Kau tahu kau bosan jika kau melihat keluar jendela
saat pelajaran sedang berlangsung. Dan kau tahu kau mungkin gila ketika kau
merasa melihat orang bersepeda di langit.
“Ngg, Li?”
“Ya?” kata Ali yang sedang membaca koran di bangku
sebelah. Ya, dia bawa koran ke kelas.
“Mungkin gak sih ada orang yang bisa naik sepeda di
udara?”
Dia melihatku dengan bingung, “Kurasa kau hanya
lapar.”
Setelah dipikir-pikir, perutku memang keroncongan
sejak tadi. Ini sudah jam tiga dan kami belum makan siang karena waktu istirahat
yang dimanfaatkan untuk main. Kurasa kelaparan memang bisa bikin kau
mengkhayal. Tapi tetap saja, aku merasa aku tak sekedar salah lihat.
Renungan itu terbuyarkan oleh bunyi dering bel
kelas. Dering yang terdengar seperti suara malaikat bagiku.
“Yuk Bro, kita ke Pak Moes!” kataku pada Ali.
Pak Moes adalah warung mie yang terkenal di dekat
sekolahku. Kami berdua bisa dibilang pelanggan setia karena sering banget pergi
ke sana sampai-sampai kadang yang jualannya kasih kita diskon. Itu adalah bukti
tak terbantahkan bahwa sudah terjalin hubungan harmonis antara penjual dan
pembeli.
“Tunggu bentar Kem. Aku agak capek,” kata Ali.
Aku mengangkat alis, “Kenapa? Kau hanya duduk sambil
membaca koran dari tadi. Dan soal itu, kenapa kau membawa koran ke dalam kelas?”
“Aku tidak mau ketinggalan berita hari ini.
Pengetahuan itu penting tahu.”
“Kau bisa membacanya di internet kan?”
“Ckck, itulah anak muda jaman sekarang,” katanya
sambil berdiri, “semuanya serba internet.”
“Kurasa kau juga masih muda. Walaupun memang gayamu
memang seperti orang tua sih.”
Aku berkomentar seperti itu karena melihat Ali yang
memegang punggungnya ketika berdiri, mengingatkan pada kakek-kakek yang encok.
“Kenapa koran sekarang berat-berat ya?”
“Hah?”
“Aku serius. Gak terlalu sih, tapi lumayan bikin
tangan pegel.”
Kucoba mengangkat koran itu. Tidak terasa adanya
berat tambahan. Aku bisa menyimpulkan dua hal : Ali stress karena tidak
mengerti pelajaran tadi, atau dia sangat kelaparan.
Aku memutuskan pilihan kedua, “Ayo kita makan dulu
ke Pak Moes. Kurasa kita berdua sama-sama sangat lapar.”
Maka pergilah kami berdua ke warung tercinta, Pak
Moes. Di sana kami memesan mi goreng favorit kami. Sudah ada beberapa orang di
sana sebelum kami. Tapi hari ini ternyata lumayan sepi.
“Hei, apa kau tahu siapa itu Pak Moes?” tanya Ali
tiba-tiba saat kami sedang menyantap makanan.
“Apa?”
“Ya, pemilik nama warung ini. Apa jauh lebih hebat
dalam membuat mie goreng daripada semua karyawan di sini?”
Harus kuakui aku tidak pernah memikirkan itu
sebelumnya.
“Benar juga, berarti mie gorengnya enak banget dong
ya.”
“Aku ingin bertemu dengan Pak Moes ini,” kata Ali.
Aku mengangguk setuju. Jika namanya pantas untuk
warung seenak ini, berarti dia adalah legend dalam membuat mie goreng.
Saat itu kami tak tahu, kalau pertemuan itu akan
terjadi lebih cepat dengan cara yang mengejutkan.
Dan maksudku mengejutkan adalah aku menemukan dia
sedang bersantai di lemari kamarku saat aku hendak mengganti baju sebelum
tidur.
“AAHHHH!!!”
“WAAAAA!” Eh nih bapak-bapak malah ikut teriak.
