Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Aturan 5 Detik


Aku sedang duduk di ruang tv bersama adik perempuanku, mencoba memahami apa yang kami tonton sekarang.
"Jadi...mereka adalah remaja yang sehari-harinya bersekolah?"
"Ya," kata adikku, Tina, sambil makan kerupuk di meja.
"Tapi mereka juga manusia serigala?"
"Ya, emangnya kenapa?"
"Kenapa??" Aku geleng-geleng tak percaya, "Coba ya pikir, kalau kamu di sekolah terus tahu kalau salah satu ternyata temanmu manusia serigala, memangnya kamu gak bakal takut dan lapor polisi secepatnya? Lagian kenapa harus serigala? Kan gak banyak serigala di Indonesia. Kalau mau sih, lebih cocok namanya jadi 'Ganteng Ganteng Kerbau'."
Tina melihatku dengan cemberut, "Abang berisik deh, ini kan cuma sinetron."
"Soalnya tv Indonesia makin lama makin aneh aja. Kemaren pernikahan Raffi Ahmad disiarin seharian, buat apa coba? Berita-berita lebih penting kan banyak."
"Abang kayak orang tua ih."
Dibilang tua, gantian aku yang cemberut. Dengan kesal kuambil kerupuk di meja, tapi tak sengaja kerupuk itu terjatuh ke bawah kursi. Aku agak kesulitan mengambilnya.
"Eh, abang ngapain??" teriak Tina tiba-tiba ketika aku mau memasukkan kerupuk itu ke mulut.
"Ngg, aku mau makan."
"Tapi kan kerupuknya udah jatuh tadi!"
"Ya sih, tapi baru bentar kok. Belum kotor."
"Abang, ingat aturan 5 detik dong." 
"Apaan? Kalau udah 5 detik gak boleh diambil lagi? Masa sih kau percaya mitos anak kecil gitu?" kataku tak percaya. Tina justru geleng-geleng dengan ngotot.
"Itu beneran Bang! Bisa bahaya! Kuman-kuman itu lebih ganas setelah 5 detik!"
"Pffffttt, dasar, masih anak kecil ya ternyata. Lihat nih."
Aku menghiraukan teriakan-teriakan dari Tina dan tetap memakannya.
"Lihat tuh, gak papa kan?" kataku. Tina terlihat sangat cemas. Aku jadi geli sendiri.
"Abang melakukan kesalahan besar," katanya dengan dramatis. Kebanyakan nonton film nih anak.
"Dibilangin juga, itu tuh cuma mito..."
Tiba-tiba pandanganku gelap.


