Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Jorgi si Kambing


(cerita ini pernah dimuat di kemudian.com 3 tahun yang lalu, dan karena sekarang idul adha, aku mempostingnya lagi di blog ini)


Hai, namaku Jorgi, si kambing paling keren di tempat pak Bejo. Kenapa aku bilang paling keren? karena kambing-kambing betina disini selalu ngedeketin aku, membuat kambing-kambing lain iri. Salah mereka sendiri, kenapa juga bau.
Tapi suatu hari entah kenapa pak Bejo menjualku. Aku merasa terkhianati setelah 2 tahun ini kami bersama. Para kambing betina juga menangisi kepergianku. Tapi kambing-kambing jantan bergembira, "rasain, siapa suruh jadi playboy" kata mereka. Sialan. Aku yakin pak Bejo menjualku bukan kerena aku suka main betina, tapi karena dia perlu uang. Jadi demi pak Bejo, manusia yang kuhormati, aku rela, aku rela. Pasti pak Bejo akan menjualku dengan harga ratusan juta, aku kan ganteng. Rasa hormatku pada pak Bejo berubah ketika dia menjualku hanya dengan harga 700 ribu! "Pak bejo! kenapa kau menjualku semurah ini, apa hanya ini artiku untukmu! Mbeekkk"
Tapi sudahlah, biar saja pak Bejo yang rugi. Huh, aku tak mau peduli lagi.
Aku dibawa oleh manusia laki-laki yang agak tua dengan benda di kepalanya. Aku pernah dengar dari salah seorang kambing kalau itu namanya peci, sering digunakan untuk shalat, nepuk lalat dan masak sate. Aku diangkut ke atas mobil truk kecil. Ternyata disana juga ada seekor lembu, jadi aku berkenalan.
"Hai, aku jorgi, siapa namamu?" kataku dengan muka keren. Tapi sepertinya dia tak menghiraukanku. "Hei, aku bicara padamu" kataku lagi.
"Ngg, ahh, maaf kambing. Pantatku gatal, bisa tolong garukin?"
"Hah? Oke, disini?" aku menggigit pantatnya.
"Naik ke atas lagi, owh yeaahh. Mantap kawan!"
"Oke, siapa namamu?"
"Namaku Leo, dan siapa namamu kawan?"
"Aku sudah bilang tadi, namaku Jorgi"
"Senang berkenalan denganmu Joshua"
"Bukan Joshua, Jorgi!"
"Maaf, senang berkenalan denganmu Jaja"
Oh, aku tak tahu apa lembu ini punya kelainan pada telinganya, dan aku tak mau menanyakannya. Jadi aku melihat-lihat jalan untuk menghabiskan waktu. Leo awalnya hanya diam, tapi lama kelamaan dia bosan dan mulai menyanyikan sesuatu.
"Terlalu sadis caramuuu, menyingkirkan dirikuuu, dari percintaan iinnii..."
"Hei wow!" potongku, "Apa yang kau lakukan?"
"Bernyanyi kawan, lagu ini cukup populer di dunia manusia. Pemilikku dulu sering mendengarnya"
"Tapi suaramu menggangguku!"
"Kau mau dengar lagi? Baiklah. Semoga tuhan...." katanya dengan suara yang lebih keras.
"Hei diaamm!!" pemilik kami yang baru mengintip dari jendela mobil dan meneriaki kami. Leo menurut, untunglah, aku tak mau hari pertama dengan pemilik baru harus diisi dengan suara mengerikannya.
***
Tak lama kemudian kami masuk ke sebuah perumahan. Leo yang tadi dimarahin karena nyanyi gak jelas menghabiskan waktu dengan menggoyang-goyangkan pantat. "Agar peredaran darah lancar kawan! itu kata nenekku!" katanya.
Aku tak begitu tertarik, lagipula aku tak mengerti apa itu peredaran darah. Manusia-manusia kecil berteriak kesenangan melihatku. Sudah kuduga, dimanapun aku akan selalu menjadi bintang. Jadi aku memasang ekspresi yang pelig keren, dan mengeluarkan suara yang paling indah. "Mbeeeekkkkk!!" Anak-anak yang tadinya mengejar mobil kami berhenti, sepertinya mereka terpana. Aku merasa puas, keren sekali diriku. Tapi suasana keren ini sedikit terganggu dengan Leo yang terus menggoyang pantatnya.
Mobil berhenti di sebuah lapangan kecil. Ternyata disana sudah ada banyak lagi kambing dan satu ekor lembu. Mereka semua menatapku, tapi hanya sebentar dan melanjutkan makan rumput lagi. Kambing jaman sekarang memang tak punya sopan santun, hanya perut yang dipikirnya.
