Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Penghalang Terbesar


Apa yang membuat rasa cinta kita tak sampai?
Banyak temanku mengeluh tentang bagaimana gebetannya tidak memiliki perasaan yang sama. Biasanya jika mendengar itu, aku hanya tersenyum mengejek. Kenapa? Karena aku tahu hal-hal yang mereka keluhkan sebenarnya bisa mereka hindari.
“Si doi tuh susah banget dideketin. Di ajak ngomong sebentar eh langsung pergi.” Kalau begitu, ubahlah cara pendekatanmu dan bahas hal-hal yang dia suka. Gampang.
“Aku selama ini malu bicara sama dia. Tahu-tahu aja dia udah punya pacar.” Nah, ini sih salahmu. Bagaimana mungkin kau berharap ada orang bisa suka padamu jika dia bahkan tak tahu siapa namamu.
“Aku sudah membelikan semua yang dia mau, aku anterin kemana aja, eh ternyata dia udah punya pacar selama ini.” Oke, pelajaran hidup untukmu, pastikan orang yang kamu deketin belum punya pacar.
Karena itulah tiap temanku bilang kalau rasa cintanya tak sampai, aku akan menampar mereka bolak-balik dan menasihati mereka agar berhenti mengeluh dan mulai melakukan sesuatu untuk merubahnya.
Jadi bisa dibilang, aku selalu berpikir positif dalam soal cinta. Aku yakin jika kita berusaha, cinta kita pasti bisa sampai.
“Sungguh kata-kata hebat dari orang yang jomblo sepanjang hidupnya,” sindir Fuad mendengar pidatoku.
“Hei, ini bukan sekedar pidato. Akan kubuktikan di hari Valentine ini,” kataku membela diri. “Masa-masa sendirian ini akan berakhir sebentar lagi!”
Fuad bertepuk tangan mengejek, “Wow, hebat. Siapa cewek sial yang kau incar kali ini?”
“Rahasia ah. Nanti kau lihat aja sendiri kalau udah jadian. Kau sendiri bagaimana?”
“Apanya?”
“Apa lagi, rencana buat Valentine dong.”
Fuad malah menaruh tangannya di bahuku, menggeleng-gelengkan kepalanya seperti orang bijaksana, “Dengar ya Ammar, kita harus terus memberi cinta tiap harinya. Tidak perlu di hari tertentu.”
“Apa itu berarti. . . kau tidak punya rencana dan akan menghabiskan seharian dengan main game?”
“Ya kurang lebih.” Kami lalu saling tos dan dia pergi keluar kelas duluan. Aku sendiri masih membereskan buku yang berserakan di meja.
Kulirik meja di bagian paling depan. Clara masih ada di sana. Aku tidak ingin mengakui pada Fuad kalau sudah lama dia mencuri hatiku. Kami sering mengejek Clara yang berbeda dengan cewek lainnya. Dia tidak feminim dan juga tidak suka belanja, justru dia agak tomboi dengan kebiasannya yang suka main basket dan game itu.
Karena itu juga, Clara bukanlah tipe cewek populer di sekolah kami. Dia disukai banyak cowok, tapi sebagai teman main, bukan sebagai pacar. Aku dan Fuad sering mengatakan kalau dia tidak akan punya pacar karena sifatnya itu. Clara terasa sangat cocok sebagai teman, rasanya mustahil jatuh cinta padanya.
Tentu saja aku salah.
Entah sejak kapan, aku merasa tidak enak jika dia tidak ada. Kalau dia absen karena sakit, pasti hari itu akan sangat membosankan bagiku. Lalu keesokan harinya saat bertemu dia lagi, perasaanku kembali cerah. Jika ngobrol dengannya, aku pasti lupa waktu dan enggan menyudahinya.
Awalnya aku mengira itu terjadi karena Clara adalah teman yang baik dan mempunyai hobi yang sama. Tapi kemudian aku menyadari kalau masalahnya tidak sesimpel itu. Lama-lama aku mulai memperhatikan perilakunya diam-diam, mengajak dia ngobrol kapanpun bisa dan hal-hal lain yang biasanya dilakukan seseorang yang ingin pedekate.
