(Frank)
Aku benar-benar tidak
tahu apa yang terjadi. Terakhir kuingat, aku dipukul Ali dengan koran. Entah
kenapa hal itu bisa menyebabkan aku hilang ingatan.
Sekarang kami semua
berkumpul di sebuah warung makan. Kami memang sudah makan tadi, tapi kini lapar
lagi karena capek berkelahi (paling tidak itu yang mereka bilang, aku tidak
tahu apa yang sudah terjadi).
Kemal, Ali dan dua
orang yang baru kuketahui bernama Zico dan Niko sedang asyik membicarakan
pertarungan itu. Kemal dan Zico saling mengagumi kekuatan mereka. Niko terlihat
gugup, tapi senang juga bisa membantu. Sedangkan Ali berkali-kali melihatku
karena merasa bersalah.
“Aku tidak apa-apa,”
kataku.
“Kau kupukul dengan
besi lho,” balas Ali.
“Seingatku kau
memukulku dengan koran.”
“Yang sudah berubah
jadi besi. Kekuatanku, ingat?”
Kata-katanya membuatku
gelisah, “Kalian tidak merasa ini semua terlalu aneh? Aku belum tahu kekuatanku
apa sih, tapi kalian semua tiba-tiba mendapat sesuatu yang ajaib seperti
itu...ini sangat aneh kan?”
“Ya memang sih,” kata
Niko. “Aku tidak tahu Pak Moes siapa, tapi semua ini sangat tidak masuk akal.”
Kemal ikut dalam
pembicaraan, “Aku yakin sekali dia sedang pingsan saat aku dan Ali bertarung.
Tahu-tahu saja, dia berada di tempat Niko dan Zico.”
“Dia muncul dari kamar
mandiku saat aku sibuk merakit koleksi Gundam yang lain,” sambung Zico. Mendengar cerita mereka, aku merasa Pak Moes punya obsesi berlebihan terhadap
kamar mandi atau lemari. Aku sendiri bertemu dengannya ketika sedang mengamen
di sebuah bus.
Mereka kini mulai
berdiskusi soal siapa Pak Moes sebenarnya. Semua pembicaraan ini membuatku
makin gelisah dan takut terlibat dengan hal yang merepotkan. Aku ini musisi
yang mencari cinta! Masalahku sudah cukup banyak!
Ngomong-ngomong soal
masalah, aku jadi teringat cewek yang menolakku tadi siang. Padahal aku sudah
menembaknya dengan jantan, yaitu ketika dia sedang di sekolah bersama-sama
temannya. Siapa yang mengira dia akan berteriak malu dan melempariku dengan
sepatunya hanya karena dia ditertawai sedikit oleh teman-temannya.
Kuambil gitarku dan aku
mulai melantunkan nada sendu. Aku hanya berimprovisasi, yang penting terdengar
mewakili perasaanku. Aku mengingat kembali penolakan itu dan mencoba menjiwai
musiknya.
Untuk sesaat, aku tidak
mempedulikan apapun. Aku sangat suka saat-saat seperti itu, saat dimana aku
hanya berkonsentrasi penuh terhadap musik yang kumainkan. Perasaan sedih itu
seperti menjadi nyata lagi.
Ketika aku berhenti,
semua orang di sekitarku sudah diam. Aku jadi malu, “Maaf...”
Tiba-tiba Ali menangis.
Kemal berjalan ke pojok warung lalu duduk di sana sambil merunduk, terlihat
sangat depresi. Niko dan Zico berpelukan lalu menangis bersama.
“Ka...kalian kenapa?”
kataku panik.
“Sangat menyedihkan!!”
isak Zico.
“Apanya??”
“Aku tidak tahu! Tapi
aku merasa sangat sedih!”
Kenapa mereka? Bukankah
tadi mereka sedang semangat-semangatnya membicarakan masalah kekuatan ini?
Beberapa lama kemudian,
tangisan itu berhenti. Masing-masing dari mereka kini terlihat bingung.
“Apa yang terjadi
barusan?” tanya Kemal, “Kenapa aku duduk di pojok seperti ini?”
“Dan kenapa kau
memelukku??” Zico mendorong Niko. Niko sendiri tergagap, “A..aku juga tidak
tahu.”