Aku dibantu turun oleh pemilikku yang baru. "Uhh baunya!" eluhnya. Apa? Aku bau? Huh, mulutmu tuh yang terlalu dekat sama hidung. Tapi aku tak mau mencari masalah di hari pertama bersama pemilik baru. Aku berjalan dengan gemulai sambil dituntun si pemilik baru. Aku belum tahu namanya, jadi kupanggil saja pemilik baru. Lalu aku diikat pada sebuah kayu di pinggir lapangan. Ah, ini agak mengganggu. Kenapa manusia harus mengikat kambing, apa dipikirnya kami akan kabur? Maaf ya, kami ini makhluk sopan, pasti minta izin dulu sebelum pergi. Manusia saja yang tidak tahu.
Leo diturunkan dari mobil, dan sialnya, diikat lagi dekat denganku. "Ahh kawan, kita bertemu lagi. Kukira hanya kau yang akan diturunkan. Syukurlah aku ada teman. Mau kuajarkan goyang pantat?"
"Tidak, terima kasih" kataku sinis.
"Ayolah kawan, ini bagus untuk peredaran darah"
"Aku bahkan tak tahu apa itu peredaran darah"
"Aku juga. Tapi sepertinya enak!"
Lalu dia mulai menggoyangkan pantatnya lagi. Aku menyerah menghadapinya dan mulai memakan rumput. "Hei, temanmu itu lucu" kata sesekambing di sampingku.
"Dia bukan temanku, kebetulan saja kami bertemu" kataku dengan mulut mengunyah.
"Yah, tetap saja dia lucu. Oh ya, perkenalkan, aku Rendi. Aku baru 2 hari disini"
Aku berhenti makan. "Aku Jorgi, kau juga baru? Apa pemilik kita mau membuka peternakan baru?"
"Entahlah. Tapi coba lihat gedung itu"
Gedung yang dimaksud tidak begitu jauh dari lapangan kami. Gedung aneh dengan ukiran bulan sabit dan bintang di atasnya. Kulihat beberapa manusia lelaki yang memakai rok bermotif aneh masuk ke sana. Tunggu, kalau tidak salah ibuku pernah mengingatkan agar aku jangan mendekati gedung seperti itu. Tapi aku tak yakin, karena hanya ibuku yang bicara begitu.
"Memangnya kenapa dengan gedung itu?" tanyaku.
"Aku juga tak begitu tahu" kata Rendi "Tapi ibuku pernah mengingatkanku agar jangan mendekati gedung seperti itu"
"Tunggu! Ibuku yang berkata seperti itu"
"Apa? hanya ibuku yang berkata seperti itu!" katanya ngotot "Atau jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?"
"Kita saudara! Ohh, pantas sepertinya aku pernah melihat kambing sepertimu!" katanya dan mulai menanduk-nanduk kepalaku tanda sayang.
***
Pertemuan kembali dengan (katanya) saudaraku itu tidak membuatku tambah nyaman di tempat ini. Ahh, aku merindukan kambing-kambing betina yang selalu mendekatiku, menungguku bernyanyi dengan suara emasku, lalu kami akan mengobrol hingga pagi. Disini sangat membosankan, dengan leher terikat begini aku tak bisa bebas bergerak, lalu para kambing disini juga hanya diam-diam aja. Yang terdengar hanya ocehan Rendi tentang bagaimana kami saat masih kecil dulu dan nyanyian sumbang Leo yang diselingi goyangan pantat.
Kambing betina disini memang tidak semuanya jelek, tapi mereka terlalu diam, bukan seleraku. Membosankan, sangat membosankan.
Setelah lama aku hanya mengunyah dan mengunyah, mobil pemilik baru datang lagi. Aku tak tertarik, paling juga hanya kambing membosankan lainnya, atau skenario terburuk lembu aneh lainnya. Tapi yang turun dari mobil itu membuat semua kambing jantan terpana, termasuk aku.
Seekor kambing dengan muka semanis itu baru kali ini kuliat. Pandangan matanya yang mendayu-dayu, bulunya yang terlihat sangat lembut, tanduknya yang kecil seakan merayu. Mulutku terbuka dengan rumput di dalamnya, tak berani menelan dan melewatkan kesempatan dia berjalan. Pemilik baru sepertinya akan mengikatnya di dekatku, aku cepat-cepat menelan rumputku dan memasang muka paling keren.
"Ah jangan disitu" kata seseorang yang baru keluar dari mobil "yang ini kambing betina, dan yang diikat itu kambing jantan. Nanti mereka bisa kawin"
APA!!!
