Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Pacar Selingkuh


Aku sudah mulai curiga ketika pacarku, Riri, mulai membicarakan cowok itu terus menerus. Karena beda kampus, aku tidak tahu bagaimana tampang si Alvin ini, tapi Riri menceritakannya dia dengan rasa kagum yang sangat besar.
"Tapi tenang saja, aku setia sama kamu kok," katanya. Sepertinya dia sadar kalau aku cemburu.
"Yah oke, aku percaya kok padamu," kataku saat itu.
Kepercayaanku mulai runtuh ketika pada suatu hari dia tidak mengabariku sama sekali. Aku, yang entah kenapa gampang berpikir negatif, langsung memikirkan hal-hal yang aneh. Mungkin dia kecelakaan. Atau mungkin dia diculik alien saat pulang kampus. Aku bolak-balik coba menghubungi dia, tapi tak ada jawaban.
Dia baru menghubungi lagi sekitar tengah malam. Saat itu aku sudah siap menghubungi Presiden dan memanggil anggota SWAT untuk mencari Riri. Maka kau mengertilah bagaimana leganya ketika aku mendengar suaranya. Aku langsung bertanya apa saja yang dia lakukan. Tapi berbeda denganku yang antusias, dia terlihat seperti capek dan malas bicara.
"Kamu kemana aja?" tanyaku.
"Banyaklah. Aku kan sibuuukk..."
"Pergi sama siapa aja? Kok gak ngabarin?"
"Sama temen. Sibuk, gak sempet balas telponmu. Udah ya, aku capek...."
Awalnya aku terima saja alasan itu. Aku sudah cukup senang dia tak apa-apa. Lalu besoknya, tepatnya ketika sedang di kelas, sebuah pemikiran menghantamku dengan sangat keras.
"Dia pergi sama Alvin!!!"
Seluruh orang di kelas melihatku. Aku sendiri baru sadar kalau aku bukan hanya memikirkannya, tapi juga mengatakannya keras-keras. Baru kali itulah dosen melihatku dengan tatapan kasihan.
Setelah itu aku langsung menelponnya dan menanyakan pikiran itu. 
"Yaah, aku memang pergi dia.." jawabnya.
"Kenapa kamu gak bilang??"
"Cuma jalan-jalan antar temen kok. Gak perlu khawatir. Masa aku harus lapor tiap pergi sama temen."
Masuk akal sih, tapi aku merasa Alvin ini tidak sekedar 'biasa'. Hanya saja aku tak mau menekannya, apalagi aku sadar kalau aku biasanya berpikir berlebihan.
“Oke, oke, tapi lain kali kasih tau kamu dimana dong.”
“Yaa sayaaang,” katanya manja, menghilangkan semua marahku. San sejak itu, hubungan kami mulai normal lagi.
Atau begitulah yang kupikir. Kira-kira seminggu kemudian, sesuatu yang mengerikan iu terjadi.
“Kurasa kita harus putus. Maaf, tapi aku perlu waktu untuk sendiri,” katanya di telepon.
Tentu saja aku protes, “Apa? Kenapa? Kalau kamu mau waktu sendiri, aku bisa kok!”
“Tidak, maaf, kamu terlalu baik untukku....”
Saat itu, aku sudah sadar kalau semua berakhir. Jika sampai pasanganmu bilang ‘kamu terlalu baik’, padahal kamu tau kamu gak baik-baik amat, maka itu sudah jelas dia cuma cari alasan dan dia bener-bener gak mau capek-capek mikirin kamu lagi.
Aku hanya diam, mencoba kalem, padahal dalam hati udah meraung-raung.
“Ooh, kamu yakin?” (Dalam hati : seriusaaaan niiihhh???? Huweeee!!!)
“Ya, maaf ya. Tapi kita bisa tetep temenan kok.”
“Haha, ya. Kita tetep temen ya.” (Dalam hati : temenaaan apaaan?? Aku maunya pacaran, pacaaraaaannn, huweeee!!)
“Udah dulu ya. Aku ada urusan.”
“Oke.” (Dalam hati : jangaan pergiii dong. Aku masiiihhh sayaaang bangeeet. Huweee!!)
Dia lalu menutup telpon, meninggalkanku yang dengan susah payah menahan tangis.
Malamnya aku jadi sangat lesu. Aku di kamar terus menerus sampai-sampai ibuku sulit memintaku untuk makan.
“Kemal! Makan sayurnya juga dong,  jangan nambah ayam goreng terus!” bentak ibuku.
“Ibu tidak mengerti!! Aku kan lagi galau!” balasku sambil tetap mencomot ayam goreng. Aku lalu meninggalkan meja makan dengan marah, “Aku gak mau makan lagi!!”
