Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Penghalang Terbesar


Apa yang membuat rasa cinta kita tak sampai?
Banyak temanku mengeluh tentang bagaimana gebetannya tidak memiliki perasaan yang sama. Biasanya jika mendengar itu, aku hanya tersenyum mengejek. Kenapa? Karena aku tahu hal-hal yang mereka keluhkan sebenarnya bisa mereka hindari.
“Si doi tuh susah banget dideketin. Di ajak ngomong sebentar eh langsung pergi.” Kalau begitu, ubahlah cara pendekatanmu dan bahas hal-hal yang dia suka. Gampang.
“Aku selama ini malu bicara sama dia. Tahu-tahu aja dia udah punya pacar.” Nah, ini sih salahmu. Bagaimana mungkin kau berharap ada orang bisa suka padamu jika dia bahkan tak tahu siapa namamu.
“Aku sudah membelikan semua yang dia mau, aku anterin kemana aja, eh ternyata dia udah punya pacar selama ini.” Oke, pelajaran hidup untukmu, pastikan orang yang kamu deketin belum punya pacar.
Karena itulah tiap temanku bilang kalau rasa cintanya tak sampai, aku akan menampar mereka bolak-balik dan menasihati mereka agar berhenti mengeluh dan mulai melakukan sesuatu untuk merubahnya.
Jadi bisa dibilang, aku selalu berpikir positif dalam soal cinta. Aku yakin jika kita berusaha, cinta kita pasti bisa sampai.
“Sungguh kata-kata hebat dari orang yang jomblo sepanjang hidupnya,” sindir Fuad mendengar pidatoku.
“Hei, ini bukan sekedar pidato. Akan kubuktikan di hari Valentine ini,” kataku membela diri. “Masa-masa sendirian ini akan berakhir sebentar lagi!”
Fuad bertepuk tangan mengejek, “Wow, hebat. Siapa cewek sial yang kau incar kali ini?”
“Rahasia ah. Nanti kau lihat aja sendiri kalau udah jadian. Kau sendiri bagaimana?”
“Apanya?”
“Apa lagi, rencana buat Valentine dong.”
Fuad malah menaruh tangannya di bahuku, menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang bijaksana, “Dengar ya Ammar, kita harus terus memberi cinta tiap harinya. Tidak perlu di hari tertentu.”
“Apa itu berarti. . . kau tidak punya rencana dan akan menghabiskan seharian dengan main game?”
“Ya kurang lebih.” Kami lalu saling tos dan dia pergi keluar kelas duluan. Aku sendiri masih membereskan buku yang berserakan di meja.
Kulirik meja di bagian paling depan. Clara masih ada di sana. Aku tidak ingin mengakui pada Fuad kalau sudah lama dia mencuri hatiku. Kami sering mengejek Clara yang berbeda dengan cewek lainnya. Dia tidak feminim dan juga tidak suka belanja, justru dia agak tomboi dengan kebiasannya yang suka main basket dan game itu.
Karena itu juga, Clara bukanlah tipe cewek populer di sekolah kami. Dia disukai banyak cowok, tapi sebagai teman main, bukan sebagai pacar. Aku dan Fuad sering mengatakan kalau dia tidak akan punya pacar karena sifatnya itu. Clara terasa sangat cocok sebagai teman, rasanya mustahil jatuh cinta padanya.
Tentu saja aku salah.
Entah sejak kapan, aku merasa tidak enak jika dia tidak ada. Kalau dia absen karena sakit, pasti hari itu akan sangat membosankan bagiku. Lalu keesokan harinya saat bertemu dia lagi, perasaanku kembali cerah. Jika ngobrol dengannya, aku pasti lupa waktu dan enggan menyudahinya.
Awalnya aku mengira itu terjadi karena Clara adalah teman yang baik dan mempunyai hobi yang sama. Tapi kemudian aku menyadari kalau masalahnya tidak sesimpel itu. Lama-lama aku mulai memperhatikan perilakunya diam-diam, mengajak dia ngobrol kapanpun bisa dan hal-hal lain yang biasanya dilakukan seseorang yang ingin pedekate.
Aku pun harus mengakui perasaanku sendiri. Aku jatuh cinta padanya.
Jadi disinilah aku sekarang, duduk dengan gelisah seperti orang bodoh, menantikan saat yang tepat untuk mengajaknya pergi kencan. Aku merasa Valentine adalah saat yang tepat untuk menyatakan cinta. Memang sih dia tomboi, tapi cewek mana yang gak suka ditembak saat hari kasih sayang? (Ini teoriku sih).
Oke, jadi begini rencanaku. Saat dia berdiri mau pulang, aku akan berjalan ke arahnya dengan cepat. Secara ‘tidak sengaja’ aku akan menabraknya supaya buku-bukunya terjatuh. Saat dia mencoba mengambil buku tersebut, aku akan mengambilnya juga. Tangan kami bertemu, lalu saling lihat-lihatan. Untuk jaga-jaga, aku sudah menyiapkan hapeku dalam kondisi siap memainkan lagu india. Jika semuanya sukses, aku bisa menembaknya dengan keren. Rencana yang sangat bagus.
