit kira-kira 30 menit. Kita harus cepat tapi tetap hati-hati karena bandit-bandit masih berkeliaran.”

Kami semua bergegas pergi dari situ. Saat aku melihat bangunan itu untuk terakhir kali, aku melihat anak SMP yang membawaku tadi keluar dengan ketakutan. Entah bagaimana dia bertahan hidup. Dia tidak melihat kami dan pergi ke arah yang berlawanan. Aku sempat kasihan, tapi sekarang tak ada yang bisa kulakukan.

Kami berlari dari satu gang ke gang lain, mencoba menghindari jalan besar. Sepanjang perjalanan, kami hanya bertemu dua zombie dan itu bisa dengan mudah diatasi.

Rumah sakit mulai terlihat, mungkin hanya tinggal lima menit lagi.

“Tunggu...” Tori menghentikan kami. Dia terlihat sangat lelah. “Aku tidak bisa berlari lagi.”

Lebih gawat lagi, badannya mulai menghitam dan matanya memerah. Rere sepertinya juga mengkhawatirkan itu.

“Keadaanya sudah sangat parah. Kita harus cepat.”

Zico mendekat, “Sini biar kubantu berjalan.”

Tori meresponnya dengan jatuh ke tanah. Kami semua kaget, tapi Zico-lah yang paling panik.

“Kenapa dia?”

“Sepertinya dia sudah mau berubah...” kataku.

“Mana mungkin? Ini baru setengah jam!”

Memang, tapi Bima juga berubah hanya dalam waktu 4 jam, dan yang menggigit Tori kali ini adalah zombie liar.

“Mungkin, mungkin sekarang virus itu semakin cepat menyebar...”

Zico menggendong Tori, “Ayo!! Kita harus lebih cepat!!”

Aku berlari di depan untuk berjaga-jaga jika kami bertemu zombie. Rere berada di dekat Zico untuk terus memeriksa keadaan Tori. Dia terlihat mau menangis.

“Zico!! Dia tidak bernafas!”

Aku melihat ke belakang dengan ngeri. Zico menurunkannya dan memberi nafas buatan.

“Kau tidak boleh mati!” Zico berteriak pada Tori, “Kita baru bertemu, tolong jangan lakukan ini!!”

Tapi sebanyak apapun Zico memberi nafas buatan, Tori tetap tidak bernafas. Rere menggeleng sambil meneteskan air mata, pertanda Tori sudah tiada. Zico tidak bisa berbicara saking shocknya.

Aku mendekatinya, “Zic...kita tidak bisa membiarkan dia berubah kan?”

Dia tidak menjawab.

Kukeluarkan, “Biar aku yang lakukan.”

“Tidak tunggu!” Zico menghentikanku. “Biar aku saja. Dia tanggung jawabku.”

Aku mengangguk. Kuajak Rere yang menangis terisak-isak untuk menjauh dari sana. Kami hanya akan melihatnya dari jauh.

Aku bisa melihat Zico bergetar karena sedih saat dia mengangkat pistolnya. Dia ragu untuk sesaat, tapi akhirnya menarik pelatuknya.


Saat itulah hujan turun lagi. Hujan itu membasahi kami dan Zico yang kini berlutut karena menangisi kekasihnya.



Bersambung......ke part 10.

Top 5 Mega Evolution Pokemon


Banyak hal yang kusukai dari gen 6 Pokemon yang menurutku game dengan perkemabangan paling drastis dari sebelumnya. Fitur baru seperti Pokemon Amie, Super Training, fairy type, duduk di kursi (ya, itu sangat penting) dan mega evolution membuat game ini sangat berbeda.

Khusus untuk mega evolution, aku sangat senang dengan keputusan Pokemon mencoba sesuatu yang baru seperti ini. Mungkin memang banyak yang menganggap mega evolution terlalu mirip dengan Digimon, tapi menurutku ini membuat makin banyak variasi cara dalam bertanding dan membuat Pokemon lebih menarik lagi.

