Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Mengejar Mas-Mas


"Halo, nunggu lama ya?" kataku menyapa.
Iis melihatku dan tersenyum senang, "Gak kok, baru juga lima menit.  Kenapa bawa tas ransel?"
"Oh, habis ini aku mau ketemu teman kantor. Jadi kemana kita sekarang?"
"Hmm, terserah kamu aja deh."
"Nonton aja dulu terus makan, gimana?"
"Hmm, pengen makan dulu, udah lapar."
Ya ampun, kalau gitu kenapa tanya pendapatku. Tapi sudahlah, hari ini aku akan melakukan apa yang dia mau. Kami sudah pacaran selama lima tahun dan makin lama kami makin jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Dia sudah beberapa kali mengeluhkan ini dan berbicara masa depan. Aku ingin menebusnya di kencan kali ini.
Kami memutuskan untuk makan di sebuah restoran yang enak tapi masih bisa dijangkau dompet, biasalah akhir bulan. Pelayan mempersilahkan kami duduk di meja dengan dua kursi lalu memberikan menu.
"Mau makan apa Kem? Aku ikut aja deh," kata Iis.
"Makanku banyak lho, masa mau diikutin semua."
"Biar deh, aku lagi pengen senang-senang hari ini."
Aku tersenyum. Iis punya kelebihan unik, walaupun makan banyak, badannya tetap kurus. Kelebihan yang diinginkan oleh banyak wanita lain. Aku memesan dua nasi goreng spesial ditambah satu porsi kentang goreng untuk kami bagi berdua.
"Kenapa? Kok kayaknya gugup?" Iis mengejekku yang dari tadi diam.
"Eh, enggak kok. Biasanya kan kamu yang suka bicara. Cerita dong selama gak ketemu ngapain aja?"
Iis mulai berbicara soal pekerjaannya. Dia bekerja sebagai sekretaris di suatu perusahaan besar. Karena itulah kadang dia sibuk sekali mengurus banyak dokumen. Iis juga mengeluhkan bosnya yang selalu bau badan.
"Kadang bau banget sampai aku berharap gajiku dinaikin untuk bertahan disana,." Kami tertawa bersama-sama. Inilah yang kusuka dari Iis, bahkan di banyaknya kesibukan dan kesulitan, dia selalu menghadapinya dengan ceria.
Setelah dia menceritakan hari-harinya, giliranku yang berbicara. Aku bekerja sebagai penulis dan sekarang sedang masa-masa sulit karena mendekati deadline.
"Emang gak papa kita kencan saat kamu lagi dekat deadline gini?" tanyanya.
"Ini lebih penting untukku."
Iis tersipu malu mendengar jawabanku. Aku sendiri malu dengan jawabanku yang terdengar seperti gombalan om-om itu. Karena suasana canggung, aku izin sebentar ke kamar mandi.
Aku melihat pantulan bayanganku di cermin. "Kemal, kamu bisa buat ini sebagai kencan yang paling berkesan. Jangan gugup." Kukatakan itu pada diriku sendiri.
Saat aku keluar dari kamar mandi, terlihat seorang mas-mas sedang mengangguk-angguk di meja kami. Apa-apaan dia? Dia lalu pergi sambil membawa sesuatu di pelukannya.
Aku kembali ke meja, "Kenapa dia? Jangan bilang dia goda kamu."
Iis tertawa, "Bukan sayang. Dia tadi gak sengaja nyenggol kursimu terus jatuh. Habis itu dia minta maaf."
Kursiku? Itu kan tempat aku menyimpan tasku tadi. Kuperiksa isi tasku.
Lho? Kenapa ada laptop?
"Kenapa Kem?" Iis heran melihat ekspresiku yang berubah.
"Ini bukan tasku," kataku pelan, "Apa orang tadi bawa tas yang sama denganku?"
Iis mencoba mengingat, "Mungkin, aku tidak terlalu perhatiin. Emang kenapa? Tasnya ketukar?"