Clara hendak pulang. Kelas sudah kosong. Ini saatnya aku beraksi.
Aku berjalan cepat-cepat, malah lebih cepat dari seharusnya. Kakiku menabrak pinggiran kaki meja dan aku terjatuh dengan keras dalam posisi telungkup.
Panik, aku buru-buru berdiri dan mencoba tetap cool. Gagal. Clara melihatku sambil terkikik.
“Kenapa Mar? Kebelet banget ya?” Sambil tertawa dengan sadis, dia berjalan keluar kelas. Mukaku memerah malu, tapi kuputuskan tetap mengajaknya kencan. Toh udah terlanjur malu.
“Tunggu Clara, ngg aku perlu bilang sesuatu!”
Clara berbalik melihatku, “Ya?”
“Ngg, kau tau gak sih, dekat sini ada mie ayam yang enak?”
Mendengar mie ayam, Clara langsung bersemangat. Aku sudah tahu kalau dia memang penggemar makanan itu. “Di mana? Di mana?”
“Ada pokoknya. Kita pergi sama-sama mau gak? Nanti kujemput di rumahmu.”
“Boleh banget! Pergi sama siapa aja?” tanya Clara.
Ini dia nih. Aku mengumpulkan keberanianku. “Ngg kita pergi berdua aja mau gak?”
Hening sebentar. Aku sudah pasrah kalau dia mau menghinaku.
“Haha, aku tahu,” katanya tiba-tiba, “kau malu ya kalau dilihat makan banyak di depan anak-anak lain?”
Aku kaget. Bukan itu alasannya, tapi aku senyum-senyum aja, tidak tahu harus berkata apa.
“Oke oke. Kita pergi berdua aja. Tenang aja, kau bisa makan sebanyak apapun nanti, gak usah malu. Ya udah, jam lima kutunggu ya?” katanya lagi.
“Oke!!” jawabku kelewat bersemangat, membuat Clara heran. Dia tersenyum dan meminta izin balik duluan.
Aku tahu Clara tidak menganggap ini kencan, tapi bodo amat, yang penting aku bisa berduaan dengannya. Bisa saja kan nanti suasananya mengarah ke romantis. Memikirkannya saja membuatku senang. Aku berjalan dengan langkah ringan ke luar sekolah.
Di depan gerbang, aku melihat Fuad. Lho, bukannya dia sudah pulang?
Aku hendak menyapanya, tapi dia terlihat sedang memanggil orang lain. Itu Clara. Ada urusan apa dia dengan Clara?
Karena penasaran, aku diam-diam bersembunyi di balik gerbang untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
“....nonton malam ini gimana?” kata Fuad.
“Film apa emang?”
“Tukang Bubur Naik Gaji, katanya sih film bagus gitu.”
“Wah iya, aku dengar juga gitu,” kata Clara bersemangat.
“Nah, aku punya satu tiket kosong nih. Mau pergi berdua?”
“Mau sih, tapi aku udah keburu punya janji,” kata Clara. “Maaf ya.”
Fuad terlihat sangat sedih, tapi dia mencoba menyamarkannya dengan senyum, “Oh...oh gitu. Oke, lain kali ya kalau gitu.”
“Yup, makasih tapi lho,” kata Clara. Dia lalu menghentikan angkot dan naik ke dalamnya.
Aku ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk keluar menemui Fuad. “Hai.”
Fuad sedikit kaget, “Oh hai.”
“Ngg, tadi kau sama Clara kenapa?”
Muka Fuad memerah. “Kau lihat ya?”
Aku hanya mengagguk. Fuad mengangkat bahunya, “Jika aku cerita, kau pasti akan pidato lagi. Aku duluan aja deh ya.” Dia lalu pergi begitu saja, tanpa tos seperti biasa.
Melihat dirinya pergi dengan sedih, aku jadi benar-benar yakin kalau aku dan Fuad memiliki perasaan yang sama. Kami menyukai wanita yang sama.
Perasaan aneh bergejolak dalam diriku, sebuah perasaan bersalah. Fuad selalu baik padaku, dan kini aku mencoba mendekati seseorang yang dia sukai. Memang rasanya tidak masuk akal, apalagi mengingat aku tidak tahu perasaan Fuad sebelumnya.
Kuingatkan diriku sendiri bagaimana nanti jika aku pergi bersama Clara. Pasti akan sangat menyenangkan. Aku tak seharusnya merasa bersalah. Clara belum punya pacar, ini adalah kompetisi adil dimana semua lelaki berhak menjadi penantang.
Tapi lalu kusadari, aku tak ingin berkompetisi dengan teman baikku. Aku tak ingin bahagia bersama Clara sementara Fuad sedih. Terutama jika penyebab sedihnya adalah diriku sendiri.
Mana yang lebih benar? Apa aku bersalah jika aku tetap mendekati Clara? Tidak. Apa aku bisa tahan mengetahui teman baikku sedih melihat aku bersama wanita pujannya? Tidak juga.
Aku menggeram kesal. Dengan berat hati, aku memutuskan melakukan sesuatu yang kuanggap benar.


