Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kemal Potter (Chapter 3 : Aku Memesan Es Teh Manis Pada Lukisan)

Tak terasa hari sudah mulai gelap saat kereta kami mulai berhenti. Kami semua sudah berganti baju, semacam jubah hitam yang dilengannya tertera tulisan emas “Tahun Pertama”. Banyak yang protes soal pembedaan ini. “Bagaimana kita bisa mengeceng anak tahun atas jika kita dibedakan begini?” kata Edo, anak jahil yang berkenalan denganku di kereta tadi.

Aku setuju, apalagi untuk jomblo 17 tahun seperti aku ini, mendapat pacar seperti sudah kebutuhan. Di SMA, aku beberapa kali hampir mendapat pacar, tapi sihir mengacaukan segalanya. Seperti ketika aku kencan pertama dengan cewek imut di kelasku dan aku tanpa sengaja membuat roknya terbang terus (itu karena hatiku terbang, kata ayahku) atau seperti ketika aku membuat hujan cacing di sekitarku sewaktu berjalan bersama gebetanku (bahkan ayahku tak mengerti kenapa itu terjadi). Karena itu beberapa orang menganggapku aneh dan membawa sial.

Kali ini itu harus berubah, aku harus mendapat pacar! Itulah motivasi utamaku masuk ke sekolah ini, kan semua cewek sama anehnya denganku.

Para murid berbondong-bondong turun dari kereta. Kami tak perlu menurunkan barang sendiri karena nanti para peri rumah yang akan melakukannya.

“Anak-anak tahun pertama kumpul disini!”

Aku menoleh ke orang yang berteriak dan setengah kaget. Tinggi orang itu mungkin 2 meter, dan mukanya terlalu banyak dipenuhi luka. Mata sebelahnya putih kosong, mungkin buta. Kami semua dengan sedikit enggan berkumpul didekatnya.

“Namaku Bambang, dan aku pengawas Binatang Sihir disini. Oh ya, dan aku juga guru Pemeliharaan Satwa Sihir kalian di tahun ini.” Ketika dia bicara, suaranya agak menggeram dan membuat setengah dari rombongan kami jadi lebih takut dari sebelumnya.

“Baiklah, ikut aku.”

Kami semua dibawa pergi dari stasiun. Sepanjang kulihat, disekitar sini hanya ada jalan setapak dan hutan yang mengelilinginya. Tak tampak sekolah Hogwarts. Kami disuruh berbaris dan menunggu sebentar. Bambang bertepuk keras, dan dari dalam hutan keluarlah semacam kereta delman, tapi anehnya tak ada kuda yang menariknya, kereta itu berjalan sendiri.

“Thestral,” bisik Ridho yang ada disampingku, “Aku mendengarnya dari ayahku. Thestral hanya bisa dilihat oleh orang yang sudah pernah melihat kematian.”

Aku melihat ekspresi Iis sekilas, dan entah kenapa aku yakin bahwa dia bisa melihat Thestral itu. Apa itu berarti dia pernah melihat seseorang meninggal?

Hanya saja aku tak sempat berpikir lama-lama. Bambang menyuruh kami naik satu kereta empat orang. Iis sudah pergi duluan. Aku naik bersama Ridho, Fika dan Edo. Setelah kami duduk, kereta itu langsung berjalan lagi. Kami makin lama makin masuk ke hutan. Ini membuatku cukup takut karena langit juga makin gelap. Melihat muka Bambang, aku tak mau memikirkan apa saja binatang yang ada di hutan ini.

Setelah 30 menit, kastil sekolah akhirnya terlihat di kejauhan. Besar sekali, jauh lebih besar daripada kastil-kastil yang kulihat di film. Menara-menara menjulang ke atas. Gerbang depan kastil itu dihias dengan panji-panji asrama, Gryffindor dengan warna merah, Slytherin dengan warna hijau, Hufflepuff dengan warna kuning, dan Ravenclaw dengan warna hijau.

“Semua orang mau masuk Gryffindor, tapi aku sangat ingin ke Hufflepuff,” kata Edo, “Leonalex berasal dari asrama itu tahu?”

Leonalex adalah seeker utama tim Quidditch Inggris. Pada piala dunia terakhir, dia melakukan tangkapan spektakuler dalam keadaan tangan patah setelah dihantam bludger. Tangkapan itu membuat Inggris unggul 10 point atas rival dan tetangga mereka, Irlandia.

Aku memang dibesarkan di dunia muggle, tapi aku cukup tahu tentang Quidditch dan cukup menggemarinya. Tim lokal favoritku adalah Medan Firestar, yang seekernya juga seeker utama timnas Indonesia, Toni Siregar.

