Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kami Bertemu Orang Yang Mengejutkan (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 6)



Baca part sebelumnya disini.

Aku keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan. Medina tadinya ikut tapi aku meyakinkannya untuk menjaga Ali yang sedang terbaring lemah di kursi belakang.

“Hati-hati,” kata Medina.

Aku berjalan dengan hati-hati ke dekat kampus. Banyak sekali zombie, aku tidak mungkin menerobos masuk. Tadinya aku berniat paling tidak mengecek ke kelas tempat kami tinggal dulu, tapi kurasa bahkan Zico pun tidak bisa masuk kesana.

“Bagaimana?” Medina bertanya ketika aku kembali ke mobil.

“Kurasa Zico dan Rere tidak ada disana. Terlalu banyak zombie. Mungkin kita harus mencari mereka di sekitar sini.”

“Tapi....” Medina melihat cemas ke arah Ali. Aku tahu yang dia maksud, pendarahan Ali sudah terlalu parah. Ini bisa berbahaya.

“Kita cari tempat istirahat dulu di salah satu rumah. Sebisa mungkin kita harus menghentikan pendarahannya.”

Aku baru saja mau masuk ke mobil ketika kudengar seseorang memanggilku.

“Kemal!”

Secara refleks, aku bersembunyi. Lalu aku tersadar kalau orang itu tahu namaku. Dan suara itu, aku kenal suara itu. Ekspresi senang Medina membenarkan dugaanku.

“Rere!”

Rere dari kejauhan melambai-lambai dengan sangat girang. Seseorang bersama dia, tapi anehnya itu bukan Zico. Jutru yang bersamanya adalah seorang wanita yang sepertinya sedikit lebih tua dibandingkan aku.

Medina dan Rere berpelukan. Aku kadang heran kenapa kalau cewek berpelukan ketika jumpa dianggap biasa, tapi kalau sesama cowok berpelukan ketika mereka bertemu akan dianggap gay.

“Aku sangat senang melihat kalian! Aku terpisah dengan Ali, lalu kemudian harus terpisah juga dengan Zico. Beberapa hari ini sangat sulit.”

“Kami tahu kau terpisah dengan Ali,” kata Medina, menunjuk ke arah mobil.

“Ali bersama kalian?” Untuk sesaat, Rere tampak sangat senang. Tapi mukanya berubah ngeri ketika melihat keadaan Ali di mobil.

“Ya ampun, kenapa dia?”

Aku menceritakan semua kejadian yang kami alami sejak bertemu aku dan Medina bertemu Ali.

“Bandit sialan,” kata Rere setelah aku selesai, “Mereka selalu membuat masalah. Kami semua terpisah karena mereka.”

“Ya tentang itu, dimana Zico?” tanyaku.

Rere mendesah, “Kami melarikan diri dengan susah payah dari serangan bandit yang membuat kami terpisah dengan Ali. Aku sempat ingin menunggu Ali, tapi Zico menyarankan agar kami tetap pergi dan menunggu Ali di kampus. Walaupun aku kurang setuju, tapi itu pilihan terbaik yang kami punya saat itu.”

“Di kota tempat kalian mendapat masalah itu, aku terpisah dengan Zico. Karena banyaknya bandit, Zico menyuruhku pergi diam-diam dari kota sementara dia mengalihkan perhatian bandit,” lanjutnya. “Sekali lagi, aku tidak setuju. Tapi Zico meyakinkanku kalau dia tidak akan apa-apa dan menyusul dengan cepat. Aku belum melihatnya lagi sejak itu.”

Hening sejenak sebelum Rere melanjutkan ceritanya.

“Setelah itu, aku pergi ke kampus dan menemukan tempat itu sudah dipenuhi zombie. Karena tak tahu bagaimana, aku masuk ke salah satu rumah untuk berlindung. Dan ternyata di dalamnya sudah ada....dia.”
Rere menunjuk wanita yang dari tadi hanya diam saja. Aku mengajak berkenalan.

“Hai, aku Kemal. Siapa namamu?”

“Aku...Tori.”

Tunggu, rasanya aku kenal nama itu.

“Tori?” Medina ternyata juga sama herannya, “Tori yang dicari Zico?”

Oh ya, aku baru teringat lagi kalau selama ini yang Zico cari adalah wanita bernama Tori. Sekarang orangnya sendiri berdiri di depanku. Saking kagetnya dengan situasi aneh sekarang, aku hanya terdiam seperti orang bodoh untuk beberapa saat.

“Kukira Zico sudah mati karena saat aku kesini, kampus tempat dia bekerja sudah dipenuhi. Lalu Rere memberiku harapan, dia pasti masih selamat,” katanya malu-malu.