Tepat jam lima, aku pergi menjemput Clara dengan motor. Kebersamaan sesaat itu membuatku ragu, tapi aku meneguhkan hati.
“Lho, kita kemana nih?” tanya Clara yang bingung melihat diturunkan di Mall.
“Ngg, anu, aku tiba-tiba ada urusan, jadi gak bisa pergi. Tapi di bioskop ada Fuad, dia mengajakmu nonton kan? Pergi saja dengan dia. Maaf banget ya.”
Clara heran, tapi akhirnya mengangguk juga. “Oke, hati-hati di jalan. Fuad di bioskop kan?”
“Ya.” Aku melambai ke arahnya dan pergi pulang. Di jalan, aku membayangkan bagaimana ekspresi Fuad melihat Clara tiba-tiba datang. Pasti dia sangat kaget. Aku tertawa sendiri.
Aku sampai di rumah. Kuparkir motor di garasi dan pergi ke kamar. Dadaku sesak dengan perasaan yang tidak bisa kumengerti.
Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku melakukan hal yang benar. Aku tidak bisa melihat temanku bersedih. Aku tersenyum memikirkan kalau aku keren juga bisa berpikir seperti itu. Aku bangga dengan diriku sendiri yang bisa menjadi teman yang baik.
Tapi di saat bersamaan, hatiku sesak dengan tidak tersampainya perasaanku padanya. Aku tahu sebelumnya aku pernah mengatakan jika kita berusaha, cinta kita pasti sampai. Tapi ini berbeda.
Ini adalah penghalang terbesar yang tidak akan bisa kulewati.