“Siapa kau? Sedang apa di sini?” kataku setengah
takut setengah waspada. “Maling ya? Aku punya penggaris besi dan tak takut
untuk menggunakannya!”
“Tenanglah.” Suaranya berat seperti Morgan Freeman.
Kau tahulah, artis yang mempunyai suara berat keren itu. Hanya saja,
bapak-bapak ini mirip gelandangan yang kau temui di pinggir jalan, dengan badan
kerempeng dan muka penuh keriput.
“Kemal, kau sudah terpilih...” katanya.
“Hah? Apa maksudmu? Kau siapa??”
“Aku adalah,” dia memberi jeda untuk kesan dramatis,
“Pak Moes.”
Aku terdiam untuk sesaat. Benarkah ini? Diakah Pak
Moes yang mie gorengnya sangat melegenda hingga dipakai untuk nama warung
makan?
Dia terus melihatku, menunggu respon.
“Apa...apa yang Pak Moes lakukan di dalam lemariku?”
“Aah, itu pertanyaan bagus,” jawabnya. Dia berjalan
ke meja belajarku dan duduk di sana. “Aku menunggumu dari tadi. Tapi ketika kau
masuk, aku panik dan bersembunyi di dalam lemari.”
“Kenapa kau bersembunyi kalau kau menungguku?”
“Aku tidak berpikir panjang. Daripada itu, apakah
kau sudah siap menjadi salah satu yang terpilih?”
“Aku masih belum mengerti, apa maksudmu dengan
‘terpilih’ ini?”
Dia tersenyum, “Kau akan mengerti. Datanglah ke Pak
Moes tengah malam ini. Aku juga sudah mengatakan kepada empat orang lainnya.
Aku akan menjelaskan semuanya di sana.”
“Tapi,” aku melihat jam, “ini sudah jam satu.”
“Benarkah? Oh sial, aku terlambat.” Dia membuka
jendela kamarku, “Kemal, kita bertemu di sana ya!” Dan dia pun pergi begitu
saja dari jendela, persis seperti maling.
Diam-diam, aku keluar dari rumah. Aku tidak mau
membangunkan ibuku dan izin untuk pergi ke warung makan jam segini, bisa-bisa
dia akan memarahiku. Aku juga heran kenapa aku mau repot-repot mengikuti
perkataannya. Walaupun dia mengaku Pak Moes, dia bisa jadi siapa saja. Mungkin
saja dia penculik, dan sekarang sedang menungguku sambil tersenyum jahat.
Tapi aku merasakan semangat karena penasaran,
sesuatu yang lama tidak kurasakan. Hidupku cukup membosankan belakangan ini,
hanya bolak-balik sekolah dan rumah. Karena itu aku jika ada sesuatu yang bisa
membuatku penasaran lagi, itu pantas untuk di cek. Walaupun bisa saja semua
berakhir buruk dan besoknya aku sudah terikat di salah satu rumah kosong.
Jalanan sepi, yang wajar saja karena sudah malam.
Kukira aku tak akan bertemu siapapun. Tapi lalu dari belokan muncullah Ali.
“Ali!!” teriakku memanggilnya.
Dia juga terkejut melihatku, “Kem, ngapain kau
malam-malam gini?”
“Kau sendiri?”
“Kau tidak akan percaya apa yang akan kukatakan. Pak
Moes muncul di kamar mandiku dan dia meminta aku pergi ke warungnya sekarang.”
Aku membelalak kaget, “Aku juga sama! Yaah, dia
muncul di balik lemariku sih, tapi sisanya sama. Dia juga memintaku datang
malam ini.”
“Apa? Kapan itu terjadi?”
“Baru saja.”
“Itu tidak mungkin! Aku juga baru saja bertemu dia.”
Kami diam dalam kebingungan.
“Sebaiknya kita bergegas ke Pak Moes saja. Pasti
kita bisa tahu jawabannya di sana,” usulku. Ali mengangguk setuju.