“Baguslah, udah nambah tiga piring juga.”
Setelah semalaman penuh kesedihan, aku memutuskan untuk menceritakan pada teman baikku, Frank, yang berkunjung keesokan harinya. Ternyata dia sudah tahu sedikit masalahnya sehingga aku tinggal menceritakan detailnya.
“Sudah, sudah...” Frank coba menenangkanku.
“Tapi Frank, sakitnya tuh di sini!” Aku menunjuk badanku.
“Di....jantungmu?”
“Maksudku di hatiku!”
“Tapi kau menunjuk jantungmu...”
“Kau tahulah maksudku.”
Aku menangis tertahan lagi, “Aku tak percaya dia melakukan ini padaku. Aku sangat kesepian sekarang.”
“Kem,” Frank menaruh tangannya di bahuku, “pintu rumahku selalu terbuka kok.”
“Karena itulah aku tak mau ke rumahmu. Maling terlalu gampang masuk.”
Frank cemberut, tapi tidak protes juga.
“Aku yakin dia udah ada rasa sama si Alvin ini sejak awal,” kataku sedikit terisak.
Frank tampak berpikir. Dia lalu bertanya padaku, “Apa kau tahu bagaimana muka si Alvin ini?”
“Gak juga sih.”
“Coba cari di facebook.”
Benar juga, kenapa aku gak berpikir seperti itu sebelumnya. Dengan mudah aku menemukan profilnya di facebook. Yang perlu kulakukan hanyalah mencari nama Alvin di list friend profil milik mantanku.
“Ini dia nih. Padahal gak ganteng-ganteng amat ya kan,” kataku.
“Nah, kau tahu apa yang harus kita lakukan kan?”
“Eh, apa?”
Frank tersenyum jahat, “Kita sergap dia di tengah jalan, lalu pukuli sampai pingsan!”
“Wow hei hei,” kataku kaget, “kurasa kau berlebihan.”
“Oh lihat, aku secara tak sengaja membawa dua pemukul baseball.” Dia mengeluarkan pemukul itu entah dari mana.
“Kau tidak sengaja membawa itu? Kau gi...”
“Ssstt, dengar dulu rencanaku. Lihat, aku sudah membuat persentasi untuk rencana penyerangan kita.”
Frank lalu mengeluarkan laptop dan membuka ppt berjudul ‘Rencana Penyerangan’. Di sana dijelaskan semua dari tahap ke tahap bagaimana kami sebaiknya menjalankan proses penyerangan ke Alvin ini.
“Kau gila...” kataku setelah slide terakhir yang memperlihatkan gambar Hello Kitty dengan tulisan ‘Terima Kasih’.
“Memangnya kau tidak marah padanya yang sudah merebut pacarmu?”
“Ya emang sih, tapi kan...”
“Oke, kalau begitu kita sepakat. Ayo!”
Frank menarikku ke mobilnya tanpa mendengar keluhanku. Kami lalu bergerak menuju kampus mantanku. Aku setengah berharap kalau kami tidak bertemu dengan Alvin. Memang sih godaan untuk menghajarnya cukup besar, tapi entahlah, aku bukanlah orang yang biasa melakukan kekerasan.
Sesuai perkiraanku, banyak mahasiswa yang berkeliaran di kampus itu. Susah untuk menemukan Alvin.
“Sudah kita menyerah saja,” kataku, “tak mungkin kita bisa menemukan dia di kerumunan i...”
“Itu dia!!” Frank menunjuk ke salah satu orang. Dan dia benar, itu Alvin yang kulihat di foto. Bagaimana dia bisa menemukannya, aku tak tahu.
“Bagus, dia sepertinya mau pulang. Kita ikuti dia pelan-pelan.”
Aku mulai curiga kalau Frank menikmati menjadi orang jahat, “Kau yakin?”
“Ya, pakai ini.”
Dia memberiku sebuah stocking.
“Pakai itu di kepalamu,” katanya.
“Kau membuat kita seperti perampok bank tahu.”
“Mungkin kita bisa merampok bank setelah ini. Kan udah sekalian jadi kriminal juga.”
“Oke, itu terakhir kali aku curhat kepadamu.” Tapi kupakai juga stocking itu di kepalaku. Aku benar-benar merasa bodoh.
Kami mengikuti Alvin dengan mobil, sebisa mungkin menjaga jarak dan mencari kesempatan di saat sepi.
“Aku mulai merasa ini bukan ide yang bagus,” kataku ragu.
“Oke, sekarang saatnya!!”
“Kau dengar gak sih apa yang kubilang??”