Ali mengelap air
matanya, jelas heran kenapa dia bisa sampai menangis.
“Apa yang terjadi,
Frank?” tanya Zico.
“Aku tidak tahu,
tiba-tiba saja kalian menangis dan terlihat depresi.”
“Itu karena kekuatanmu
Frank.”
Pak Moes keluar sambil
membawa lima mangkok mie goreng untuk kami. Dia lalu duduk di sebelahku.
“Kekuatanmu itu seperti
mengendalikan perasaan orang dengan musik gitarmu. Kekuatan yang bisa menjadi
sangat berguna nantinya.”
“Wow keren,” puji
Kemal. Dia sudah makan duluan.
“Kekuatanmu hebat
juga,” kata Zico, “tapi bukankah akan sulit main gitar dalam pertarungan?”
Pak Moes mengangguk,
“Memang, karena itulah kalian akan bekerja sama dalam satu tim.”
“Tunggu sebentar.” Niko
menghentikan kata-katanya, “Apa maksudnya semua ini? Aku masih belum mengerti
untuk apa kami dikumpulkan dan siapa orang-orang yang kita lawan tadi.”
“Baik, akan kujelaskan
semuanya,” kata Pak Moes. “Jadi seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku
adalah utusan dewa. Nama asliku Moeskovic dan aku adalah salah satu pengawal
dewa. Apakah sampai ini semuanya mengerti?”
“Itu tidak masuk akal,”
komentar Kemal, “tapi silahkan lanjutkan.”
“Jadi suatu hari dewa
mengumumkan kalau dia akan membuat turnamen dimana semua staff di istana langit
bisa ikut serta. Pemenangnya akan menjadi ‘staff of the year’ dan mendapatkan
hadiah besar. Kurasa dewa hanya sedang bosan.”
Cerita dia makin lama
makin aneh. Dewa sedang bosan? Apa-apaan itu?
Pak Moes melanjutkan
ceritanya, “Tapi supaya menarik, kami tidak boleh terlibat secara langsung.
Dewa menyarankan agar kami mengambil anak-anak manusia berbakat dan memberinya
kekuatan yang sesuai sifat atau hobi mereka.”
Niko memotongnya lagi,
“Lalu kenapa kekuatanku bisa menghilang? Maksudku, aku tidak punya hobi
menghilang.”
“Kurasa itu karena kau
punya sifat tertutup. Kekuatan itu cocok untukmu yang pemalu.”
Dibilang seperti itu,
Niko malah makin malu.
“Jadi, turnamen seperti
apa ini?” Giliran Ali yang bertanya.
“Ah ya, tidak terlalu
aneh kok. Kalian hanya akan saling bunuh dengan tim lain.”
Hening.
“Mmh, maaf,” kataku
memecah keheningan, “maksudnya...akan ada yang mati?”
Pak Moes mengangkat
bahu, seakan-akan itu masalah sepele, “Kami akan berusaha mungkin itu tidak
terjadi. Tapi buat jaga-jaga, sebaiknya kalian pamit pada orang yang kalian
sayang.”
Hening lagi.
“Tidak bisa seenaknya
begitu!” Niko yang pertama berteriak. “Kami tidak perlu mengikuti semua ini!
Aku punya tujuan hidup. Aku ingin masuk universitas. Kenapa aku harus ikut
dengan permainan gilamu?”
“Ya, aku setuju dengan
Niko. Walaupun punya kekuatan keren, tapi ini gila,” kata Ali.
Kemal dan Zico pun
terlihat tidak suka dengan Pak Moes sekarang. Aku tidak menyalahkan mereka.
Hidupku sudah cukup kacau sebelum Pak Moes datang dan ingin aku mati agar bisa
menyenangkan dewa.
“Aku tidak mau ikut
ini,” kataku tegas.
“Ya, ya! Kami tidak
punya kewajiban untuk ikut denganmu!” teriak Niko lagi.
Pak Moes tiba-tiba menggebrak
meja, menjatuhkan beberapa mangkok mie (yang sepertinya membuat Kemal sangat
sedih).
“Kalian tidak mengerti
situasinya. Ini bukan hanya tentang kalian, tapi juga tentang dunia kalian.”