The Conjuring Legion (Part 4 : Kejadian Itu)


(Zico)

Aku menaruh Gundam RX-78 di rak. Itu adalah figurin Gundam pertama yang kudapat setelah menabung sekian lama. Tentu saja aku kesal ketika dua orang bodoh itu merusaknya.

Kubetulkan posisinya beberapa kali sampai aku yakin dia sudah terlihat gagah. Setelah itu, aku berpaling ke bagian-bagian Gundam Strike Freedom yang masih berserakan di lantai. Aku tidak sempat menyelesaikannya karena Pak Moes tiba-tiba muncul dari kamar mandiku dan membuatku hampir terkena sakit jantung.

Aku terlalu lelah untuk melanjutkannya. Aku berbaring ke tempat tidur dan mencoba memikirkan semua hal aneh yang terjadi hari ini.

Pertama, Pak Moes yang kukenal namanya sebagai warung mie goreng tiba-tiba muncul di kamar mandi dan memberiku kekuatan super. Aneh.

Kedua,aku dan empat orang yang belum terlalu kukenal tiba-tiba harus melawan orang-orang berkekuatan super juga dan kini harus menyelamatkan dunia. Lebih aneh.

Tapi yang memenuhi kepalaku adalah saat Pak Moes menyebut nama Tori. Cinta pertamaku.

Saat itu juga aku terbayang ke masa lalu. Saat aku pertama kali melihatnya. Aku sekelas dengan dia di tahun-tahun pertama kuliah. Awalnya biasa saja, tapi makin lama kami makin dekat karena sering mengobrol dan berdiskusi dalam satu kelompok.

Lalu aku melakukan kesalahan itu. Kesalahan besar. . .

“Kesalahan apa?”

“AAHH.” Aku kaget sampai terjatuh dari tempat tidur.

“I...ini aku, Niko.”

“Niko?” Aku melihat ke sekeliling kamarku, “Dimana kau?”

“Ngg, aku disini.”

“Dimana??”

“Oh ya ampun, aku tidak kelihatan? Sebentar.”

Sesaat kemudian, Niko terlihat sedang berdiri di depan pintu kamarku dengan muka bersalah. “Maaf, aku belum terlalu bisa mengendalikan kekuatanku. Eh, tapi kenapa kau bisa mendengarku, aku cukup yakin kalau aku menghilang suaraku tak bisa didenga. . .”

Aku memotong kata-kata, “Apa yang kau lakukan disini?”

“Oh, anu begini, aku ingin numpang menginap malam ini.”

“Kenapa?”

“Rumahku sudah dikunci dan aku tidak bisa masuk. Lalu aku melihatmu di jalan. Jadi aku mengikutimu ke sini. Ibumu bilang langsung naik aja.”

Kurasa ibuku terlalu akrab dengan orang asing. “Ya sudahlah, kau bisa tidur di bawah. Biar kubereskan sebentar.”

“Robot yang keren. . .” kata Niko sambil bantu membereskan.

“Ini bukan sekedar robot,” kataku tersinggung, “ini Gundam Strike Freedom. Gundam milik Kira Yamato yang didesain untuk lebih menyerang daripada bertahan. Kau tahu kan, Kira itu payah dalam menyerang. Karena itu, dia mempunyai EQFU-3X Super DRAGOON Mobile Weapon Wing. . .”

“Oke oke, dia adalah robot yang hebat. . .” potong Niko.

Aku sedikit merengut, tapi memang percuma bicara Gundam dengan orang yang tidak mengerti, mereka pasti bingung betapa rumitnya dunia Gundam. Mungkin karena itu juga aku sulit mendapat pacar. Yah, kecuali Tori. . .

“Jadi. . .kesalahan apa?”

“Hah?”

“Yah, saat aku masuk, kau menggumam tentang kesalahan. . .”

“Kau mendengarnya? Aku kan memikirkan itu dalam hati.”

“Sebenarnya, kau bicara cukup keras seperti orang yang sedang merapal mantra.”

Aku bersandar ke dinding, menghela nafas. Jika Niko akan menjadi teman dalam tim, kurasa aku sebaiknya jujur saja.

