Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Jika Temanku Adalah Dora


Aku pulang dari sekolah dengan disambut tamu yang sangat menyebalkan. Ketika aku baru masuk ke rumah, dia menyapaku dengan berteriak.
“HALO KEMAL!!”
“Buset! Kau siapa?” tanyaku kaget.
Ibuku datang untuk menjelaskan, “Ini Dora, anak teman Ibu. Dia perlu teman untuk pulang.”
“Dia perlu teman....untuk pulang?”
“Ya, biasanya aku ditemani oleh monyetku yang suka memakai sepatu, Boots,” kata Dora. “Dia meninggal beberapa minggu yang lalu. Dokter sudah bilang ini akan terjadi ketika tahu Boots kecanduan pisang.”
Aku makin bingung, “Kau biasanya ditemani monyet pakai sepatu yang kecanduan pisang?”
“Intinya, dia tidak tahu jalan sekitar sini. Kau mau menemaninya kan?” tanya Ibu.
“Apa harus aku? Aku capek dari sekolah?”
“Tolonglah. Lihat Dora, dia sangat sedih karena nyasar dari tadi.”
Kulihat muka Dora. Yang kulihat hanyalah muka yang selalu tersenyum dengan mata sedikit terlalu besar untuk ukuran manusia normal.
Aku mendesah pasrah, “Baiklah...”
Dora langsung menarikku keluar dengan kasar, “Kita akan berpetualang!!”
“Hei santai. Dimana rumahmu emang?”
Dia berpikir, “Hmmm, kita tanya peta saja!!”
“Hah? Gak usah. Kalau kau tau alamatnya, kita bisa tanya tukang ojek kenalan....”
“PETA!!!” Dora berteriak memotong kata-kataku. Aku sampai menutup kuping saking kerasnya dia berteriak. Tapi yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan sehingga aku lupa untuk marah.
Sebuah peta keluar dari tasnya lalu mulai bernyanyi.
“Jika kau mencari tempat, akulah orang yang tepat. Aku peta, aku peta, aku peta. Jika kau mencari lokasi, akulah yang kau cari. Aku peta aku peta...”
Dia terus bernyanyi hingga 30 detik kemudian. Aku kehilangan kata-kata melihatnya.
Setelah nyanyian berhenti, peta bertanya pada Dora, “Kau mau kemana hari ini?”
“Aku hanya mau pulang ke rumah,” jawab Dora dengan girang.
“Baiklah, yang pertama harus kau lakukan adalah pergi ke hutan. Lalu, sebrangi sungai. Setelah itu, kau akan sampai di rumah.”
“Tunggu, apa?” tanyaku masih bingung dengan segala yang terjadi. Peta tidak menghiraukanku.
“Jadi ingat, hutan, sungai, rumah! Hutan, sungai, rumah!”
Peta lalu masuk lagi ke tas.
Aku jelas protes, “Apa? Kenapa peta ajaib itu menyuruh kita melewati hutan dan sungai. Tidak bisakah kita naik ojek aja?”
Dora justru balik bertanya, “Jadi, kemana kita sekarang?”
“Hutan, tapi...”
“Oke, ayo!!”
Dia lagi-lagi menarikku dengan kekuatan mengerikan. Anak kecil ini makan apa sih?
Entah bagaimana, kami sampai di hutan. Aku bahkan tidak ingat ada hutan di dekat sini. Sementara aku takut karena berjalan di tempat asing, Dora di depanku sedang bernyanyi sambil menari. Dia jelas punya masalah di otaknya.
Tiba-tiba dia berhenti.
“Kenapa?” Aku sudah takut ada binatang buas akan melompat dari semak-semak.
“Lihat.” Dora menunjuk ke sebuah pohon yang sangat aneh. Pohon itu dipenuhi banyak kunci yang tergantung di dahannya.
“Salah satu dari kunci itu adalah kunci rumahku,” katanya.
“Kenapa kuncimu ada disitu? Lagipula, ini pohon apa?”
Lagi-lagi aku tidak dihiraukan. Dora justru mengambil sesuatu dari kantongnya. “Ini gambar kunciku. Bisakah kau menemukan kunciku di pohon itu.”
Aku melihat gambar itu lalu memeriksa ke pohon. Aku menemukan yang mirip dengan gambar.
“Ya, itu yang di ujung.”
“Bagaimana kita mengambilnya?”
Aku merasa dia ingin aku memanjat untuk mengambilnya, “Kau mau aku....”
“Benar, kita bisa minta tolong tas!!”
“Apa?”
Dora menurunkan tas punggungnya, dan sama seperti peta, tas itu mulai bernyanyi. Dora meminta sesuatu untuk mengambil kuncinya. Tas itu jutru bertanya kepadaku.
“Apa kau tahu barang agar Dora bisa mencapai tas itu?”
“Ngg...tangga?” jawabku. Rasanya aneh ditanya oleh tas.
“Benar!!”
Lalu dari tas kecil itu muncullah tangga. Aku tak tahu bagaimana tangga itu bisa muat. Dora mengambilnya lalu memakainya untuk mengambil kunci.
“Aku mendapatkannya!!” Dora berteriak senang.
Lalu muncul tiga binatang kecil memainkan musik dengan senang. Aku tak tahu harus berkomentar apa. Ini semua makin aneh saja.
“Baiklah,” Dora turun dari atas. “Kemana kita sekarang?”
“Sungai,” aku menjawab dengan malas.
