Baca part sebelumnya disini.
Aku keluar dari mobil untuk memeriksa keadaan.
Medina tadinya ikut tapi aku meyakinkannya untuk menjaga Ali yang sedang
terbaring lemah di kursi belakang.
“Hati-hati,” kata Medina.
Aku berjalan dengan hati-hati ke dekat kampus.
Banyak sekali zombie, aku tidak mungkin menerobos masuk. Tadinya aku berniat
paling tidak mengecek ke kelas tempat kami tinggal dulu, tapi kurasa bahkan
Zico pun tidak bisa masuk kesana.
“Bagaimana?” Medina bertanya ketika aku kembali ke
mobil.
“Kurasa Zico dan Rere tidak ada disana. Terlalu
banyak zombie. Mungkin kita harus mencari mereka di sekitar sini.”
“Tapi....” Medina melihat cemas ke arah Ali. Aku
tahu yang dia maksud, pendarahan Ali sudah terlalu parah. Ini bisa berbahaya.
“Kita cari tempat istirahat dulu di salah satu
rumah. Sebisa mungkin kita harus menghentikan pendarahannya.”
Aku baru saja mau masuk ke mobil ketika kudengar
seseorang memanggilku.
“Kemal!”
Secara refleks, aku bersembunyi. Lalu aku tersadar
kalau orang itu tahu namaku. Dan suara itu, aku kenal suara itu. Ekspresi
senang Medina membenarkan dugaanku.
“Rere!”
Rere dari kejauhan melambai-lambai dengan sangat
girang. Seseorang bersama dia, tapi anehnya itu bukan Zico. Jutru yang
bersamanya adalah seorang wanita yang sepertinya sedikit lebih tua dibandingkan
aku.
Medina dan Rere berpelukan. Aku kadang heran kenapa
kalau cewek berpelukan ketika jumpa dianggap biasa, tapi kalau sesama cowok
berpelukan ketika mereka bertemu akan dianggap gay.
“Aku sangat senang melihat kalian! Aku terpisah
dengan Ali, lalu kemudian harus terpisah juga dengan Zico. Beberapa hari ini
sangat sulit.”
“Kami tahu kau terpisah dengan Ali,” kata Medina,
menunjuk ke arah mobil.
“Ali bersama kalian?” Untuk sesaat, Rere tampak
sangat senang. Tapi mukanya berubah ngeri ketika melihat keadaan Ali di mobil.
“Ya ampun, kenapa dia?”
Aku menceritakan semua kejadian yang kami alami
sejak bertemu aku dan Medina bertemu Ali.
“Bandit sialan,” kata Rere setelah aku selesai,
“Mereka selalu membuat masalah. Kami semua terpisah karena mereka.”
“Ya tentang itu, dimana Zico?” tanyaku.
Rere mendesah, “Kami melarikan diri dengan susah
payah dari serangan bandit yang membuat kami terpisah dengan Ali. Aku sempat
ingin menunggu Ali, tapi Zico menyarankan agar kami tetap pergi dan menunggu
Ali di kampus. Walaupun aku kurang setuju, tapi itu pilihan terbaik yang kami
punya saat itu.”
“Di kota tempat kalian mendapat masalah itu, aku
terpisah dengan Zico. Karena banyaknya bandit, Zico menyuruhku pergi diam-diam
dari kota sementara dia mengalihkan perhatian bandit,” lanjutnya. “Sekali lagi,
aku tidak setuju. Tapi Zico meyakinkanku kalau dia tidak akan apa-apa dan
menyusul dengan cepat. Aku belum melihatnya lagi sejak itu.”
Hening sejenak sebelum Rere melanjutkan ceritanya.
“Setelah itu, aku pergi ke kampus dan menemukan
tempat itu sudah dipenuhi zombie. Karena tak tahu bagaimana, aku masuk ke salah
satu rumah untuk berlindung. Dan ternyata di dalamnya sudah ada....dia.”
Rere menunjuk wanita yang dari tadi hanya diam saja.
Aku mengajak berkenalan.
“Hai, aku Kemal. Siapa namamu?”
“Aku...Tori.”
Tunggu, rasanya aku kenal nama itu.
“Tori?” Medina ternyata juga sama herannya, “Tori
yang dicari Zico?”
Oh ya, aku baru teringat lagi kalau selama ini yang
Zico cari adalah wanita bernama Tori. Sekarang orangnya sendiri berdiri di
depanku. Saking kagetnya dengan situasi aneh sekarang, aku hanya terdiam
seperti orang bodoh untuk beberapa saat.
“Kukira Zico sudah mati karena saat aku kesini,
kampus tempat dia bekerja sudah dipenuhi. Lalu Rere memberiku harapan, dia
pasti masih selamat,” katanya malu-malu.
