Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

The Conjuring Legion Part 1 : Pak Moes


Kau tahu kau bosan jika kau melihat keluar jendela saat pelajaran sedang berlangsung. Dan kau tahu kau mungkin gila ketika kau merasa melihat orang bersepeda di langit.

“Ngg, Li?”

“Ya?” kata Ali yang sedang membaca koran di bangku sebelah. Ya, dia bawa koran ke kelas.

“Mungkin gak sih ada orang yang bisa naik sepeda di udara?”

Dia melihatku dengan bingung, “Kurasa kau hanya lapar.”

Setelah dipikir-pikir, perutku memang keroncongan sejak tadi. Ini sudah jam tiga dan kami belum makan siang karena waktu istirahat yang dimanfaatkan untuk main. Kurasa kelaparan memang bisa bikin kau mengkhayal. Tapi tetap saja, aku merasa aku tak sekedar salah lihat.

Renungan itu terbuyarkan oleh bunyi dering bel kelas. Dering yang terdengar seperti suara malaikat bagiku.

“Yuk Bro, kita ke Pak Moes!” kataku pada Ali.

Pak Moes adalah warung mie yang terkenal di dekat sekolahku. Kami berdua bisa dibilang pelanggan setia karena sering banget pergi ke sana sampai-sampai kadang yang jualannya kasih kita diskon. Itu adalah bukti tak terbantahkan bahwa sudah terjalin hubungan harmonis antara penjual dan pembeli.

“Tunggu bentar Kem. Aku agak capek,” kata Ali.

Aku mengangkat alis, “Kenapa? Kau hanya duduk sambil membaca koran dari tadi. Dan soal itu, kenapa kau membawa koran ke dalam kelas?”

“Aku tidak mau ketinggalan berita hari ini. Pengetahuan itu penting tahu.”

“Kau bisa membacanya di internet kan?”

“Ckck, itulah anak muda jaman sekarang,” katanya sambil berdiri, “semuanya serba internet.”

“Kurasa kau juga masih muda. Walaupun memang gayamu memang seperti orang tua sih.”

Aku berkomentar seperti itu karena melihat Ali yang memegang punggungnya ketika berdiri, mengingatkan pada kakek-kakek yang encok.

“Kenapa koran sekarang berat-berat ya?”

“Hah?”

“Aku serius. Gak terlalu sih, tapi lumayan bikin tangan pegel.”

Kucoba mengangkat koran itu. Tidak terasa adanya berat tambahan. Aku bisa menyimpulkan dua hal : Ali stress karena tidak mengerti pelajaran tadi, atau dia sangat kelaparan.

Aku memutuskan pilihan kedua, “Ayo kita makan dulu ke Pak Moes. Kurasa kita berdua sama-sama sangat lapar.”

Maka pergilah kami berdua ke warung tercinta, Pak Moes. Di sana kami memesan mi goreng favorit kami. Sudah ada beberapa orang di sana sebelum kami. Tapi hari ini ternyata lumayan sepi.

“Hei, apa kau tahu siapa itu Pak Moes?” tanya Ali tiba-tiba saat kami sedang menyantap makanan.

“Apa?”

“Ya, pemilik nama warung ini. Apa jauh lebih hebat dalam membuat mie goreng daripada semua karyawan di sini?”

Harus kuakui aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya.

“Benar juga, berarti mie gorengnya enak banget dong ya.”

“Aku ingin bertemu dengan Pak Moes ini,” kata Ali.

Aku mengangguk setuju. Jika namanya pantas untuk warung seenak ini, berarti dia adalah legend dalam membuat mie goreng.

Saat itu kami tak tahu, kalau pertemuan itu akan terjadi lebih cepat dengan cara yang mengejutkan.





Dan maksudku mengejutkan adalah aku menemukan dia sedang bersantai di lemari kamarku saat aku hendak mengganti baju sebelum tidur.

“AAHHHH!!!”

“WAAAAA!” Eh nih bapak-bapak malah ikut teriak.

