Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kami Diselamatkan Ninja Dan Satpam (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 12)


baca part sebelumnya disini.

Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Ali sungguhlah bodoh, “Niko? Niko yang itu?” Aku menyuruhnya diam dengan canggung, tapi terlambat. Farandi sudah curiga duluan.

“Tunggu? Kalian juga kenal dia?” tanyanya.

Rere melihatku, jelas sekali dia ingin aku yang menjelaskan semua. “Yaa....kami sempat bertemu dengannya..kira-kira...”

“Kira-kira? Dimana dia sekarang?”

Tak ada yang menjawab. Farandi melihat kami tidak percaya. Dia sepertinya sudah tahu jawabannya dari diamnya kami, tapi tetap meminta kami mengatakannya langsung.

Akhirnya Rere yang menjawab, “Dia tidak selamat dari zombie. Maaf.”

Farandi tertunduk lesu. Aku bersyukur Rere tidak bilang kalau akulah orang yang mendorongnya ke kumpulan zombie. Aku memang punya alasan kuat untuk melakukan itu, mengingat dia hampir membunuhku juga, tapi cerita itu pasti akan membuat Farandi marah.

Suasana hening lagi. Keadaan tidak enak itu dipecahkan oleh suara gedoran di pintu. Zombie akhirnya naik kesini.

“Nanti lagi ceritanya. Kita pergi dulu dari sini,” kataku.

“Tapi bagaimana?” tanya Medina, “Tidak ada jalan turun.”

Kami kembali lagi ke masalah utama, mencari cara pergi dari gedung ini. Bisa-bisa atap ini menjadi perangkap kematian kalau kami tak segera menemukan solusi. Gedoran yang makin keras tidak membantu memecahkan masalah.

“Turun lewat tangga saja!” kata Farandi tiba-tiba.

“Tidak bisa, Ali masih memakai kursi roda.” Rere tidak setuju.

“Masa bodo dengan dia. Aku memikirkan keselamatan diriku sendiri!”

Kata-katanya membuatku kesal, “Kami tidak akan meninggalkan siapa-siapa disini. Kalau mau pergi, pergi saja.”

“Oke,” katanya menantang. “Berikan aku senjata dan aku akan pergi.”

Aku melihat ke Ali untuk meminta pendapat, tapi dia hanya mengangkat bahu. Aku mengeluarkan satu pistol kecil.

“Jika kuberikan ini, kau janji tidak akan menembak kami?”

“Tidak ada untungnya untukku.” Farandi mendengus marah.

Aku percaya padanya. Kuberikan senjata itu, dan saat itu juga dia langsung berlari ke tangga, meninggalkan kami.

Rere terlihat bersalah, “Aku tak mengira anak itu masih bertahan hidup selama ini. Niko memang sempat mengatakan ingin mencarinya setelah semua ini terjadi.”

“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.

“Yah, kami bertemu kalian.”

Oke, sekarang akulah yang merasa bersalah.

Tapi tak ada waktu untuk itu. Pintu tangga darurat sepertinya bisa didobrak kapanpun. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.

Gedoran terjadi lagi, dan kini makin keras.

“Ngg, tidakkah sebaiknya kita ganjal dulu pintunya?” saran Medina.

Aku melihat ke sekeliling, mencari sesuatu untuk menahan pintu, tapi nihil. Atap ini benar-benar kosong, tak ada benda yang cukup berat yang bisa jadi penahan. Atau....

“Ali!!” teriakku.

“Ya?” jawabnya sedikit kaget.

“Kau tidak mau terjadi apa-apa pada Rere kan?”

“Tentu saja! Aku rela mati untuknya!” Jawaban itu membuat Rere sedikit tersipu.

“Aku juga rela kau mati asal tidak terjadi apa-apa pada Medina.”

“Bagu....eh apa?”

“Maaf ya.”

Aku mendorong kursi rodanya ke depan pintu sebagai penahan. “Woi Mal!! Apa-apaan ini??”

“Sebentar aja kok!! Tahan aja pintunya!” Aku lagu meninggalkannya, tidak mempedulikan teriakan-teriakan mengejek. Aku bergabung dengan Medina dan Rere untuk mencari jalan keluar.