“Aku memikirkan Tori,” kataku.

“Tori? Aku dengan Pak Moes menyebut namanya ketika membujukmu. Siapa dia?”

Kuhela nafas, “Dia. . .mantanku.”

Niko diam. Kurasa dia tidak biasa menghadapi situasi seperti ini. Aku melanjutkan bicara.

“Dia cantik sekali. Aku selalu membayangkannya sebagai MS Girls.”

“MS apa?”

“MS Girls. Cewek yang memakai armor gundam. Ah sudahlah. Intinya, kami sangat mesra. . . sampai kejadian itu.”

Niko menunggu sebentar. “Kejadian apa?”

Untuk sesaat aku mau menceritakan peristiwa itu, tapi kemudian aku berubah pikiran. Aku masih merasa bersalah. “Pokoknya, sekarang aku dan dia putus. Kami sudah tidak bertemu sangat lama. Makanya aku kaget tiba-tiba Tori ikut turnamen bunuh-bunuhan itu.”

“Hoo,” Niko mengangguk-angguk. “Jadi, dimana dia sekarang?”

“Entahlah, tapi yang jelas dia tidak akan muncul di depan pintu rumahku kan? Hahaha.”

Aku dan Niko tertawa sejenak, sampai tiba-tiba ibuku masuk ke kamar, “Zic, ada si Tori tuh di depan pintu rumah.”

Untunglah kau tidak melihat ekspresiku ketika ibuku membawa kabar itu. Mulutku terbuka sangat lebar sampai-sampai mungkin aku bisa memasukkan satu gundam ke sana.

Seharusnya aku senang jika itu benar-benar Tori, sudah lama sekali kami tidak bertemu. Tapi justru sekarang aku sengat nervous.

“Yee kok diam. Sana pergi, kasian cewek nunggu malam-malam,” kata ibuku.

“A...apa aku harus ikut?” tanya Niko.

“Tidak.” Aku berdiri dan pergi ke luar. Selama berjalan ke depan, aku menghirup nafas dalam-dalam untuk menghilangkan ketegangan.

Aku sudah mengalahkan orang berotot dan orang yang bisa meledakkan banyak hal malam ini. Tentu saja menghadapi sati cewek akan lebih mudah.

Aku salah. Ketika aku melihat Tori tersenyum menungguku, rasanya badanku jadi lemas. Itu memang dia. Aku tak sadar betapa rindunya aku dengannya.

“Hai,” sapa Tori.

“Ha. . hai.” Aku tak menyangka bisa sesusah ini untuk berbicara.

“Kau. . .masih ingat aku kan?”

“Tentu! Tak ada seharipun aku melupakanmu!”

Tori tersenyum. Hatiku berbunga-bunga.

“Apa kau sudah tahu soal . . .turnamen?”

Suasana ceria dalam hatiku langsung padam. “Ternyata benar kata Pak Moes. Kau ikut turnamen itu juga.”

“Ya, apa kekuatanmu?”

“Hmm? Oh, kekuatanku. . .kekuatanku adalah merubah figurin menjadi robot.”

Tori mengangguk-angguk, “Cukup bagus. Inilah kekuatanku.”

Dia mengeluarkan sebuah lipstik dari tas tangannya.

“Lipstik?” tanyaku, “Tak begitu menakutkan.”

Lalu dengan sekali sentakan, sebuah laser pedang keluar dari lipstik itu seperti di film Star Wars. Ujung pedangnya membakar dinding rumahku.

“Wow wow!” kataku kaget.

“Inilah kekuatanku, mengubah lipstik menjadi laser. Dan panjang laser ini bisa berubah tergantung kemauanku. Dan laser ini bisa memotong robotmu dengan mudah.”

Kami saling bertatapan untuk sesaat. Lalu aku memecah suasana hening ini, “Apa yang ingin kau bilang?”

