Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kami Menabrak Banyak Zombie (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 5)



Baca part sebelumnya disini.

“Maaf, aku sepertinya salah dengar?” Ali tertawa garing.

“Tidak,” kataku, “itu rencanaku.”

“Kau mau salah seorang dari kita membawa mobil ke kumpulan zombie, membuat keributan agar menarik banyak zombie dan memancing mereka ke perbatasan sebagai pengalih perhatian?”

“Ya, lalu setelah itu tinggalkan mobil itu, bergabung dengan yang lain di mobil berbeda, dan kita gunakan keributan saat mereka melawan zombie untuk menerobos. Ide yang bagus kan?”

Medina berpikir sebentar, “Sepertinya itu ide yang cukup bagus.”

Ali tertawa lagi, “Ya aku setuju. Tapi tunggu, sepertinya aku mendengar kau ingin aku sebagai umpan itu.”

Aku mengangguk. Senyum Ali menghilang, “Kau pasti gila.”

“Dengarkan dulu. Kau lebih jago mengendarai mobil dan larimu juga lebih cepat. Aku lebih jago dalam menembak, jadi aku bisa menolongmu dari jauh jika terjadi apa-apa,” ujarku mencoba memberi pengertian.

“Kau tidak lebih jago menembak daripadaku.”

“Ngg aku lebih jago.”

“Kau gagal menembakku di kampus saat itu, padahal aku hanya diam.”

Aku tak percaya dia mengungkit lagi kejadian saat dia tergigit zombie itu. “Tanganku bergetar saat itu! Seharusnya kau bersyukur karena aku meleset!”

“Memang, tapi...”

“Sudah! Sudah!” potong Medina, “Kalau kalian tidak ada yang mau, biar aku saja.”

Kami terdiam. Pada akhirnya, Ali menyerah dan setuju untuk menjadi umpan, tentu saja dengan mengancam akan membunuhku jika rencananya tidak berjalan lancar.

Pertama kami harus menemukan dua mobil. Mobil yang akan digunakan sudah ketemu, sebuah mobil jeep besar yang menabrak dinding, dengan noda darah di kursinya. Paling tidak mobil itu masih bisa berjalan.

Aku berhasil menemukan sebuah mobil yang dashboardnya dipenuhi kaset-kaset rock. Ini sangat sesuai dengan mobil yang kami butuhkan dalam rencana kami.

Setelah itu, kami memarkir mobil yang besar di salah satu tempat dekat perbatasan tapi masih diluar jangkauan para bandit dan naik ke mobil yang lain ke tempat para zombie berkumpul. Kami melakukannya dengan sangat hati-hati dan waspada untuk memastikan bandit tidak melihat kami.

“Aku benar-benar tak menyangka masih ada orang-orang seperti mereka bahkan pada saat zombie apocalypse seperti ini,” keluhku saat kami harus berhenti lagi ketika terdengar bunyi mobil lewat.

“Memang menyebalkan sih, tapi mereka melakukan ini juga untuk bertahan hidup,” kata Ali.

Aku melihatnya dengan heran, “Kau mendukung mereka?”

“Tidak. Aku hanya berkata, mereka juga berusaha bertahan hidup, hanya saja cara mereka menyebalkan.”

“Kita juga harus bertahan hidup, karena itu kita harus keluar secepatnya dari sini.”

“Setuju. Kalian lebih baik turun disini.” Ali menghentikan mobilnya di tikungan sebelum tempat dia melihat banyak zombie itu.

Aku dan Medina turun. “Oke, kami akan bersembunyi disini. Jika ada sesuatu yang salah, kami akan melindungimu. Ingat, jangan jalan terlalu cepat agar zombie bisa mengikutimu. Ketika sudah dekat perbatasan, segera turun dan lari ke mobil lain. Gampang kan?”

Dia menarik nafas, “Kurasa ini tidak akan segampang yang kau kira.” Ali lalu membawa mobilnya ke tempat itu. Aku dan Medina bersembunyi di salah satu tiang dengan cemas.