“Jadi...bagaimana?” Aku bertanya kemajuan mereka.

Medina menggeleng, “Tidak ada jalan lagi selain tangga itu.”

“Tapi bagaimana dengan Ali?” tanya Rere.

Aku berpikir keras. Apakah aku bisa menggendong Ali sambil menuruni tangga? Tidak, itu tidak mungkin. Turun sendiri saja sulit di ketinggian seperti ini, apalagi jika membawa orang.

Apa pilihan lain? Apakah kami bisa melawan? Mungkin jika kami membiarkan zombie masuk satu per satu...
“Kita lawan?” saranku.

Rere jelas tidak setuju, “Kau gila? Apa kau tidak lihat berapa banyaknya mereka?”

“Biarkan mereka masuk satu per satu. Jujur saja, aku tak bisa melihat cara lain selain turun tangga dan meninggalkan Ali. Aku tak mungkin menggendongnya turun. Peluang hidup lebih besar jika kita melawan. Apa kau mau kita meninggalkan Ali?”

“Tidak...” jawab Rere pelan.

“Nah, kecuali kalian berdua mau pergi sendiri ke bawah sekarang, kita lebih baik bertarung.”

“Aku tak akan pergi jika kau tidak pergi!” kata Medina.

Aku tersenyum padanya, lalu berpaling pada Rere, “Bagaimana denganmu?”

Dia diam sejenak, lalu menjawab dengan pasrah, “Baiklah, kita lawan.”

Setelah sepakat, kami kembali ke Ali. Rere sempat marah padaku karena membiarkan Ali menjadi penahan pintu, tapi hei, paling tidak sampai sekarang zombie belum masuk karenanya.

Aku memberi instruksi pada Medina, “Buka pintunya sesedikit mungkin, buat agar zombie hanya bisa masuk satu per satu.”

Medina mengangguk lalu mengambil posisi. Sementara itu cuaca pun mulai memburuk. Gerimis turun dan angin mulai kencang. Sepertinya keadaan terus melawan kami.

Medina terlihat tegang saat berkata padaku, “Siap?”

Aku memegang pisau di tangan dan pistol di kantung untuk berjaga-jaga. Rere berjaga di dekat Ali sambil memegang parang. Ali sendiri memegang pistol dan bersiap membantu dari jauh.

Tak ada waktu lagi untuk ragu. Kuberi tanda pada Medina agar dia membuka pintunya.

Rencana kami berantakan dengan cepat. Zombie pertama yang menerobos masuk adalah zombie liar. Dia menabrak pintu dengan kerasnya hingga Medina terlempar ke belakang dan membuat pintu terbuka lebar.

Aku dengan panik langsung menembakkan senjataku melihat zombie yang dengan liarnya ingin memakanku. Kurasa hanya dengan membunuh satu zombie itu, aku telah menghabiskan tiga peluru.

Zombie-zombie lain masuk. Dalam sekejap atap itu sudah dipenuhi zombie. Medina mengabaikan tugasnya yang harusnya menahan pintu dan mulai menghajar zombie yang berada dalam jangkauannya.

Aku juga tidak menunggu lagi. Zombie berjenggot yang mendekatiku kujatuhkan dan aku menghampiri musuh yang lain. Tidak ada lagi zombie liar, tapi melawan zombie biasa yang berjumlah banyak sama menyusahkannya.

Suasana sangat kacau. Bunyi tembakan terdengar dan sayatan di daging memenuhi telingaku. Aku tidak sempat memperhatikan bagaimana keadaan yang lain karena zombie-zombie ini tidak memberiku kesempatan untuk bernafas.

Aku terpaksa berlari-lari, berusaha untuk tidak terkepung. Sebisa mungkin aku hanya akan melawan jika zombie berada di depanku, dan bukannya di sekelilingku.

Setelah menghancurkan kepala zombie ketigaku, aku melihat ke sekeliling. Medina sedang melarikan diri dari tiga zombie yang mengejarnya. Rere dan Ali saling menjaga sebaik mungkin, tapi perlahan zombie-zombie mulai mendekatinya. Aku sendiri kini terpojok ke pinggir atap.