“Siapa kau? Sedang apa di sini?” kataku setengah takut setengah waspada. “Maling ya? Aku punya penggaris besi dan tak takut untuk menggunakannya!”

“Tenanglah.” Suaranya berat seperti Morgan Freeman. Kau tahulah, artis yang mempunyai suara berat keren itu. Hanya saja, bapak-bapak ini mirip gelandangan yang kau temui di pinggir jalan, dengan badan kerempeng dan muka penuh keriput.

“Kemal, kau sudah terpilih...” katanya.

“Hah? Apa maksudmu? Kau siapa??”

“Aku adalah,” dia memberi jeda untuk kesan dramatis, “Pak Moes.”

Aku terdiam untuk sesaat. Benarkah ini? Diakah Pak Moes yang mie gorengnya sangat melegenda hingga dipakai untuk nama warung makan?

Dia terus melihatku, menunggu respon.

“Apa...apa yang Pak Moes lakukan di dalam lemariku?”

“Aah, itu pertanyaan bagus,” jawabnya. Dia berjalan ke meja belajarku dan duduk di sana. “Aku menunggumu dari tadi. Tapi ketika kau masuk, aku panik dan bersembunyi di dalam lemari.”

“Kenapa kau bersembunyi kalau kau menungguku?”

“Aku tidak berpikir panjang. Daripada itu, apakah kau sudah siap menjadi salah satu yang terpilih?”
“Aku masih belum mengerti, apa maksudmu dengan ‘terpilih’ ini?”

Dia tersenyum, “Kau akan mengerti. Datanglah ke Pak Moes tengah malam ini. Aku juga sudah mengatakan kepada empat orang lainnya. Aku akan menjelaskan semuanya di sana.”

“Tapi,” aku melihat jam, “ini sudah jam satu.”

“Benarkah? Oh sial, aku terlambat.” Dia membuka jendela kamarku, “Kemal, kita bertemu di sana ya!” Dan dia pun pergi begitu saja dari jendela, persis seperti maling.




Diam-diam, aku keluar dari rumah. Aku tidak mau membangunkan ibuku dan izin untuk pergi ke warung makan jam segini, bisa-bisa dia akan memarahiku. Aku juga heran kenapa aku mau repot-repot mengikuti perkataannya. Walaupun dia mengaku Pak Moes, dia bisa jadi siapa saja. Mungkin saja dia penculik, dan sekarang sedang menungguku sambil tersenyum jahat.

Tapi aku merasakan semangat karena penasaran, sesuatu yang lama tidak kurasakan. Hidupku cukup membosankan belakangan ini, hanya bolak-balik sekolah dan rumah. Karena itu aku jika ada sesuatu yang bisa membuatku penasaran lagi, itu pantas untuk di cek. Walaupun bisa saja semua berakhir buruk dan besoknya aku sudah terikat di salah satu rumah kosong.

Jalanan sepi, yang wajar saja karena sudah malam. Kukira aku tak akan bertemu siapapun. Tapi lalu dari belokan muncullah Ali.

“Ali!!” teriakku memanggilnya.

Dia juga terkejut melihatku, “Kem, ngapain kau malam-malam gini?”

“Kau sendiri?”

“Kau tidak akan percaya apa yang akan kukatakan. Pak Moes muncul di kamar mandiku dan dia meminta aku pergi ke warungnya sekarang.”

Aku membelalak kaget, “Aku juga sama! Yaah, dia muncul di balik lemariku sih, tapi sisanya sama. Dia juga memintaku datang malam ini.”

“Apa? Kapan itu terjadi?”

“Baru saja.”

“Itu tidak mungkin! Aku juga baru saja bertemu dia.”

Kami diam dalam kebingungan.

“Sebaiknya kita bergegas ke Pak Moes saja. Pasti kita bisa tahu jawabannya di sana,” usulku. Ali mengangguk setuju.