Aku pun harus mengakui perasaanku sendiri. Aku jatuh cinta padanya.
Jadi disinilah aku sekarang, duduk dengan gelisah seperti orang bodoh, menantikan saat yang tepat untuk mengajaknya pergi kencan. Aku merasa Valentine adalah saat yang tepat untuk menyatakan cinta. Memang sih dia tomboi, tapi cewek mana yang gak suka ditembak saat hari kasih sayang? (Ini teoriku sih).
Oke, jadi begini rencanaku. Saat dia berdiri mau pulang, aku akan berjalan ke arahnya dengan cepat. Secara ‘tidak sengaja’ aku akan menabraknya supaya buku-bukunya terjatuh. Saat dia mencoba mengambil buku tersebut, aku akan mengambilnya juga. Tangan kami bertemu, lalu saling lihat-lihatan. Untuk jaga-jaga, aku sudah menyiapkan hapeku dalam kondisi siap memainkan lagu india. Jika semuanya sukses, aku bisa menembaknya dengan keren. Rencana yang sangat bagus.
Clara hendak pulang. Kelas sudah kosong. Ini saatnya aku beraksi.
Aku berjalan cepat-cepat, malah lebih cepat dari seharusnya. Kakiku menabrak pinggiran kaki meja dan aku terjatuh dengan keras dalam posisi telungkup.
Panik, aku buru-buru berdiri dan mencoba tetap cool. Gagal. Clara melihatku sambil terkikik.
“Kenapa Mar? Kebelet banget ya?” Sambil tertawa dengan sadis, dia berjalan keluar kelas. Mukaku memerah malu, tapi kuputuskan tetap mengajaknya kencan. Toh udah terlanjur malu.
“Tunggu Clara, ngg aku perlu bilang sesuatu!”
Clara berbalik melihatku, “Ya?”
“Ngg, kau tau gak sih, dekat sini ada mie ayam yang enak?”
Mendengar mie ayam, Clara langsung bersemangat. Aku sudah tahu kalau dia memang penggemar makanan itu. “Di mana? Di mana?”
“Ada pokoknya. Kita pergi sama-sama mau gak? Nanti kujemput di rumahmu.”
“Boleh banget! Pergi sama siapa aja?” tanya Clara.
Ini dia nih. Aku mengumpulkan keberanianku. “Ngg kita pergi berdua aja mau gak?”
Hening sebentar. Aku sudah pasrah kalau dia mau menghinaku.
“Haha, aku tahu,” katanya tiba-tiba, “kau malu ya kalau dilihat makan banyak di depan anak-anak lain?”
Aku kaget. Bukan itu alasannya, tapi aku senyum-senyum aja, tidak tahu harus berkata apa.
“Oke oke. Kita pergi berdua aja. Tenang aja, kau bisa makan sebanyak apapun nanti, gak usah malu. Ya udah, jam lima kutunggu ya?” katanya lagi.
“Oke!!” jawabku kelewat bersemangat, membuat Clara heran. Dia tersenyum dan meminta izin balik duluan.
Aku tahu Clara tidak menganggap ini kencan, tapi bodo amat, yang penting aku bisa berduaan dengannya. Bisa saja kan nanti suasananya mengarah ke romantis. Memikirkannya saja membuatku senang. Aku berjalan dengan langkah ringan ke luar sekolah.
Di depan gerbang, aku melihat Fuad. Lho, bukannya dia sudah pulang?
Aku hendak menyapanya, tapi dia terlihat sedang memanggil orang lain. Itu Clara. Ada urusan apa dia dengan Clara?
Karena penasaran, aku diam-diam bersembunyi di balik gerbang untuk mendengar apa yang mereka bicarakan.
“....nonton malam ini gimana?” kata Fuad.
“Film apa emang?”
“Tukang Bubur Naik Gaji, katanya sih film bagus gitu.”