Penghinaan macam apa ini. Mereka kira aku kambing tak bermoral yang akan menghamili semua kambing betina yang berada di dekatku. "Mbbeekkkk!!" teriakku protes.
"Lihat, dia sangat liar. Ikat saja di tempat lain" katanya.
Jadilah kambing betina manis itu di bawa ke seberang lapangan, diikat bersama kambing-kambing betina lainnya. Pemilik baru lalu pergi lagi.
"Sialan!!" teriakku.
"Kawan, tenanglah. Ada apa?" kata Leo yang kaget melihatku.
"Ada apa? Apa kau tak dengar tadi pemilik baru melecehkanku"
"Kapan?"
"Kau terlalu sibuk bergoyang tahu!"
Leo terdiam. Dia memasang muka sedih, aku jadi merasa bersalah. "Ma..maafkan aku Leo"
"Kalau kau mau melihatku bergoyang, tak perlu membentakku begitu. Ini kuperlihatkan" Dan goyangan itu berlanjut. Aku pasrah saja.
"Apa kau memikirkan betina tadi?" kata Rendi tiba-tiba. Aku melihatnya dan mengangguk pelan "Dia betina termanis yang pernah kulihat. Kalau saja aku bisa berkenalan" kataku.
"Kau bisa. Datang saja kesana"
"Leherku terikat. Bagaimana aku bisa kesana?"
Rendi lalu tersenyum bangga, entah kenapa. Dia lalu memberi isyarat agar aku melihat baik-baik apa yang dilakukannya. Dia berjalan ke arah tempat tali yang mengikatnya, menggigit tali yang menjuntai keluar dan menariknya. Ajaib, ikatan itu tiba-tiba lepas. "Aku pernah diajari oleh sesekambing cara melepas ikatan jika kita diikat seperti ini"
"Wow! Biar kucoba"
Aku berhasil melepaskan diri dengan sekali percobaan. "Aku lepas! Terima kasih Rendi"
"Ckck, adik kakak harus saling membantu" katanya, padahal mukanya terlihat bangga sekali.
Aku mempersiapkan diri, lalu mulai berjalan anggun ke arah si betina. Ini salah satu cara paling efektif mendekati seekor betina. Ketika dekat, si betina melihatku sambil tersenyum. "Hai, kau tak datang untuk menghamiliku kan?" katanya menahan ketawa.
Sikap kerenku hancur. Gara-gara pemilik baru!
"Ahahaha, tenanglah, aku tak berpikir seperti itu. Ada apa kau mau kesini?" katanya, masih dengan senyum.
"Ha..hanya ingin berkenalan. Jorgi." aku menjulurkan tanduk.
"Tyas" dia menerima juluran tandukku dengan tanduk kecilnya. Ah, kurasa sekarang keadaan bertambah baik.
***
Tak terasa sudah dua hari aku berada di lapangan ini. Tiap ada kesempatan, aku melepas ikatan taliku sesuai instruksi Rendi, lalu mengobrol dengan Tyas, kami jadi semakin akrab. Pemilik baru bingung melihat aku dan Rendi selalu bisa berkeliaran seenaknya. Tapi walaupun dia selalu mengikat kami dengan cara baru, Rendi pasti akan tahu cara melepasnya. Kambing ini jenius dalam hal ikat-mengikat.
"Belajar, belajar, dan terus makan rumput, saudaraku!" itulah jawabannya ketika kutanya bagaimana dia bisa begitu.
Aku dan Tyas sering mengobrol sampai lupa waktu. Dia bercerita kalau dia terpisah dari orang tuanya ketika berumur setengah tahun, dan dia dijual dengan harga 800 ribu. Dia 100 ribu lebih mahal daripada aku, ini membuatku sedikit minder. Tapi sikap ramahnya itu membuatku tetap nyaman berada di dekatnya.
Lapangan juga semakin ramai dengan hadirnya lagi tiga ekor kambing baru, dan mereka bertiga bersaudara, yang sama cerewetnya.
"Hai para kambing.."
"Perkenalkan aku Tiko.."
"Aku Toki.."
"Dan aku Tiki.."
"Kami bertiga bersaudara.."
"Pandai bernyanyi.."
"Dan pandai menari.."
"Jadi salam kenal!!"
Mereka mengatakan itu sambung-menyambung dengan teriakan serempak di akhir perkenalan. Cukup untuk membuat kambing yang lain tahu kalau mereka ini akan membuat tidur mereka tidak nyaman. Hanya Leo yang senang dengan keberadaan mereka. Dia memintaku mengajari cara membuka ikatan, lalu menghampiri saudara itu. Mereka bernyanyi bersama dan bergoyang bersama. Ini membuat manusia panik karena menyangka Leo mengamuk.