Saat aku terbangun kembali, orang-orang berdiri di sampingku dan kepalaku sakit luar biasa. Adik dan orang tuaku melihatku dengan cemas. Ternyata aku sedang berada di atas tempat tidur rumah sakit.
"Kemal, kau sadar juga," kata ibuku dengan agak terisak. "Udah, jangan terlalu banyak gerak dulu. Dokternya ntar lagi datang."
"A..aku kenapa?"
"Kamu Nak," Ayahku melihatku dengan cemas, "makan makanan yang jatuh lebih dari 5 detik." Mendengar itu, ibuku makin terisak. Tina melihatku seperti sedang melihat hantu.
"Kita gagal sebagai orang tua!!" isak ibuku lagi, dia lalu berpelukan dengan ayah. Sungguh berlebihan.
"Masa sih aku bisa sakit gini cuma karena makan makanan jatuh?"
"Kan udah Tina bilang sih, Abang bandel deh," kata Tina.  "Oh ya Bang, kalo Abang mati, game Abang buat Tina ya?"
"Aku gak bakal mati karena hal sepele kayak gini. Ya kan?"
Hening. Tidak ada jawaban. Ayah dan Ibuku bertukar pandang dengan cemas.
"YA KAN?? MASA KALIAN BENER-BENER BERPIKIR AKU BAKAL MATI SIH??" Akhirnya aku pun jadi panik sendiri.
Saat itulah pintu kamar terbuka. Seorang dokter dan suster masuk dengan santai.
"Oh, akhirnya dokter datang juga." Ibuku langsung sibuk. "Tolong anak saya Dok."
Dokter itu hanya tersenyum, "Tenanglah Bu. Tidak ada penyakit yang tak bisa disembuhkan."
Melihat perangai dokter itu, aku jadi lebih tenang. Aku pasti akan baik-baik saja.
"Ngomong-ngomong dia sakit apa? Suster, coba minta laporannya." Suster itu memberi laporang yang diminta si dokter. "Oke, jadi...Kemal ya? Disini ditulis penyebab sakit kamu adalah. . . "
Hening k sesaat sebelum dokter itu mengakhiri kalimatnya, ". . . makan makanan yang jatuh lebih dari 5 detik. Oh sial."
"Sial? Sial kenapa?" tanyaku panik.
"Bisa disembuhin kan Dok? Obat apa, saya beli semuanya?" Ibuku juga ikutan histeris. "Atau malah perlu operasi ya?"
"Ini lebih parah lagi Bu. Dia sudah sekarat. Tak akan bisa dioperasi. Obatnya hanya satu."
"Apa Dok?"
"Obatnya adalah. . . cinta."
"Ci. . .cinta Dok?" kata ibuku terkejut.
"Ya, atau lebih tepatnya ciuman dari cinta sejati."
Aku melihatnya dengan menganga. Nyawaku sedang dipertaruhkan dan dokter ini malah bicara omong kosong film Disney. 
"Dok, kalau saya memang sekarat, saya perlu obat betulan!" protesku.
Si dokter melihatku dengan agak tersinggung, "Aku dokter di sini. Kalau kau mau sembuh, turuti kata-kataku. Cinta adalah obat paling mujarab. Apa yang menghentikan Voldemort membunuh Harry Potter? Cinta. Apa yang menyebabkan Cinderella hidup lagi? Cinta. Apa yang menciptakan lampu bisa menyala? Cinta!!"
"Oke, lampu menyala karena listrik, bukan cinta. Dan bagaimana aku bisa mendapatkan cinta sejati? Aku bahkan tidak punya pacar!"
"APA??" Gantian si dokter yang sekarang terkejut. "Kamu harus mencari cinta sejati sekarang! Kalau tidak kamu tak akan selamat!"
"Coba cari di kampus sekarang, mana tau masih ada," kata ayahku memberi saran.
"Nyari cinta sejati kok kayak cari martabak sih?" kataku kesel. Tapi aku tak punya pilihan lain. Maka dengan satu keluarga mengantarku naik mobil, aku pergi ke kampus mencari cinta sejati. Untungnya kampus masih ramai.
Aku masih bingung bagaimana menemukan cinta sejati dengan cepat, jadi aku teriak saja, "YANG MAU CIUM SAYA, SAYA KASIH 5 RIBU DEH."
Strateginya sih aku akan mencoba satu-satu cium cewek, mana tau salah satunya adalah cinta sejatiku. Tapi yang ada malah orang-orang melihatku dengan aneh dan berjalan menghindariku.
Badanku terasa sakit lagi. Aku makin panik.
"Mbak, ya mbak!! Kayaknya mbak adalah cinta sejatiku deh!!" kataku sambil menunjuk salah satu cewek. Gak berapa cantik sih, tapi saat sekarat, semua juga boleh.
"Eh, apaan sih??" 
Dan. . .dia menamparku.
Satu per satu kucoba dekati. Ada yang dengan halus, ada yang juga dengan terburu-buru karena sudah panik, tak ada hasil. Oh, cinta sejatiku, kemanakah kau?
Saat aku hampir menyerah, tiba-tiba seorang cewek datang dari belakang dan menciumku. Awalnya aku kaget, tapi pelan-pelan aku merasa tubuhku baikan. Aku sembuh! Cinta benar-benar menyembuhkan semua.
Saat dia melepasku, aku melihatnya dengan gugup. Wanita ini tidak jelek! 
"Terima kasih . . ngg.."
"Aku Tiffany," katanya sambil tersenyum manis.
"Oke, Tiffany. Jadi. . .kau cinta sejatiku?"
Tiffany terlihat malu-malu, "Entahlah, aku memang sudah menyukaimu dari dulu. Kita sebenarnya sekelas, tapi kau biasanya tidak memperhatikanku."
Wow, benarkah ini benar-benar terjadi? Aku tidak percaya!
"Jadi. . .kurasa kita bisa pacaran dari sekarang?" tanyaku dengan gugup. Tiffany bahkan tidak menunggu sebelum mengangguk yakin.
"Ta...tapi, ada satu hal yang harus kamu tahu sebelum kita pacaran," katanya.
"Apa itu?"
Tiffany terdiam sebentar, seakan sedang mengumpulkan keberanian, "Aku sebenarnya adalah . . . manusia serigala."


"Bagaimana Pak, naskah saya bagus kan?" tanyaku.
Sutradara film itu terlihat sangat puas, "Bagus sekali! Ini akan menjadi sinetron yang sangat populer!!"
Dan sejak saat itu, sinetron Cantik Cantik Serigala menjadi fenomena di dunia pertelevisian Indonesia.
Tamat.

Top 10 Karakter di Naruto


Naruto akhirnya tamat juga. Setelah menemani kita selama 15 tahun (walau pribadi aku baru baca sejak SMP sih), rasanya sedih juga gak bakal ada cerita tentang desa ninja itu lagi. Dan sebagai tribut, aku akan membuat list top 10 karakter Naruto favoritku. Sekedar informasi aja, aku tidak menyertakan tiga karakter utama : Naruto, Sasuke dan Sakura dengan banyak alasan. Singkatnya, Naruto itu super berisik, Sasuke itu super labil dan Sakura itu super nyebelin. Jadi yah, mari kita mulai countdown :

10. Minato


Minato adalah Hokage keempat dan Hokage termuda yang pernah ada. Dan untuk mencapai posisi itu tentu saja dia harus memiliki kemampuan yang sangat hebat. Jurus yang menjadi khas-nya adalah jurus teleportasi yang membuatnya bisa berpindah tempat dengan sangat cepat. Minato awalnya sangat misterius sampai akhirnya cerita saat dia melawan Kyubi dan Tobi diceritakan. Dia meninggal ketika mencoba menyegel Kyubi ke Naruto. Tapi dia menyisakan cakranya di Naruto untuk berjaga-jaga jika Naruto kehilangan dirinya dan hampir berubah menjadi Kyubi. Aku sangat suka karakter Minato. Kuat, misterius, dan sayang anaknya. Dia juga adalah guru Kakashi dan murid Jiraiya.

9. Killer Bee


Saat semua Jinchuriki dibenci, Killer Bee justru dipuja di desa Kumo. Kemampuannya mengendalikan Hachibi sejak kecil memang sangat hebat. Dan dia tidak mengendalikannya dengan segel atau semacamnya, dia berteman dengan Hachibi. Killer Bee adalah satu-satunya Jinchuriki yang bisa menguasai kekuatan penuh monster di dalamnya (sebelum Naruto bisa melakukannya berkat bimbingan dia). Sifatnya juga menyenangkan. Dia suka rap dan selalu santai, bahkan saat perang.