“Benar!!”
“Berhenti teriak-teriak!!” kataku mulai kesal. Dora kemudian berjalan lagi dengan girang.
Kami akhirnya keluar dari hutan. Jalan di depan terpisah ke dua arah. Yang ke kanan sangat jelas mengarah ke gunung, dan yang ke kiri sudah pasti mengarah ke sungai karena sungainya saja sudah terlihat dari jauh.
Dora berhenti lalu bertanya padaku, “Apa kau melihat sungai?”
Aku sempat ingin bertanya apakah dia buta, tapi memutuskan untuk tidak akan ikut campur terlalu banyak dengan sifat anehnya, “Ya, ke kiri.”
Ada sekitar sepuluh detik dia menatapku dengan mata psikopatnya sebelum akhirnya dia berteriak lagi, “Benar! Ayo!!”
Tiba di tepi sungai, aku melihat sesuatu yang sangat mengerikan. Ada buaya!!
“Oh ya ampun, ayo kabur!”
Secara mengejutkan, Dora tidak takut dan justru berjalan santai ke arah buaya itu.
“Ini temanku, Pak Buaya,” katanya riang.
“Kau berteman dengan buaya?” Keanehan ini terus berlanjut.
“Ya. Pak buaya sangat baik!!”
Kalian seharusnya tidak akan terkejut sekarang ketika aku mengatakan buayanya juga bisa berbicara. “Ya, tapi sayangnya Dora, kau tidak boleh melewati sungai ini.”
Untuk pertama kalinya Dora terlihat kecewa, “Tapi, aku harus pulang ke rumahku.”
Buaya itu terlihat berpikir. Ya, entah bagaimana aku mengatakannya, tapi buaya itu memang terlihat seperti mengerutkan dahi.
“Baiklah, jika kau bisa menghitung satu sampai sepuluh dalam bahasa inggris, aku akan memberimu tumpangan melewati sungai.”
“Hanya itu?” tanyaku. “Bukankah itu terlalu gampang.”
“Bantu aku menghitung!!” Dora berteriak. “One....Two.....Three....”
Aku menutup muka saking lelahnya dengan semua ini.
“Nine.....Ten....” Dora mengakhirinya dengan senang.
“Oke, ayo naik ke punggungku!” katasi buaya. Hari ini memang aneh, tapi menaiki buaya menyebrangi sungai menurutku cukup keren. Ketika kami sampai di seberang, tiga hewan kecil itu datang lagi sambil main musik.
“Selanjutnya kemana kita?” tanya Dora lagi.
“Rumahmu!! Ya ampun...”
“Benar! Ayo!!”
Baru berjalan sebentar, Dora terlihat waspada. “Apa kau dengar bunyi itu?’
“Bunyi apa?”
Setelah aku lebih tenang, memang ada terdengar sesuatu. “Apa itu?”
“Swiper! Dia suka mencuri! Dia pasti mau mencuri kunci rumahku.”
“Apa Swiper itu rubah yang bisa berjalan dengan memakai masker muka? Karena dia ada di belakangmu sekarang.”
“Apa kau melihat Swiper?”
“Di belakangmu kubilang!!” kataku kesal.
Makhluk aneh bernama Swiper itu pasti pencuri gagal karena dia berjalan sangat lamban. Dora mengangkat tangannya ke arah Swiper lalu berteriak, “Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri! Swiper jangan mencuri!”
Swiper menjentikkan jarinya, “Ya ampun.” Lalu dia pergi begitu saja.
Ya, sudah pasti pencuri gagal.
Setelah berhasil menghentikan kriminalitas, Dora berjalan lagi dengan riang. Aku sangat senang ketika kami sampai di rumahnya.
Ibu Dora sudah menunggu di depan rumah. Kami bahkan tidak perlu memakai kunci yang kami ambil dari pohon itu.
“Dora....” Ibunya memeluk Dora dengan penuh sayang. “Ini siapa?”
“Ini Kemal. Dia temanku.”
“Aku bukan temanmu,” gumamku.
“KITA BERHASIL!!” Dora tiba-tiba berteriak dengan keras sampai aku melonjak ke belakang saking kagetnya. Dia lalu berjoget diikuti ibunya.
“Berhasil! Berhasil! Berhasil!”
Aku berpikir apakah bisa kabur ke rumah sekarang karena rasanya aku sudah sangat muak. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk menunggu dia selesai berjoget agar lebih sopan.
Dora mendekatiku setelah lama bernyanyi, “Kita sudah melakukan petualangan yang hebat. Bagian mana yang menjadi favoritmu?”
Aku merasa semua petualangan ini sangat aneh, tapi memang ada satu bagian yang kusuka. “Saat kita menaiki buaya. Kurasa itu cukup keren.”
“Aku juga suka itu!” kata Dora. “Bagian yang paling kusuka adalah saat kita menaiki buaya!”
“Itu sama sa....ah sudahlah. Boleh aku pulang sekarang?”
Ibu Dora datang menghampiri kami. “Oh Nak, bisakah kau menemani Dora mengantar surat ini ke kantor pos?”
“Kurasa tidak bisa. Aku...ada urusan.” Sudah cukup aku melakukan petualangan hari ini.
Terlambat, mata Dora sudah berbinar-binar. Dia mengambil surat dari tangan Ibunya lalu menarik tanganku. Oh tidak.

0 komentar:

Posting Komentar