“Ke..kenapa?” tanyaku.
Pak Moes terlihat
tenang kembali. “Turnamen ini bisa menjadi bencana bagi kerajaan dewa. Banyak
orang dalam istana yang sangat ingin mengambil tahta dewa. Dan mereka bukanlah
orang-orang yang baik. Mereka tidak suka manusia.”
“Kenapa??” tanyaku
lagi, sangat tidak kreatif.
“Menurut mereka,
manusia adalah perusak. Yah, aku lumayan setuju sih, tapi tetap saja itu bukan
alasan untuk memusuhi manusia biasa. Turnamen ini benar-benar saat yang tepat
untuk mereka. Dewa tidak boleh turun tangan langsung menghadapi manusia,
sehingga mereka bisa mengalahkan dewa dengan tim manusia yang mereka buat.
Contohnya adalah Kevin dan Gin Gin yang kalian lawan tadi.”
Kemal memotongnya, “Tapi
kenapa mereka menyerang kita?”
“Karena mereka tahu
pengawal dewa yang setia tidak akan membiarkan rencana mereka rusak. Aku adalah
salah satu dari pengawal itu. Tentu saja timku akan menjadi ancaman untuk mereka.”
Suasana hening lagi.
Terlalu banyak yang harus diproses. Ini semua terlalu tiba-tiba.
“Jadi...kami harus
ikut?” tanyaku.
“Ya.”
“Walaupun sebenarnya
aku takut?”
“Tidak apa-apa, itu
wajar. Tapi jika kalian bisa menggunakan kekuatan kalian dengan benar,
seharusnya tidak ada masalah. Kalian berlima adalah lima orang berbakat yang
bisa kupercaya.”
Mendengarnya bicara
seperti itu, aku jadi malu juga. Sebelumnya belum pernah aku merasa dibutuhkan
seperti ini. Bahkan kadang orang tidak mau dekat-dekat denganku, terutama
cewek.
Aku melihat
teman-temanku yang lain. Mereka sepertinya masih ragu.
“Jadi...bagaimana?”
kata Pak Moes menunggu.
“Aku ikut,” kataku,
membuat yang lain terkejut, “maksudku, toh kita tak punya pilihan lain. Aku
biasanya hanya mengamen. Jadi menyelamatkan dunia mungkin lebih baik.”
“Entahlah Frank, aku
tidak tahu,” sahut Zico sambil menggaruk-garuk kepala. “Kekuatanku memang keren
sih, tapi ini terlalu berbahaya.”
“Oh ya Zico, Tori juga
ikut turnamen ini,” kata Pak Moes tiba-tiba.
Zico langsung terdiam.
Aku tidak tahu Tori itu siapa, tapi sepertinya dia adalah orang penting untuk
Zico.
“Aku ikut!!” kata Zico,
kini tanpa ragu. Pak Moes melihat ke Kemal.
“Yah, aku akan mencoba
tidak mati. Aku ikut.”
“Kalau Kemal sudah
seyakin itu, aku juga ikut deh,” kata Ali.
Kini tinggal Niko.
Hanya dia yang sepertinya masih sangat ragu.
“Aku tidak mau mati,”
bisiknya.
“Akan kuusahakan untuk
menjagamu,” kata Pak Moes.
Dia masih terlihat
cemas. Lalu dia melihat ke arahku.
“Frank, mainkan lagu
yang penuh keberanian.”
Aku terkejut diminta
seperti itu, tapi aku mengangguk saja. Satu-satunya lagu yang kuingat tentang
keberanian adalah lagu nasional ‘Bagimu Negeri’.
Maka kumainkanlah lagu
itu. Beberapa saat kemudian, Niko sudah terlihat lebih berani. Bukan hanya itu,
yang lain juga sudah mulai menangis terharu.
“Aku ikut!!” teriak
Niko.
“Demi bangsa Indonesia,
kita harus menang! Uwooo!” Ali ikut-ikutan berteriak.
Dan malam itu kami
semua sepakat pergi bertaruh nyawa, sambil meneriakkan Indonesia berkali-kali.
Bersambung. . .
2 komentar:
chapter 4 kapan om?
bakal ada, aku harap bisa di akhir bulan ini :D
Posting Komentar