Baca part sebelumnya disini.
“Maaf, aku sepertinya salah dengar?” Ali tertawa
garing.
“Tidak,” kataku, “itu rencanaku.”
“Kau mau salah seorang dari kita membawa mobil ke
kumpulan zombie, membuat keributan agar menarik banyak zombie dan memancing
mereka ke perbatasan sebagai pengalih perhatian?”
“Ya, lalu setelah itu tinggalkan mobil itu,
bergabung dengan yang lain di mobil berbeda, dan kita gunakan keributan saat
mereka melawan zombie untuk menerobos. Ide yang bagus kan?”
Medina berpikir sebentar, “Sepertinya itu ide yang
cukup bagus.”
Ali tertawa lagi, “Ya aku setuju. Tapi tunggu,
sepertinya aku mendengar kau ingin aku sebagai umpan itu.”
Aku mengangguk. Senyum Ali menghilang, “Kau pasti
gila.”
“Dengarkan dulu. Kau lebih jago mengendarai mobil
dan larimu juga lebih cepat. Aku lebih jago dalam menembak, jadi aku bisa
menolongmu dari jauh jika terjadi apa-apa,” ujarku mencoba memberi pengertian.
“Kau tidak lebih jago menembak daripadaku.”
“Ngg aku lebih jago.”
“Kau gagal menembakku di kampus saat itu, padahal
aku hanya diam.”
Aku tak percaya dia mengungkit lagi kejadian saat
dia tergigit zombie itu. “Tanganku bergetar saat itu! Seharusnya kau bersyukur
karena aku meleset!”
“Memang, tapi...”
“Sudah! Sudah!” potong Medina, “Kalau kalian tidak
ada yang mau, biar aku saja.”
Kami terdiam. Pada akhirnya, Ali menyerah dan setuju
untuk menjadi umpan, tentu saja dengan mengancam akan membunuhku jika
rencananya tidak berjalan lancar.
Pertama kami harus menemukan dua mobil. Mobil yang
akan digunakan sudah ketemu, sebuah mobil jeep besar yang menabrak dinding,
dengan noda darah di kursinya. Paling tidak mobil itu masih bisa berjalan.
Aku berhasil menemukan sebuah mobil yang
dashboardnya dipenuhi kaset-kaset rock. Ini sangat sesuai dengan mobil yang
kami butuhkan dalam rencana kami.
Setelah itu, kami memarkir mobil yang besar di salah
satu tempat dekat perbatasan tapi masih diluar jangkauan para bandit dan naik
ke mobil yang lain ke tempat para zombie berkumpul. Kami melakukannya dengan
sangat hati-hati dan waspada untuk memastikan bandit tidak melihat kami.
“Aku benar-benar tak menyangka masih ada orang-orang
seperti mereka bahkan pada saat zombie apocalypse seperti ini,” keluhku saat
kami harus berhenti lagi ketika terdengar bunyi mobil lewat.
“Memang menyebalkan sih, tapi mereka melakukan ini
juga untuk bertahan hidup,” kata Ali.
Aku melihatnya dengan heran, “Kau mendukung mereka?”
“Tidak. Aku hanya berkata, mereka juga berusaha
bertahan hidup, hanya saja cara mereka menyebalkan.”
“Kita juga harus bertahan hidup, karena itu kita
harus keluar secepatnya dari sini.”
“Setuju. Kalian lebih baik turun disini.” Ali
menghentikan mobilnya di tikungan sebelum tempat dia melihat banyak zombie itu.
Aku dan Medina turun. “Oke, kami akan bersembunyi
disini. Jika ada sesuatu yang salah, kami akan melindungimu. Ingat, jangan
jalan terlalu cepat agar zombie bisa mengikutimu. Ketika sudah dekat
perbatasan, segera turun dan lari ke mobil lain. Gampang kan?”
Dia menarik nafas, “Kurasa ini tidak akan segampang
yang kau kira.” Ali lalu membawa mobilnya ke tempat itu. Aku dan Medina
bersembunyi di salah satu tiang dengan cemas.
Dalam satu menit yang sangat menegangkan, kami tidak
mendengar apa-apa. Aku sudah cemas bahwa ada yang salah dan bermaksud
menyusulnya ketika suara musik berkumandang keras.