Kami asyik membicarakan Quidditch setelah itu dan tak sadar kini kami sudah berhenti. Kami berempat langsun turun dan bergabung dengan rombongan di depan gerbang.

“Sekarang kalian bersiaplah untuk penyeleksian. Ayo masuk.” Bambang membuka pintu yang besar itu hanya dengan sebelah tangannya. Kastil itu sangat keren, dimana-mana ada foto penyihir terkenal yang bergerak-gerak senang melihat murid baru, obor-obor menyala di sepanjang dinding, disalah satu pojok kastil aku melihat ada kepala naga yang dipajang di dinding. Kami terus saja berjalan dan dibawa masuk ke aula besar.

Aula besar sangat ramai. Ruangan besar itu diisi empat meja panjang untuk setiap asrama. Di tengah-tengah ruangan sudah disiapkan kursi untuk penyeleksian. Dalam sekejap saja perutku sudah melilit karena tegang.

Seorang laki-laki yang sudah cukup tua berdiri. “Selamat datang para murid baru. Kami senang sekali bisa menerima kalian disini.  Namaku Sofyan, aku kepala sekolah disini. Mari kita lakukan saja langsung penyeleksiannya.”

Bambang berdiri di dekat kursi dan mengeluarkan gulungan berisi nama-nama murid baru. “Abam Fahrani!”

Seorang laki-laki agak gemuk maju dengan pucat ke kursi. Bambang menaruh topi di kepalanya, dan tiba-tiba saja topi itu bernyanyi.

Oooh wahai murid bermuka bulat, otakmu berisi pengetahuan yang cukup kulihat, dan asrama untukmu tak lain dan tak bukan adalah…..Ravenclaw!!”

Topi itu bernyanyi dengan keras dan dengan cengkok dangdut yang sempurna. Meja Ravenclaw bersorak-sorak senang menerima anggota baru.

“Maaf soal itu,” kata Bambang, “Topi ini jadi senang dangdut sejak dia datang ke Indonesia. Selanjutnya, Anna Fatilla!”

Pemanggilan dilakukan berdasarkan abjad. Makin dekat ke namaku, makin teganglah aku. Sebenarnya tak masalah aku dimasukkan ke asrama mana, aku lebih takut karena topi itu akan membaca pikiranku. Jangan-jangan setelah dia membacanya, dia akan menyanyi keras-keras lagu Darah Muda karena dipikiranku hanya memikirkan bagaimana bisa dapat pacar.

Edo berhasil masuk Hufflepuff sesuai keinginannya diiringi lagu Alamat Palsu dari si topi. Mungkin Edo memikirkan pacarnya yang hilang atau apa.

Satu per satu murid diseleksi hingga akhirnya, “Kemal Potter!”

Orang-orang langsung terdiam. Mereka berbisik-bisik pelan sambil menunjuk ke arahku. Aku tahu ini bakal terjadi. Nama keluarga Potter memang sangat terkenal. Semua kenal Harry Potter, orang yang mengalahkan pangeran kegelapan. Ayahku adalah auror terkenal sebelum dia memilih menjadi guru. Paman dan bibiku juga mempunyai pangkat tinggi di Kementrian Sihir Inggris. Ini membuatku sedikit tertekan karena tak boleh mengecewakan mereka.

“Itu dari keluarga Potter.”

“Cucunya Harry Potter yang itu.”

“Dia kan yang membakar toko buku kemarin.”

Oke, aku akan menendang pantat orang yang menggosip terakhir itu nanti. Tapi sekarang aku punya kecemasan lain. Dengan gugup aku duduk di kursi. Bambang menaruh topi di kepalaku.

“Hmmm….” Topi itu berpikir. “Kemal ya, kau punya keberanian dan pintar, tapi kau terlalu banyak memikirkan cewek…”

Terdengar suara terkikik di sana sini. Mukaku memerah.

“Aku bingung, lagu apa yang cocok untuk kepalamu ini, hmmmm…”

Aku berkata dalam hati, tolong jangan nyanyi, tolong jangan nyanyi.

“Jangan nyanyi ya,” si topi kedengaran kecewa, “Baiklah, Hufflepuff!!”

Meja di tengah bersorak-sorak gembira. Aku dengan lega langsung menuju ke meja itu. Memang semua keluargaku masuk ke Gryffindor, tapi bagiku tak masalah dimanapun. Lagipula anak-anak Hufflepuff sepertinya sangat ramah-ramah, mereka langsung menyalamiku. Aku duduk di sebelah Edo, yang ternyata sudah mulai pedekate dengan seniornya.