“Memang, tapi kita tidak tahu dia dimana sekarang.” Tori menunduk mendengar jawabanku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh ketika melihat Tori. Mungkin itu sedikit rasa marah. Wanita ini membuat kami berpisah, padahal tadinya semuanya seakan sudah selesai. Tapi aku juga mengerti betul kalau aku tak punya hak untuk marah-marah padanya, yang dia lakukan hanya mencari kekasihnya.

Rere menyelaku, “Kita harus menolong Ali. Sisanya kita pikirkan nanti.”

Benar, aku sempat lupa dengan Ali, “Bagaimana? Apa kau bisa mengobatinya?”

Rere masuk ke mobil untuk memeriksa luka Ali lebih teliti. Muka pucatnya sudah memberikan pesan kalau luka itu tidak akan sembuh dengan mudah.

“Ini tidak bagus. Pelurunya harus dikeluarkan, kalau tidak bisa berbahaya. Kita harus melakukan operasi.”

“Operasi?” aku kaget, “Apa memang harus sampai seperti itu?”

Rere mengangguk, “Lukanya sudah sangat berbahaya dan dia kehilangan banyak darah. Peluru di kakinya bisa menyebabkan infeksi. Tak ada pilihan lain, kita harus secepatnya melakukan operasi.”

“Tapi dimana kita melakukannya?” tanya Medina. “Operasi kan butuh banyak alat dan obat.”

“Jangan bilang kau mau melakukannya di mobil?” tebakku.

“Ya tidaklah.” Rere berkata marah, “Mana mungkin kulakukan disini. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”

“Rumah sakit?”

“Ya, tempat aku bekerja dulu.”

Kata-kata Rere mengingatkanku akan kejadian saat kami berupaya membawa kakak Medina, Frank, ke rumah sakit itu. Saat itulah kami bertemu Rere dan Niko. Saat itu juga kami kehilangan Frank. Kurasa Medina berpikiran sama karena dia terlihat sedikit sedih.

“Tapi katamu rumah sakit itu sudah kosong? Apa kau yakin masih ada peralatan yang kita butuhkan disana?” tanyaku.

“Ya, saat evakuasi, kami pergi dengan terburu-buru dan meninggalkan banyak obat dan peralatan. Tapi...”

“Tapi?”

“Saat aku pergi, sudah mulai banyak zombie yang masuk kesana. Aku tidak tahu berapa banyak yang harus kita lawan.”

Aku sekarang jadi ragu. Hanya saja, keadaan Ali membuat kami tidak memiliki pilihan lain. Lagipula, kami sudah berpengalaman melawan banyak zombie.

“Baiklah,” kataku memutuskan, “Kita bertiga akan membawa Ali kesana.”

“Bertiga?” Tori bertanya heran, “Bagaimana denganku?”

“Kau tidak perlu ikut bersama kami. Sejak awal ini kan masalah kami.” Rere menjelaskan.

“Tidak tidak. Kalian teman Zico, jadi aku harus membantu kalian.”

Rere melihatku, meminta agar aku yang memberi keputusan. Tambahan bantuan satu orang sangat menggoda, tapi jika terjadi apa-apa padanya, Zico akan membunuhku.

“Aku tidak tahu. Ini akan sangat berbahaya. Lebih baik kau menunggu disini, siapa tahu Zico datang sementara kami pergi.”

“Tapi...”

“Tidak. Itu keputusanku.”

Tori mengerang kesal, tapi tidak protes lagi. Aku tidak yakin alasanku tidak membawanya pergi memang yang seperti kubilang atau hanya karena aku masih sedikit kesal dengannya. Kami semua lalu naik mobil dan pergi ke rumah sakit. Tori melihat kami pergi menjauh.

“Kau yakin tidak apa-apa meninggalkannya sendirian? Dia banyak membantuku saat kalian tidak ada lho,” kata Rere.

“Kalau begitu dia pasti bisa menjaga diri sendiri,” jawabku selagi menyetir. “Aku tidak enak meminta dia melakukan hal berbahaya seperti ini padahal kita baru kenal.”

Rere tidak menjawab lagi. Sekarang dia lebih khawatir dengan keadaan Ali yang belum sadar juga.

Aku menyetir mobil melalui jalan memutar karena seingatku jalan utama dipenuhi zombie terakhir kali kami kesana. Rumah sakit itu sudah terlihat. Untungnya tidak terlalu banyak zombie yang berkeliaran di sekitarnya, masih dalam jumlah yang bisa kami atasi.

“Oke, pegangan ya.” Aku hendak menerobos pagar depan dengan mobil, tapi Rere menghentikanku.