8. Kushina


Aku menyukai Kushina karena keberadaannya sangat misterius sebagai ibu Naruto. Dia tidak pernah terlihat sampai Jiraiya mengingatnya kembali sebelum mati. Bahkan namanya baru disebut ketika Jiraiya hendak pergi ke tempat Pain. Dan ketika dia muncul di depan Naruto, aku langsung suka dengannya. Sifatnya yang ceria dan agak tomboi itu benar-benar cocok dengan imajinasiku. Kushina adalah Jinchuriki sebelum Naruto dan meninggal ketika mencoba menyegel Kyubi ke dalam Naruto bersama Minato. Pada akhirnya, dia adalah ibu yang baik dan aku sedih dia tidak terlalu banyak muncul dalam komik ini.

7. Gaara


Bahkan ketika dia masih anak kecil yang suka membunuh, aku sudah suka dengan Gaara. Gayanya cool dan dia juga sangat kuat dengan jurusnya yang bisa mengendalikan pasir. Aku makin menyukainya saat dia muncul untuk menolong Rock Lee. Aku tidak heran ketika dia akhirnya dipilih menjadi Kazekage. Gaara membuktikan kualitasnya sebagai pemimpin ketika dia mempersatukan dan memimpin kelompok 1 dalam Perang Dunia Ninja yang terakhir. Gaara juga pintar, dan dia adalah kunci dalam mengalahkan Tsuchikage yang kuat itu di perang.

6. Shikamaru


Shikamaru awalnya terlihat seperti karakter pemalas yang tidak beguna. Pertama kali melihatnya, aku tidak terlalu menyukainya karena merasa dia bodoh. Tapi makin lama yang terlihat justru kebalikannya, Shikamaru sangatlah pintar dan kini menjadi orang yang sangat penting di Konoha. Dia memaksimalkan kepintarannya dalam menghadapi lawan. Shikamaru bahkan berhasil menghabisi Hidan sendirian. Asuma sendiri mengatakan kalau dia punya kualitas jadi Hokage, tapi memang Shikamaru lebih cocok sebagai penasihat. Dan di akhir, dia terlihat menikahi Temari. Aku sudah duga!

5. Hinata


Hinata tidak diragukan lagi adalah karakter cewek yang paling kusukai di komik Naruto. Sifatnya yang pemalu itu bikin gemes, apalagi dia cukup manis (agak aneh mengingat dia tidak punya pupil). Selain itu, Hinata yang awalnya lemah berjuang keras untuk bisa seperti Naruto dan menjadi kuat. Dia tidak pernah dendam pada Neji yang sudah berbuat jahat padanya, bahkan dia terlihat menghormatinya. Dan tentu saja, Hinata adalah pasangan yang paling cocok untuk Naruto.

4. Kakashi


Kakashi sudah menjadi favoritku sejak pertama kali membaca ini. Dia sangat keren dan kuat. Saat Naruto dan yang lain masih kecil, Kakashi rasanya berada di level yang sangat jauh. Kakashi bisa meniru semua jurus dengan sharingan-nya. Bahkan dia adalah satu-satunya ninja non-Uchiha yang bisa memaksimalkan sharingan sejauh itu. Kakashi akhirnya dipilih menjadi Hokage keenam menggantikan Tsunade dan di akhir cerita dia terlihat akan melakukan perjalanan bersama anak Asuma dan Gai. Salah satu hal yang misterius dari Kakashi adalah bagian mulutnya yang tidak pernah terlihat.

3. Jiraiya


Jiraiya adalah orang super mesum yang menjadi guru Naruto nantinya. Walaupun sifatnya kadang kekanak-kanakan dan, yah seperti yang kubilang tadi, mesum, Jiraiya adalah salah satu ninja terkuat Konoha dan dijuluki Sannin. Awalnya dialah yang ditawari posisi Hokage kelima, tapi dia menolaknya dan merekomendasikan Tsunade. Dia meninggal setelah bertarung dengan Pain, tapi tanpa dia, Pain kemungkinan tidak akan bisa dikalahkan karena Jiraiya-lah yang menemukan rahasia Pain. Dia juga menulis buku yang sangat disukai Kakashi, kita semua tahu isinya pasti mesum.

2. Nagato


Oke oke, aku tahu Nagato adalah Pain yang memimpin Akatsuki. Aku juga tahu kalau Nagato lah yang membunuh Jiraiya dan menghancurkan desa Konoha. Tapi Nagato melakukannya dengan alasan yang menurutku masuk akal, walaupun caranya kasar. Semua masa lalunya-lah yang menyebabkan dia menjadi seperti itu. Pada akhirnya toh dia menerima jalan pikiran Naruto dan mengorbankan hidupnya sendiri untuk menghidupkan semua penduduk desa lagi. Jadi yah, aku tak bisa membencinya. Justru kebalikannya, aku merasa Nagato adalah salah satu karakter paling keren dan sangat tidak pantas dianggap penjahat.