“Aku ingin bilang kalau kau ikut turnamen itu, kau akan mati.” Tori mengembalikan laser itu menjadi lipstik. “Timku penuh dengan orang-orang yang lebih kuat dariku. Jika kau berhadapan dengan mereka, kau tak akan selamat.”

Di satu sisi, aku tahu dia serius. Tapi di sisi lainnya, aku tak suka cara bicaranya.

“Kau pikir aku lebih lemah darimu? Itu yang mau kubilang?” tanyaku menantang.

“Kau salah sangka. Aku justru masih peduli. Bahkan setelah kejadian itu. . .”

“Jangan!” kataku mencoba menahannya, tapi Tori sudah terlanjur bicara.

“Bahkan setelah kau diare dan bolak-balik di kencan pertama kita, tapi aku masih peduli. Ilfil memang, tapi peduli.”

Mukaku memerah mendengar peristiwa itu diucapkan lagi. Itulah kenapa kau tidak boleh makan pedas-pedas sebelum kencan.

“Aku hanya bilang itu. Sisanya terserahmu,” kata Tori. Dia kemudian berbalik pergi. Aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa.

Saat aku ingin kembali ke kamar, aku melihat Niko berdiri menguping selama ini.

“Seriuslah, jadi kejadian yang kau sebut-sebut itu ternyata masalah diare.” Niko terlihat sekali menahan tertawa.

“Bilang sama yang lain, dan akan kuhajar kau pakai Gundam-ku.”


Malam itu, aku sangat sulit tidur. Sementara Niko mendengkur pelan di sampingku, aku terus memikirkan kata-kata Tori. Turnamen ini mungkin lebih berbahaya daripada yang kupikir.




Bersambung. . .

Cewek Gamer


Walaupun bukan maniak, bisa dibilang aku cukup memenuhi kualifikasi untuk dipanggil gamer. Dan selama aku hidup di dunia per-game-an, ada satu fenomena yang membuatku cukup heran : cewek gamer akan selalu menjadi orang yang spesial.

Jangan salah, aku tahu benar alasannya, cewek gamer itu cukup sulit ditemukan. Dan maksudku cewek gamer bukan berarti cewek yang memainkan game di hape pintarnya untuk mengisi waktu. Maksudku cewek yang main game konsol yang umumnya dimainkan para cowok. Setahuku, aku tidak punya teman cewek yang bisa dibilang sebagai 'gamer'. Ada sih yang main game online saat SMA, tapi cuma sesaat. Habis itu dia sibuk dengan hal yang lain, seperti cewek pada umumnya.

Mungkin karena itu tiap ada seseorang yang sepertinya cewek di game online, para gamer lain akan berusaha mendekatinya. Agak berbahaya sebenarnya, karena user yang memakai avatar cewek dan nama cewek bukan berarti cewek. Ya, fakta yang mengejutkan kan. Malah menurutku lebih dari 50 persen user yang dikira cewek adalah cowok. . .  dengan kumis.

Kelangkaan itu membuat cewek gamer memiliki nilai lebih dibanding cewek 'biasa'. Cewek biasa dengan gaya biasa bisa terlihat seperti cewek fashion model yang akan dikerubutin cowok-cowok jika ketahuan kalau dia gamer kelas berat.

Ketika aku datang ke turnamen Pokemon, jika ada pemain cewek, dia bisa dibilang akan langsung populer. Aku ingat salah seorang cowok yang titip salam melalui temanku untuk pemain cewek yang baru dia temui sekali di turnamen lain. Apakah cewek itu manis? Yaah lumayanlah. Tapi aku tak yakin dia bisa sepopuler itu jika dia tidak main Pokemon.

Jadi bisa dibilang game merupakan berkah juga buat cewek-cewek yang biasanya sulit mendapatkan cowok. Atau tidak, jika kau adalah cewek gamer yang tidak suka bicara dengan orang asing. Karena percayalah, cowok gamer akan memburumu.