Aku tidak yakin itu lagu siapa, tapi pasti itu band
super metal dengan suara gitas melengking. Kau tahu, semacam band jaman dulu
yang suka berdandan aneh dan punya gitaris super hebat lalu melakukan hal
aneh-aneh di atas panggung seperti kayang atau membanting-banting alat musik
sampai hancur. Aku yakin Ali memutar salah satunya.
Mobil Ali belum kelihatan lagi. Dia sepertinya
menunggu saat yang tepat saat semua zombie berkumpul dan mengikutinya. Sialnya,
suara itu bukan hanya memancing zombie.
Tiga orang bandit yang patroli di sekitar situ
curiga dengan bunyi musik metal itu. Mereka bisa merusak rencana kami. Untungnya,
dia tidak melihatku dan Medina. Aku memberi tanda pada Medina untuk menjatuhkan
mereka. Dia mengangguk.
Aku dengan pelan berjalan ke tempat yang lebih baik
untuk membidik. Saat mereka sudah berada dalam jangkauan, aku menembak kaki
salah satu dari mereka. Orang itu mengerang dan terjatuh, membuat dua temannya
kaget. Aku mengambil kesempatan itu dan berhasil menembak temannya satu lagi.
Satu orang tersisa menyadari asal tembakan. Dia
menembak dengan ganas sementara aku berlindung. Medina menyelinap ke
belakangnya dan menembak kakinya. Kini tiga orang bandit itu tergeletak di
tanah sambil memegang kaki mereka yang berlumuran darah.
“Bagus!” Aku memberi tanda jempol pada Medina yang
dibalas dengan senyuman. Tapi kami tak bisa santai karena saat itulah Ali
muncul dengan banyak zombie mengikutinya.
Zombie-zombie itu memang tidak bisa berlari, tapi
mereka berjalan cepat dalam mengejar zombie itu. Ralat, beberapa dari mereka
bisa berlari. Dan entah bagaimana caranya, dua zombie liar sedang
bergelantungan di atap mobil. Dari balik kaca mobil, Ali meminta tolong pada
kami.
Aku berlari ke mobil dan menembak dua zombie itu
dari jarak dekat tepat di kepala. Kujatuhkan mereka ke tanah.
Ali membuka kaca, “Oke, sekarang kalian cepat ke
mobil. Nyalakan mesinnya!!”
Aku mengangguk dan mengajak Medina berlari. Kami
akan memutar jalan sementara Ali menuntun zombie-zombie itu ke perbatasan.
Aku hampir saja celaka. Saat berbelok di tikungan,
aku tidak melihat adanya zombie dan menabraknya hingga kami jatuh. Zombie itu
dengan cepat mencoba menggigitku. Medina yang berada di dekatku berhasil
mendahuluinya dengan memecahkan kepalanya.
“Hati-hati dong,” kata Medina.
“Iya iya. Kita harus buru-buru. Jangan sampai Ali
tiba disana duluan.”
Bodohnya, aku lupa dimana kami menyimpan mobil itu.
Aku sempat panik ketika pintu mobil itu tidak bisa dibuka sampai aku Medina
mengatakan padaku bahwa aku mencoba membuka mobil yang salah. Mobil kami
diparkir sekitar 100 meter dari situ. Untunglah Medina punya ingatan yang lebih
baik dariku.
Kami naik ke mobil itu. Segera kunyalakan mesinnya.
Secara mengejutkan, kami tiba lebih dulu daripada Ali. Kini kami harus
menunggu.
Suara musik yang makin lama makin jelas menandakan
Ali akhirnya datang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati agar semua tetap berjalan
lancar.
Mobil itu akhirnya memasuki jalan. Aku bisa melihat
para bandit di perbatasan sangat kaget ketika melihat ada mobil yang sangat
berisik diikuti banyak zombie. Aku berharap mereka ketakutan dan meninggalkan
tempat itu, tapi ternyata mereka memutuskan melawan dan mulai menembak.
Mobil Ali kini menghadapi bahaya peluru. Medina
menarik nafas takut saat salah satu tembakan menghantam kaca depan mobil. Ali
harus merunduk sementara dia terus menjalankan mobilnya. Ali harus membawa
mobil itu sedekat mungkin dengan perbatasan.