1. Itachi


Oke, nomor satu adalah Itachi. Siapa sih yang gak suka Itachi? Dia pintar, bijaksana, dan mementingkan kepentingan banyak orang dibanding dirinya sendiri. Selain itu, dia ninja jenius yang sudah menjadi jonin ketika masih sangat muda. Semua orang yang dulu tidak suka dengannya langusng berubah menjadi menghormatinya ketika tahu seberapa besar pengorbanannya untuk menyelamatkan Konoha. Dia satu-satunya orang yang gagal dikendalikan oleh Kabuto saat dihidupkan kembali dan Itachi jugalah yang menghentikan Kabuto sebelum dia pergi untuk selamanya. Aku tidak perlu bicara panjang lebar lagi, Itachi adalah karakter paling keren di Naruto.

Buku Kumpulan Cerpen is Coming!!

Akhirnya, setelah sekian lama tertunda, buku kumpulan cerpen terbaikku di kemudian.com akan kubukukan secara self-publish di nulisbuku.com. Kenapa self-publish? Karena itu gampang, bwahahaha!!

Detailnya cara belinya nant aja deh kalau udah terbit. Kover buku ini sekali lagi di desain oleh kak Zula yang keren :


Mungkin agak terlihat sedikit cinta, tapi percayalah, isinya malah kebanyakan cerita komedi. List cerpen yang kumasukkan adalah :

1. Jika Hidupku adalah Film India
2. Moongazer
3. Jika Temanku adalah Dora
4. Cerita Sebatang Pohon
5. Terjebak di Masa Depan (karya Tiara)
6. Para Hantu Malam Jumatan
7. Kita Bertemu di Sana
8. Gak Bayar Rujak, Apa Kata Bu Nia?
9. Kerupuk Eating World Championship
10. Hadiah Ulang Tahun
11. Malaikat Maut yang Ceroboh
12. Jika Aku adalah Little Red Riding Hood
13. Dunia Satu Toilet (karya Tiara)
14. Ketika Bulan Jatuh Cinta pada Matahari
15. Aku Diselamatkan Power Rangers
16. Menemani Pacar Belanja

The Conjuring Legion Part 3 : Turnamen



(Frank)

Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Terakhir kuingat, aku dipukul Ali dengan koran. Entah kenapa hal itu bisa menyebabkan aku hilang ingatan.

Sekarang kami semua berkumpul di sebuah warung makan. Kami memang sudah makan tadi, tapi kini lapar lagi karena capek berkelahi (paling tidak itu yang mereka bilang, aku tidak tahu apa yang sudah terjadi).

Kemal, Ali dan dua orang yang baru kuketahui bernama Zico dan Niko sedang asyik membicarakan pertarungan itu. Kemal dan Zico saling mengagumi kekuatan mereka. Niko terlihat gugup, tapi senang juga bisa membantu. Sedangkan Ali berkali-kali melihatku karena merasa bersalah.

“Aku tidak apa-apa,” kataku.

“Kau kupukul dengan besi lho,” balas Ali.

“Seingatku kau memukulku dengan koran.”

“Yang sudah berubah jadi besi. Kekuatanku, ingat?”

Kata-katanya membuatku gelisah, “Kalian tidak merasa ini semua terlalu aneh? Aku belum tahu kekuatanku apa sih, tapi kalian semua tiba-tiba mendapat sesuatu yang ajaib seperti itu...ini sangat aneh kan?”

“Ya memang sih,” kata Niko. “Aku tidak tahu Pak Moes siapa, tapi semua ini sangat tidak masuk akal.”

Kemal ikut dalam pembicaraan, “Aku yakin sekali dia sedang pingsan saat aku dan Ali bertarung. Tahu-tahu saja, dia berada di tempat Niko dan Zico.”

“Dia muncul dari kamar mandiku saat aku sibuk merakit koleksi Gundam yang lain,” sambung Zico. Mendengar cerita mereka, aku merasa Pak Moes punya obsesi berlebihan terhadap kamar mandi atau lemari. Aku sendiri bertemu dengannya ketika sedang mengamen di sebuah bus.

Mereka kini mulai berdiskusi soal siapa Pak Moes sebenarnya. Semua pembicaraan ini membuatku makin gelisah dan takut terlibat dengan hal yang merepotkan. Aku ini musisi yang mencari cinta! Masalahku sudah cukup banyak!

Ngomong-ngomong soal masalah, aku jadi teringat cewek yang menolakku tadi siang. Padahal aku sudah menembaknya dengan jantan, yaitu ketika dia sedang di sekolah bersama-sama temannya. Siapa yang mengira dia akan berteriak malu dan melempariku dengan sepatunya hanya karena dia ditertawai sedikit oleh teman-temannya.

Kuambil gitarku dan aku mulai melantunkan nada sendu. Aku hanya berimprovisasi, yang penting terdengar mewakili perasaanku. Aku mengingat kembali penolakan itu dan mencoba menjiwai musiknya.

Untuk sesaat, aku tidak mempedulikan apapun. Aku sangat suka saat-saat seperti itu, saat dimana aku hanya berkonsentrasi penuh terhadap musik yang kumainkan. Perasaan sedih itu seperti menjadi nyata lagi.

Ketika aku berhenti, semua orang di sekitarku sudah diam. Aku jadi malu, “Maaf...”

Tiba-tiba Ali menangis. Kemal berjalan ke pojok warung lalu duduk di sana sambil merunduk, terlihat sangat depresi. Niko dan Zico berpelukan lalu menangis bersama.

“Ka...kalian kenapa?” kataku panik.

“Sangat menyedihkan!!” isak Zico.

“Apanya??”

“Aku tidak tahu! Tapi aku merasa sangat sedih!”

Kenapa mereka? Bukankah tadi mereka sedang semangat-semangatnya membicarakan masalah kekuatan ini?