Sampai di sana, ternyata sudah ada orang lain selain
kami. Dia sepertinya adalah pengamen, jadi kami tidak tahu pasti apa dia juga
dipanggil oleh Pak Moes atau kebetulan saja lewat. Dia sedang menyanyikan
sebuah lagu yang sepertinya tentang patah hati.
Petikan gitarnya mengalun indah dan tersengar sangat
merdu di telinga. Tapi sayangnya, suaranya tidak mendukung musik indah itu. Kau
tahu suara kambing ketika disembelih saat Idul Adha? Yah, ini sedikit lebih
jelek.
Anehnya, aku merasakan perasaanku sedikit tersentuh.
Ali bahkan terpana sampai-sampai jika tidak kutarik, aku merasa dia akan
menangis di tempat. Kami masuk ke Pak Moes dan mengambil tempat duduk di
sebelah pengamen tersebut.
“Hai,” kataku, “kami mengganggu?”
Dia berhenti main gitar dan melihat kami, “Tidak
tidak. Aku hanya sedang sedikit patah hati setelah ditolak cewek 49 kali
beruntun. Namaku Frank btw.”
Wow, informasi yang terlalu banyak, “Aku Kemal dan
ini Ali.” Ali melambai sambil senyum-senyum bodoh. “Jadi, apa kau juga
dipanggil oleh Pak Moes?”
Frank melihat kami dengan ketertarikan baru, “Kau
juga?”
“Ya! Jadi dia muncul di lemari atau kamar mandimu?”
“Hah? Tidak dua-duanya. Tadi aku mengamen untuk dia,
tapi dia belum bayar. Katanya pergilah ke warung Pak Moes supaya bisa dibayar
di sana.”
“Dan kapan ini terjadi?” tanya Ali.
“Baru saja. Mungkin setengah jam yang lalu.”
Ternyata benar. Orang yang mengaku Pak Moes ini
muncul di banyak tempat sekaligus. Apa orang yang kami temui berbeda?
Frank melanjutkan, “Aku suka sekali makan di Pak
Moes, dan ketika dia mengenalkan dirinya sebagai pemilik nama warung ini, aku
jelas penasaran.”
“Sama, aku juga,” kataku bersemangat. “Jadi, dimana
dia sekarang?”
“Di sini....”
Tiba-tiba dari balik bayangan dinding, muncullah Pak
Moes.
“Sudah berapa lama kau di sana?” tanya Ali sedikit
kaget.
“Cukup lama. Aku menunggu kalian menanyakanku
sehingga aku bisa muncul dengan keren.”
“Oke, kau sudah terlihat keren,” kataku tak sabar, “bisa
kau jelaskan sekarang kenapa kau mengumpulkan kami?”
“Kulihat masih kurang dua orang, tapi baiklah.
Sebelum itu, mari nikmati hidangannya.”
Aku awalnya tidak mengerti apa yang dia katakan,
tapi tiba-tiba saja aku tersadar kalau sudah ada tiga mie goreng di meja kami.
“Kau...bagaimana...”
“Tidak usah dipikirkan. Mari kita bicara sambil
makan, aku membuatnya spesial untuk kalian.”
Ternyata sesuai perkiraanku dan Ali, mie goreng
buatan Pak Moes yang asli sangat sangat sangat enak. Aku tidak tahu bagaimana
cara dia membuatnya, tapi aku mau saja membayar mahal untuk makanan seenak ini.
“Baiklah, aku akan mulai dari awal,” kata Pak Moes,
dia juga duduk untuk makan.
“Namaku adalah Moeskovic. Dan aku adalah utusan
dewa.”
“Moeskovic?” kata Ali, “Kau orang Rusia??”
Aku, walaupun juga terkagum dengan nama aslinya yang
jantan, lebih penasaran dengan hal lain. “Apa maksudmu dengan utusan dewa?”
“Yah begitulah, dewa mengutusku ke sini. Dan kalian
adalah orang yang kupilih untuk menyelamatkan dunia.”
Sulit menganggapnya serius karena dia membicarakan
soal menyelamatkan dunia sambil makan mie goreng.
“Aku tidak mengerti,” kata Frank.
