Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Pembunuh Imut


Jarno berjalan pulang dari kantornya. Langit sudah gelap dan tidak ada tanda-tanda orang lagi di sekitarnya. Suasana sangat sepi, tapi Jarno sudah terbiasa. Dia melihat jam tangannya sambil berharap kalau istrinya mau menghangatkan makanan malamnya nanti.
Tiba-tiba di sudut jalan, muncul seorang anak perempuan. Dia berjalan ke arah Jarno sambil melompat-lompat seakan dia sedang sangat bahagia.
Jarno tersenyum, tapi dia heran kenapa anak kecil itu sendiri saat malam begini.
Ketika dilihat dari dekat, anak ini sangat manis. Dia memakai baju putri dongeng, sehingga menambah keimutannya.
“Hai Dik,” sapa Jarno, “kenapa sendirian? Bahaya lho malam-malam gini.”
Anak kecil itu terjatuh karena tersandung sesuatu. Jarno buru-buru mendekatinya. “Kau tidak apa-apa?”
Anak kecil itu tidak menangis. Dia hanya tertunduk sambil memegang jarinya. Jarno yang melihatnya, hanya makin merasa kalau anak ini sangat imut.
Lalu anak itu melihat Jarno dengan mata bulatnya. Dia tersenyum. Senyum yang sangat manis.
Jarno merasa keimutan menyelimuti dirinya.


Polisi berlalu-lalang di jalan. Beberapa sedang memotret, yang lain menghalangi agar penduduk biasa tidak ikut campur.
Seorang wanita terisak-isak menjelaskan ceritanya pada detektif.
“Dia belum pulang juga hingga pagi ini. Ja. . .jadi aku mencoba mencarinya ke jalanan sebentar. Saat itulah aku menemukan dia terbaring di jalan. Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku menelpon polisi. Dia. . .dia mati.”
Istri Jarno kemudian menangis lagi. Detektif yang bernama Rindra itu menepuk bahunya. Dia kemudian memanggil asistennya, Mira.
“Bagaimana?”
“Seperti kata anda. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Dia meninggal karena tercekik rasa imut.”
Rindra menggaruk kepalanya. “Ini sudah ketiga kalinya bulan ini.”
“Dengan total 10 korban. Pembunuh berantai ini sudah bertindak terlalu jauh!”
“Aku tahu. Kita harus segera menghentikan si pembunuh imut ini. Ada petunjuk?”
Mira menggeleng. “Seperti biasa. Aku menemukan beberapa batang lolipop yang dia makan saat menunggu korbannya. Tapi setelah itu nihil. Kejahatan sempurna seperti biasa.”
“Kita tak bisa menemuka DNA dari bekas lolipopnya?”
“Tidak. DNA-nya tertutup oleh kerlap kerlip bintang, mungkin karena dia sangat imut.”
Rindra sedang berpikir keras ketika tiba-tiba Inspektur kepolisian datang dan menegurnya. “Rindra! Sudah berulang kali kubilang jangan ikut campur kasus ini!”
Rindra tidak menjawab. Dia bahkan tidak melihat Inspektur. Mira yang berbicara menggantikannya.
“Maaf Pak. Tapi bukannya Bapak perlu semua bantuan yang bisa didapat?”
“Ya, tapi bukan dia,” kata Inspektur. Rindra melihatnya dengan tatapan kesal. “Jangan salah paham. Kau memang detektif yang hebat. Tapi kau membuat masalah ini menjadi pribadi sejak. . .”
Mira panik, “Pak, jangan bilang kata-kata itu!”
“....sejak anakmu hilang.”
Rindra tersentak. Dia lalu mengalami flashback.