Dalam satu menit yang sangat menegangkan, kami tidak mendengar apa-apa. Aku sudah cemas bahwa ada yang salah dan bermaksud menyusulnya ketika suara musik berkumandang keras.

Aku tidak yakin itu lagu siapa, tapi pasti itu band super metal dengan suara gitas melengking. Kau tahu, semacam band jaman dulu yang suka berdandan aneh dan punya gitaris super hebat lalu melakukan hal aneh-aneh di atas panggung seperti kayang atau membanting-banting alat musik sampai hancur. Aku yakin Ali memutar salah satunya.

Mobil Ali belum kelihatan lagi. Dia sepertinya menunggu saat yang tepat saat semua zombie berkumpul dan mengikutinya. Sialnya, suara itu bukan hanya memancing zombie.

Tiga orang bandit yang patroli di sekitar situ curiga dengan bunyi musik metal itu. Mereka bisa merusak rencana kami. Untungnya, dia tidak melihatku dan Medina. Aku memberi tanda pada Medina untuk menjatuhkan mereka. Dia mengangguk.

Aku dengan pelan berjalan ke tempat yang lebih baik untuk membidik. Saat mereka sudah berada dalam jangkauan, aku menembak kaki salah satu dari mereka. Orang itu mengerang dan terjatuh, membuat dua temannya kaget. Aku mengambil kesempatan itu dan berhasil menembak temannya satu lagi.

Satu orang tersisa menyadari asal tembakan. Dia menembak dengan ganas sementara aku berlindung. Medina menyelinap ke belakangnya dan menembak kakinya. Kini tiga orang bandit itu tergeletak di tanah sambil memegang kaki mereka yang berlumuran darah.

“Bagus!” Aku memberi tanda jempol pada Medina yang dibalas dengan senyuman. Tapi kami tak bisa santai karena saat itulah Ali muncul dengan banyak zombie mengikutinya.

Zombie-zombie itu memang tidak bisa berlari, tapi mereka berjalan cepat dalam mengejar zombie itu. Ralat, beberapa dari mereka bisa berlari. Dan entah bagaimana caranya, dua zombie liar sedang bergelantungan di atap mobil. Dari balik kaca mobil, Ali meminta tolong pada kami.

Aku berlari ke mobil dan menembak dua zombie itu dari jarak dekat tepat di kepala. Kujatuhkan mereka ke tanah.

Ali membuka kaca, “Oke, sekarang kalian cepat ke mobil. Nyalakan mesinnya!!”

Aku mengangguk dan mengajak Medina berlari. Kami akan memutar jalan sementara Ali menuntun zombie-zombie itu ke perbatasan.

Aku hampir saja celaka. Saat berbelok di tikungan, aku tidak melihat adanya zombie dan menabraknya hingga kami jatuh. Zombie itu dengan cepat mencoba menggigitku. Medina yang berada di dekatku berhasil mendahuluinya dengan memecahkan kepalanya.

“Hati-hati dong,” kata Medina.

“Iya iya. Kita harus buru-buru. Jangan sampai Ali tiba disana duluan.”

Bodohnya, aku lupa dimana kami menyimpan mobil itu. Aku sempat panik ketika pintu mobil itu tidak bisa dibuka sampai aku Medina mengatakan padaku bahwa aku mencoba membuka mobil yang salah. Mobil kami diparkir sekitar 100 meter dari situ. Untunglah Medina punya ingatan yang lebih baik dariku.

Kami naik ke mobil itu. Segera kunyalakan mesinnya. Secara mengejutkan, kami tiba lebih dulu daripada Ali. Kini kami harus menunggu.

Suara musik yang makin lama makin jelas menandakan Ali akhirnya datang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati agar semua tetap berjalan lancar.

Mobil itu akhirnya memasuki jalan. Aku bisa melihat para bandit di perbatasan sangat kaget ketika melihat ada mobil yang sangat berisik diikuti banyak zombie. Aku berharap mereka ketakutan dan meninggalkan tempat itu, tapi ternyata mereka memutuskan melawan dan mulai menembak.