Tapi akhir-akhir ini ada sebuah kejadian ajaib. Di hari ketiga bersama pemilik baru, Leo tidak berjoget ataupun menyanyi sedikitpun! Ini sungguh ajaib, bahkan dia menolah ajakan tiga bersaudara untuk melakukan tari ekor bersama mereka.
Awalnya aku sempat bingung dengan hal ini, yah memang keadaan sedikit tenang sih, tapi aku merasa Leo sedang bersusah hati. Aku sebagai kambing yang paling dekat dengannya jadi merasa tak enak juga. Lalu aku sadar kalau Leo seharian hanya melihat ke satu arah, ke tempat sebuah lembu betina diikat, lembu yang selalu duduk diam itu. Mungkinkah ini..
"Ehem, Leo" panggilku
"Ya" jawabnya. Ini jelas salah, biasanya dia harus dipanggil beberapa kali sebelum merespon, dan biasanya dia melakukannya dengan goyangan pantat.
"Nggg, lembu yang disana cantik ya?"
Tiba-tiba dia jadi salah tingkah. "Ah, apa maksudmu, ngg, aku tak, tak bilang aku suka di..dia"
Ternyata benar, dia suka lembu itu! Wow, tak pernah kusangka Leo akan menyukai seselembu lain. Hmm, cinta memang tak pernah pandang jenis. Tapi aku heran kenapa dia baru suka sekarang padahal lembu itu sudah ada dari saat kami datang. Tapi pikiran Leo memang susah ditebak.
"Mmh, bagaimana kalau kau kesana dan sapa dia" saranku
"Ehh, eh, kawan, kau tahu aku ini lembu jelek. Dia pasti akan menghinaku"
"Dan kau juga ribut, tapi coba saja dulu. Tidak ada salahnya kan"
Leo berpikir-pikir sebentar. Sungguh ajaib, jarang sekali Leo berpikir.
"Baiklah kawan, bantu aku melepas ikatan ini" katanya.
Aku memberi tahu apa yang harus dilakukan dan sebentar saja dia sudah lepas dari ikatan. Dia berjalan dengan gugup ke arah lembu itu, sesekali dia menengok ke arahku. Dia harus melewati 3 bersaudara ribut itu, dan mereka tahu tujuan Leo hanya dengan melihat arah kemana dia berjalan.
"Kawan kita akan menyatakan cinta!"
"Ini pasti seru!"
"Aku bertaruh satu tumpukan rumput dia akan ditolak!"
Komentar-komentar mereka membuat Leo tambah gugup. Ini buruk.
Aku melihat dari jauh, Leo berdiri di depan lembu itu dan mulai berbicara. Tak jelas apa yang dia bilang karena terlalu jauh. Lembu betina itu awalnya tidak tertarik dengan Leo, tapi Leo terus berbicara dan, aku tak suka ini, bergoyang pantat. Aku sudah pasrah dia akan diseruduk lembu itu, tapi ternyata yang terjadi sebaliknya, dia tersenyum. Dia lalu mengatakan sesuatu, kali ini aku bisa menebak apa yang dia katakan dengan melihat respon Leo.
"MOOOOOO!!" dia berteriak kesenangan.
Tapi manusia salah paham dan menyangka Leo mengamuk lagi. "Sapi itu lepas lagi! Tangkap dia!!" Keadaan pun kacau lagi.
***
Sejak Leo jatuh cinta, keadaan makin menyenangkan. Leo memang masih bergoyang pantat, karena menurut pacarnya (yang belakangan aku tahu namanya adalah Rasti), dia seksi jika bergoyang. Yah, aku memang tak mengerti apa yang ada di pikiran para lembu. Tapi paling tidak Leo jadi berhenti menyanyi karena Rasti mengatakan nyanyiannya tidak merdu. "Rasti memang berbeda, baru dia yang mengatakan suaraku jelek" kata Leo senyam-senyum, tetap senang walau diejek. Sebenarnya aku mau bilang kalau aku sudah beberapa kali mengatakan suaranya hancur, tidak jelas apakah itu nada do atau nada re, bahkan kadang menyimpang dari lagu yang kuingat (Misalnya sewaktu dia sedang menyanyikan lagu Balonku, entah bagaimana bisa menyimpang ke Kucing Garong), tapi aku tak mau merusak keadaan yang menyenangkan ini.
Hubunganku dengan Tyas lancar, Leo menjadi diam, dan aku juga banyak mendapat ilmu dari saudaraku Rendi. Hmm, aku mulai betah berada disini.
