Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Diary Zombie Apocalypse (1)


Dear diary, kurasa harus seperti ini sebagai pembuka untuk menulis diary, walaupun aku tidak mengerti kenapa. Aku tidak menceritakan ini pada diary, aku hanya mencoba menulis apapun yang kuingat sehingga nanti bisa kubaca lagi dan tertawa-tawa sambil mengatakan “Oh lihat betapa bodohnya aku dulu.”
Kalau mau jujur, ide menulis diary ini adalah ide temanku, Handi. Dia bilang aku sebaiknya menulis apa yang terjadi, sehingga saat semuanya sudah kembali normal, catatan harianku bisa dijual dan mungkin saja dibikin film. Film yang dibagi kedalam dua part lebih tepatnya.
Oke, jadi kurasa aku harus menceritakan apa yang terjadi dari awal.
Semuanya terjadi sekitar seminggu yang lalu. Seorang penyanyi dari Kanada (aku tidak akan sebut namanya, tapi nama awalnya Justin dan nama akhirnya Bieber) merilis lagu yang membuat pendengarnya berubah menjadi zombie.
Ya, zombie. Para Belieber yang malang.
Bukan hanya Belieber sih, tapi semua orang yang cukup sial mendengar lagu itu kini berubah menjadi makhluk pemakan daging yang berkeliaran dimana-mana. Oh Bieber, sampai kapan kau harus membuat orang susah?
Saat semuanya bermula, aku sedang main game FIFA bersama Handi. Aku, seperti biasa, mengalahkannya dengan mudah.
(Handi mungkin akan berkata kalau gol terakhirku offside, tapi jangan dengarkan kata pecundang, oke?)
Kami bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Kami hanya tahu kalau ini sedang masa liburan dan kami akan menghabiskan waktu untuk bermain game. Simpel. Tidak aneh-aneh. Tapi semua kenyamanan itu rusak berkat gedoran di pintu depan rumah.
Aku tidak ingin menceritakan panjang lebar soal keluargaku. Aku hanya ingin kau tahu kalau orangtuaku sudah cerai dan aku tinggal bersama ayahku. Saat peristiwa itu terjadi, ayahku sedang pergi keluar kota untuk urusan bisnis. Jadi hanya aku dan Handi yang berada di rumah.
Aku tadinya ingin membiarkan saja gedoran itu. Dipikiranku itu paling cuma orang minta sumbangan. Tapi Handi berkata, “Kurasa kau harus melihatnya. Mungkin dia mengantarkan paket atau sesuatu.”
“Kau hanya ingin mencari kesempatan supaya bisa restart game kan?”
“Gol tadi offside! Jadi gak seru lagi pertandingannya.”
“Wasit di game gak pernah salah tahu.”
“Udah buruan sana! Biar aku ambil cemilan di dapur.”
Maka dengan malas-malasan, aku pergi ke pintu depan. Gedoran semakin keras. Ya ampun nih orang kenapa sih?
“Sebentar!” teriakku kesal.
Kubuka pintu, dan tetanggaku, seorang wanita setengah baya bernama Nova, masuk dan langsung memelukku.
“Tutup pintunya!” katanya.
Aku tergagap, “Jangan Tante, aku masih terlalu muda untuk Tante.”
Tante Nova menghiraukanku dan menutup pintunya keras-keras lalu menguncinya. “Ada pengemis liar di luar sana!”
“Hah?”
“Itu diluar! Tadi Tante mau pulang ke rumah, terus ada pengemis. Dia ngedeketin Tante, tapi Tante kan gak punya uang kecil, jadi Tante cuek aja. Eh dia malah pegang Tante terus digigit.”
“Digigit, Tante?”
“Ya!! Tanta dorong sampai dia jatuh, terus Tante pergi. Eh Tante malah dikejarnya. Makanya Tante lari kesini yang lebih dekat.”
Tentu saja dalam pikiranku saat itu adalah, wow itu pengemis niat banget ya. Aku merasa ada kisah tersembunyi dibalik gigihnya perjuangan pengemis itu mencari uang. Mungkin anaknya sedang sakit dan dia perlu uang untuk beli obat. Atau mungkin dia hanya ingin membeli rokok, seperti hampir semua pengemis yang kutahu.
Aku melihat keluar lewat jendela. Memang ada pengemis yang terlihat kebingungan diluar. Bajunya penuh warna merah, yang kurasa cat air. Pengemis seniman mungkin?
 “Alan, ayah kamu mana?”
“Ayah sih lagi pergi keluar kota. Masih lama baliknya.”
“Hmm gitu ya. Padahal tadi Tante mau minta ditemenin sampai rumah. Tante disini aja dulu ya.”
“Boleh. Nanti maleman aja Tante pulang,” kataku.
“Tante numpang tiduran bentar ya di kamarmu. Gak papa kan?”
“Boleh boleh.”
