baca part sebelumnya disini.
Hal yang pertama kusadari saat bangun adalah badanku
yang tidak bisa bergerak. Dira mengikatku di kursi. Kakiku juga diikatnya. Aku
merasakan tetesan darah di belakang kepalaku, dan memikirkannya membuat
kepalaku makin sakit.
“Medina!! Bima!! Tolong!!”
Tidak ada jawaban. Aku mempunyai firasat buruk kalau
Dira juga telah melakukan sesuatu kepadanya. Kulihat sekeliling untuk mencari
alat yang bisa dipakai untuk melepas ikatan ini.
Aku diikat di kamar tempat aku menemukan anak Dira
yang sudah berubah menjadi zombie. Aku tak tahu ada dimana cewek sialan itu
sekarang, ini saatnya aku untuk kabur. Kulihat ada semacam gunting kecil di
meja yang kelihatannya tempat untuk berdandan.
Sialnya, Dira mengikatku dengan sangat kuat.
Jangankan mengambil gunting itu, bergerak saja aku susah.
Aku mencoba menggerakkan kursi sedikit demi sedikit,
tapi kursiku justru kehilangan keseimbangan dan jatuh.
“Suara apa itu?” Dira masuk dan melihatku berbaring
terikat di lantai, “Oh, ternyata kau sudah bangun.”
“Lepaskan aku sialan!” Aku meronta-ronta.
Dia diam saja, lalu membangunkanku. Aku berteriak
lagi, “Kubilang lepaska...ugh!”
Dira menamparku dengan sangat keras, “Diam atau
kubunuh kau.”
“Dimana yang lain? Kalau kau macam-macam dengan
mereka....ahh!”
Dira menamparku lagi. Rasanya baru beberapa saat
yang lalu dia adalah wanita baik hati yang menolong kami. Sekarang aku sangat
ingin menendang pantatnya.
“Mereka kuberi obat tidur dan sekarang sedang
terlelap di kursi. Sekarang diamlah dan biarkan aku mencari tali untuk mengikat
mereka juga.”
Dia lalu mencari tali di kamarnya. Sesekali dia
mengumpat karena belum juga menemukannya.
“Kenapa kau lakukan ini?” tanyaku.
“Untuk makan,” jawabnya tanpa melihatku, “Bandit-bandit
menguasai daerah ini. Aku harus memberikan sesuatu pada mereka agar bisa diberi
jatah beras dan makanan pokok.”
“Kau mau menukar kami.....dengan beras?”
“Dan bahan pokok lainnya,” tegas Dira.
“Memangnya apa yang akan mereka lakukan pada kami?”
Dia mengangkat bahu, “Entahlah, mungkin mereka akan
menyiksa kalian untuk bersenang-senang. Santailah.”
Itu tidak membuatku santai sama sekali.
“Sekarang diam saja. Mereka akan menjemput sebentar
lagi.” Dira lalu keluar, sepertinya menyerah mencari tali di kamar ini.
Aku ditinggalkan sendiri lagi. Aku meronta-ronta
untuk melonggarkan tali. Kalau aku menyerah sekarang, kami semua akan tamat.
Aku tidak sudi menghabiskan hari-hariku dibawah siksaan para bandit. Lagipula
aku khawatir dengan Bima dan Medina.
“Sialan. Lepas dong!” keluhku kesal.
Pintu terbuka lagi. Aku mematung karena mengira itu
Dira. Ternyata Bima yang berada di pintu itu.
“Bima!” kataku senang. Bima buru-buru menyuruhku
menutup mulut.
“Dia sedang mencari sesuatu di gudang. Jangan
berisik,” bisiknya. Aku mengangguk.
Bima kemudian berusaha melepaskan ikatanku. “Kukira
kau diberi obat tidur?” tanyaku.
“Aku sudah sering minum obat tidur selama berjaga di
markas dulu. Sekarang obat tidur hampir tak ada pengaruhnya padaku.”
Ikatan di kakiku berhasil dilepas. “Bagaimana dengan
Medina?”
“Tenang saja. Dia tertidur pulas, tapi tidak
apa-apa. Sial, ikatannya keras banget.”
Terdengar suara langkah kaki diluar yang membuatku
bergidik, “Ibu itu mau kembali. Cepat cepat!”
“Sedikit lagi.....oke!”
Akhirnya tanganku terbebas. Aku berdiri dan berbisik
pada Bima, “Bagaimana ini? Dia berjalan kesini. Pistolku tertinggal di ruang
tamu.”
