Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Seseorang di Luar Sana


“Halo?”
“Sayang, ada yang aneh deh. . .” kata Fania, pacarku, di seberang handphone.
“Kenapa emang?”
“Aku melihat keluar jendela kamarku, dan ada orang berdiri di dekat pagar rumah.”
Mengingat rumah Fania berada di pinggir jalan besar, aku tidak merasa terlalu heran. “Paling dia cuma nunggu taksi. Kenapa dipikirin kali?”
“Ya sih, tapi dia udah dari tadi di situ. Lagian sekarang kan udah malam banget.”
Kulihat ke arah jam dindingku, jarumnya menunjuk angka 11. “Udah gak papa, kunci aja semua pintu kalau kamu takut.”
“Dengar dulu, ada yang lebih aneh. Dari tadi kuperhatikan, dia tidak bergerak sama sekali.”
“Hmm, apanya yang aneh?”
“Maksudku. . .dia sama sekali tak bergerak. Tidak sedikitpun. Dia hanya berdiri tegak menatap jalan. Masa itu gak aneh?”
“Sedikit aneh sih. Tapi biarlah, toh dia gak ganggu siapa-siapa.”
Fania diam sesaat. “Ya deh. . .” katanya akhirnya.
“ Udah ya, aku masih harus ngerjain tugas kuliah.”
Kumatikan panggilan itu lalu fokus kembali ke laptop di depanku.
Sekitar 15 menit kemudian, handphoneku berdering lagi.
“Halo?”
“Sayang, dia. . .dia ada di dalam halaman rumah. . . “
“Hah? Maksudnya?”
“Aku ke kamar mandi sebentar, terus waktu lihat keluar lagi, dia udah di halaman. Gimana nih?”
“Tenang tenang.” Aku memijit-mijit kepalaku karena bingung. “Jadi dia sekarang ada di halaman rumahmu? Kamu bisa lihat mukanya?”
Ada jeda sejenak sebelum dia menjawab, “Tidak. Dia masih menghadap jalan. Aku. . . .oh tidak. . ”
“Ke...kenapa? Kenapa sayang?”
“Kakinya. . .kakinya. . .tidak berpijak ke tanah. . .”
Rasa merinding menjalari punggungku. “Maksudmu gimana? Kakinya. . . dia melayang?”
Fania terdengar sedang menahan tangis, “Sayang. . .gimana dong?”
“Dengar, apa kamu sendiri di rumah?”
“A. . .ada ayahku. Tapi dia sudah tidur.”
“Oke, bangunkan dia. Bilang ada seseorang di depan rumah. Cepat!”
Fania langsung memutuskan panggilannya. Sekarang aku menunggu dengan cemas. Kepalaku penuh dengan pertanyaan.
Karena itulah ketika handphoneku berdering sekali lagi, aku langsung mengangkatnya.
“Halo? Gimana?”
“Dia sudah tidak ada.”
Aku menghembuskan nafas lega, “Ayahmu usir? Kamu bikin takut aja. Ternyata kamu Cuma salah lihat ya.”
“Bukan, aku tadi membangunkan ayahku. Saat aku kembali ke kamar dan melihat keluar, dia sudah tidak ada. Aneh.”
“Ya biarlah. Yang penting dia pergi.”
“Yaa. Tapi sekarang. . .ya ampun.”
Mendengar suaranya, aku kembali tegang. “Kenapa lagi?”
“A. . .aku mendengar jeritan ayahku. Sebentar.”
Dia tidak mematikan telponnya. Aku mendengar suaranya membuka pintu kamar dan memanggil-manggil ayahnya.
“Sayang? Sayang kenapa?” panggilku cemas.
Fania kini jelas-jelas menangis. “Ayahku tak ada dimana-mana. Sayang. . .aku takuut. . .”
“Te. . .tenang! Kau yakin ayahmu tak ada?”
“Gaakkk. Aku udah cari dimana-mana. Gimana doong. . .”
“Gini aja. Kamu masuk ke kamar, kunci dari dalam, terus telpon polisi atau siapa gitu. Aku bakal ke sana sekarang juga. Oke?”
Tidak ada jawaban.
“Sayang, kamu dengar gak?”
“. . dia ada di luar. . .”
“Apa?”
“Dia ada di luar jendelaku. . .aku bisa melihat mukanya. Dia. . .tersenyum. . .”
Aku mendengar suara gorden ditarik. Kurasa Fania menutup tirai jendelanya.
“Sa. . .sayang. . .cepat ke sini. . .” isaknya.
“Ya. Ya. Aku ke sana sekarang.”
Suara tarikan nafas membuatku menunda mematikan telpon.
“Kenapa sayang?”
Hening sejenak. “A. . .ada yang mengetuk pintuku.”
“Hah?Mungkin itu ayahmu?”
Fania menangis terisak-isak. Kini aku juga mendengar suara ketukan itu. Suara ketukan yang kasar.
“Sayang? SAYANG??”
Tuuuuuutttttt.
Telpon itu terputus. Aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa. Kurogoh jaketku dan bersiap pergi. Tapi lalu aku mendengar suara itu.
Suara ibuku berteriak.
Aku tak bisa bergerak. Kemudian terdengarlah sebuah ketukan di pintu kamarku.

0 komentar:

Posting Komentar