Beberapa lama kemudian, tangisan itu berhenti. Masing-masing dari mereka kini terlihat bingung.
“Apa yang terjadi barusan?” tanya Kemal, “Kenapa aku duduk di pojok seperti ini?”

“Dan kenapa kau memelukku??” Zico mendorong Niko. Niko sendiri tergagap, “A..aku juga tidak tahu.”

Ali mengelap air matanya, jelas heran kenapa dia bisa sampai menangis.

“Apa yang terjadi, Frank?” tanya Zico.

“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja kalian menangis dan terlihat depresi.”

“Itu karena kekuatanmu Frank.”

Pak Moes keluar sambil membawa lima mangkok mie goreng untuk kami. Dia lalu duduk di sebelahku.

“Kekuatanmu itu seperti mengendalikan perasaan orang dengan musik gitarmu. Kekuatan yang bisa menjadi sangat berguna nantinya.”

“Wow keren,” puji Kemal. Dia sudah makan duluan.

“Kekuatanmu hebat juga,” kata Zico, “tapi bukankah akan sulit main gitar dalam pertarungan?”

Pak Moes mengangguk, “Memang, karena itulah kalian akan bekerja sama dalam satu tim.”

“Tunggu sebentar.” Niko menghentikan kata-katanya, “Apa maksudnya semua ini? Aku masih belum mengerti untuk apa kami dikumpulkan dan siapa orang-orang yang kita lawan tadi.”

“Baik, akan kujelaskan semuanya,” kata Pak Moes. “Jadi seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku adalah utusan dewa. Nama asliku Moeskovic dan aku adalah salah satu pengawal dewa. Apakah sampai ini semuanya mengerti?”

“Itu tidak masuk akal,” komentar Kemal, “tapi silahkan lanjutkan.”

“Jadi suatu hari dewa mengumumkan kalau dia akan membuat turnamen dimana semua staff di istana langit bisa ikut serta. Pemenangnya akan menjadi ‘staff of the year’ dan mendapatkan hadiah besar. Kurasa dewa hanya sedang bosan.”

Cerita dia makin lama makin aneh. Dewa sedang bosan? Apa-apaan itu?

Pak Moes melanjutkan ceritanya, “Tapi supaya menarik, kami tidak boleh terlibat secara langsung. Dewa menyarankan agar kami mengambil anak-anak manusia berbakat dan memberinya kekuatan yang sesuai sifat atau hobi mereka.”

Niko memotongnya lagi, “Lalu kenapa kekuatanku bisa menghilang? Maksudku, aku tidak punya hobi menghilang.”

“Kurasa itu karena kau punya sifat tertutup. Kekuatan itu cocok untukmu yang pemalu.”

Dibilang seperti itu, Niko malah makin malu.

“Jadi, turnamen seperti apa ini?” Giliran Ali yang bertanya.

“Ah ya, tidak terlalu aneh kok. Kalian hanya akan saling bunuh dengan tim lain.”

Hening.

“Mmh, maaf,” kataku memecah keheningan, “maksudnya...akan ada yang mati?”

Pak Moes mengangkat bahu, seakan-akan itu masalah sepele, “Kami akan berusaha mungkin itu tidak terjadi. Tapi buat jaga-jaga, sebaiknya kalian pamit pada orang yang kalian sayang.”

Hening lagi.

“Tidak bisa seenaknya begitu!” Niko yang pertama berteriak. “Kami tidak perlu mengikuti semua ini! Aku punya tujuan hidup. Aku ingin masuk universitas. Kenapa aku harus ikut dengan permainan gilamu?”

“Ya, aku setuju dengan Niko. Walaupun punya kekuatan keren, tapi ini gila,” kata Ali.

Kemal dan Zico pun terlihat tidak suka dengan Pak Moes sekarang. Aku tidak menyalahkan mereka. Hidupku sudah cukup kacau sebelum Pak Moes datang dan ingin aku mati agar bisa menyenangkan dewa.

“Aku tidak mau ikut ini,” kataku tegas.

“Ya, ya! Kami tidak punya kewajiban untuk ikut denganmu!” teriak Niko lagi.

Pak Moes tiba-tiba menggebrak meja, menjatuhkan beberapa mangkok mie (yang sepertinya membuat Kemal sangat sedih).

“Kalian tidak mengerti situasinya. Ini bukan hanya tentang kalian, tapi juga tentang dunia kalian.”
“Ke..kenapa?” tanyaku.

Pak Moes terlihat tenang kembali. “Turnamen ini bisa menjadi bencana bagi kerajaan dewa. Banyak orang dalam istana yang sangat ingin mengambil tahta dewa. Dan mereka bukanlah orang-orang yang baik. Mereka tidak suka manusia.”

“Kenapa??” tanyaku lagi, sangat tidak kreatif.

“Menurut mereka, manusia adalah perusak. Yah, aku lumayan setuju sih, tapi tetap saja itu bukan alasan untuk memusuhi manusia biasa. Turnamen ini benar-benar saat yang tepat untuk mereka. Dewa tidak boleh turun tangan langsung menghadapi manusia, sehingga mereka bisa mengalahkan dewa dengan tim manusia yang mereka buat. Contohnya adalah Kevin dan Gin Gin yang kalian lawan tadi.”

Kemal memotongnya, “Tapi kenapa mereka menyerang kita?”

“Karena mereka tahu pengawal dewa yang setia tidak akan membiarkan rencana mereka rusak. Aku adalah salah satu dari pengawal itu. Tentu saja timku akan menjadi ancaman untuk mereka.”