“Kau akan segera mengerti. Aku akan jelaskan detailnya
nanti. Sekarang...” Dia berdiri dan mengambil koran dari dalam dapur. Dia lalu
memberikan koran itu pada Ali.
Ali mengambilnya dengan bingung, “Buat apa nih?
Koran lama juga.”
“Kau pernah bilang kalau koran kadang bisa berat
kan?”
Aku memang ingat Ali mengatakan itu tadi siang di
sekolah.
“Terus?”
“Nah, mie goreng yang kau makan tadi pasti sudah
mengaktifkan kekuatanmu. Frank, bisa minta bantuanmu sebentar.”
Dengan segan, Frank mendekat ke Pak Moes.
“Ali, tahan nafas dan pukul Frank dengan koran itu.
Tidak apa-apa kan Frank?”
“Cuma koran?” Frank sedikit menahan tawa, “Yah,
pukul saja sekerasmu.”
“Bener nih?” Ali mulai melipat korannya hingga
berbentuk pemukul.
“Ya, gunakan semua kekuatanmu. Aku santai aja.”
“Oke.”
Ali menahan nafas, dan memukulkan korannya ke muka
Frank. Bunyi pukulannya bergema keras dan Frank terlempar hingga menabrak
tembok. Tembok itu bahkan sampai sedikit retak. Aku menganga.
Ali sama terkejutnya denganku, “Wow! Untuk sesaat
koran ini jadi berat sekali!”
Pak Moes mengangguk, “Itulah kekuatanmu, mengubah
koran menjadi besi selama kau menahan nafas. Plus, kekuatanmu juga bertambah
jika kamu menggunakan kekuatanmu. Makanya Frank sampai terlempar,” katanya
sambil menunjuk Frank yang tidak bergerak.
“Wooowww,” Ali melihat korannya dengan pandangan
kagum, “lihat Kem, kekuatanku ini unik banget!”
“Sebenarnya, itu mirip banget sama kekuatan Sano
dari Law of Ueki.”
Tapi Ali tak mendengarkanku, dia sudah tenggelam dengan
kekagumannya atas kekuatan baru itu.
Aku melihat ke Frank yang masih tak bergerak, “Ngg,
apa dia tak apa-apa?”
“Tenang saja. Dia salah satu yang terpilih, badannya
cukup kuat. Nah berikutnya kau...” Dia menunjukku. Aku langsung bersemangat. “Setahuku
kekuatanmu adalah mewujudkan sesuatu dari tulisan. Coba tulis sesuatu.”
Pak Moes memberiku pulpen dan aku dengan cepat
menulis ‘Pedang Super Kuat’.
Tidak terjadi apa-apa.
“Mmh, mungkin kau salah?” tanyaku.
“Tidak, aku ingat dewa mengatakan sesuatu tentang
tulisan. Mungkin tulisanmu saja terlalu jelek,” kata Pak Moes. Dia juga
terlihat bingung. Memang sih, tulisanku memang mirip tulisan dokter.
“Masa sih? Pasti kau salah. Mungkin saja kekuatanku
itu lebih keren seperti mengendalikan api?”
“Aku yakin tidak. Tunggu, aku punya alat tulis lain,
mungkin kita bisa....”
Perkataannya terpotong oleh sebuah ledakan besar.
Kami terlempar keluar warung karena angin ledakan. Badanku nyeri di berbagai
tempat.
“Sial, mereka melacak kita...” kata Pak Moes.
“Siapa maksudmu? Mereka yang bikin ledakan itu?”
“Yah, mereka sama seperti kalian. Orang-orang
terpilih yang akan mengikuti turnamen.”
Aku ingin menanyakan apa yang dia maksud dengan
turnamen, tapi aku terhenti karena melihat dua sosok teroris yang meledakkan
warung itu.
Salah satu adalah laki-laki bertubuh pendek yang
langsung kuanggap bodoh. Kenapa? Karena dia memakai kacamata hitam waktu malam
gini. Yang satunya lagi seperti orang yang terlalu banyak memakai steroid
karena ototnya terlalu kekar.