Frank keluar dari mobil sebelum bisa kucegah. Dia menghadang Alvin dari depan, sementara aku (menurut rencana di ppt tadi) akan mengepungnya dari belakang.
Alvin mulai curiga ketika melihat Frank yang memakai stocking di kepala mendekatinya dengan perlahan. Lalu ketika dia berbalik, dia kaget ketika melihatku. Rencana kami berhasil.
“Ma...mau apa kalian? Jangan mende....eh....”
Karena paniknya, secara tak sengaja kakinya terpeleset. Dia terjatuh dengan kepala menghantam lantai. Dia tak bergerak. Kami hanya bisa melihat semua kejadian itu dan kini tak yakin harus berbuat apa.
“Apa dia mati?” tanya Frank memecah keheningan.
Aku dengan panik mengecek nafasnya, “Masih ada!!”
“Sial,” komentar Frank, “berarti dia pingsan duluan sebelum kita pukul.”
“Bukan itu masalahnya! Sekarang harus apa yang kita lakukan?”
Frank melihatku dengan gaya tersinggung, “Kau gak ingat persentasiku tadi?”
“Aku...sudahlah, apa rencananya?”
“Kita tinggalkan dia di rumah mantanmu, jadi terlihat kalau dialah yang melakukan kejahatan ini.”
Dalam hati, aku berpikir kalau Frank terlalu banyak cerita Conan, tapi kami masukkan juga dia ke mobil lalu kami berkendara ke rumah Riri.
“Sip, suasananya lagi aman,” kata Frank sambil melihat sekeliling. “ Ayo kita keluarkan dia.”
Kami menyeret Alvin dengan perlahan ke halaman rumah. Aku sangat takut jika tiba-tiba seseorang keluar dari rumah dan memergoki kami. Jaman sekarang jika kita ketahuan melakukan sesuatu yang salah, bukan hanya polisi yang harus kita hadapi, tapi juga hinaan dan hujatan dari teman-teman di sosial media. Aku tak mau itu terjadi.
Kami berhasil membawa Alvin cukup dengan rumah. Malah saking dekatnya, aku bisa mendengar suara Riri yang sedang berbicara pada ibunya.
“Aneh deh Bu, si Alvin gak jawab telponku melulu,” kata Riri.
Kata-kata itu membuatku panas dingin. Dingin karena takut perbuatan kami sudah ketahuan dan panas karena Riri membicarakan Alvin.
“Memangnya kalian mau ngapain?” tanya seseorang yang kurasa adalah ibunya.
“Aku kan udah bilang, mau beli hadiah buat Kemal yang ulang tahun hari ini. Aku udah sengaja pura-pura putus kemarin supaya bisa kagetin Kemal malam ini. Katanya Alvin mau temenin aku, tapi dia kemana ya?”
Aku menganga. Jadi ini semua hanya untuk kejutan nanti malam. Aku bahkan tak ingat kalau aku hari ini ulang tahun karena sedih diputusin.
Kulihat Frank sama terkejutnya denganku.
“Selamat ulang tahun bro,” bisiknya.
“Kubunuh kau nanti. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
“Aku tak tahu. Kita pergi saja.”
“Aku mendengar sesuatu di luar,” kata Riri.
“Oh sial,” aku makin panik, “cepat, tirukan suara binatang!”
“Eh, eh, mbeeeekkkk.”
“Kenapa suara kambing???”
“Hanya itu yang terpikirkan olehku,” balas Frank dengan kesal.
“Oh cuma kambing,” kata Riri. Aku takjub rencana itu berhasil. Sebelum terjadi sesuatu lagi, kami berdua kabur ke mobil.
Untunglah kami tidak ketahuan. Riri banyak bercerita soal kekagetannya menemui Alvin pingsan di halaman rumahnya lewat sosial media, tapi sepertinya dia mengira Alvin terpeleset saat hendak menemuinya. Hebatnya, Alvin pun sepertinya tidak ingat apa yang terjadi padanya.
Dan malamnya, sesuai perkiraan, Riri dan teman-temanku yang lain mengadakan pesta kejutan di rumahku. Aku harus bersandiwara dengan pura-pura terkejut dan menangis bahagia agar teman-temanku senang. Bagian bahagia tidak terlalu susah karena aku memang sangat bahagia sekarang.
“Aku sayang kamu deh,” kataku sambil memeluk Riri.
Tapi Riri tiba-tiba melepas pelukanku.
“Eh, kenapa?” tanyaku cemas.
“Itu buat apa?” Dia menunjuk ke sebuah benda di atas tempat tidurku. Stocking yang dipinjami Frank tergeletak manja di situ.
Ini akan sulit untuk dijelaskan.

0 komentar:

Posting Komentar