Tapi sesuatu terjadi pada pagi hari keesokan harinya. Saat aku bangun, aku melihat banyak sekali manusia masuk ke dalam gedung aneh yang sempat dibicarakan Rendi. Manusia-manusia itu rata-rata memakai baju putih, dan rok panjang bermotif aneh yang sering kulihat dipakai manusia jika masuk kesitu. Mereka lalu duduk membentuk barisan, baru kali ini aku melihat manusia berbaris rapi seperti itu.
"Mau para manusia itu?" tanyaku pada Rendi.
Dia tidak menjawab, aku melihat kepadanya, mukanya pucat. "Hei, ada apa?"
"Aku merasakan firasat buruk" bisiknya.
"Firasat buruk?"
"Ya, naluri kambingku mengatakan bahwa akan ada hal buruk terjadi melihat manusia-manusia itu berkumpul"
"Ooh, pasti ini hubungannya dengan kata-kata dari ibu kan?"
Rendi mengangguk. "Tenang saja, cuma ibu yang berkata aneh" kataku. Tapi muka Rendi terlihat sangat serius. Aku tak mau meladeninya, jadi aku mulai makan rumput.
"Hei hei kawan, apa aku terlihat keren?" kata Leo tiba-tiba.
Aku menatapnya, "Sebenarnya, aku tak melihat perubahan apapun" Tak kusangka, dia menunduk sedih.
"Aku mau mengajak Rasti kencan nanti malam, tapi dengan penampilanku yang begini, dia pasti bosan"
Wow, Leo ternyata bisa berpikir sampai kesitu. Ini bukan lagi Leo yang kukenal.
"Tenang, walaupun kau jelek, tapi dengan senyum, kau bisa meluluhkan hati Rasti" kataku memberi saran.
"Senyum?"
"Ya, mari kuajarkan"
Aku pun mulai memeragakan cara tersenyum paling manis yang biasanya membuat para betina mabuk kepayang. Tapi Leo payah, dia kesusahan menirukan senyumku. "Coba terus.." kataku.
Setelah cukup lama, para manusia itu bubar. "Lihat, tak terjadi apa-apa kan?" sindirku pada Rendi.
"Belum, ini belum selesai" katanya. Dia jadi mirip Induk Lauren, kambing peramal yang cukup beken di tempatku dulu.
Ramalan Rendi benar-benar terjadi.
Setengah jam kemudian, para manusia berkumpul lagi, walau tak sebanyak yang pertama. Suasana di gedung aneh itu ramai lagi.
Pemilik baru datang ke lapangan. Dia membawa seekor kambing keluar dari lapangan. Temannya membawa satu kambing lagi. Mungkin akan dimandikan, pikirku. Tapi anehnya, dua kambing itu tak pernah kembali.
"Kemana para kambing yang tadi?" kata Rendi.
"Mana kutahu, mungkin dipindahkan ke lapangan lain" jawabku. Rendi jadi semakin pucat, mau tak mau aku ikut-ikutan khawatir.
Pemilik baru datang lagi bersama temannya. Kali ini dia melepas seekor kambing yang aku tak kenal. Temannya mendekatiku, dia lalu melepas ikatanku. Aku ditariknya agar berjalan. Mau dibawa kemana aku?
Ternyata Leo juga dilepas dan ikut dibawa. "Sampai kapanpun kita terus bersama ya. Mudah-mudahan di lapangan baru Rasti diikat di dekatku." kata Leo riang. Aku tak begitu mendengar karena penasaran apa yang akan terjadi. Di luar lapangan, tali Leo diambil manusia lain dan dibawa dibelakangku, sedangkan kambing-tak-dikenal didepanku.
Kami dibawa masuk ke dalam gedung aneh itu. Banyak manusia disitu. Ingatan tentang kata-kata Rendi terngiang di kepalaku. Aku menjadi sedikit takut. Lalu aku melihat sesuatu yang membuat bulu ekorku berdiri.
"Daraahhhh...."jeritku.
Manusia yang membawaku menarik-narik taliku agar aku tenang. Aku menengok ke belakang, Leo sepertinya belum sadar keadaan disekelilingnya, dia masih saja tersenyum ceria.
Tapi yang paling mengerikan baru saja dimulai. Kambing-tak-dikenal yang didepanku tiba-tiba dijatuhkan oleh para manusia. Dia mengembik kaget, kakinya ditahan, kepalanya juga. Lehernya tepat di atas sebuah lubang yang disekelilingnya ada darah. Mau apa para manusia itu?
Kambing itu meronta-ronta, tapi tidak ada yang mempedulikan. Lalu ada manusia yang mendekat, dan....jantungku serasa copot melihat dia memegang golok.