Aku akan membahas Top 5 mega evolution favoritku. Tentu saja, pendapat orang bisa berbeda. List ini juga bukan berdasarkan tingkat kekuatan atau apalah, ini cuma....karena aku suka. Gak papa kan ya? Btw, ini dia :

5. Mega Garchomp

Garchomp sudah cukup mengerikan bahkan sebelum dia diberi mega evolution. Mega Garchomp menambah drastis kekuatan attack dan spesial attacknya. Itu ditambah defense dan speed yang juga meningkat, membuat Mega Garchomp adalah mega Pokemon yang lengkap. Kalau begitu, kenapa Pokemon ini ada di peringkat 5? Well, jujur aja, aku tidak terlalu suka tipe naga. Sebelum gen ini, mereka terlalu superior, dan ditambah ada temanku yang sangat gila tipe naga sampai kadang nyebelin. Lagipula, Mega Garchomp terlalu sering dipakai orang dalam competitive battling. Tapi, ini tetap Pokemon yang bagus dan berharga untuk dimiliki.

Statistik (Garchomp -> Mega Garchomp)
HP : 108 -> 108
Attack : 130 -> 170
Defense : 95 -> 115
Sp. Attack : 80 -> 120
Sp. Defense : 85 -> 95
Speed : 92 -> 102

Lokasi Mega Stone : Victory Road (Setelah menjadi Champion)

4. Mega Aggron

Aku sudah menyukai Aggron sejak gen 3 dan selalu masuk ke party-ku kapanpun aku menemukannya. Aggron selalu menjadi pokemon andalanku dalam bertahan karena defensenya yang tinggi yang mencapai stat 180. Itu aja sudah gila, tapi Mega Aggron lebih gila lagi. Defensenya mencapai 230!! Kekuatan pertahanan itu didukung oleh kekuatan Attack yang juga diatas rata-rata. Memang Aggron masih lemah dalam Sp. Attack dan Sp. Defense, plus dia juga lamban, tapi jika dipakai dengan benar, Aggron bisa menjadi monster dalam bertahan dan menyerang.

Statistik (Aggron -> Mega Aggron)
HP : 70 -> 70
Attack : 110 -> 140
Defense : 180 -> 230
Sp. Attack : 60 -> 60
Sp. Defense : 60 -> 80
Speed : 50 -> 50

Lokasi Mega Stone : Cyllage Gym (Mega Stone di Pokemon Y, tapi Aggron hanya ada di Pokemon X)

3. Mega Banette

Aku tahu ini bukan pilihan banyak orang. Itu masuk akal, karena perubahan drastis yang dialami Banette saat berubah hanya dari segi Attacknya. Tapi sekali lagi, aku memilih ini bukan karena statnya yang hebat, tapi hanya karena alasan aku suka bentuk dari Mega Banette. Mereka membuat Banette, boneka lusuh hitam yang akan mencari anak yang membuangnya, menjadi boneka keren dengan cakar dan semacamnya, membuatnya terlihat lebih menyeramkan. Banette adalah boneka yang sangat ingin kumiliki.

Statistik (Banette -> Mega Banette)
HP : 64 -> 64
Attack : 115 -> 165
Defense : 65 -> 75
Sp. Attack : 83 -> 93
Sp. Defense : 63 -> 83
Speed : 65 -> 75

Lokasi Mega Stone : Cave of Emptiness (Setelah menjadi Champion)

2. Mega Charizard X

Bagi penggemar Charizard, Mega Charizard X adalah mimpi menjadi nyata karena akhirnya Charizard mendapat tipe Dragon. Selama ini orang protes karena Charizard yang jelas-jelas berbentuk naga malah dikasih tipe Flying, menyebabkannya sangat lemah terhadap tipe Rock. Mega Charizard X adalah salah satu alasan kenapa aku memilih main Pokemon X dibanding Pokemon Y. Secara statistik, Pokemon ini mungkin bukan yang terbaik. Hanya saja, sama seperti banyak orang yang memilih Charmander sebagai Pokemon pertamanya, Charizard akan selalu mendapat tempat di hati, dan melihatnya menjadi naga membuatnya pantas berada di list ini.