Suasana hening lagi. Terlalu banyak yang harus diproses. Ini semua terlalu tiba-tiba.

“Jadi...kami harus ikut?” tanyaku.

“Ya.”

“Walaupun sebenarnya aku takut?”

“Tidak apa-apa, itu wajar. Tapi jika kalian bisa menggunakan kekuatan kalian dengan benar, seharusnya tidak ada masalah. Kalian berlima adalah lima orang berbakat yang bisa kupercaya.”

Mendengarnya bicara seperti itu, aku jadi malu juga. Sebelumnya belum pernah aku merasa dibutuhkan seperti ini. Bahkan kadang orang tidak mau dekat-dekat denganku, terutama cewek.

Aku melihat teman-temanku yang lain. Mereka sepertinya masih ragu.

“Jadi...bagaimana?” kata Pak Moes menunggu.

“Aku ikut,” kataku, membuat yang lain terkejut, “maksudku, toh kita tak punya pilihan lain. Aku biasanya hanya mengamen. Jadi menyelamatkan dunia mungkin lebih baik.”

“Entahlah Frank, aku tidak tahu,” sahut Zico sambil menggaruk-garuk kepala. “Kekuatanku memang keren sih, tapi ini terlalu berbahaya.”

“Oh ya Zico, Tori juga ikut turnamen ini,” kata Pak Moes tiba-tiba.

Zico langsung terdiam. Aku tidak tahu Tori itu siapa, tapi sepertinya dia adalah orang penting untuk Zico.

“Aku ikut!!” kata Zico, kini tanpa ragu. Pak Moes melihat ke Kemal.

“Yah, aku akan mencoba tidak mati. Aku ikut.”

“Kalau Kemal sudah seyakin itu, aku juga ikut deh,” kata Ali.

Kini tinggal Niko. Hanya dia yang sepertinya masih sangat ragu.

“Aku tidak mau mati,” bisiknya.

“Akan kuusahakan untuk menjagamu,” kata Pak Moes.

Dia masih terlihat cemas. Lalu dia melihat ke arahku.

“Frank, mainkan lagu yang penuh keberanian.”

Aku terkejut diminta seperti itu, tapi aku mengangguk saja. Satu-satunya lagu yang kuingat tentang keberanian adalah lagu nasional ‘Bagimu Negeri’.

Maka kumainkanlah lagu itu. Beberapa saat kemudian, Niko sudah terlihat lebih berani. Bukan hanya itu, yang lain juga sudah mulai menangis terharu.

“Aku ikut!!” teriak Niko.

“Demi bangsa Indonesia, kita harus menang! Uwooo!” Ali ikut-ikutan berteriak.


Dan malam itu kami semua sepakat pergi bertaruh nyawa, sambil meneriakkan Indonesia berkali-kali.



Bersambung. . .

Hujan


Aku berlari-lari kecil mencari tempat berteduh dari hujan kecil yang tiba-tiba saja turun. Aku tak menyangka acara perpisahan salah satu seniorku di kantor bisa selama ini. Sekarang sudah jam 10 malam, dan aku yakin tidak ada lagi angkot jam segini. Tahu begitu, aku numpang nginap di rumah temanku saja tadi.
Lalu aku melihat seorang wanita sedang berdiri di depan salah satu warung yang sudah tutup. Sepertinya dia juga berteduh dari hujan. Karena ini sudah sangat malam, maka yang kupastikan terlebih dahulu adalah apa wanita itu punya kaki atau tidak. Setelah memastikan dia berpijak di tanah, aku jadi lebih lega.
Sialnya, hujan semakin deras saja. Maka aku memutuskan untuk ikut berteduh dengannya dan mungkin memanggil taksi.
Dengan sedikit canggung, aku mengambil posisi di sebelahnya. Aku sudah siap-siap saja kalau dia melihatku dengan aneh atau malah menjauh dariku. Wajar saja kalau cewek merasa tidak enak jika bersama cowok asing, apalagi saat sudah larut seperti ini.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia menyapaku dengan ramah, “Kehujanan juga?”
“Ya, haha.” Diperlakukan ramah seperti itu malah membuatku kaget dan menjawab dengan agak malu.
“Hujannya awet banget ya. Aku jadi gak bisa pulang juga,” katanya sambil merasakan hujan dengan tangannya. “Mana angkot udah gak ada lagi.”
Setelah yakin kakinya ada, aku mulai memperhatikan wanita disebelahku ini dengan lebih cermat. Dia memakai jilbab yang dirangkai dengan bergaya. Mukanya terlihat cerah, tipe-tipe orang yang akan tersenyum sangat lebar terhadap lelucon yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Dia tidak terlalu tinggi, kira-kira hanya sebahuku.
Karena dia tadi menyebut angkot, aku jadi teringat untuk memesan taksi. Kukeluarkan handphoneku dan mulai menelpon taksi.
Sekilas, aku melihat wanita itu menatapku, tapi dia buru-buru melihat ke depan lagi dengan malu. Aku merasa tahu penyebabnya.
“Ya, saya pesan dua taksi ya,” kataku di telepon. Wanita itu terkejut, tapi kemudian tersenyum senang, senyuman yang lebar dan manis.
“Maaf ya, hapeku mati dan tadi aku bingung harus bagaimana,” katanya.
Aku tersenyum saja, “Ya gak papa. Rumahmu jauh?”
“Ya begitulah. Aku tadi terlalu asyik belanja sampai lupa waktu.”
Wah, sangat tipikal wanita ya. Kalau sudah belanja, semuanya dilupakan.
Tak lama kemudian, satu taksi datang. Karena merasa bisa menunggu, aku menyuruhnya duluan. Dia awalnya menolak, tapi aku tahu itu hanya basa-basi.
“Terima kasih ya,” katanya lagi.
“Ya sama-sama. Tapi saranku saja, mungkin lain kali kau sebaiknya tidak terlalu akrab dengan cowok asing.” Aku bilang begitu karena merasa sikap ramahnya itu bisa berbahaya.
“Haha, kau tidak terlihat jahat kok.”
“Banyak orang jahat yang terlihat baik lho.”
“Tapi kau baik kok,” katanya tersenyum sambil masuk taksi. “Nasihatmu tetap akan kusimpan.”
Lalu dia pergi. Beberapa saat kemudian aku baru sadar kalau aku belum tahu namanya. Walaupun begitu, entah kenapa aku merasa lebih bersemangat malam itu.