“Memang, tapi kita tidak tahu dia dimana sekarang.” Tori
menunduk mendengar jawabanku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh ketika melihat
Tori. Mungkin itu sedikit rasa marah. Wanita ini membuat kami berpisah, padahal
tadinya semuanya seakan sudah selesai. Tapi aku juga mengerti betul kalau aku
tak punya hak untuk marah-marah padanya, yang dia lakukan hanya mencari
kekasihnya.
Rere menyelaku, “Kita harus menolong Ali. Sisanya
kita pikirkan nanti.”
Benar, aku sempat lupa dengan Ali, “Bagaimana? Apa
kau bisa mengobatinya?”
Rere masuk ke mobil untuk memeriksa luka Ali lebih
teliti. Muka pucatnya sudah memberikan pesan kalau luka itu tidak akan sembuh
dengan mudah.
“Ini tidak bagus. Pelurunya harus dikeluarkan, kalau
tidak bisa berbahaya. Kita harus melakukan operasi.”
“Operasi?” aku kaget, “Apa memang harus sampai
seperti itu?”
Rere mengangguk, “Lukanya sudah sangat berbahaya dan
dia kehilangan banyak darah. Peluru di kakinya bisa menyebabkan infeksi. Tak
ada pilihan lain, kita harus secepatnya melakukan operasi.”
“Tapi dimana kita melakukannya?” tanya Medina. “Operasi
kan butuh banyak alat dan obat.”
“Jangan bilang kau mau melakukannya di mobil?”
tebakku.
“Ya tidaklah.” Rere berkata marah, “Mana mungkin
kulakukan disini. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”
“Rumah sakit?”
“Ya, tempat aku bekerja dulu.”
Kata-kata Rere mengingatkanku akan kejadian saat
kami berupaya membawa kakak Medina, Frank, ke rumah sakit itu. Saat itulah kami
bertemu Rere dan Niko. Saat itu juga kami kehilangan Frank. Kurasa Medina
berpikiran sama karena dia terlihat sedikit sedih.
“Tapi katamu rumah sakit itu sudah kosong? Apa kau
yakin masih ada peralatan yang kita butuhkan disana?” tanyaku.
“Ya, saat evakuasi, kami pergi dengan terburu-buru
dan meninggalkan banyak obat dan peralatan. Tapi...”
“Tapi?”
“Saat aku pergi, sudah mulai banyak zombie yang
masuk kesana. Aku tidak tahu berapa banyak yang harus kita lawan.”
Aku sekarang jadi ragu. Hanya saja, keadaan Ali
membuat kami tidak memiliki pilihan lain. Lagipula, kami sudah berpengalaman
melawan banyak zombie.
“Baiklah,” kataku memutuskan, “Kita bertiga akan membawa
Ali kesana.”
“Bertiga?” Tori bertanya heran, “Bagaimana denganku?”
“Kau tidak perlu ikut bersama kami. Sejak awal ini
kan masalah kami.” Rere menjelaskan.
“Tidak tidak. Kalian teman Zico, jadi aku harus
membantu kalian.”
Rere melihatku, meminta agar aku yang memberi
keputusan. Tambahan bantuan satu orang sangat menggoda, tapi jika terjadi
apa-apa padanya, Zico akan membunuhku.
“Aku tidak tahu. Ini akan sangat berbahaya. Lebih
baik kau menunggu disini, siapa tahu Zico datang sementara kami pergi.”
“Tapi...”
“Tidak. Itu keputusanku.”
Tori mengerang kesal, tapi tidak protes lagi. Aku
tidak yakin alasanku tidak membawanya pergi memang yang seperti kubilang atau
hanya karena aku masih sedikit kesal dengannya. Kami semua lalu naik mobil dan pergi ke rumah sakit.
Tori melihat kami pergi menjauh.
“Kau yakin tidak apa-apa meninggalkannya sendirian?
Dia banyak membantuku saat kalian tidak ada lho,” kata Rere.
“Kalau begitu dia pasti bisa menjaga diri sendiri,”
jawabku selagi menyetir. “Aku tidak enak meminta dia melakukan hal berbahaya
seperti ini padahal kita baru kenal.”
Rere tidak menjawab lagi. Sekarang dia lebih
khawatir dengan keadaan Ali yang belum sadar juga.
Aku menyetir mobil melalui jalan memutar karena
seingatku jalan utama dipenuhi zombie terakhir kali kami kesana. Rumah sakit
itu sudah terlihat. Untungnya tidak terlalu banyak zombie yang berkeliaran di
sekitarnya, masih dalam jumlah yang bisa kami atasi.
“Oke, pegangan ya.” Aku hendak menerobos pagar depan
dengan mobil, tapi Rere menghentikanku.