"Kayaknya...YA AMPUN!!" 
Aku berlari keluar dengan tergesa-gesa. Mas-mas itu tidak tampak lagi.
Iis mengejarku, dia bingung melihatku tiba-tiba panik seperti itu, “Kenapa Kem? Ada barang penting ya di dalamnya?”
“Ada naskah ceritaku...”
“Oh, emangnya gak ada backupnya?”
“Ada sih, tapi ada nintendo DS juga di tas itu.”
“Nintendo?” Iis bertanya heran, “Kamu bawa-bawa game ke kencan kita?”
“Aku...aku hanya sedang sangat suka main itu. Masalahnya sekarang dimana dia?”
Iis mengangkat bahu,  “Sudahlah, pasti dia entar juga sadar dan kembali kok. Yuk kita makan lagi.”
“Ini gak seenak yang kamu bilang! Nintendoku!”
Muka Iis merengut. Aku tersadar kalau kata-kataku tadi terlalu keras kuucapkan. “Maaf Is, cuma....ini penting.”
Iis hendak menjawab, tapi dia melihat sesuatu, “Eh, itu dia masnya.”
Aku melihat ke arah yang ditunjuknya. Mas itu berada di seberang dan baru saja menaiki taksi.
“Oh tidak. Aku akan mengejarnya!”
“Eh, bagaimana makanannya?”
“Kan belum datang juga. Ayo, nanti kita makan di tempat lain.” Kutarik tangan Iis ke seberang lalu memanggil taksi yang kebetulan lewat. Sempat kulihat pelayan restoran keluar dengan marah-marah.
“Mau kemana?” tanya supir taksi.
“Kejar taksi itu.” Taksi yang kutunjuk sudah sangat jauh, tapi masih terlihat.
Supir taksi itu mengerutkan dahinya, “Apa kau polisi?”
“Maaf?”
“Apa kau polisi? Dan yang kau kejar itu penjahat? Ooh..apa ibu ini rekan sesama polisi?”
“Sudah, kejar saja!!”
Supir taksi itu tidak berkata apa-apa lagi dan menginjak gas. Mobil kami melaju cepat. Taksi itu masih jauh di depan, dan jalanan yang ramai tidak membantu kami.
Kulihat Iis duduk murung di sebelahku, “Maaf Is, kencan kita jadi kacau, tapi aku sangat membutuhkan tas itu.”
“Ya, ya, aku tahu. Ada Nintendo kan di dalamnya.” Dia lalu diam dan hanya melihat keluar jendela. Aku merasa tidak enak, tapi sekarang ini lebih penting.
“Itu, itu dia taksinya! Lebih cepat!”
Supir itu mempercepat mobilnya. Kini kami sejajar dengan mobil tersebut.
“Oke, sekarang tabrak dia!!”
“APA??” Iis dan supir itu berkata bersamaan.
“Kita harus menghentikan taksi itu.”
“Jangan asal tabrak juga Kem.”
Sebagai gantinya, supir kami mengklakson agar supir taksi yang lain bisa mendengarnya. Percuma, dia tidak mendengar. Aku bisa melihat kalau mas-mas itu memang memegang tasku, tapi sepertinya dia belum sadar kalau tasnya tertukar.
Tiba-tiba saja, taksinya membelok dan berhenti di pinggir jalan. Taksi kami, yang melaju dengan kecepatan tinggi, tidak bisa mengikutinya dan harus berhenti jauh di depan.
“Sialan, ayo kita kejar mas-mas itu.”
“Eh, bayar dulu mas!” Supir taksi itu menahanku. Aku merogoh kantong, lalu tersadar dompetku ada di tas itu. Aku melihat Iis dengan pandangan memohon.
“Uuh, iya iya. Dasar.” Iis mengeluarkan uang untuk membayar taksi.