“Jadi kalian...orang-orang dari Black Pegasus,” kata
Pak Moes. “Berani sekali kalian muncul di sini.”
“Maaf ya Moeskovic, Bos menyuruh kami melakukan
tindakan pencegahan dan menghabisi anak buahmu terlebih dahulu, bener kan Gin
Gin?”
“Begitulah Bro!!” kata orang berotot yang dipanggil
Gin Gin, terdengar terlalu bersemangat, “Kalian semua akan mati di sini!”
“Heh, ini kesempatan bagus untuk mengetes tim ini.”
Pak Moes melihat ke kami, “Dengar ya, si pendek itu namanya Kevin. Kekuatannya
adalah bisa meledakkan apa saja selama dia tidak melihat. Dialah yang patut
kalian waspadai, temannya hanya si bodoh berotot.”
“Siapa yang kau bilang bodoh, hah??” Gin Gin
memamerkan ototnya dan menggerak-gerakkan otot dadanya.
Pak Moes melanjutkan seakan-akan tidak ada yang
berbicara, “Kalian bisa memenangkan pertarungan ini. Tiga lawan dua.”
“Ngg Pak, sekedar informasi, hanya Ali yang bisa
menggunakan kekuatan di sini. Frank malah pingsan,” kataku.
Hening.
“KENAPA FRANK BISA PINGSAN??”
“KAN KAU YANG MENYURUH ALI MEMUKULNYA!!”
Lalu pijakan Pak Moes meledak, melempar Pak Moes ke
udara. Dia gosong dan terkapar di jalan.
“Meleset ya?” tanya Kevin.
“Ya, tinggal ke depan sedikit!!” seru Gin Gin.
Kevin mengulurkan tangannya, dan terjadi ledakan
lagi. Aku dengan susah payah menghindar.
“Ali, gunakan kekuatanmu untuk melawannya!”
teriakku, “Dia tidak bisa melihat selama memakai kekuatan itu. Ulur waktu
sebentar, aku akan mencoba membangunkan Frank dan Pak Moes!”
“Oke!!”
Awalnya gugup, Ali berlari ke Kevin sambil
menggulung korannya. Korannya mengeras menjadi besi.
Tapi pukulan korannya dihalangi dengan tangan kosong
oleh Gin Gin.
“Hehe, adu kekuatan itu keahlianku!!”
Dia memukul balik Ali dengan keras. Beruntung Ali
masih sempat menahannya dengan koran.
“Cepat Kem, orang ini kuat banget!!”
“Ya sebentar!!” Aku berlari ke arah Pak Moes
terkapar. “Bangun woi, utusan dewa kok lemah banget sih!” Tak ada tanggapan.
Aku mulai putus asa.
Lalu aku melihat di balik jasnya ada sebuah kertas
catatan dan sebuah pensil.
“Kem, si Kevin mau menyerang lagi!”
Aku melihat Kevin sudah mengangkat tangannya lagi.
Dengan panik, aku mengambil catatan dan pensil
itu kemudian menulis kata ‘perisai’. Lalu seperti sihir, kertas itu berubah
bentuk menjadi perisai yang cukup besar untuk melindungi semua badanku.
Ledakan bergemuruh di dekatku. Aku berhasil bertahan
dari angin ledakan.
“Kem!!” teriak Ali.
“Aku tidak apa-apa,” kataku keluar dari perisai.
Anehnya, perisai itu berubah lagi menjadi kertas yang kini seperti bekas
terbakar.
“Kau....darimana perisai itu?” Ali berlari
mendekatiku.
“Wah wah,” kata Kevin, “akhirnya kau mengetahui
kekuatanmu ya?”
Benarkah ini? Aku menulis kata ‘pedang’ di kertas,
dan kertas tersebut langsung berubah bentuk menjadi pedang panjang.
Aku tersenyum, kuayun-ayunkan pedang itu, “Oke Li,
saatnya kita lakukan serangan balasan.”
Bersambung. . .
Bersambung. . .
0 komentar:
Posting Komentar