Kambing sial itu makin meronta melihat golok tajam didepannya, ini sudah kelewat batas. Manusia yang lain membacakan mantra aneh sementara golok ditaruh di leher si kambing. Aku tak percaya apa yang kulihat, mereka tak mungkin melakukan ini kan?
"Mbeeekkkkkk"
Jeritan terakhir itu terjadi bersamaan dengan muncratnya darah dari lehernya. Mengerikan, ini tak mungkin terjadi. Badanku bergetar melihatnya. Kambing yang sudah tak bernyawa itu lalu diseret. Manusia pemegang golok melihatku "Berikutnya!"
Untuk sesaat, aku hanya terpaku. Bayangan pembunuhan tadi masih terngiang di kepalaku.
"Jorgi!!"
Suara Leo membangunkanku, dan aku lalu sadar kalau aku sedang ditarik ke TKP tadi. Aku akan dibunuh.
"Mbeekkk!!" Sekuat tenaga aku meronta-ronta mencoba melarikan diri. Manusia yang memegangku marah-marah, dia mengencangkan ikatannya, menarikku lebih keras. Tanpa daya perlahan-lahan aku terseret ke tempat yang penuh darah itu.
Lalu keberuntungan menghampiriku.
"Mooooo!!!" Suara Leo yang keras itu mengagetkan semua manusia disini. Manusia yang memegang taliku kaget dan secara tak sengaja menginjak darah sehingga terpeleset. Pegangannya lepas dan aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sekuat tenaga aku melarikan diri.
Para manusia itu kaget melihatku lepas, termasuk manusia yang memegang tali Leo. Dalam sesaat genggamannya melemah, dan Leo, entah tahu keadaan atau kebetulan, langsung melarikan diri juga. Manusia yang memegangnya terbanting ke lantai.
Kini suasana menjadi kacau.
"Tangkap lembunya!!!"
"Kambingnya, tahan dia!!"
Teriakan menggema dimana-mana. Beberapa manusia terlihat ketakutan melihat tingkah Leo yang seperti mau menanduk semuanya. Tapi kami tak benar-benar bisa melarikan diri, karena dalam sekejap kami terkepung. Jalan keluar tertutup.
Salah seorang manusia dengan cepat mengambil tali yang mengikat Leo. Leo melihat itu, dan dengan sekuat tenaga di memutar badannya. "Mooo!!!" Manusia itu terlempar. Mengerikan, aku bersyukur tidak pernah membuat Leo marah sebelumnya. Para manusia yang melihat itu jadi bingung untuk bertindak.
"Jorgi, larilah! Aku yang akan menahan manusia-manusia ini!" katanya.
"Apa maksudmu? Kita harus keluar bersama-sama!"
"Tidak! Dengarkan aku, selamatkan Rasti" katanya, mukanya serius. Ini pertama kalinya kulihat.
Aku lengah sesaat, seorang manusia berhasil meraih taliku dan menahanku. Beberapa manusia lain ikut membantunya. "Sial, lepaskan!"
"Mooo!!!" Leo menanduk manusia-manusia itu dengan mengerikan. Mereka terlempar bagai bulu ekor ke arah kerumunan manusia. Jalannya jadi terbuka. "Cepat!!" teriaknya.
Aku menutup mata, lalu belari sekuat tenaga ke jalan itu. Beberapa manusia mengejarku tapi langsung ditahan Leo. "Dasar kalian makhluk kejam!!" teriaknya. Aku menengok ke arahnya, dan dia tersenyum. Hanya sesaat, karena setelah itu dia sudah ditutupi kerumunan manusia yang menangkapnya. Aku tidak menengok lagi, hanya berlari sekencang-kencangnya ke lapangan. Air mata sedikit menetes.
***
Aku berhasil mencapai lapangan tanpa seorang pun bisa mengejar, mereka mungkin masih dibuat sibuk oleh Leo. Memikirkan Leo membuatku sedih lagi. Para kambing melihatku dengan tatapan heran.
"Lepaskan ikatan kalian!!" aku berteriak sekeras-kerasnya "Manusia akan membunuh kita! Kita harus kabur!"
Hening.
"Apa yang kalian tunggu? Cepat!"
Tidak ada pergerakan, ini membuatku kesal. Hanya Rendi yang merespon, dalam sekejap dia sudah melepaskan ikatannya dan bergabung bersamaku. "Apa yang terjadi disana?" katanya
"Mengerikan. Aku tak mau mengingatnya. Yang jelas kita harus kabur dari sini"
Aku bergegas ke Tyas. "Ayo Tyas. Biar kulepaskan ikatanmu"
"Tunggu. Kau bercanda kan?" katanya
"Tentu saja tidak!"