Dia hanya ingin menonton lagi. Naruto sedang melawan Madara dan dia ingin tahu siapa yang menang.
“Papa, kita main dulu yuk. . .”
“Sstt diam. Madara lagi jelasin rencananya nih.”
Anaknya, Medina, kesal. Untunglah adik Rindra, Frank, mengajaknya pergi main.
“Pergi ke taman sama Paman aja yuk.”
“Tapi Papa udah jarang ngajak aku main,” keluh Medina.
Rindra malah mengejeknya, “Biarin, kamu kan udah gak imut lagi, bweeekkk.”
Medina mengembungkan pipinya karena kesal, “Dasar papa pantat gede!”
Pantat gede. Pantat gede.
Kata-kata itu terus terngiang. Itulah kata-kata terakhir Medina, karena setelah itu dia menghilang. Frank ditemukan meninggal. Korban pertama pembunuh imut.


“Kenapa dia diam sambil mengulang-ulang kata ‘Pantat gede’?” tanya Inspektur.
Mira memijit kepalanya. “Dia sedang flashback. Ini sering terjadi.”
“Yah, pokoknya kalian tidak boleh ikut campur lagi. Aku tahu Rindra masih mencari anaknya. Tapi kita tak bisa mencampurkan masalah ini dengan hal pribadi. Serahkan saja pada kami.”
Inspektur kemudian pergi melihat TKP. Mira menarik tangan Rindra, menyadarkannya daroflashback. “Ayo, aku antar anda pulang. Tak ada yang bisa kita lakukan disini.”
“Mira. . .”
“Ya?”
“Apa kesamaan semua korban?”
“Ngg, sebentar,” Mira terlihat berpikir, “mereka semua pulang malam?”
“Selain itu?”
“Hmm, mereka sudah berkeluarga.”
“Ya, tapi kau melewatkan sesuatu yang penting.”
“Apa itu?”
“Mereka semua adalah laki-laki yang suka hal-hal imut.”
Mira berkata kaget, “Benar juga. Kalau tidak salah korban kita yang sekarang juga suka My Little Pony. Dia memposting hal itu di blognya.”
Rindra mengangguk. “Kurasa aku tahu bagaimana memancing pembunuh imut keluar.”


Beberapa hari belakangan ini, Rindra sibuk membuat blog tentang banyak hal imut. Dia menggunakan nama Dolan sebagai samaran. Rindra sebisa mungkin membagi postingannya di setiap media sosial sehingga pembunuh itu bisa melihatnya. Dia juga dengan pintar menyelipkan informasi kalau dia suka pulang malam dan punya keluarga bahagia.
“Anda gila!!” kata Mira.
“Kenapa?” tanya Rindra sambil mengetik di blog.
“Anda bisa terbunuh! Pura-pura jadi korban supaya memancing pembunuh keluar. . .bagaimana kalau ada yang salah?”
Rindra melihat jam. “Sudah saatnya aku pergi. Kurasa aku bisa memancingnya malam ini.” Dia mengambil jaketnya dan hendak keluar, tapi Mira menghalanginya.
“Aku tidak bisa membiarkan Anda pergi.”
“Mira. . .” Rindra memegang tangannya. “Jika aku tidak kembali, aku ingin kau tahu. . .”
Mira menunggu. Matanya berkaca-kaca.
“Kalau aku. . .aku. . .makan es krim-mu kemarin.”
“Apa??”
“Aku menyesal soal itu.”
Lalu tiba-tiba, Rindra memukul perut Mira.
Mira mengerang sakit, “U...untuk apa itu?”
“Ngg, kukira kau akan pingsan dengan sekali pukul seperti di film-film dan aku akan pergi tanpa melihat kau menangis.”
“Anda terlalu banyak nonton TV.” Mira kemudian duduk di sofa. “Pergilah.”
Rindra tersenyum. “Kau tahu aku bercanda kan?”
“Anda tidak memakan es krim-ku?”
“Bukan,” Dia memakai kacamata hitam, “aku tidak benar-benar menyesal.”
Rindra kemudian pergi.