Statistik (Charizard -> Mega Charizard X)
HP : 78 -> 78
Attack : 84 -> 130
Defense : 78 -> 111
Sp. Attack : 109 -> 130
Sp. Defense : 85 -> 85
Speed : 100 -> 100

Lokasi Mega Stone : Prof. Sycamore Laboratory

1. Mega Scizor

Mega Scizor memiliki attack dan defense yang sangat bagus. Untuk tipe Steel, dia juga memiliki Spesial Defense yang cukup. Dia memang agak lambat, tapi Mega Scizor adalah Pokemon yang terlalu keren untuk tidak dimiliki dengan kelebihannya yang lain. Tapi yang membuatku memillih Mega Scizor sebagai yang terbaik adalah.....TANGANNYA ADALAH GERGAJI PENJEPIT!!

Statistik (Scizor -> Mega Scizor)
HP : 70 -> 70
Attack : 130 -> 150
Defense : 100 -> 140
Sp. Attack : 55 -> 65
Sp. Defense : 80 -> 100
Speed : 65 -> 75

Lokasi Mega Stone : Frozen Cavern (dibelakang Abomasnow, setelah menjadi Champion)


Itulah 5 Pokemon favoritku. Semua Mega Pokemon keren menurutku (kecuali Mega Medicham, entah kenapa itu tampak konyol, belum lagi statnya yang sangat lemah) dan sulit memilih 5 diantaranya, tapi inilah yang paling baik bagiku. Siapa Mega Pokemon favoritmu?

Aku Melihat Zombie Terpeleset (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 8)



baca part sebelumnya disini.

Semua sepakat menyalahkanku ketika aku dan Zico kembali ke kamar operasi untuk memberitahu kabar buruk yang kami lihat. Yah, memang tidak menyalahkan secara langsung, tapi Rere yang berkali-kali menggumamkan “Seharusnya aku tidak meninggalkannya,” membuatku merasa sangat bersalah.

“Jadi bagaimana sekarang?” tanya Medina.

“Aku akan pergi menolongnya. Terserah dengan kalian,” jawab Zico. Dia memang berkata begitu, tapi tatapan marahnya kepadaku mengatakan kalau aku harus ikut untuk membalas perbuatanku sebelumnya.

“Aku akan membantu Zico,” kataku.

“Aku ikut!” Rere mengusulkan diri.

“Jangan. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi, bisa jadi sangat berbahaya,” larang Zico. “Lebih baik kita bergerak dengan sedikit orang. Lagipula, kau harus menjaga Ali.”

“Tapi, aku sudah bersama Tori beberapa hari ini. Dia teman yang baik. Aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Biar Ali dijaga Medina, dia akan aman disini. Kau mau kan?”

Rere bertanya pada Medina yang dijawab dengan hening. Kurasa Medina tidak mau ditinggalkan sendirian disini menunggu orang sakit.

Kami semua tahu kalau Rere sudah keras kepala begini, tidak akan ada yang bisa menghentikannya.

“Baiklah,” kata Zico akhirnya. “Medina, kau jaga Ali ya.”

Medina menyerah, “Ya, oke.”

Setelah sepakat, kami bertiga bergegas keluar dari kamar operasi dan menyiapkan senjata masing-masing. Rencananya adalah mencari mobil pickup itu berdasarkan arah yang kami lihat dan semoga itu mengantarkan kami ke tempat persembunyian mereka.

Hanya saja ada satu masalah, dan kami baru menyadarinya saat kami keluar.

“Hujannya deras banget,” kata Rere.

Memang, ketika di kamar operasi, kami tak mendengarnya. Kami baru sadar kalau diluar sudah dilanda hujan deras ketika melihat ke jendela. Beberapa hari ini memang turun hujan terus, dan ini sepertinya yang paling deras. Cuaca seperti ini akan menyulitkan kami mencari Tori.

Tapi Zico tidak peduli, “Ayo. Aku sangat khawatir dengan Tori.”

Ini berarti kami harus hujan-hujanan mencarinya. Dalam sekejap saja, badan kami sudah basah kuyup. Rere yang sepertinya paling tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Dingin banget...” kata Rere dengan gemetar.

“Kau bisa kembali kalau mau.” Zico terus saja berjalan. Rere hanya merengut dibilang seperti itu.