Saat merasa sudah cukup dekat, Ali menahan gasnya
dengan batu bata lalu meninggalkan mobil. Mobil itu terus berjalan ke para
bandit, dan para zombie sepertinya lebih tertarik mengejar mobil yang sangat
ribut itu daripada mengejar Ali.
Kini Ali harus berlari ke mobil, yang berarti dia
harus berhadapan dengan beberapa zombie. Tapi masalahnya tidak selesai disitu.
Para bandit melihat Ali dan mulai menembakinya. Jadi Ali harus menghindari
peluru sambil melawan zombie.
“Ayo ayo...” Aku menggumam melihat Ali yang lari
kesana kemari.
Ali menusuk kepala zombie terakhir yang
menghalanginya. Sekarang dia hanya harus berlari secepatnya ke mobil. Disinilah
terjadi keadaan yang tidak sesuai rencana.
Tembakan dari salah satu bandit berhasil mengenai
kaki Ali. Dia terjatuh dan berteriak kesakitan. Teriakannya itu memancing
beberapa zombie untuk berbalik ke arahnya.
“Ya ampun!!” Medina terperangah. Aku dengan cepat
turun dari mobil sambil membawa senjata.
Aku berlari secepat mungkin ke Ali. Kutebas zombie
yang sudah sangat dekat dengan Ali.
“Kau bisa jalan? Ayo biar kupapah.”
Ali, masih mengerang kesakitan, mencoba berdiri
dengan bantuanku. Para bandit kini sibuk melawan zombie dan melupakan kami.
Aku memapahnya ke mobil. Dua zombie mendekati kami,
tapi Medina berhasil menjatuhkan mereka dengan tembakan pistol.
“Cepat!” katanya.
Kami berhasil tiba di mobil. Aku menaikkan Ali ke
bagian belakang. Setelah itu aku langsung masuk ke depan.
“Ayo kita pergi!” seru Medina.
“Tunggu sedikit lagi. Biarkan para bandit itu sampai
mulai panik dan berpencar.”
Medina melihat ke belakang dengan cemas. Ali menutup
matanya karena rasa sakit yang luar biasa. Mungkin sebentar lagi dia akan
pingsan.
Para bandit mulai ketakutan. Beberapa dari mereka
bahkan sudah kabur duluan.
“Oke!” Aku menginjak gas sekerasnya. Mobil
berakselerasi kencang ke arah jalan keluar, menabrak zombie-zombie yang
menghalangi.
Para bandit tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka
sedang berusaha menyelamatkan diri sendiri. Aku bisa mendengar salah satu dari
mereka berteriak saat zombie menggigitnya.
Mobil bergetar hebat saat terus menabrak zombie. Di
sebelahku, Medina menutup mata karena tak berani melihat. Akhirnya, semua itu
berakhir. Kami melaju mulus di jalan raya.
Aku dan Medina tersenyum lega, tapi langsung merasa
bersalah saat menyadari keadaan Ali.
“Kita harus mencari pengobatan secepatnya,” kataku.
Jadi kutekan gas makin keras agar mobil melaju lebih cepat.
Kami sampai di kota sejam kemudian. Benar saja, Ali
sudah pingsan. Celananya basah oleh keringat dari bagian lutut ke bawah. Itu
pertanda tidak bagus.
“Kemana kita?” tanya Medina.
“Kampus,” jawabku, “Semoga Zico dan Rere ada disana.
Kalau tidak, kita bisa memakai klinik kampus untuk mengobati Ali sementara.”
Itu dia, kampus. Aku bisa melihatnya sekarang. Tapi
sesuatu yang mengejutkan menghentikan kami untuk masuk ke dalam kampus.
“Oh tidak....” Medina bergumam pelan.
Ternyata sejak pagar rusak, para zombie terus masuk
dan kini mereka memenuhi kampus. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda Zico,
Rere, ataupun manusia lain yang pernah ada disini.
“Bagaimana ini? Dimana mereka kalau begitu?”
Bersambung.....ke part 6.
0 komentar:
Posting Komentar