Sampai di sana, ternyata sudah ada orang lain selain kami. Dia sepertinya adalah pengamen, jadi kami tidak tahu pasti apa dia juga dipanggil oleh Pak Moes atau kebetulan saja lewat. Dia sedang menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya tentang patah hati.

Petikan gitarnya mengalun indah dan tersengar sangat merdu di telinga. Tapi sayangnya, suaranya tidak mendukung musik indah itu. Kau tahu suara kambing ketika disembelih saat Idul Adha? Yah, ini sedikit lebih jelek.

Anehnya, aku merasakan perasaanku sedikit tersentuh. Ali bahkan terpana sampai-sampai jika tidak kutarik, aku merasa dia akan menangis di tempat. Kami masuk ke Pak Moes dan mengambil tempat duduk di sebelah pengamen tersebut.

“Hai,” kataku, “kami mengganggu?”

Dia berhenti main gitar dan melihat kami, “Tidak tidak. Aku hanya sedang sedikit patah hati setelah ditolak cewek 49 kali beruntun. Namaku Frank btw.”

Wow, informasi yang terlalu banyak, “Aku Kemal dan ini Ali.” Ali melambai sambil senyum-senyum bodoh. “Jadi, apa kau juga dipanggil oleh Pak Moes?”

Frank melihat kami dengan ketertarikan baru, “Kau juga?”

“Ya! Jadi dia muncul di lemari atau kamar mandimu?”

“Hah? Tidak dua-duanya. Tadi aku mengamen untuk dia, tapi dia belum bayar. Katanya pergilah ke warung Pak Moes supaya bisa dibayar di sana.”

“Dan kapan ini terjadi?” tanya Ali.

“Baru saja. Mungkin setengah jam yang lalu.”

Ternyata benar. Orang yang mengaku Pak Moes ini muncul di banyak tempat sekaligus. Apa orang yang kami temui berbeda?

Frank melanjutkan, “Aku suka sekali makan di Pak Moes, dan ketika dia mengenalkan dirinya sebagai pemilik nama warung ini, aku jelas penasaran.”

“Sama, aku juga,” kataku bersemangat. “Jadi, dimana dia sekarang?”

“Di sini....”

Tiba-tiba dari balik bayangan dinding, muncullah Pak Moes.

“Sudah berapa lama kau di sana?” tanya Ali sedikit kaget.

“Cukup lama. Aku menunggu kalian menanyakanku sehingga aku bisa muncul dengan keren.”

“Oke, kau sudah terlihat keren,” kataku tak sabar, “bisa kau jelaskan sekarang kenapa kau mengumpulkan kami?”

“Kulihat masih kurang dua orang, tapi baiklah. Sebelum itu, mari nikmati hidangannya.”

Aku awalnya tidak mengerti apa yang dia katakan, tapi tiba-tiba saja aku tersadar kalau sudah ada tiga mie goreng di meja kami.

“Kau...bagaimana...”

“Tidak usah dipikirkan. Mari kita bicara sambil makan, aku membuatnya spesial untuk kalian.”

Ternyata sesuai perkiraanku dan Ali, mie goreng buatan Pak Moes yang asli sangat sangat sangat enak. Aku tidak tahu bagaimana cara dia membuatnya, tapi aku mau saja membayar mahal untuk makanan seenak ini.

“Baiklah, aku akan mulai dari awal,” kata Pak Moes, dia juga duduk untuk makan.

“Namaku adalah Moeskovic. Dan aku adalah utusan dewa.”

“Moeskovic?” kata Ali, “Kau orang Rusia??”

Aku, walaupun juga terkagum dengan nama aslinya yang jantan, lebih penasaran dengan hal lain. “Apa maksudmu dengan utusan dewa?”

“Yah begitulah, dewa mengutusku ke sini. Dan kalian adalah orang yang kupilih untuk menyelamatkan dunia.”

Sulit menganggapnya serius karena dia membicarakan soal menyelamatkan dunia sambil makan mie goreng.

“Aku tidak mengerti,” kata Frank.