"Dia gila!" kata sesekambing. Aku berbalik, dan melihat salah satu dari 3 bersaudara kambing aneg itu sedang berbicara "Manusia adalah sahabat kita. Kau sudah gila"
"Diam Tiki!" bentakku.
"Aku Toki"
"Maaf, diam Toki!"
"Bercanda, aku memang Tiki!"
Tiga bersaudara itu lalu menertawakanku. Oh, kuharap mereka dibunuh manusia sekarang.
"Pokonya para kambing yang budiman, Jangan percaya pada kambing gila yang satu ini" pidato Tiki.
Raut mukanya berubah ketika melihat banyak manusia yang masuk lapangan sambil berteriak "tangkap kambing itu lalu potong lehernya!" Yang ditunjuk manusia itu adalah aku, tapi entah kenapa Tiki mengira dia lah sasarannya. "LEPASKAN TALI INI!" dan suasana menjadi rusuh. Kambing lain jadi ikut takut.
Manusia itu mengejarku. "Cepat lepaskan talimu, Tyas!" Aku terpaksa berlari menjauh. Ketika manusia mencoba menangkapku, Rendi diam-diam mengajari semua kambing disana untuk melepaskan ikatan mereka.
Aku berkelit, melakukan zig zag dengan cepat. Sesaat aku merasa keren karena tidak bisa ditangkap, sampai kakiku terpeleset dan terjerembab ke tanah. Salah seorang manusia berhasil memegangku. Aku meronta-ronta kabur dan saat itulah Tiki menanduk manusia itu. Aku lepas, dan kabur bersama Tiki.
"Terima kasih Tiki"
"Aku Toki"
"Kau bercanda kan?"
"Tidak, aku Toki!"
"Err, baiklah"
Aku berlari ke Tyas. Dia agak kesulitan melepas talinya sehingga aku membantunya. Para manusia itu kebingungan dengan makin banyaknya kambing yang lepas dan berkeliaran. Rendi melakukannya dengan baik. Tyas sudah terlepas. "Baiklah, sekarang kita pergi dari sini"
Aku dan Tyas berlari ke luar lapangan, kambing lainnya mengikuti. Kini aku memimpin pelarian besar-besaran,
"Tunggu!!"
Aku berbalik dan melihat masih ada satu lembu yang terikat. Ya, dia adalah pacar Leo, Rasti. Randi mendekatiku "Lembu yang satu itu bilang dia hanya mau pergi kalau ada Leo. Aku tak bisa mengatasinya"
Aku teringat akan pesan terakhir Leo agar menjaga Rasti. "Rendi, bawa pergi Tyas dari sini"
"Kau mau kemana?" tanya Tyas.
"Aku akan membujuk Rasti" kataku dan langsung berbalik ke lapangan. Teriakan Tyas tidak kudengar lagi. Rasti sangat penting bagi Leo, dan aku merasa sangat bersalah pada Leo. Jika Rasti kutinggal, aku pasti akan merasa bersalah seuur hidup, jika aku tak mati sekarang tentunya.
Manusia-manusia masih bingung bertindak karena beberapa kambing masih berputar-putar di lapangan. Mereka memutuskan menangkap yang di lapangan daripada mengejar yang keluar lapangan. Kurasa Tyas aman.
Beberapa kambing tertangkap dan langsung dibawa ke gedung aneh. Aku ingin membantu, tapi rasanya tak mungkin. Jadi aku terus berlari ke tempat Rasti, berharap tak ada manusia yang memperhatikanku.
"Rasti, ayo kita pergi dari sini. Kau akan dibunuh jika terus disini"
"Dimana Leo?" tanyanya.
"Ngg, dia... mmhh" aku bingung menjelaskannya. Kurasa Rasti sidah tahu tapi dia belum bisa menerima kenyataan.
"Dia belum mati kan?" katanya kali ini dengan sedikit isakan. Aku diam.
Dia menangis pelan, aku jadi salah tingkah. "Biarkan aku disini. Kau pergilah"
"Tidak bisa! Leo menyuruhku menyelamatkanmu!"
"Kubilang aku tak mau pergi!!"
"Tapi, tapi.. ahh" aku terhenti, salah satu manusia menangkap badanku. Aku meronta-ronta, tapi pegangannya kuat. Aku mulai ditarik, tiba-tiba terlintas ide di otak pintarku.
"Rasti, orang ini yang membunuh Leo!!!"
"APA!!"
Rasti dengan mudah memutuskan talinya dan berlari ke arah kami. Manusia itu ketakutan, melepasku dan melarikan diri. Inilah kekuatan cinta.