Seleksi terus berlanjut. Aku melihat Fika dimasukkan ke Ravenclaw dan Ridho dimasukkan ke Gryffindor. Muka Ridho langsung merana dipisah sama julietnya. Iis dimasukkan ke Hufflepuff juga, yang membuatku cukup senang karena sudah lumayan akrab.

Setelah semua anak sudah duduk, Sofyan berdiri lagi. Kepala sekolah itu mungkin umurnya sudah 100 tahun, mukanya sangat keriput dan rambutnya terlalu putih sampai aku curiga dia tak sengaja kejatuhan cat putih, tapi mukanya ceria seakan-akan tak ada lagi yang lebih membahagiakan daripada melihat kami.

Tapi tiba-tiba saja, dengan pekik kekagetan banyak anak baru, dia berubah. Kulitnya menjadi mulus lagi, rambutnya menghitam, entah bagaimana sekarang kepala sekolah seperti baru berumur 30 tahun. Dia berdiri di podium untuk berpidato.

“Selamat datang untuk anak baru dan selamat datang kembali untuk murid lama. Aku tak akan membuat kalian bosan dengan pidato panjang. Aku hanya akan mengingatkan beberapa hal, untuk anak tahun pertama sampai tahun ketiga dilarang masuk ke rumah kaca dua karena disana banyak sekali tanaman-tanaman berbahaya. Menara di sebelah timur juga terlarang. Selain itu, kastil ini adalah milik kalian. Nah, sekarang mari kita makan.”

Setelah Sofyan selesai bicara, makanan langsung muncul di meja. Anak-anak bersorak senang dan mulai makan. Semua makanan yang bisa kau bayangkan ada di meja. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bingung karena tak tahu apa yang harus dimakan duluan. Akhirnya kusabet ayam goreng dan kentang sambal.

Sambil makan, aku dengar Edo bertanya kepada prefek (ketua asrama) kami, Andri, tentang perubahan kepala sekolah. Dia minum sejenak lalu berkata, “Pak Sofyan adalah masternya sihir perubahan usia. Sangat jarang ada penyihir yang bisa begitu, sihir langka. Sejauh ini, aku hanya melihat pak Sofyan yang bisa melakukannya.”

Aku melihat ke arah meja guru. Pak Sofyan sedang asyik berbicara dengan guru wanita, sulit membayangkan dia adalah pak tua 10 menit yang lalu.

Obrolan makin lama makin kencang, yang berarti banyak murid sudah selesai makan. Aku sendiri sudah tak mampu lagi menelan satu makanan pun karena jika dihitung-hitung sudah 3 piring kulahap. Pak Sofyan membubarkan kami dan para prefek langsung menuntun anak-anak baru ke asrama kami.

Asrama Hufflepuff terletaknya sekitar 2 lantai di bawah aula besar. Walaupun ini di dalam tanah, entah bagaimana jendela di sepanjang lorong menampilkan pemandangan langit berbintang.

“Itu sihir.” Kata Andri sambil lalu mendengar anak-anak berbisik di belakangnya.

Kami lalu berhenti di ujung lorong. Sebuah lukisan besar wanita yang memakai baju adat jawa tersenyum melihat kami.

“Password?”

“Mbak, es tehnya dua!”

“Passwordnya apa?” tanyaku karena aku yakin salah dengar.

“Mbak, es tehnya dua,” ulang Andri seakan-akan itu password yang dipakai sehari-hari oleh orang. Lukisan membuka ke dalam, dan kami satu-satu memanjat masuk.

Kami kini berada di ruangan besar berbentuk lingkaran yang dekorasinya penuh dengan warna kuning, warna Hufflepuff. Kursi-kursi berlengan empuk berderet di tengah sedangkan beberapa meja diletakkan di samping. Lukisan Helga Hufflepuff menyambut kami dengan senyumannya. Ada dua pintu, satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri.

“Anak laki-laki masuk ke sebelah kanan, anak perempuan ke sebelah kiri. Barang kalian ada di dekat tempat tidur.”

Aku ikut rombongan cowok ke kanan. Ternyata ruangan itu berisi lorong panjang lagi yang di sisinya terdapat pintu-pintu kamar. Ketika aku masuk, sebuah kertas entah darimana bersinar di kantongku. Kertas itu berisi nomor kamar. Nomor 11, dan aku akan sekamar dengan Edo.

Aku masuk ke kamar 11, disana sudah ada barang-barangku. Kamarnya tak terlalu luas, tapi nyaman. Langsung saja aku berbaring di tempat tidur. Mungkin karena lelah, aku langsung tidur dan tak sabar mulai belajar besok.