baca part sebelumnya disini.
Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat
itu. Semuanya terasa tidak nyata. Apakah itu baru saja terjadi? Apa benar
Farandi baru saja menembak Medina?
Medina tak bergerak. Darahnya
menggenangi lantai. Ini seperti mimpi burukku yang paling buruk.
Farandi terlihat sama tidak percayanya
denganku, “A...aku...aku tak sengaja...” Mukanya memucat.
Aku mendorongnya dengan kasar ke
samping, lalu berlari ke arah Medina. Clara berlutut di sampingnya dengan
sangat pucat.
“Kemal....Medina...” katanya
terbata-bata.
Aku melihat lukanya. Darah terus
mengucur keluar. “Panggil Rere!!” teriakku.
Tak ada yang bergerak. Mereka hanya
melihatku dengan sedih.
“Cepat panggil Rere!! Dia masih bisa
diselamatkan!!”
Bahkan saat aku mengatakan itu, aku tahu
itu semua salah. Nafas Medina sudah berhenti. Dia sudah tiada.
Aku merunduk. Air mata tak terbendung
lagi keluar dari mataku.
“A...maafkan aku...” kata Farandi.
Pistol Medina terjatuh di sampingnya.
Kuambil pistol itu dan kuarahkan pada Farandi.
“Kemal, tenang dulu!” seru Indra. “Kita
tak bisa berbuat seenaknya sekarang!”
“Diam!! Kau lihat apa yang dia lakukan!
Dia membunuh Medina!”
“Aku tahu, tapi.... posisi kita sekarang
tak menguntungkan..”
“Aku tak peduli! Akan kubunuh dia, lalu
kubunuh mereka semua!” Aku benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri. Sekarang di kepalaku hanya ada balas dendam.
Farandi menjatuhkan senjatanya. Dia
terlihat sangat ketakutan. “Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku...”
“Aku tak mau mendengar alasanmu.” Aku
menarik pelatuk, siap menembak.
Farandi secara mendadak berlari, mencoba
keluar dari rumah. Aku mencegatnya dan berhasil menjegal kakinya. Kutahan
badannya di lantai, lalu kuarahkan pistol ke kepalanya.
“Tunggu dulu!” erangnya. “Jika kau
menembakku, teman-temanku akan membunuh kalian semua!”
“Sudah kubilang, aku tak peduli!”
Kutempelkan moncong pistolku ke dahinya. Aku siap menembak.
Tiba-tiba aku merasakan pukulan di
belakang leherku. Lalu semuanya menjadi gelap.
Aku terbangun dengan perasaan sangat
bingung. Aku tak tahu dimana ini dan apa yang sedang terjadi. Lalu beberapa
saat kemudian, aku teringat kejadian tertembaknya Medina. Kesedihan
menghantamku dengan hebat.
Kulihat sekeliling. Aku berada di ruangan
yang sangat kosong. Tak ada perabotan ataupun hiasan. Yang ada hanyalah
jendela, tapi itu pun sudah dijeruji. Ini seperti penjara.
“Maaf soal pukulan itu.”
Itu Indra. Dia duduk dengan bersandar di
dinding. Ada juga Zico dan Ali di sana.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku yang memukulmu sampai pingsan agar
kau tidak berbuat macam-macam.”
“Macam-macam katamu?” Kemarahanku
kembali meledak. “Dia pantas dibunuh. Lagipula ini dimana? Dan apa yang terjadi
dengan yang lain?”
“Tenanglah. Aku melakukan itu agar kita
semua selamat.” Indra menghadapku, kali ini duduk bersila. “Begini, aku membuat
kesepakatan dengan Farandi agar dia memastikan keselamatan kita semua. Sebagai
gantinya, kini kita bergabung dengan mereka.”
“Bergabung dengan mereka?? Aku lebih
baik mati!”
“Terserah kalau kau mau mati. Aku sih
tidak,” komentar Zico pelan.
Aku melihatnya dengan kesal. Dalam hati,
aku sedikit merasa semua kejadian sebelumnya adalah kesalahan Zico yang
berkeliaran seenaknya. “Jadi, mereka punya lagu Queen di sini?”
“Tidak.” Zico menunjukkan lengan
kirinya....yang sudah tidak ada.
“Mereka memotongnya. Dan ternyata
berhasil.” Zico menjelaskan. Dia sepertinya masih menahan sakit. Perban di
potongan tangannya juga masih merah.