Aku melihat di kejauhan ada zombie sedang berjalan terseok-seok. Dia lalu terpeleset di jalan yang licin dan kepalanya menabrak tiang rambu lalu lintas ketika terjatuh. Aku susah payah menahan tawa. Pistol yang dipegang Zico membuatku tidak nyaman untuk tertawa.

“Baiklah, kita melihat mereka tadi kesini. Ayo.” Aku membiarkan Zico yang memimpin karena sepertinya dia ahli dalam mencari sesuatu seperti ini.

Kami berhenti di sebuah perempatan. Zico berlutut, memegang jalan dengan jari lalu menjilatnya.

“Uggh, untuk apa kau lakukan itu?” tanyaku heran.

“Aku melihatnya di acara tv saat mereka mencari binatang buruan.”

“Mereka mencoba rasa jalan?”

Zico menunjuk ke salah satu belokan. “Kesana!”

Aku kagum, “Kau benar-benar bisa menentukan arah dari rasa jalan?”

“Tidak, aku hanya menunjuk berdasarkan insting.”

“Lalu untuk apa kau menjilat jalan??” Zico tidak menjawab dan mulai berjalan lagi. Aku mengikutinya dengan pasrah. Semoga kami tidak nyasar.

Dan tentu saja, berlawanan dengan keinginanku, kami nyasar. Sudah setengah jam kami berjalan tanpa arah dan tidak ada tanda-tanda mobil yang kami lihat tadi.

Kami semua sudah sangat basah dan memutuskan untuk berhenti sebentar untuk berteduh.

“Dimana ojek payung saat kau membutuhkannya?” keluhku.

“Sudah jadi zombie mungkin,” jawab Rere. Zico hanya diam dengan muka serius. Aku tahu dia pasti khawatir dengan kekasihnya. Hujan yang makin deras tidak membantu sama sekali.

“Kita tidak bisa melihat apa-apa dari sini,” kataku.

“Aku tahu. Diamlah!” Zico sedikit frustasi.

“Tenang Zic, kita pasti akan me....KYAAA!!”

Aku dan Zico terkejut ketika Rere tiba-tiba berteriak. Ternyata zombie menangkapnya dari balik pintu toko tempat kami berteduh. Kami tidak mendengar dia datang karena bunyi hujan yang sangat deras.

Rere panik dan menarik tangannya dengan keras, menyebabkan zombie itu tertarik ke depan. Aku mengambil kesempatan itu untuk menendangnya. Zombie itu terlempar ke jalan, tapi karena tangannya memegang erat Rere, maka suster itu pun ikut terbawa.

“Kyaaa, tolong!!”

Zico bergegas  mengambil pisaunya dan menusuk zombie itu tepat di kepala. Pegangannya pun terlepas dari Rere.

Tapi masalah bertambah buruk. Teriakan Rere ternyata cukup kuat untuk memanggil banyak zombie lain. Bahkan tiba-tiba saja sudah ada yang berada di dekatku. Aku berhasil menjatuhkannya walau sempat kaget.
Hujan deras menghalangi penglihatan kami. “Sial, aku sulit melihat para zombie itu,” kataku.

“Aku tahu. Kita sebaiknya sembunyi dulu sekarang.” Zico menebas satu zombie lagi yang mendekat.

Aku terlambat menyadari kalau ada zombie lagi di belakang Zico. Dia menerjang hingga menyebabkan mereka berdua terjatuh. Pisau terlepas dari tangan Zico.

Aku mencoba menolongnya, tapi jalanan yang licin membuatku sulit untuk berlari cepat. Dalam keputusasaan, Zico menarik pistolnya dan menembak zombie itu di kepala.

Tentu saja suara itu menarik lebih banyak zombie lagi. Tapi ternyata bukan hanya zombie yang mendengarnya.

“Suara apa itu?” Aku mendengar seseorang berkata seperti itu di kejauhan. Mungkinkah itu bandit yang menculik Tori?

Zico menarikku dan Rere untuk bersembunyi di toko tempat kami tadi berteduh. Kami langsung menahan pintu agar zombie tidak ikut masuk.