“Jangan! Kita lewan pintu belakang saja. Disana ada tempat parkir untuk karyawan. Aku takut keadaan Ali akan memburuk jika terlalu banyak guncangan.”

Aku menuruti saran Rere dan menuju ke belakang rumah sakit. Disana memang tidak ada pagar, tapi ada palang parkir. Kami tidak mungkin menerobosnya tanpa guncangan.

“Terpaksa kita jalan dari sini. Medina, kau jalan di depan, bunuh zombie yang mendekat. Aku dan Rere akan menggotong Ali,” kataku.

Kami segera keluar dari mobil. Aku dan Rere menopang Ali dengan sangat sulit karena Ali pingsan. Sementara itu Medina menghajar satu zombie dengan parang yang dia bawa.

Jalan masuk ke rumah sakit harus melalui tempat parkir yang letaknya di bawah tanah. Tempat itu cukup gelap dan membuat kami harus ekstra hati-hati.

Suara erangan memudahkan Medina mengetahui ada zombie yang akan menyerang. Dia menusuk kepala zombie itu. Rere terkejut.

“Aku kenal dia. Sial, ternyata memang ada yang tidak selamat di rumah sakit ini.”

“Berarti mungkin masih akan ada lagi di dalam,” kataku putus asa.

Rere menunjuk sebuah lift, “Biasanya kami naik pakai lift itu.” Medina mencoba menekan tombolnya. Tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Aku yakin listrik sudah mati sejak lama.

“Kita harus naik tangga,” ucapku.

Menaiki tangga darurat sambil membawa Ali jauh lebih merepotkan dengan hanya menggotongnya. Bahkan Medina sampai harus turun tangan menjaga agar Ali tidak mengalami banyak guncangan sementara kami terus naik ke lantai empat, tempat ruangan operasi. Kami beruntung tidak menemukan zombie disana karena kalau kami diserang, itu akan sangat berbahaya.

Medina membuka pintu ke lantai empat. Lorong lantai empat sangat berantakan dengan kasur beroda jatuh dimana-mana. Kami mengambil salah satu kasur dan menaruh Ali disana untuk memudahkan membawanya ke ruang operasi.

“Itu ruang operasinya.” Rere mendorong kasur dengan cepat, sampai dia tidak memperhatikan sekilas ada bayangan di ruang itu.

“Tunggu!” Aku mengentikannya, “Sepertinya ada zombie di dalam. Biar aku urus.”

Aku mengendap-endap ke ruang itu. Kubuka pelan pintunya. Benar saja, di dalam ada seorang dokter dengan pakaian operasi dan memakai masker, tapi tak ada tanda kehidupan di matanya.

Zombie dokter itu melihatku. Sebelum dia bisa berbuat apa-apa, aku menerjang duluan ke arahnya dan menghantam kepalanya. Pada serangan pertama, dia masih belum mati. Aku menusukkan pisauku makin dalam. Akhirnya zombie itu jatuh ke lantai.

Aku memberi tanda aman pada mereka diluar. Rere kembali kaget ketika masuk ke dalam dan melihat zombie yang baru kukalahkan.

“Kau kenal dia?”

“Ya, itu dokter Bryan. Sayang sekali, padahal dia orang yang baik.”

Kami memindahkan Ali ke meja operasi. Tapi ada satu masalah, ruangan ini terlalu gelap.

“Aku..aku tak bisa melakukan operasi dengan keadaan begini. Kalian pergilah menyalakan generator, kalau tidak salah ada di dekat tempat parkir.”

Aku sebenarnya malas ke bawah lagi, tapi apa boleh buat. Aku mengangguk dan mengajak Medina keluar. Kami bergegas ke tangga darurat lagi lalu turun ke bawah.

Sesuatu menghentikanku untuk langsung keluar ke tempat parkir. Aku menyuruh Medina untuk diam.

“Kenapa? Zombie?” bisiknya bertanya.

Aku tidak perlu menjelaskan karena saat itu terdengar suara orang-orang disana.

“Tidak ada gunanya kita kesini,” kata salah seorang dari mereka.

“Bos menyuruh kita untuk mencari obat yang tersisa. Jangan mengeluh terus.”

Mereka berhenti di depan lift, membuatku bisa melihat mereka dengan jelas. Keduanya seperti preman dengan tato di tangan mereka. Belum lagi senjata ukuran besar yang mereka pegang. Aku cukup yakin mereka bandit.

“Sial! Liftnya mati!!”

“Tentu saja bodoh!” kata yang mukanya kelihatan lebih pintar, “Kita naik lewat tangga darurat.”


Oh tidak, sekarang mereka menuju ke kami.





Bersambung.......ke part 7.

0 komentar:

Posting Komentar