Mobil Ali kini menghadapi bahaya peluru. Medina menarik nafas takut saat salah satu tembakan menghantam kaca depan mobil. Ali harus merunduk sementara dia terus menjalankan mobilnya. Ali harus membawa mobil itu sedekat mungkin dengan perbatasan.

Saat merasa sudah cukup dekat, Ali menahan gasnya dengan batu bata lalu meninggalkan mobil. Mobil itu terus berjalan ke para bandit, dan para zombie sepertinya lebih tertarik mengejar mobil yang sangat ribut itu daripada mengejar Ali.

Kini Ali harus berlari ke mobil, yang berarti dia harus berhadapan dengan beberapa zombie. Tapi masalahnya tidak selesai disitu. Para bandit melihat Ali dan mulai menembakinya. Jadi Ali harus menghindari peluru sambil melawan zombie.

“Ayo ayo...” Aku menggumam melihat Ali yang lari kesana kemari.

Ali menusuk kepala zombie terakhir yang menghalanginya. Sekarang dia hanya harus berlari secepatnya ke mobil. Disinilah terjadi keadaan yang tidak sesuai rencana.

Tembakan dari salah satu bandit berhasil mengenai kaki Ali. Dia terjatuh dan berteriak kesakitan. Teriakannya itu memancing beberapa zombie untuk berbalik ke arahnya.

“Ya ampun!!” Medina terperangah. Aku dengan cepat turun dari mobil sambil membawa senjata.

Aku berlari secepat mungkin ke Ali. Kutebas zombie yang sudah sangat dekat dengan Ali.

“Kau bisa jalan? Ayo biar kupapah.”

Ali, masih mengerang kesakitan, mencoba berdiri dengan bantuanku. Para bandit kini sibuk melawan zombie dan melupakan kami.

Aku memapahnya ke mobil. Dua zombie mendekati kami, tapi Medina berhasil menjatuhkan mereka dengan tembakan pistol.

“Cepat!” katanya.

Kami berhasil tiba di mobil. Aku menaikkan Ali ke bagian belakang. Setelah itu aku langsung masuk ke depan.

“Ayo kita pergi!” seru Medina.

“Tunggu sedikit lagi. Biarkan para bandit itu sampai mulai panik dan berpencar.”

Medina melihat ke belakang dengan cemas. Ali menutup matanya karena rasa sakit yang luar biasa. Mungkin sebentar lagi dia akan pingsan.

Para bandit mulai ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan sudah kabur duluan.

“Oke!” Aku menginjak gas sekerasnya. Mobil berakselerasi kencang ke arah jalan keluar, menabrak zombie-zombie yang menghalangi.

Para bandit tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka sedang berusaha menyelamatkan diri sendiri. Aku bisa mendengar salah satu dari mereka berteriak saat zombie menggigitnya.

Mobil bergetar hebat saat terus menabrak zombie. Di sebelahku, Medina menutup mata karena tak berani melihat. Akhirnya, semua itu berakhir. Kami melaju mulus di jalan raya.

Aku dan Medina tersenyum lega, tapi langsung merasa bersalah saat menyadari keadaan Ali.

“Kita harus mencari pengobatan secepatnya,” kataku. Jadi kutekan gas makin keras agar mobil melaju lebih cepat.



Kami sampai di kota sejam kemudian. Benar saja, Ali sudah pingsan. Celananya basah oleh keringat dari bagian lutut ke bawah. Itu pertanda tidak bagus.

“Kemana kita?” tanya Medina.

“Kampus,” jawabku, “Semoga Zico dan Rere ada disana. Kalau tidak, kita bisa memakai klinik kampus untuk mengobati Ali sementara.”

Itu dia, kampus. Aku bisa melihatnya sekarang. Tapi sesuatu yang mengejutkan menghentikan kami untuk masuk ke dalam kampus.

“Oh tidak....” Medina bergumam pelan.

Ternyata sejak pagar rusak, para zombie terus masuk dan kini mereka memenuhi kampus. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda Zico, Rere, ataupun manusia lain yang pernah ada disini.


“Bagaimana ini? Dimana mereka kalau begitu?”



Bersambung.....ke part 6.

0 komentar:

Posting Komentar