“Zic, kau dengar gak?” kataku disela-sela mencari nafas, “Tadi ada suara seseorang.”

“Entahlah, aku terlalu sibuk menyelamatkan diri.”

Suara gedoran di pintu menandakan beberapa zombie melihat kami lari kesini. “Sepertinya ita harus keluar dari pintu belakang.”

Tapi gedoran itu berhenti oleh suara tembakan beruntun. Seseorang menembak zombie-zombie itu diluar.

Dia berteriak setelah suara tembakan mereda, “Kami tahu kalian di dalam! Keluar saja dan ikut kami!”
Aku berbisik pada Zico, “Itu mereka...”

Zico mengangguk. “Ini bisa jadi kesempatan kita. Salah seorang dari kita harus tertangkap.”

“Apa?”

Bandit itu sepertinya sudah mulai mencoba mendobrak.

“Apa maksudmu harus ada yang tertangkap?” tanyaku lagi.

Zico menjelaskan idenya dengan cepat, “Kau saja yang pura-pura tertangkap. Aku dan Rere akan bersembunyi lalu mengikuti bandit itu ke tempat persembunyiannya.”

Aku suka ide itu kecuali fakta bahwa dia mengusulkan aku yang harus pura-pura tertangkap. Tapi tidak ada waktu untuk protes karena bandit-bandit itu mendobrak pintu makin keras.

“Oke oke. Kalian sembunyi sana.”

“Semoga kau tidak apa-apa,” kata Rere sebelum dia mengikuti Zico ke salah satu ruangan.

Bandit-bandit itu akhirnya berhasil mendobrak pintu. Aku mengangkat tangan tanda tidak akan melakukan perlawanan.

“Tolong jangan sakiti aku...” kataku mencoba terlihat takut. Itu tidak susah karena aku memang takut.

Ada dua orang yang mendobrak masuk. Satu memakai bandana dan semacam jaket kulit yang pasti tidak akan enak dipakai di saat hujan begini. Yang lain sepertinya hanyalah anak muda. Mungkin sekitar umur anak SMP. Tapi dia tetap terlihat galak.

“Kau yang tadi melawan zombie-zombie itu?” kata si jaket kulit.

“Ya.”

Dia melihat ke sekeliling. “Kau sendiri saja?”

“Ya, seperti yang kau lihat.”

Dia terlihat tidak yakin. “Far, coba kau cek.”

Anak SMP yang dipanggil Far itu mengangguk. Dia berjalan kebelakangku sambil memegang senjatanya. Ya ampun, kuharap Zico dan Rere sudah bersembunyi dengan baik.

Tiba-tiba muncul zombie di pintu. Si jaket kulit terkejut dan menembak hancur kepala zombie itu secara refleks.

“Bangsat! Kita tidak bisa berlama-lama disini. Far, kita kembali! Bawa orang itu!”

Anak SMP sialan itu menarikku dengan kasar. Yah paling tidak, mereka lupa mengambil senjataku dan Zico-Rere tidak ketahuan.

Aku dipaksa berlari kecil dalam hujan untuk menghindari melawan zombie. Anak SMP itu menendangku, “Cepat sedikit dong sialan!”

Oh, aku sangat ingin memukul anak kecil itu.

Aku dibawa ke sebuah gedung tua. Gedung itu mirip dengan tempat yang kami tinggali bersama Bima dan yang lain, hanya saja lebih kecil, mungkin hanya tiga lantai. Kurasa ini dulunya kantor perusahaan kecil. Ternyata mereka bersembunyi di tempat seperti ini.

Seseorang menyambut mereka di depan pintu. Badannya besar dan kepalanya botak licin. Saking licinnya aku merasa bisa bercermin di kepalanya.

“Siapa itu Kuda?” Suaranya dalam dan mengerikan.

Aku menyangka ada kuda nyasar sampai aku sadar kalau nama si jaket kulit itu adalah Kuda. “Kami menemukannya bersembunyi dari zombie. Dia bisa berguna nanti.”

Si botak melihatku, lalu berkata lagi pada Kuda, “Baiklah, masukkan saja dia ke tempat kita menahan cewek itu. Mood bos lagi tidak enak karena hujan ini.”