Secara pribadi, aku tidak mau pacarku adalah seorang gamer berat seperti diriku. Aku tidak masalah jika memainkan game di saat luang, tapi tidak terus-terusan sepanjang hari terobsesi dengan satu game seperti yang biasanya kulakukan. Aku justru ingin punya pacar yang bisa membuatku teralih sehingga aku tak main game terus. Emang sih, kadang main game sama pacar kita itu menyenangkan. Tapi terus-terusan? Nope. Aku lebih suka kami keluar, makan-makan sambil ngobrol hal lain selain game. Cukuplah aku bicara game dengan temanku saja.

Sekali lagi, ini adalah pendapatku. Kau boleh memiliki pendapat berbeda. Kenapa? Karena kau manusia.

Oh, satu pengumuman lagi. The Conjuring Legion akan kembali biatch!!

Part 1 : http://kemalbarca.blogspot.com/2014/09/the-conjuring-legion-part-1-pak-moes.html

Part 2 : http://kemalbarca.blogspot.com/2014/10/the-conjuring-legion-part-2-menghilang.html

Part 3 : http://kemalbarca.blogspot.com/2014/10/the-conjuring-legion-part-3-turnamen.html

Seseorang di Luar Sana


“Halo?”
“Sayang, ada yang aneh deh. . .” kata Fania, pacarku, di seberang handphone.
“Kenapa emang?”
“Aku melihat keluar jendela kamarku, dan ada orang berdiri di dekat pagar rumah.”
Mengingat rumah Fania berada di pinggir jalan besar, aku tidak merasa terlalu heran. “Paling dia cuma nunggu taksi. Kenapa dipikirin kali?”
“Ya sih, tapi dia udah dari tadi di situ. Lagian sekarang kan udah malam banget.”
Kulihat ke arah jam dindingku, jarumnya menunjuk angka 11. “Udah gak papa, kunci aja semua pintu kalau kamu takut.”
“Dengar dulu, ada yang lebih aneh. Dari tadi kuperhatikan, dia tidak bergerak sama sekali.”
“Hmm, apanya yang aneh?”
“Maksudku. . .dia sama sekali tak bergerak. Tidak sedikitpun. Dia hanya berdiri tegak menatap jalan. Masa itu gak aneh?”
“Sedikit aneh sih. Tapi biarlah, toh dia gak ganggu siapa-siapa.”
Fania diam sesaat. “Ya deh. . .” katanya akhirnya.
“ Udah ya, aku masih harus ngerjain tugas kuliah.”
Kumatikan panggilan itu lalu fokus kembali ke laptop di depanku.
Sekitar 15 menit kemudian, handphoneku berdering lagi.
“Halo?”
“Sayang, dia. . .dia ada di dalam halaman rumah. . . “
“Hah? Maksudnya?”
“Aku ke kamar mandi sebentar, terus waktu lihat keluar lagi, dia udah di halaman. Gimana nih?”
“Tenang tenang.” Aku memijit-mijit kepalaku karena bingung. “Jadi dia sekarang ada di halaman rumahmu? Kamu bisa lihat mukanya?”
Ada jeda sejenak sebelum dia menjawab, “Tidak. Dia masih menghadap jalan. Aku. . . .oh tidak. . ”
“Ke...kenapa? Kenapa sayang?”
“Kakinya. . .kakinya. . .tidak berpijak ke tanah. . .”
Rasa merinding menjalari punggungku. “Maksudmu gimana? Kakinya. . . dia melayang?”
Fania terdengar sedang menahan tangis, “Sayang. . .gimana dong?”
“Dengar, apa kamu sendiri di rumah?”
“A. . .ada ayahku. Tapi dia sudah tidur.”
“Oke, bangunkan dia. Bilang ada seseorang di depan rumah. Cepat!”
Fania langsung memutuskan panggilannya. Sekarang aku menunggu dengan cemas. Kepalaku penuh dengan pertanyaan.
Karena itulah ketika handphoneku berdering sekali lagi, aku langsung mengangkatnya.
“Halo? Gimana?”
“Dia sudah tidak ada.”
Aku menghembuskan nafas lega, “Ayahmu usir? Kamu bikin takut aja. Ternyata kamu Cuma salah lihat ya.”
“Bukan, aku tadi membangunkan ayahku. Saat aku kembali ke kamar dan melihat keluar, dia sudah tidak ada. Aneh.”
“Ya biarlah. Yang penting dia pergi.”
“Yaa. Tapi sekarang. . .ya ampun.”
Mendengar suaranya, aku kembali tegang. “Kenapa lagi?”
“A. . .aku mendengar jeritan ayahku. Sebentar.”
Dia tidak mematikan telponnya. Aku mendengar suaranya membuka pintu kamar dan memanggil-manggil ayahnya.
“Sayang? Sayang kenapa?” panggilku cemas.
Fania kini jelas-jelas menangis. “Ayahku tak ada dimana-mana. Sayang. . .aku takuut. . .”
“Te. . .tenang! Kau yakin ayahmu tak ada?”
“Gaakkk. Aku udah cari dimana-mana. Gimana doong. . .”
“Gini aja. Kamu masuk ke kamar, kunci dari dalam, terus telpon polisi atau siapa gitu. Aku bakal ke sana sekarang juga. Oke?”
Tidak ada jawaban.
“Sayang, kamu dengar gak?”
“. . dia ada di luar. . .”
“Apa?”
“Dia ada di luar jendelaku. . .aku bisa melihat mukanya. Dia. . .tersenyum. . .”
Aku mendengar suara gorden ditarik. Kurasa Fania menutup tirai jendelanya.
“Sa. . .sayang. . .cepat ke sini. . .” isaknya.
“Ya. Ya. Aku ke sana sekarang.”
Suara tarikan nafas membuatku menunda mematikan telpon.
“Kenapa sayang?”
Hening sejenak. “A. . .ada yang mengetuk pintuku.”
“Hah?Mungkin itu ayahmu?”
Fania menangis terisak-isak. Kini aku juga mendengar suara ketukan itu. Suara ketukan yang kasar.
“Sayang? SAYANG??”
Tuuuuuutttttt.
Telpon itu terputus. Aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa. Kurogoh jaketku dan bersiap pergi. Tapi lalu aku mendengar suara itu.
Suara ibuku berteriak.
Aku tak bisa bergerak. Kemudian terdengarlah sebuah ketukan di pintu kamarku.