Bima mencari kesana kemari, lalu menuju lemari, “Mungkin
disini ada sesuatu untuk menjadi senjata.”
Mungkin karena habis dipukul, kepalaku jadi telat
berpikir. “AWAS JANGAN DIBUKA!”
Tapi Bima sudah membukanya, dan zombie anak itu
berhasil meraihnya. Bima terkaget, dia berusaha menjauhinya. Sayangnya, zombie
itu berhasil menggigit tangannya.
“Aaghh sialan!!” Bima menendang zombie itu ke dalam
lemari lagi. Tapi dia melawan lalu mencoba menggigit Bima lagi.
Aku mengambil gunting dari meja dan bergegas kearah
Bima. Kutusukkan gunting itu berkali-kali ke kepala zombie hingga dia jatuh tak
bergerak.
“Sial! Sial!” Bima mengumpat.
Aku melihat lukanya. Ini tidak bagus. Kami harus
segera mencari kaset Queen.
Pintu menjeblak terbuka, menampakkan Dira dengan
shotgunnya. Dia melihat kami dengan anaknya yang baru saja kami bunuh. Mukanya
berubah murka.
“AAAHHH!!” Ditembakkan shotgun. Aku dan Bima
berhasil bersembunyi di balik lemari di saat-saat terakhir.
“KUBUNUH KALIAN! KUBUNUH KALIAN!” Dira berteriak
seperti orang gila. Dia mengokang senjatanya dan sekali lagi menembakkan ke
arah lemari.
Bima mengambil gunting dari tanganku. Dia menunggu
saat Dira mengokang senjata lalu melemparkan gunting itu. Berhasil, tangan Dira
terkena tusukan gunting dan dia menjatuhkan senjatanya.
“Sekarang!” Aku dan Bima sama-sama keluar dari tempat
persembunyian dan menghantam Dira sekuat tenaga.
“Awas saja kalian! Akan kubunuh kalian semua!” Bima
berhasil menahan Dira di tanah selagi wanita itu meronta-ronta dengan sangat
kasar.
Bima berkata padaku, “Habisi dia!”
“Tapi, dia hanya wanita tua..” kataku ragu.
“Dia bermaksud menjual dan membunuh kita.”
Aku merenungkan kata-kata Bima. Tetap saja di dalam
hati aku merasa tidak tega. Dira hanyalah ibu yang berjuang hidup dan baru saja
kehilangan anaknya.
Bima melihat keraguan di mataku. Dia mengambil
gunting yang jatuh di dekatnya lalu menusukkannya ke kepala Dira. Wanita itu
berhenti meronta.
Aku melihat Bima dengan ngeri, “Kau tidak perlu
melakukan itu.”
Bima menghiraukan kata-kataku, “Lebih baik daripada
dia hidup dengan menjual orang. Ayo kita pergi.”
Bima keluar dari kamar. Aku melihat ke Dira untuk
terakhir kali, lalu menyusul Bima keluar.
Medina masih tertidur pulas di kursi. Aku mencoba
membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan badannya, “Bangun woi!”
Tapi pengaruh obat tidur itu lebih kuat. Sementara
itu, Bima melihat keluar dengan cemas.
“Ini bahaya. Bandit sudah datang. Kita harus segera
pergi.”
Dengan putus asa, aku menyiram minuman yang
dihidangkan Dira ke muka Medina. Medina terbangun dengan kaget.
“Kenapa sih kau?” katanya marah.
“Ngg, maaf membangunkanmu, aku cuma tidak mau kita
diculik dan dibunuh.”
Menghiraukan pandangan heran Medina, aku bertanya
pada Bima, “Kita harus keluar dari sini. Apa ada pintu belakang?”
“Entahlah. Tapi kita coba saja, lalu kita bisa
mencuri mobil itu.”
Kami bergerak ke arah belakang rumah. Ternyata
benar, disana ada pintu yang mengarah keluar juga. Terdengar suara pintu depan
dibuka. Bandit itu sudah berada di rumah.
“Woi nenek! Dimana kau??” mereka berteriak.
Hanya perlu waktu sebentar sampai kami menemukan
mayat Dira. Bima membuka pintu itu.
“Sial, terkunci.”
Ya ampun. Kami tak mungkin mencari kunci itu. “Dobrak
saja,” saranku.
“Nanti terdengar mereka.”
Sementara itu, mereka sepertinya sudah menyadari apa
yang terjadi. “Dira mati! Cari ke seluruh rumah.”