Bos? Sepertinya masih ada orang lagi selain mereka. Si anak SMP mendorongku masuk dengan kasar.
“Biasa aja dong. Aku bisa jalan kok,” kataku protes.

“Berisik. Aku tidak mau mendengar kau mengeluh.” Dia menuntunku ke lantai dua dan memasukanku ke ruangan yang penuh dengan arsip-arsip kantor. Disana ada Tori sedang berlutut di pojok ruangan, kedinginan mungkin.

Anak SMP itu pergi dengan membanting pintu. Setelah kurasa aman, aku mendekat ke Tori.

“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.

“Kau...salah satu teman Rere. Aku lupa namamu. Kau tertangkap juga.”

“Aku Kemal. Tidak juga, aku pura-pura tertangkap agar Zico dan Rere bisa mengikutiku kesini. Mereka akan menolong kita.”

“Kau bertemu Zico??” Tori berkata senang.

“Ya, dia ada di kamar mayat selama ini.”

“APA? DIA MATI?”

“Tidak. Kalau dia mati, mana mungkin dia akan menolong kita. Ceritanya panjang.”

Hening sesaat sebelum Tori berkata lagi, “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang.”

“Entahlah, untuk awal, sebaiknya kita keluar dari sini.”

“Tidak bisa. Pintunya dikunci dari luar.”

Aku mencobanya sendiri. Memang pintunya dikunci. Aku bisa saja mendobraknya, tapi bisa ketahuan dari suaranya.


Selagi aku berpikir cara melarikan diri, terdengar suara tembakan dari luar. Zico dan Rere sudah datang.



Bersambung.....ke part 9.