Maukah Kau. . . ?


Aku mengenggam bunga di tanganku, gugup menunggu dia pulang. Sudah setengah jam aku berdiri di dekat rumahnya seperti orang bodoh. Tapi semua kulakukan demi cinta.
Semakin lama menunggu, semakin keras jantungku berdegup. Kemungkinan-kemungkinan terburuk muncul di kepalaku. Makin lama makin parah.
Berkali-kali aku mau menyerah dan pulang saja. Berkali-kali juga aku mengingatkan diriku sendiri kalau ini adalah saat yang tepat. Ini hari kasih sayang! Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Aku pasti terlalu pengecut melakukannya di lain hari.
"Lho, Kemal?"
Aku terkejut. Saking sibuknya dengan pikiranku sendiri, aku justru tidak melihat ketika Asha pulang. Jantungku bergedup lebih kencang lagi.
"Itu kenapa bawa-bawa bunga?" tanyanya lagi. 
Menarik nafas panjang, kuberanikan diri menatap matanya. Asha terlihat heran.
"Asha, kau...kau tahu kan kalau ini Valentine?" kataku agak pelan.
"Yaa, terus kenapa?" Sesaat kemudian, Asha menutup mulutnya dengan kaget, "Jangan bilang. . . "
"Asha, mau. . .maukah kau....?"
Muka Asha tersipu. Mungkinkah dia tahu apa yang hendak kukatakan?
"Maukah kau. . ."
"Ya?" kata Asha, menunggu.
Kutatap matanya lekat-lekat sembari berkata agak keras, "Maukah kau memperkenalkan aku pada kakakmu? Dia sangat cantik!"
Aku pulang dengan memegang pipi akibat nyeri ditampar.