“Kau akan segera mengerti. Aku akan jelaskan detailnya nanti. Sekarang...” Dia berdiri dan mengambil koran dari dalam dapur. Dia lalu memberikan koran itu pada Ali.

Ali mengambilnya dengan bingung, “Buat apa nih? Koran lama juga.”

“Kau pernah bilang kalau koran kadang bisa berat kan?”

Aku memang ingat Ali mengatakan itu tadi siang di sekolah.

“Terus?”

“Nah, mie goreng yang kau makan tadi pasti sudah mengaktifkan kekuatanmu. Frank, bisa minta bantuanmu sebentar.”

Dengan segan, Frank mendekat ke Pak Moes.

“Ali, tahan nafas dan pukul Frank dengan koran itu. Tidak apa-apa kan Frank?”

“Cuma koran?” Frank sedikit menahan tawa, “Yah, pukul saja sekerasmu.”

“Bener nih?” Ali mulai melipat korannya hingga berbentuk pemukul.

“Ya, gunakan semua kekuatanmu. Aku santai aja.”

“Oke.”

Ali menahan nafas, dan memukulkan korannya ke muka Frank. Bunyi pukulannya bergema keras dan Frank terlempar hingga menabrak tembok. Tembok itu bahkan sampai sedikit retak. Aku menganga.

Ali sama terkejutnya denganku, “Wow! Untuk sesaat koran ini jadi berat sekali!”

Pak Moes mengangguk, “Itulah kekuatanmu, mengubah koran menjadi besi selama kau menahan nafas. Plus, kekuatanmu juga bertambah jika kamu menggunakan kekuatanmu. Makanya Frank sampai terlempar,” katanya sambil menunjuk Frank yang tidak bergerak.

“Wooowww,” Ali melihat korannya dengan pandangan kagum, “lihat Kem, kekuatanku ini unik banget!”

“Sebenarnya, itu mirip banget sama kekuatan Sano dari Law of Ueki.”

Tapi Ali tak mendengarkanku, dia sudah tenggelam dengan kekagumannya atas kekuatan baru itu.

Aku melihat ke Frank yang masih tak bergerak, “Ngg, apa dia tak apa-apa?”

“Tenang saja. Dia salah satu yang terpilih, badannya cukup kuat. Nah berikutnya kau...” Dia menunjukku. Aku langsung bersemangat. “Setahuku kekuatanmu adalah mewujudkan sesuatu dari tulisan. Coba tulis sesuatu.”

Pak Moes memberiku pulpen dan aku dengan cepat menulis ‘Pedang Super Kuat’.

Tidak terjadi apa-apa.

“Mmh, mungkin kau salah?” tanyaku.

“Tidak, aku ingat dewa mengatakan sesuatu tentang tulisan. Mungkin tulisanmu saja terlalu jelek,” kata Pak Moes. Dia juga terlihat bingung. Memang sih, tulisanku memang mirip tulisan dokter.

“Masa sih? Pasti kau salah. Mungkin saja kekuatanku itu lebih keren seperti mengendalikan api?”

“Aku yakin tidak. Tunggu, aku punya alat tulis lain, mungkin kita bisa....”

Perkataannya terpotong oleh sebuah ledakan besar. Kami terlempar keluar warung karena angin ledakan. Badanku nyeri di berbagai tempat.

“Sial, mereka melacak kita...” kata Pak Moes.

“Siapa maksudmu? Mereka yang bikin ledakan itu?”

“Yah, mereka sama seperti kalian. Orang-orang terpilih yang akan mengikuti turnamen.”

Aku ingin menanyakan apa yang dia maksud dengan turnamen, tapi aku terhenti karena melihat dua sosok teroris yang meledakkan warung itu.

Salah satu adalah laki-laki bertubuh pendek yang langsung kuanggap bodoh. Kenapa? Karena dia memakai kacamata hitam waktu malam gini. Yang satunya lagi seperti orang yang terlalu banyak memakai steroid karena ototnya terlalu kekar.