Jika Temanku Adalah Dora


Aku pulang dari sekolah dengan disambut tamu yang sangat menyebalkan. Ketika aku baru masuk ke rumah, dia menyapaku dengan berteriak.
“HALO KEMAL!!”
“Buset! Kau siapa?” tanyaku kaget.
Ibuku datang untuk menjelaskan, “Ini Dora, anak teman Ibu. Dia perlu teman untuk pulang.”
“Dia perlu teman....untuk pulang?”
“Ya, biasanya aku ditemani oleh monyetku yang suka memakai sepatu, Boots,” kata Dora. “Dia meninggal beberapa minggu yang lalu. Dokter sudah bilang ini akan terjadi ketika tahu Boots kecanduan pisang.”
Aku makin bingung, “Kau biasanya ditemani monyet pakai sepatu yang kecanduan pisang?”
“Intinya, dia tidak tahu jalan sekitar sini. Kau mau menemaninya kan?” tanya Ibu.
“Apa harus aku? Aku capek dari sekolah?”
“Tolonglah. Lihat Dora, dia sangat sedih karena nyasar dari tadi.”
Kulihat muka Dora. Yang kulihat hanyalah muka yang selalu tersenyum dengan mata sedikit terlalu besar untuk ukuran manusia normal.
Aku mendesah pasrah, “Baiklah...”
Dora langsung menarikku keluar dengan kasar, “Kita akan berpetualang!!”
“Hei santai. Dimana rumahmu emang?”
Dia berpikir, “Hmmm, kita tanya peta saja!!”
“Hah? Gak usah. Kalau kau tau alamatnya, kita bisa tanya tukang ojek kenalan....”
“PETA!!!” Dora berteriak memotong kata-kataku. Aku sampai menutup kuping saking kerasnya dia berteriak. Tapi yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan sehingga aku lupa untuk marah.
Sebuah peta keluar dari tasnya lalu mulai bernyanyi.
“Jika kau mencari tempat, akulah orang yang tepat. Aku peta, aku peta, aku peta. Jika kau mencari lokasi, akulah yang kau cari. Aku peta aku peta...”
Dia terus bernyanyi hingga 30 detik kemudian. Aku kehilangan kata-kata melihatnya.
Setelah nyanyian berhenti, peta bertanya pada Dora, “Kau mau kemana hari ini?”
“Aku hanya mau pulang ke rumah,” jawab Dora dengan girang.
“Baiklah, yang pertama harus kau lakukan adalah pergi ke hutan. Lalu, sebrangi sungai. Setelah itu, kau akan sampai di rumah.”
“Tunggu, apa?” tanyaku masih bingung dengan segala yang terjadi. Peta tidak menghiraukanku.
“Jadi ingat, hutan, sungai, rumah! Hutan, sungai, rumah!”
Peta lalu masuk lagi ke tas.
Aku jelas protes, “Apa? Kenapa peta ajaib itu menyuruh kita melewati hutan dan sungai. Tidak bisakah kita naik ojek aja?”
Dora justru balik bertanya, “Jadi, kemana kita sekarang?”
“Hutan, tapi...”
“Oke, ayo!!”
Dia lagi-lagi menarikku dengan kekuatan mengerikan. Anak kecil ini makan apa sih?
Entah bagaimana, kami sampai di hutan. Aku bahkan tidak ingat ada hutan di dekat sini. Sementara aku takut karena berjalan di tempat asing, Dora di depanku sedang bernyanyi sambil menari. Dia jelas punya masalah di otaknya.
Tiba-tiba dia berhenti.
“Kenapa?” Aku sudah takut ada binatang buas akan melompat dari semak-semak.
“Lihat.” Dora menunjuk ke sebuah pohon yang sangat aneh. Pohon itu dipenuhi banyak kunci yang tergantung di dahannya.
“Salah satu dari kunci itu adalah kunci rumahku,” katanya.
“Kenapa kuncimu ada disitu? Lagipula, ini pohon apa?”
Lagi-lagi aku tidak dihiraukan. Dora justru mengambil sesuatu dari kantongnya. “Ini gambar kunciku. Bisakah kau menemukan kunciku di pohon itu.”
Aku melihat gambar itu lalu memeriksa ke pohon. Aku menemukan yang mirip dengan gambar.
“Ya, itu yang di ujung.”
“Bagaimana kita mengambilnya?”
Aku merasa dia ingin aku memanjat untuk mengambilnya, “Kau mau aku....”
“Benar, kita bisa minta tolong tas!!”
“Apa?”
Dora menurunkan tas punggungnya, dan sama seperti peta, tas itu mulai bernyanyi. Dora meminta sesuatu untuk mengambil kuncinya. Tas itu jutru bertanya kepadaku.
“Apa kau tahu barang agar Dora bisa mencapai tas itu?”
“Ngg...tangga?” jawabku. Rasanya aneh ditanya oleh tas.
“Benar!!”
Lalu dari tas kecil itu muncullah tangga. Aku tak tahu bagaimana tangga itu bisa muat. Dora mengambilnya lalu memakainya untuk mengambil kunci.
“Aku mendapatkannya!!” Dora berteriak senang.
Lalu muncul tiga binatang kecil memainkan musik dengan senang. Aku tak tahu harus berkomentar apa. Ini semua makin aneh saja.
“Baiklah,” Dora turun dari atas. “Kemana kita sekarang?”
“Sungai,” aku menjawab dengan malas.