“Aw!” Dia menabrak tiang listrik. Dilepaskan kacamata hitam itu. Susah jadi keren saat malam-malam.
Rindra berjalan dengan tenang, sebisa mungkin tidak melakukan hal yang mencurigakan.
“Ayo, muncullah. . .” katanya dalam hati.
Jalanan sudah gelap dan tidak ada orang di sekitar sini. Tempat yang sangat bagus untuk melakukan kejahatan.
Apa yang diharapkannya pun datang. Seorang anak kecil muncul di pinggir jalan. Dia memakai baju ala Red Riding Hood yang membuatnya terlihat sangat imut.
Rindra sudah mempersiapkan melawan keimutannya itu. Dari kemarin dia nonton film sedih. Bahkan, dia nonton Finding Nemo dari adegan dimana ibunya mati. Kini hatinya sudah beku.
Walaupun begitu, keimutan si pembunuh tetap terasa di hatinya. Rindra berusaha mengingat hal sedih ketika pembunuh itu berjalan sambil tertawa manis.
Pembunuh itu terlihat terkejut melihat Rindra. Rindra merasa dia adalah orang pertama yang bisa bertahan dari keimutan si pembunuh sejauh ini.
“Kau. . .di mana anakku?”
Pembunuh itu hanya diam. Dia melihat Rindra dengan tatapan memelas seperti anak kecil yang ingin dibelikan sesuatu. Nafas Rindra menjadi sesak, tapi dia tetap bertahan.
“Di mana anakku?? Apa kau sudah membunuhnya?”
Pembunuh itu terkikik. Lalu dia tertawa jahat.
“Bukan papa! Akulah anakmu!!”
“Medina?” Rindra berlutut. “Tidak. . .ke-kenapa? Kenapa kamu menjadi seperti ini?”
“Apakah aku masih tidak imut papa?”
“Hah?”
“Papa bilang aku sudah tidak imut lagi. Bagaimana dengan sekarang?”
Rindra menggertakan gigi. “Kamu melakukan semua ini hanya karena itu? Papa kan Cuma bercanda.”
“Papa kan cuma bercandaaaa.” Medina mengulanginya dengan nada imut. Dada Rindra terasa sakit.
“Percuma, kamu gak bisa membunuh papa hanya dengan ini.”
“Benarkah?” Medina tersenyum. “Bagaimana kalau ditambah ini?”
Dia mengeluarkan kelinci dari balik jubah merahnya. Kelinci yang sangat, sangat imut.
“Uggh!!” Rindra memegang dadanya yang makin sakit. Dia tak akan bisa bertahan lebih lama.
“Bagaimana Pa? Aku imut kaaaannn....”
Dor.
Suara letusan pistol itu diikuti oleh Medina yang terjatuh di tanah. Rindra bisa melihat Mira, berdiri tak jauh dari situ sambil memegang pistol.
“Aku datang tepat waktu. . .” katanya.
Rindra yang mulai membaik langsung meraih bahu anaknya.
“Me-Medina. . .maafkan papa. . .”
Medina mengelus pipi Rindra. “Papa. . .aku imut kan?”
“Ya sayang, kamu imut kok.”
Medina menutup matanya sambil tersenyum. Rindra menangis terisak, “Kamu imut nak. . .”
Mira mendekati Rindra. “Maaf harus berakhir seperti ini.”
Rindra mengelap air matanya. “Tidak apa. Terima kasih sudah datang.”
Mira tersenyum, dia lalu membantu Rindra berdiri. “Paling tidak kasusnya selesai.”
“Ya, eh, tunggu. . .” Rindra melihat ke sekeliling. “Mana kelinci itu?”
Tiba-tiba Rindra merasakan sakit di punggungnya. Dia ambruk. Mira yang kaget langsung mencoba mengeluarkan pistolnya, tapi sebuah pisau lebih dulu di lehernya.
“Mi..mira.. . Mira!!” Rindra melihat dengan ngeri saat Mira terjatuh bersimbah darah. Dia sendiri tak bisa bergerak karena luka di punggung. “Apa yang terjadi??”
Kelinci berjalan ke arahnya sambil menggigit pisau. Rindra tak sempat berkata apa-apa sebelum pisau itu menghujam mukanya.