Dalam hati, aku merasa inilah akhir hidup kami. Tak ada harapan lagi.

Tunggu, suara apa itu? Samar-samar aku mendengar sesuatu yang makin lama makin keras.

Lalu terdengarlah suara tembakan entah dari mana. Zombie-zombie di depanku langsung roboh begitu saja. Kepala mereka semua terkena tembakan.

Angin tiba-tiba saja menjadi sangat kencang. Bunyi yang tadi kudengar kini sangat jelas dan keras. Itu adalah bunyi helikopter. Tembakan itu berasal dari dua orang yang menembak dengan cermat dari sisi pintu helikopter.

Lebih mengejutkannya lagi, aku kenal kedua orang itu. Yang pertama adalah ninja teman Medina bernama Clara, lalu yang satunya lagi adalah satpam kesayangan kami semua, Zico.

Zico berhasil menjatuhkan pengejar Medina dari jarak jauh. Harus kuakui, akurasi tembakannya jauh melebihi kami semua. Clara, yang kukira hanya cewek lemah, ternyata juga penembak jitu. Setelah berhasil menembak zombie di dekat Rere, dia menurunkan tali gantung.

“Naik!!” teriaknya dari atas.

Helikopter itu menjaga jaraknya cukup dekat ke atap, tapi angin yang berhembus kencang, ditambah masih banyaknya zombie yang masuk membuatku sedikit ragu.

“Naik saja!!” teriak Clara lagi, “Kami akan menghabisi zombie yang mendekat.”

Aku berlari ke Ali, “Kau bisa memanjat tangga itu dengan satu kaki?”

Dia awalnya ragu, tapi memaksakan terlihat percaya diri, “Tentu saja. Kau kira aku lemah?”

Aku membantu memapahnya ke arah tangga. Ali berhasil meraih tangga itu, lalu dengan perlahan dan susah payah, dia naik ke helikopter. Sementara menunggu, aku membantu Rere mengalahkan zombie. Kutusuk satu zombie wanita di belakang kepalanya, sementara zombie lain yang berada di dekatku jatuh ditembak, entah oleh Clara atau Zico.

Zico menarik Ali ke dalam helikopter. Sekarang giliran Rere yang memanjat naik. Ketika sudah setengah jalan, Medina langsung menyusul. Aku kini sendirian di bawah.

Zombie tidak habis-habisnya masuk. Aku terpaksa menghabiskan peluru terakhirku pada zombie yang sudah sangat dekat denganku.

“Kemal, naik!!” teriak Medina setelah dia masuk ke helikopter.

Aku menebas zombie terakhir, membiarkan pisauku tetap di kepalanya, dan berbalik untuk menaiki tangga. Saat aku mulai memanjat, kakiku tiba-tiba ditarik. Kulihat salah satu zombie berhasil memegang kakiku.

Kutendang-tendang mukanya agar dia tidak bisa menggigit. Tendangan terakhirku berhasil merontokkan beberapa giginya dan dia pun melepaskan pegangannya.

“Jalan saja!!” aku berteriak pada orang di atas.

Clara memberi tanda pada pilot. Perlahan-lahan helikopter mulai naik. Aku bisa melihat banyak zombie melihatku sambil mengangkat tangan ke atas, mencoba meraihku tanpa daya.

Aku lega untuk sesaat. Menaiki tangga helikopter ketika helikopter tersebut terbang di udara ternyata sangat mengerikan. Tangga menjadi melambai secara tak terkendali dan aku harus berpegangan dengan saat erat agar tidak jatuh. Pada akhirnya, Zico dan yang lain harus menarik tangga ke atas karena aku tidak berani bergerak.

“Kau sungguh berat tahu,” kata Zico ketika aku naik ke helikopter.

Aku harus menenangkan jantungku yang berdetak sangat keras sebelum akhirnya aku berterima kasih. Tapi Zico menolaknya.

“Aku belum memaafkanmu soal Tori. Hanya saja, aku juga tak mau meninggalkan kalian begitu saja.”