“Benar!!”
“Berhenti teriak-teriak!!” kataku mulai kesal. Dora kemudian berjalan lagi dengan girang.
Kami akhirnya keluar dari hutan. Jalan di depan terpisah ke dua arah. Yang ke kanan sangat jelas mengarah ke gunung, dan yang ke kiri sudah pasti mengarah ke sungai karena sungainya saja sudah terlihat dari jauh.
Dora berhenti lalu bertanya padaku, “Apa kau melihat sungai?”
Aku sempat ingin bertanya apakah dia buta, tapi memutuskan untuk tidak akan ikut campur terlalu banyak dengan sifat anehnya, “Ya, ke kiri.”
Ada sekitar sepuluh detik dia menatapku dengan mata psikopatnya sebelum akhirnya dia berteriak lagi, “Benar! Ayo!!”
Tiba di tepi sungai, aku melihat sesuatu yang sangat mengerikan. Ada buaya!!
“Oh ya ampun, ayo kabur!”
Secara mengejutkan, Dora tidak takut dan justru berjalan santai ke arah buaya itu.
“Ini temanku, Pak Buaya,” katanya riang.
“Kau berteman dengan buaya?” Keanehan ini terus berlanjut.
“Ya. Pak buaya sangat baik!!”
Kalian seharusnya tidak akan terkejut sekarang ketika aku mengatakan buayanya juga bisa berbicara. “Ya, tapi sayangnya Dora, kau tidak boleh melewati sungai ini.”
Untuk pertama kalinya Dora terlihat kecewa, “Tapi, aku harus pulang ke rumahku.”
Buaya itu terlihat berpikir. Ya, entah bagaimana aku mengatakannya, tapi buaya itu memang terlihat seperti mengerutkan dahi.
“Baiklah, jika kau bisa menghitung satu sampai sepuluh dalam bahasa inggris, aku akan memberimu tumpangan melewati sungai.”
“Hanya itu?” tanyaku. “Bukankah itu terlalu gampang.”
“Bantu aku menghitung!!” Dora berteriak. “One....Two.....Three....”
Aku menutup muka saking lelahnya dengan semua ini.
“Nine.....Ten....” Dora mengakhirinya dengan senang.
“Oke, ayo naik ke punggungku!” katasi buaya. Hari ini memang aneh, tapi menaiki buaya menyebrangi sungai menurutku cukup keren. Ketika kami sampai di seberang, tiga hewan kecil itu datang lagi sambil main musik.
“Selanjutnya kemana kita?” tanya Dora lagi.
“Rumahmu!! Ya ampun...”
“Benar! Ayo!!”
Baru berjalan sebentar, Dora terlihat waspada. “Apa kau dengar bunyi itu?’
“Bunyi apa?”
Setelah aku lebih tenang, memang ada terdengar sesuatu. “Apa itu?”
“Swiper! Dia suka mencuri! Dia pasti mau mencuri kunci rumahku.”
“Apa Swiper itu rubah yang bisa berjalan dengan memakai masker muka? Karena dia ada di belakangmu sekarang.”
“Apa kau melihat Swiper?”
“Di belakangmu kubilang!!” kataku kesal.
Makhluk aneh bernama Swiper itu pasti pencuri gagal karena dia berjalan sangat lamban. Dora mengangkat tangannya ke arah Swiper lalu berteriak, “Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri!”
Swiper menjentikkan jarinya, “Ya ampun.” Lalu dia pergi begitu saja.
Ya, sudah pasti pencuri gagal.
Setelah berhasil menghentikan kriminalitas, Dora berjalan lagi dengan riang. Aku sangat senang ketika kami sampai di rumahnya.
Ibu Dora sudah menunggu di depan rumah. Kami bahkan tidak perlu memakai kunci yang kami ambil dari pohon itu.
“Dora....” Ibunya memeluk Dora dengan penuh sayang. “Ini siapa?”
“Ini Kemal. Dia temanku.”
“Aku bukan temanmu,” gumamku.
“KITA BERHASIL!!” Dora tiba-tiba berteriak dengan keras sampai aku melonjak ke belakang saking kagetnya. Dia lalu berjoget diikuti ibunya.
“Berhasil! Berhasil! Berhasil!”
Aku berpikir apakah bisa kabur ke rumah sekarang karena rasanya aku sudah sangat muak. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk menunggu dia selesai berjoget agar lebih sopan.
Dora mendekatiku setelah lama bernyanyi, “Kita sudah melakukan petualangan yang hebat. Bagian mana yang menjadi favoritmu?”
Aku merasa semua petualangan ini sangat aneh, tapi memang ada satu bagian yang kusuka. “Saat kita menaiki buaya. Kurasa itu cukup keren.”
“Aku juga suka itu!” kata Dora. “Bagian yang paling kusuka adalah saat kita menaiki buaya!”
“Itu sama sa....ah sudahlah. Boleh aku pulang sekarang?”
Ibu Dora datang menghampiri kami. “Oh Nak, bisakah kau menemani Dora mengantar surat ini ke kantor pos?”
“Kurasa tidak bisa. Aku...ada urusan.” Sudah cukup aku melakukan petualangan hari ini.
Terlambat, mata Dora sudah berbinar-binar. Dia mengambil surat dari tangan Ibunya lalu menarik tanganku. Oh tidak.