“Jangan! Kita lewan pintu belakang saja. Disana ada
tempat parkir untuk karyawan. Aku takut keadaan Ali akan memburuk jika terlalu
banyak guncangan.”
Aku menuruti saran Rere dan menuju ke belakang rumah
sakit. Disana memang tidak ada pagar, tapi ada palang parkir. Kami tidak
mungkin menerobosnya tanpa guncangan.
“Terpaksa kita jalan dari sini. Medina, kau jalan di
depan, bunuh zombie yang mendekat. Aku dan Rere akan menggotong Ali,” kataku.
Kami segera keluar dari mobil. Aku dan Rere menopang
Ali dengan sangat sulit karena Ali pingsan. Sementara itu Medina menghajar satu
zombie dengan parang yang dia bawa.
Jalan masuk ke rumah sakit harus melalui tempat
parkir yang letaknya di bawah tanah. Tempat itu cukup gelap dan membuat kami
harus ekstra hati-hati.
Suara erangan memudahkan Medina mengetahui ada
zombie yang akan menyerang. Dia menusuk kepala zombie itu. Rere terkejut.
“Aku kenal dia. Sial, ternyata memang ada yang tidak
selamat di rumah sakit ini.”
“Berarti mungkin masih akan ada lagi di dalam,”
kataku putus asa.
Rere menunjuk sebuah lift, “Biasanya kami naik pakai
lift itu.” Medina mencoba menekan tombolnya. Tentu saja tidak berpengaruh
apa-apa. Aku yakin listrik sudah mati sejak lama.
“Kita harus naik tangga,” ucapku.
Menaiki tangga darurat sambil membawa Ali jauh lebih
merepotkan dengan hanya menggotongnya. Bahkan Medina sampai harus turun tangan
menjaga agar Ali tidak mengalami banyak guncangan sementara kami terus naik ke
lantai empat, tempat ruangan operasi. Kami beruntung tidak menemukan zombie
disana karena kalau kami diserang, itu akan sangat berbahaya.
Medina membuka pintu ke lantai empat. Lorong lantai
empat sangat berantakan dengan kasur beroda jatuh dimana-mana. Kami mengambil
salah satu kasur dan menaruh Ali disana untuk memudahkan membawanya ke ruang
operasi.
“Itu ruang operasinya.” Rere mendorong kasur dengan
cepat, sampai dia tidak memperhatikan sekilas ada bayangan di ruang itu.
“Tunggu!” Aku mengentikannya, “Sepertinya ada zombie
di dalam. Biar aku urus.”
Aku mengendap-endap ke ruang itu. Kubuka pelan
pintunya. Benar saja, di dalam ada seorang dokter dengan pakaian operasi dan
memakai masker, tapi tak ada tanda kehidupan di matanya.
Zombie dokter itu melihatku. Sebelum dia bisa
berbuat apa-apa, aku menerjang duluan ke arahnya dan menghantam kepalanya. Pada
serangan pertama, dia masih belum mati. Aku menusukkan pisauku makin dalam.
Akhirnya zombie itu jatuh ke lantai.
Aku memberi tanda aman pada mereka diluar. Rere
kembali kaget ketika masuk ke dalam dan melihat zombie yang baru kukalahkan.
“Kau kenal dia?”
“Ya, itu dokter Bryan. Sayang sekali, padahal dia
orang yang baik.”
Kami memindahkan Ali ke meja operasi. Tapi ada satu
masalah, ruangan ini terlalu gelap.
“Aku..aku tak bisa melakukan operasi dengan keadaan
begini. Kalian pergilah menyalakan generator, kalau tidak salah ada di dekat
tempat parkir.”
Aku sebenarnya malas ke bawah lagi, tapi apa boleh
buat. Aku mengangguk dan mengajak Medina keluar. Kami bergegas ke tangga
darurat lagi lalu turun ke bawah.
Sesuatu menghentikanku untuk langsung keluar ke
tempat parkir. Aku menyuruh Medina untuk diam.
“Kenapa? Zombie?” bisiknya bertanya.
Aku tidak perlu menjelaskan karena saat itu
terdengar suara orang-orang disana.
“Tidak ada gunanya kita kesini,” kata salah seorang
dari mereka.
“Bos menyuruh kita untuk mencari obat yang tersisa.
Jangan mengeluh terus.”
Mereka berhenti di depan lift, membuatku bisa
melihat mereka dengan jelas. Keduanya seperti preman dengan tato di tangan
mereka. Belum lagi senjata ukuran besar yang mereka pegang. Aku cukup yakin
mereka bandit.
“Sial! Liftnya mati!!”
“Tentu saja bodoh!” kata yang mukanya kelihatan
lebih pintar, “Kita naik lewat tangga darurat.”
Oh tidak, sekarang mereka menuju ke kami.
Bersambung.......ke part 7.
0 komentar:
Posting Komentar