Dua hari kemudian, aku terjebak hujan lagi, dan aku berteduh di tempat yang sama. Ini kan seharusnya musim panas, kenapa hujan melulu sih. Global Warming benar-benar nyata ya.
“Wah, kita bertemu lagi.”
Itu wanita yang sama-sama terjebak denganku dulu. Kali ini dialah yang berlari-lari karena kehujanan. Dia telihat senang melihatku.
“Aku baru saja berpikir bakal aneh kalau aku bertemu denganmu lagi, dan ternyata memang benar,” katanya dengan sedikit tertawa.
Dia mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman, “Hai, namaku Iffah. Terima kasih sudah membantuku kemarin.”
“Kemal,” kataku sambil menjabatnya, “belanja lagi?”
“Haha, yah begitulah. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan keluar.”
“Oh, sedang ada masalah?” tanyaku, tapi lalu aku merasa terlalu mencampuri urusan pribadinya. “Maaf aku terlalu banyak bertanya.”
“Oh tidak apa-apa. Hanya saja, ibuku baru saja memberi anjingku kepada orang lain. Dan itu membuatku agak kesal.”
Aku, sebagai orang yang suka dengan yang imut-imut, langsung kaget. “Sayang sekali. Anjing jenis apa?”
“Maltese. Imut-imut gitu deh. Sayang ibuku tidak sependapat.”
“Aku suka anjing yang imut!” kataku mungkin agak terlalu bersemangat. Iffah menatapku dengan sama bersemangatnya.
“Ya kan? Apa kau punya anjing?”
“Tidak, tapi suatu saat aku ingin punya satu. Aku tidak terlalu tahu jenis-jenis anjing sih.”
Iffah tampak berpikir sesaat, “Kau tahu, di dekat sini ada kafe yang buka 24 jam. Kita ke sana yuk, ngobrolin anjing sambil nunggu hujan. Punggungku pegal nih kalau berdiri terus.”
“Boleh juga,” kataku senang.
“Nanti aku yang akan pesan taksi untukmu, balasan untuk kemarin, haha.”
Lalu kami berlari-lari kecil menuju kafe agar tidak terlalu basah.


Aku melihat terus nomor Iffah di handphoneku. Setelah pembicaraan dari kafe kemarin, aku meminta nomornya dengan alasan jika aku ingin tanya-tanya tentang anjing nantinya. Kenyataannya aku hanya senang jika bisa berbincang dengan dia lagi. Dia sangat menyenangkan. Banyak bicara memang, tapi cocok denganku yang sulit mencari topik pembicaraan sehingga obrolan kami menyambung terus.
Dari kemarin sebenarnya aku ingin mengirim pesan sms ke dia, tapi aku tak tahu mau bilang apa dan aku takut dibilang agresif. Sekarang suasananya sedang mendukung karena hujan turun, dan aku dengan sengaja menunggu angkot di tempat biasa kami bertemu. Tapi aku tetap tak berani mengirim pesan itu.
Saat aku sudah menyerah dan mau memasukkan handphone ke kantong, sebuah pesan masuk. Dari Iffah.
“Hujan lagi nih, hehehe”
Aku jelas mengambil kesempatan itu. Kubalas pesannya, “Ya nih. Sekarang aku nunggu di tempat kemarin lagi, hahaha.”
Pesanku dibalas beberapa menit kemudian, “Oh ya, aku juga sedang menuju ke sana. Sampai jumpa kalau begitu.”
Entah kenapa mendengar dia mau ke sini, aku jadi panik. Kuperiksa baju dan rambutku, yang tentu saja berantakan. Saat aku mencoba merapikan sebisa mungkin, dia datang. Kali ini memakai payung dan memegang bungkusan besar di tangannya.
“Tumben pakai payung,” kataku.
“Haha, ya. Aku kan belajar dari kesalahan.”
“Hmm, belanja lagi?”
“Ya, untuk adikku.” Dia melipat payungnya dan berteduh bersamaku. “Besok hari ulang tahunnya dan orangtua kami terlalu sibuk dengan urusan mereka, jadi aku yang membelikan kado.”
“Kakak yang baik,” kataku sambil mengintip bungkusannya. Kurasa itu baju.
 “Kau punya adik?” tanyanya.
“Ya, ada tiga. Tapi aku bukan kakak yang sebaik dirimu.”
Iffah tertawa. Lho kok dia ketawa? Padahal itu benar. Aku sih tidak pernah membelikan kado untuk adikku. Malah yang ada aku menyuruh mereka membelikan kado untukku saat aku ulang tahun.
Iffah meluruskan punggungnya. Kemarin dia memang sempat bilang kalau punggungnya sering pegal sehingga teman-temannya suka mengejeknya.
“Kurasa kau harus melakukan sesuatu dengan punggungmu itu,” kataku. Dia membalas candaan itu dengan muka yang dibuat-buat marah.
“Hei, jangan ikut-ikutan mengejek dong.”
Kami lalu tertawa bersama. Saat itulah sebuah angkot berhenti di dekat kami, menunggu penumpang. Itu satu-satunya angkot yang lewat sini, dan itu berarti angkutan kami berdua. Aku merasa belum ingin naik karena masih ingin mengobrol.
Dan sepertinya, Iffah berpikiran sama.
“Aku tidak buru-buru nih,” katanya.
“Hmm, kafe?”
“Oke.”