Setelah tanteku masuk kamar, aku kembali ke ruang keluarga tempat main game. Handi mengambil kacang dari dapur dan dua minuman ringan. Seperti dugaan, Handi sudah me-restartgame sebelumnya. Aku geleng-geleng saja.


Tak terasa, diluar sudah gelap. Aku benar-benar lupa tentang Tante Nova sampai Handi mengingatkan, “Tantemu gak dibangunin tuh?”
“Jangan. Restart.”
Aku mendengar Handi membisikkan sesuatu seperti ‘itu kan offside’ sementara aku pergi ke kamarku.
“Tante, udah malam nih? Mau diantar pulang aja?”
Tante Nova berdiri membelakangiku. Dia sepertinya melihat sesuatu di dinding (yang aneh karena tidak ada apa-apa di dinding kamarku).
“Tante?”
Saat dia melihatku, aku tahu ada sesuatu yang aneh. Mungkin sedikit berhubungan dengan darah yang menetes dari mulutnya, atau kulitnya yang berubah pucat.
“Tante gak papa? Mau dipanggil dokter?”
Tante Nova justru menerjangku. Aku menghindar ke samping secara refleks dan Tante Nova menabrak dinding.
“Ke, kenapa Tante?? Apa Tante takut sama dokter??”
Tak ada jawaban. Dia kembali mencoba menerkam dan menggigitku. Aku terpaksa keluar kamar dan menguncinya dari luar. Segera aku berlari ke Handi.
“Han, ada yang aneh sama. . .KAU RESTART  LAGI GAME-NYA??”
“Aku. . .gak sengaja. . “
Aku menahan keinginan untuk mencekik Handi. “Ada yang lebih penting dari itu. Tante Nova sepertinya jadi aneh.”
“Aneh seperti apa maksudmu?”
“Dia mencoba menerkam dan menggigitku dan semacamnya. . .”
“Mungkin karena dia tahu kalau kau suka main curang di FIFA.”
“Aku gak curang!” Kutarik Handi agar dia mengikutiku. “Ayo, biar kau lihat juga.”
Handi, masih dengan tampang bingung bodohnya, berjalan bersamaku ke kamar. Aku membuka pintu kamar. “Coba kau lihat sendiri.”
Saat itulah pintu dihantam oleh sesuatu dari dalam. Aku sampai terjungkal ke belakang. Kulihat Tante Nova keluar dari kamar dan menyerang Handi dengan ganasnya. Handi mendorong-dorong Tante Nova dan mencoba menyelamatkan diri.
“Lan, bantuin!! Tante kau aneh!”
Aku berdiri dan menarik Tante Nova dari Handi. Kini dia malah mengejarku. Aku memukulnya dengan cukup keras di muka. Dia sempat berhenti, tapi kemudian mengejarku lagi.
Handi dengan cepat mendorongnya kembali ke dalam kamarku saat ada kesempatab. Aku langsung mengunci pintu kamar. Tante Nova menggedor-gedor kamar itu dengan kasarnya.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Handi sambil mengatur nafas.
“Sudah kubilang dia menjadi aneh. Dia seperti menjadi. . .”
Aku dan Handi saling bertatapan. Dan seperti telepati, kami seperti berbagi pikiran yang sama.
“Zombie?” kata Handi.
“Masa sih zombie beneran ada?”
Kami lalu mendengar teriakan di luar. Kami melihat lewat jendela dan yang terjadi membenarkan ketakutan kami. Aku melihat tetanggaku dimakan oleh sekelompok zombie. Dia masih berteriak menandakan kalau saat ini dia masih hidup dan kurasa berada dalam penderitaan yang amat sangat menyakitkan.
Aku menjauh dari jendela. “Oh ya ampun. . .”
“Kenapa semua ini tiba-tiba terjadi?” kata Handi.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Kita harus mengunci semua pintu. Sekarang.”
Handi segera mengunci pintu depan dan belakang, sementara aku mengunci semua jendela/ Untuk jaga-jaga, aku juga menahan pintu depan dengan meja.
Kami lalu duduk di ruang keluarga.
“Kita harus bagaimana sekarang? Kita tak bisa hanya diam di sini terus kan?”
“Kenapa tidak?” kata Handi,  “Kita punya sesuatu yang kita semua perlukan. Makanan, tempat tidur, game. . “
Lalu listrik rumah mati. Handi pun langsung mengubah pendapatnya, “Percuma kita disini jika tak bisa main game. Kita harus mencari cara pergi. Mungkin saat zombie diluar tidak ada.”
Tapi sampai keesokan harinya, zombie yang diluar bukannya menghilang tapi justru bertambah banyak. Kami mungkin akan terjebak di rumah itu selamanya kalau bukan karena Navayo.
Siapa itu Navayo? Dia adalah orang yang sangat sangat aneh.
(Handi memanggilku untuk makan, jadi aku akan melanjutkannya besok.)