Aku melihat Bima dengan panik. Dia menyerah, “Kita
dobrak, lalu lari secepatnya ke mobil. Oke...satu....dua....TIGA!”
Aku dan Bima mendobrak pintu itu bersama-sama.
Suaranya sangat ribut dan para bandit itu bergegas mengejar kami.
“Aku melihat mereka!! Mereka dibelakang rumah!”
salah satu dari mereka berteriak.
Kami tidak mempedulikan mereka. Secepat mungkin kami
berlari memutar menuju mobil. Salah seorang bandit berdiri di dekat mobil. Dia
sepertinya kaget melihat tamu tak diundang itu dan dengan panik mencoba
mengeluarkan senjatanya.
Bima lebih cepat. Dia menembakkan panahnya ke kepala
bandit itu. Dia lalu masuk ke mobil. Aku dan Medina mengikuti.
Bandit-bandit itu sadar mobilnya dicuri. Mereka
berlarian ke depan rumah dan menembaki kami.
“Tiarap!!” Aku dan Medina menunduk mencari perlindungan.
Bima menginjak gas dan secepatnya mengeluarkan kami dari situasi berbahaya itu.
Saat kami menjauh, terdengar teriakan kata-kata kotor mereka.
“Kemana kita sekarang?” tanya Medina yang sebenarnya
masih bingung apa yang sedang terjadi.
“Kita harus ke kota,” jawabku, “Bima tergigit. Kita
akan mencari toko kaset.”
“Bima digigit? Kenapa bisa?”
Bima diam saja, jadi aku yang menjelaskan kepada
Medina. Walau dia memperlihatkan muka tenang, tapi aku yakin Bima sedang sangat
cemas sekarang. Aku tak mau menambah beban dulu.
Mobil menepi ke pinggir jalan. Aku bertanya heran
pada Bima, “Ada apa?”
Keadaan Bima sangat buruk. Nafasnya memburu parah,
dan badannya penuh keringat. Bagaimana mungkin? Ini kan baru tiga jam?
Satu-satunya orang yang kulihat berubah karena
digigit adalah Frank, dan itu membutuhkan waktu seharian. Ini terlalu cepat.
“Gantian Mal. Aku sangat capek.” Bima pindah ke
kursi penumpang. Aku kini menggantikannya menyetir.
“Tenang saja. Kau akan selamat.” Aku mencoba
optimis. Bima tidak menjawab dan hanya memejamkan mata.
Satu jam lagi berlalu. Akhirnya kota terlihat.
“Bim, kita sampai di kota!”
Bima makin memburuk. Kulitnya kini menghitam. Sepertinya
dia sangat menderita karena badannya panas.
“Itu dia toko kaset!!” Medina berkata dari belakang.
Aku segara menghentikan mobil di depannya.
“Bima, tunggu sebentar ya.” Dia bahkan tidak bisa
menjawab lagi dan hanya mengangguk pelan.
Aku dan Medina bergegas masuk ke dalam toko. Ada
satu zombie disana. Medina mengeluarkan pisaunya. Dengan hati-hati, dia
menghindari serangan zombie itu lalu menusukkan pisaunya tepat di kepala.
“Bagus. Kita cari kaset Queen sekarang.”
Aku mencari di bagian musik barat, sedangkan Medina
mencari di bagian musik klasik.
“Disini tidak ada,” kata Medina.
“Disini juga tidak ada...sialan!! Cari lebih teliti
lagi di semua tempat.”
Kini kami mencari bukan hanya di rak, tapi juga di
gudang dan kotak-kotak kardus yang berisi banyak kaset lama.
“Ada!!” teriak Medina sambil mengeluarkan sebuah
kaset dari salah satu kardus, “Ini dia!”
Aku mengambilnya dan berlari ke mobil.
“Bima, kami menemukannya!!”
Tapi Bima tidak menjawab.
“Bima....”
Matanya membuka. Tak ada lagi tanda kehidupan
disana. Dia melihat ke kami, dan meronta-ronta.
“Oh tidak...” kataku pelan. Kami terlambat. Bima
sudah berubah menjadi zombie.
Bima menggapai-gapai, tapi sabuk pengaman
menahannya. Medina menutup mata, menangis. Aku mengeluarkan pistol dan
mengarahkan ke kepalanya.
“Maaf.” Kutarik pelatuk pistol.
Bersambung.......ke part 4.
0 komentar:
Posting Komentar