“Kami bertemu dia di pinggiran kota,” kata Clara. Kepalanya masih diperban akibat cedera ledakan di markas sebelumnya. “Dia mengatakan kalian ada di rumah sakit dan bersedia memandu kami kesana. Untunglah kami tiba pada waktunya.”

“Clara!!” Itu Medina yang berteriak. Mereka lalu berpelukan ala cewek melepas rindu. Aku tidak percaya dia baru saja menyelamatkan nyawa kami tadi.

Kulihat di kursi depan, ada Intan dan seorang pilot dengan baju tentara. Di bajunya terpasang nama Indra.

“Dimana Bima?” tanya Intan saat melihatku.

Aku bertukar pandang dengan Medina. Aku benar-benar tidak suka menceritakan kabar ini padanya. Pertama Niko, sekarang Bima, berapa banyak lagi orang harus bertanya padaku tentang kematian orang lain.

Medina melihat keresahanku dan memutuskan dia sendiri yang akan memberitahu Intan. Intan awalnya shock, lalu dia hanya diam tanpa berkata apa-apa. Untungnya, setelah semua kejadian tadi, aku pun belum mau membicarakan orang yang sudah tidak ada.

“Jadi, kemana kita sekarang?” tanya Ali.

Zico tidak mau menjawab, jadi Clara yang berbicara, “Kita akan kembali ke markas rahasia. Lebih aman disana.”

“Jangan terlalu cepat senang,” kata pilot Indra tiba-tiba. “Angin sedang sangat kencang. Aku takut kita harus mendarat dulu.”

Memang, cuaca yang semakin memburuk saja membuat helikopter ini kadang bergoyang dengan menyeramkan. “Jadi bagaimana?” tanyaku.

Indra diam sejenak, “Kita akan mendarat disana.” Dia menunjuk sebuah lapangan yang kosong. “Berlindung di bangunan sekitar sampai cuaca membaik.”

Itu rencana yang lebih baik daripada menunggu helikopter jatuh karena angin kencang. Yang lain juga setuju. Jadi Indra, dengan sangat hati-hati, mendaratkan helikopter di tengah-tengah lapangan.

Aku memapah Ali turun. Indra memimpin di depan sambil memegang senjata yang cukup besar, aku tidak tahu apa namanya. Zico masih diam saja.

“Bangunan itu cukup bagus.” Indra menunjuk sebuah rumah yang cukup besar.

Bunyi helikopter memancing zombie-zombie di sekitar kami. Indra dengan mudah menghabisi musuh yang berada di jalur kami, sementara Clara dan Zico berjaga-jaga di samping.

“Jangan sampai keluar dar barisan!” perintah Indra. Tidak perlu disuruh menurutku.

Pelan tapi pasti, kami berhasil mencapai rumah itu. Jendelanya ditutup kayu dan pintunya dikunci. Indra mendobraknya dengan sekali tendang. Wow, orang ini benar-benar hebat.

“Waspada. Mungkin masih ada zombie disini.”

Kami mengecek masing-masing kamar. Rumah itu aman, tidak ada tanda-tanda mayat hidup berkeliaran. Aku langsung duduk dengan lega di salah satu sofa. Ali dibawa ke kamar oleh Rere untuk mengecek lukanya.

Indra datang mendekatiku, “Kau benar-benar dalam masalah besar tadi.”

“Ya, terima kasih sudah datang. Kau hebat.”

“Kau harus berterima kasih pada temanmu disana. Dia penembak yang bagus.”

Aku melihat ke arah Zico yang duduk diam melihat keluar. Dia masih menyalahkanku atas apa yang terjadi dengan Tori.

Hujan sudah turun dengan derasnya. Medina tertidur di salah satu kamar bersama Intan dan Clara. Ali dan Rere berada di kamar yang lain. Indra pun tertidur pulas di salah satu sofa. Hanya Zico lah yang masih terjaga.


Lama-kelamaan, bunyi hujan dan rasa lelah membuatku tertidur. Itu tidur paling nyaman dalam beberapa hari ini.



Bersambung....ke part 13.

0 komentar:

Posting Komentar