Kami berhenti di sebuah jalan dekat sungai. Kulihat orang itu sedang berjalan ke arah jembatan. Sepertinya dia hendak menyebrang sungai.
“HEIII TUNGGU!!” Aku berlari ke arahnya.
Mas itu kaget. Tapi bukannya menunggu aku menghampirinya, dia malah lari sambil berteriak, “Aaahh tolong!!”
Kini giliranku yang kaget, “Tunggu! Aku cuma mau bicara!!” Sepertinya faktor muka membuat dia malah takut kepadaku.
Dia tidak menghiraukanku dan terus saja berlari. Untunglah aku berlari lebih cepat daripada dia. Aku berhasil mendekatkan jarak ketika dia naik ke jembatan.
“Kubilang....tunggu!!” Aku melompat untuk menangkapnya. Berhasil, aku menabraknya dan kami jatuh bersama. Sialnya, tas yang dia pegang terlepas dari tangannya dan jatuh ke sungai.
“Tidak...tidak...” Aku tidak bisa berkata lagi melihat tasku hanyut terbawa arus sungai.
Mas itu mendorongku, “Apa-apaan kau? Lihat yang kau lakukan pada tasku!”
“Itu tasku...”
“Apa maksudmu? Itu tasku!”
Iis datang saat itu dengan berlari juga. “Larimu cepat banget,” dia menenangkan nafas sebentar, lalu berkata pada mas itu, “Oh ya mas, ini tas anda.”
Mas itu bingung lalu mengecek isi tas. “Ini tasku! Jadi yang tadi....ya ampun, maafkan aku. Sepertinya aku salah membawa tas.”
Setelah minta maaf berkali-kali, mas itu pergi. Aku masih merenung sambil melihat sungai. Tas itu tidak mungkin kutemukan lagi sekarang. Iis memegang tanganku.
“Maaf, aku tahu kamu sedih soal tas itu.”
Aku mengehela nafas, “Tidak, akulah yang salah. Aku ingin membuat kencan yang akan kau ingat, tapi justru malah kukacaukan. Aku tahu kamu sudah berharap banyak.”
“Berharap banyak?”
“Yaahh akhir-akhir ini kamu bicara tentang masa depan. Aku tahu kamu sudah ingin kita ke tahap selanjutnya...kau tahu, menikah.”
Iis tertawa pelan, “Kem, aku memang ingin menikah, tapi tidak perlu sekarang. Kapanpun kamu siap aja. Aku tunggu kok.”
Aku terpana, “Benarkah? Jadi kamu masih mau menunggu?”
Dia mengangguk pelan.
Aku tersenyum, “Tapi tetap saja aku mengacaukan kencan kita.”
Iis mengapit tanganku, “Ayo, kita makan lalu nonton. Hari ini aku bayarin dulu deh sampai kamu bisa mengganti kartu ATM yang hilang. Jangan biarkan ini menghalangi kencan terbaik kita.”
Sekali lagi, aku merasa beruntung memiliki pasangan seperti dia. Pasangan yang selalu berpikir positif bagaimanapun keadaannya. Kami lalu bergandengan tangan sambil mencari warung makan yang murah.
***
Seorang anak yang sedang bermain di pinggir sungai menemukan sebuah tas yang hanyut. Dia mengambil dengan bantuan tongkat kayu panjang.
“Dapat.,” katanya ketika dia berhasil mengaitkan tongkat itu ke tas lalu mengangkatnya dari sungai.
Dia membuka tas itu. Banyak kertas basah di dalamnya. Dia merogoh-rogoh lagi untuk mencari barang lain.
“Oh wow, Nintendo DS! Aku sudah lama ingin ini!”
Tapi berapa kalipun dia mencoba menyalakan, Nintendo itu tetap mati. Dia mengecek baterainya apakah basah atau tidak.
Ketika dibuka kotak baterainya, dia tidak menemukan baterai. Justru yang dia temukan adalah sebuah cincin yang sangat indah.

0 komentar:

Posting Komentar