"Bagus, kita kabur sekarang!" Tapi bukannya mendengar kataku, Rasti malah berlari mengejar manusia tadi. "Eh tunggu, aku hanya bohong" Dia tak mendengarku. Aku bengong, tak tahu harus berbuat apa.
Lalu manusia mulai mengejarku lagi, "Ah biarlah, aku kabur saja"
Aku berlari ke luar lapangan. Kambing-kambin yang dilapangan sudah tertangkap semua. Kini hanya aku sasarannya. Aku berlari sekencang-kencangnya dengan para manusia dibelakang mengejarku.
Pintu keluar perumahan sial ini sudah terlihat. Para pengejarku sudah berkurang karena menyerah dengan kecepatanku. Aku akan selamat. Tiba-tiba terdengar sebuah derungan. Aku menoleh ke belakang. Mobil pemilik baru melaju kencang ke arahku.
Mobil itu dengan mudah menyusulku. Kini pemilik baru dan beberapa temannya menghadangku. Pemilik baru menyuruh beberapa temannya untuk menangkap kambing diluar. Tyas dalam bahaya, aku juga tentunya. Aku hanya berharap mereka sudah pergi jauh.
Pemilik baru menghalangi jalanku untuk keluar dari perumahan ini. Maafkan aku pemilik baru, walaupun kau pemilikku yang membeliku dengan harga yang menurutku terlalu murah untuk ukuran kambing ganteng sepertiku, tapi aku belum siap mati.
"MBEEEKKK!!!"
Dengan kecepatan penuh aku menerjang keluar. Pemilik baru memasang kuda-kuda untuk menangkapku. Lalu dengan kecepatan diluar perkiraanku, dia balik menerjang. Aku kaget, dan mati-matian mencoba berbelok, tapi tak sempat. Dengan menggunakan seluruh berat badannya, dia menimpaku. Aku tak bisa bergerak. "Kena kau!!" teriaknya.
Tamatlah aku. Tak ada lagi yang menolongku sekarang. Pemilik baru benar-benar menangkapku. Walaupun aku berontak, pemilik baru tak melepasku. Dia mengunciku dengan sempurna.
"Kami hanya berhasil menangkap dua!" kata manusia teman pemilik baru yang tadi mengejar kambing diluar. Dua? Jangan-jangan..
Dan kemungkinan terburukku benar-benar jadi kenyataan. Rendi dan Tyas tak berdaya ditangan dua orang berbadan besar. "Jorgi.."
"Tyas, ugh, sialan!"
"Ya sudahlah, angkut mereka ke dalam mobil" kata pemilik baru sambil mengangkatku.
"Sialaan!" aku meronta-ronta. Tyas dan Rendi dilempar ke mobil.
"MOOOO!!!"
Suara itu? Jangan-jangan..
"Aku akan menolongmu kawan!!!"
Itu Leo!! dan Rasti! Mereka berlari kencang ke kami. "Awas guncangan kawan!!" Mereka berdua menabrak dengan keras mobil pemilik baru. Dan sulit dipercaya, mobil itu terguling.
Pemilik baru melepasku, dan menyingkir dari dekat mobil, begitu pula teman-temannya. Mobil terguling dengan keras. Rendi dan Tyas melompat keluar mobil. "Jorgi!" Tyas menandukku dengan sayang.
"Hei, lebih baik kita kabur dulu" kata Rendi.
"Benar, ayo kawan!" Leo mendadak menjadi pemimpin kami. Kami berlima lari keluar secepat-cepatnya.
"Kejar! Kejar!" teriak pemilik baru putus asa. Dia tak bisa lagi menggunakan mobilnya, dan mengejar kami dengan kaki, itu mustahil. Setelah terus menerus lari, kami sampai ke jalan yang penuh mobil. Pemilik baru dan teman-temannya sudah tak terlihat.
"Kita berhasil!!!" teriakku kesenangan. Yang lain juga sama gembiranya. Leo bahkan bergoyang lebih keras. Kami berhasil lari dari tempat pembantaian itu. Perasaanku lega bukan kepalang.
"Sekarang bagaimana?" tanya Rasti, yang dari tadi terus menempel ke Leo.
"Kita pergi dari sini. Cari tempat yang baru. Mungkin kita akan jadi kambing liar" kata Rendi.
"Aku tak masalah, asal bisa dekat dengan Tyas" kataku. Tyas langsung malu-malu.
Rendi sepertinya paling tidak tahan dengan tingkah aku-Tyas dan Leo-Rasti. Dia berbalik dan berjalan terus. "Tunggu Rendi" aku mengikutinya. Kami berlima pun berjalan, mencari kehidupan baru.
(Tamat)

0 komentar:

Posting Komentar