“Jadi kalian...orang-orang dari Black Pegasus,” kata Pak Moes. “Berani sekali kalian muncul di sini.”

“Maaf ya Moeskovic, Bos menyuruh kami melakukan tindakan pencegahan dan menghabisi anak buahmu terlebih dahulu, bener kan Gin Gin?”

“Begitulah Bro!!” kata orang berotot yang dipanggil Gin Gin, terdengar terlalu bersemangat, “Kalian semua akan mati di sini!”

“Heh, ini kesempatan bagus untuk mengetes tim ini.” Pak Moes melihat ke kami, “Dengar ya, si pendek itu namanya Kevin. Kekuatannya adalah bisa meledakkan apa saja selama dia tidak melihat. Dialah yang patut kalian waspadai, temannya hanya si bodoh berotot.”

“Siapa yang kau bilang bodoh, hah??” Gin Gin memamerkan ototnya dan menggerak-gerakkan otot dadanya.

Pak Moes melanjutkan seakan-akan tidak ada yang berbicara, “Kalian bisa memenangkan pertarungan ini. Tiga lawan dua.”

“Ngg Pak, sekedar informasi, hanya Ali yang bisa menggunakan kekuatan di sini. Frank malah pingsan,” kataku.

Hening.

“KENAPA FRANK BISA PINGSAN??”

“KAN KAU YANG MENYURUH ALI MEMUKULNYA!!”

Lalu pijakan Pak Moes meledak, melempar Pak Moes ke udara. Dia gosong dan terkapar di jalan.

“Meleset ya?” tanya Kevin.

“Ya, tinggal ke depan sedikit!!” seru Gin Gin.

Kevin mengulurkan tangannya, dan terjadi ledakan lagi. Aku dengan susah payah menghindar.

“Ali, gunakan kekuatanmu untuk melawannya!” teriakku, “Dia tidak bisa melihat selama memakai kekuatan itu. Ulur waktu sebentar, aku akan mencoba membangunkan Frank dan Pak Moes!”

“Oke!!”

Awalnya gugup, Ali berlari ke Kevin sambil menggulung korannya. Korannya mengeras menjadi besi.

Tapi pukulan korannya dihalangi dengan tangan kosong oleh Gin Gin.
“Hehe, adu kekuatan itu keahlianku!!”

Dia memukul balik Ali dengan keras. Beruntung Ali masih sempat menahannya dengan koran.
“Cepat Kem, orang ini kuat banget!!”

“Ya sebentar!!” Aku berlari ke arah Pak Moes terkapar. “Bangun woi, utusan dewa kok lemah banget sih!” Tak ada tanggapan. Aku mulai putus asa.

Lalu aku melihat di balik jasnya ada sebuah kertas catatan dan sebuah pensil.

“Kem, si Kevin mau menyerang lagi!”

Aku melihat Kevin sudah mengangkat tangannya lagi. Dengan panik, aku mengambil catatan  dan pensil itu kemudian menulis kata ‘perisai’. Lalu seperti sihir, kertas itu berubah bentuk menjadi perisai yang cukup besar untuk melindungi semua badanku.

Ledakan bergemuruh di dekatku. Aku berhasil bertahan dari angin ledakan.
“Kem!!” teriak Ali.

“Aku tidak apa-apa,” kataku keluar dari perisai. Anehnya, perisai itu berubah lagi menjadi kertas yang kini seperti bekas terbakar.

“Kau....darimana perisai itu?” Ali berlari mendekatiku.

“Wah wah,” kata Kevin, “akhirnya kau mengetahui kekuatanmu ya?”

Benarkah ini? Aku menulis kata ‘pedang’ di kertas, dan kertas tersebut langsung berubah bentuk menjadi pedang panjang.


Aku tersenyum, kuayun-ayunkan pedang itu, “Oke Li, saatnya kita lakukan serangan balasan.”



Bersambung. . .

0 komentar:

Posting Komentar