Aku tidak bertemu dengannya lagi seminggu ini. Cuacanya juga cerah terus. Sepertinya aku hanya bisa bertemu dengan dia saat hujan. Aku tertawa sendiri dengan pikiran itu.
Makanya aku kaget ketika menemukan dia di sebuah bangku taman. Aku biasanya duduk di situ sambil makan es krim yang dijual dekat sini.
Aku hendak menyapanya ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Iffah tidak tersenyum seperti biasanya. Justru kali ini kebalikannya, dia terlihat sehabis menangis.
Aku jadi bingung harus melakukan apa. Aku tidak pernah tahu harus melakukan apa jika ada cewek yang menangis. Apalagi ini Iffah yang menangis, wanita yang baru dikenalnya beberapa kali walaupun dia entah kenapa terasa jauh lebih bersahabat untuk sekedar kenalan.
Setelah lama mondar-mandir di tempat, aku memutuskan mendekatinya. Aku pura-pura terkejut melihatnya. Iffah juga sepertinya terkejut ketika melihatku. Dia buru-buru mengelap air matanya.
“Hai Kemal,” katanya sambil tersenyum. “Tumben ya kita ketemu di sini?”
“Ya ya. Boleh aku duduk di situ?”
Iffah menggeser duduknya menandakan kalau dia mengizinkan aku duduk di sebelahnya.
“Soal kata-katamu tadi, aku juga kaget kita bertemu di sini,” kataku. “Aku malah mengira kita tak akan bertemu kalau tidak hujan.”
Iffah tertawa. Tapi rasanya berbeda. Dia tidak tertawa seriang sebelumnya, dan itu rasanya agak aneh. Selama ini aku selalu bertemu dia yang ceria, jadi aneh rasanya melihat dia sedih.
“Jadi...kau ada masalah?”
Iffah menunduk dan terdiam. Aku jadi merasa aku salah sudah bertanya.
“Ngg, jika kau tak mau bicara juga tak apa-apa,” kataku cepat-cepat.
Dia melihatku lalu tersenyum, “Tidak kok. Aku hanya sedang mengalami masalah dengan orangtuaku.”
“Oh..” Sesuai dugaa, aku tak tahu harus bicara apa. Keadaan jadi hening untuk sesaat.
“Kadang aku merasa orangtuaku hanya memikirkan mereka,” kata Iffah tiba-tiba. “Tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anak ketika mereka bertengkar.”
Aku tetap diam, masih takut salah bicara. Tapi kurasa aku bisa mengerti apa yang dia maksud.
“Mereka...mereka terus saja bertengkar.” Iffah mulai terisak lagi, membuatku makin bingung. “Dan mereka bertengkar di depan adik-adikku. Apa mereka tidak berpikir tentang kami? Kenapa mereka harus seegois itu?
Dia lalu menutup mukanya dan mulai menangis. Aku hanya terdiam. Seseorang lewat di depan kami dan melihatku dengan pandangan mencela. Mungkin dikiranya akulah yang membuatnya menangis.
“Hmm, tenanglah,” kataku akhirnya. “Semuanya akan membaik setelah ini.”
Tapi dia terus menangis. Aku melihat ke kanan kiri dengan canggung. Akhirnya, aku memutuskan untuk merangkulnya.
Iffah awalnya kaget, tapi kemudian ikut merangkulku, tidak mengetahui kalau mukaku mungkin sudah sangat merah.
“Tenanglah,” kataku lagi. “Bagaimanapun juga, mereka tetap orangtua. Mereka pasti tetap menyayangi kalian.”
Dia terus terisak beberapa menit setelahnya, tapi perlahan dia menjadi tenang. Lalu dia melepas rangkulan dan tersenyum kepadaku. Senyumnya terasa lebih hangat sekarang.
“Terima kasih. Aku memang baru mengenalmu, tapi kau terasa seperti sahabat lama,” katanya.
Tepat seperti yang kupikirkan!
“Kau mau kubelikan es krim?” tanyaku.
“Wah kau baik sekali, boleh dong!”
“Aku hanya basa-basi sih.....tapi okelah.” Aku menuju tempat penjual es krim diiringi tawa kecil Iffah.
Saat aku kembali ke sana sambil memegang dua es krim, hujan mulai turun.
“Tuh kan bener, kita cuma bisa ketemu saat hujan!” seruku.
“Haha, ayo kita berteduh. Sini es krimnya.”
Dia mengambil satu es krim dan menarik tanganku. Kami berlari sambil bergandengan tangan.


Ketika aku melihatnya lagi, dia sedang berdiri di tempat pertama kami bertemu.
“Kenapa kau diam di situ?” tanyaku padanya, “Kan sedang tidak hujan. Tidak ada angkot yang lewat sini?”
Iffah tersenyum padaku, “Aku sedang menunggu kau.”