“Wah iya, aku dengar juga gitu,” kata Clara bersemangat.
“Nah, aku punya satu tiket kosong nih. Mau pergi berdua?”
“Mau sih, tapi aku udah keburu punya janji,” kata Clara. “Maaf ya.”
Fuad terlihat sangat sedih, tapi dia mencoba menyamarkannya dengan senyum, “Oh...oh gitu. Oke, lain kali ya kalau gitu.”
“Yup, makasih tapi lho,” kata Clara. Dia lalu menghentikan angkot dan naik ke dalamnya.
Aku ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk keluar menemui Fuad. “Hai.”
Fuad sedikit kaget, “Oh hai.”
“Ngg, tadi kau sama Clara kenapa?”
Muka Fuad memerah. “Kau lihat ya?”
Aku hanya mengagguk. Fuad mengangkat bahunya, “Jika aku cerita, kau pasti akan pidato lagi. Aku duluan aja deh ya.” Dia lalu pergi begitu saja, tanpa tos seperti biasa.
Melihat dirinya pergi dengan sedih, aku jadi benar-benar yakin kalau aku dan Fuad memiliki perasaan yang sama. Kami menyukai wanita yang sama.
Perasaan aneh bergejolak dalam diriku, sebuah perasaan bersalah. Fuad selalu baik padaku, dan kini aku mencoba mendekati seseorang yang dia sukai. Memang rasanya tidak masuk akal, apalagi mengingat aku tidak tahu perasaan Fuad sebelumnya.
Kuingatkan diriku sendiri bagaimana nanti jika aku pergi bersama Clara. Pasti akan sangat menyenangkan. Aku tak seharusnya merasa bersalah. Clara belum punya pacar, ini adalah kompetisi adil dimana semua lelaki berhak menjadi penantang.
Tapi lalu kusadari, aku tak ingin berkompetisi dengan teman baikku. Aku tak ingin bahagia bersama Clara sementara Fuad sedih. Terutama jika penyebab sedihnya adalah diriku sendiri.
Mana yang lebih benar? Apa aku bersalah jika aku tetap mendekati Clara? Tidak. Apa aku bisa tahan mengetahui teman baikku sedih melihat aku bersama wanita pujannya? Tidak juga.
Aku menggeram kesal. Dengan berat hati, aku memutuskan melakukan sesuatu yang kuanggap benar.


Tepat jam lima, aku pergi menjemput Clara dengan motor. Kebersamaan sesaat itu membuatku ragu, tapi aku meneguhkan hati.
“Lho, kita kemana nih?” tanya Clara yang bingung melihat diturunkan di Mall.
“Ngg, anu, aku tiba-tiba ada urusan, jadi gak bisa pergi. Tapi di bioskop ada Fuad, dia mengajakmu nonton kan? Pergi saja dengan dia. Maaf banget ya.”
Clara heran, tapi akhirnya mengangguk juga. “Oke, hati-hati di jalan. Fuad di bioskop kan?”
“Ya.” Aku melambai ke arahnya dan pergi pulang. Di jalan, aku membayangkan bagaimana ekspresi Fuad melihat Clara tiba-tiba datang. Pasti dia sangat kaget. Aku tertawa sendiri.
Aku sampai di rumah. Kuparkir motor di garasi dan pergi ke kamar. Dadaku sesak dengan perasaan yang tidak bisa kumengerti.
Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri kalau aku melakukan hal yang benar. Aku tidak bisa melihat temanku bersedih. Aku tersenyum memikirkan kalau aku keren juga bisa berpikir seperti itu. Aku bangga dengan diriku sendiri yang bisa menjadi teman yang baik.
Tapi di saat bersamaan, hatiku sesak dengan tidak tersampainya perasaanku padanya. Aku tahu sebelumnya aku pernah mengatakan jika kita berusaha, cinta kita pasti sampai. Tapi ini berbeda.
Ini adalah penghalang terbesar yang tidak akan bisa kulewati.

0 komentar:

Posting Komentar