“Tanganmu dipotong? Ya ampun...” Aku tak
bisa membayangkan jika harus tanganku yang dipotong.
“Jadi, begitulah,” lanjut Indra. “Hanya
dengan membuat kesepakatan seperti itu kita bisa menyelamatkan Zico dan
mengobati yang lain.”
“Yang lain?” Aku tersadar lagi. “Kemana
yang lain?”
“Rere dan para cewek dikurung di kamar
berbeda,” jawab Ali. “Kuharap mereka tidak apa-apa.”
“Bagaimana....bagaimana dengan Medina?
Apa dia....”
Ali menggeleng sedih, “Maaf Kem, tapi
Medina memang tak bisa diselamatkan lagi. Sebelum kesini, Rere dan Clara
meminta izin menguburnya di halaman rumah itu.”
Bodohnya aku yang sempat berharap kalau
dia masih hidup. Kini harapan itu justru membuatku makin depresi.
“Sekarang apa?” tanyaku. Aku tak mau
kami hanya diam di sini. Tidak melakukan apa-apa hanya membuatku makin
menderita karena memikirkan Medina. “Apa kita benar-benar hanya tunduk pada
mereka?”
Indra memberi tanda agar aku mengecilkan
suara. “Tentu saja tidak. Ini justru kesempatan kita untuk menghancurkan mereka
dari dalam. Kami menunggumu bangun dari tadi. Sekarang, kita bisa bergerak.”
“Bagaimana kita keluar dari sini?”
Indra melihat ke Ali yang tersenyum
bangga. “Tenang. Aku tahu bagaimana cara membuka kunci dengan....ini.” Dia
menunjukkan sebuah kawat. “Aku sempat mengambilnya sebelum kita keluar dari
rumah itu.”
Ali berjalan terpincang-pincang ke
pintu. Lalu dia memuntir-muntir kawatnya dan memasukkan ke lubang kunci.
“Sejak kapan kau bisa membuka kunci
dengan kawat?”
“Baru sekarang. Ini pertama kalinya aku
mencoba, katanya.
Hening.
“Kau yakin bisa?” tanyaku dengan ragu.
“Aku sudah berkali-kali melihanya di
film action. Para agen rahasia melakukannya dengan sangat mudah. Kali ini,
akulah si agen rahasia. Percaya saja padaku.”
Aku melihat ke Indra yang sepertinya
merasa tak ada salahnya membiarkan Ali mencoba.
Kepercayaan pada Ali berakhir setelah
dia tak juga mampu membukanya setelah heboh mengutak-atik selama 30 menit.
“Kenapa gak bisa? Harusnya sekarang udah kebuka,” gerutunya.
“Hidup ini tak semudah TV ya?” ejekku.
Ali tidak mempedulikannya dan terus
mencoba. Tiba-tiba saja keajaiban terjadi. Terdengar bunyi klik yang menandakan kunci terbuka. Kami bertiga yang tadinya sudah
pasrah dan mencari jalan lain kaget. Sebaliknya, Ali sangat bangga, walaupun
dia tak bisa menutupi kalau dia juga sempat kaget.
“Tuh kan! Apa kubilang! Kuncinya
kebu....UGH!!”
Pintu mendadak terbuka dari luar dan
menghantam Ali tepat di muka. Farandi mengintip masuk, “Ternyata kalian memang
di sini...”
Kami semua berdiri dengan waspada
(kecuali Ali yang terbaring dengan hidung memerah). Darahku mendidih hanya
dengan melihat Farandi. Indra sepertinya tahu niatku dan berhasil menahanku
sebelum aku menerjang Farandi.
“Tenanglah!” katanya tegas.
“Minggir! Dia membunuh Medina! Akan
kuhajar bocah itu!”
Farandi masuk dan menyuruhku diam, “Kalau
kau berisik begitu, yang lain bisa mendengar kita. Aku di sini untuk membantuk
kalian.”
“Oh ya? Kami tak memerlukan bantuanmu,”
kataku dengan sinis.
Ali duduk sambil menggosok-gosok hidungnya,
“Lagipula kenapa kau tiba-tiba ingin membantu kami? Itu mencurigakan tahu.”
“Aku sudah membantu kalian sebelumnya.
Ingat, karena aku membujuk bos makanya kalian masih hidup sekarang.” Farandi
membela diri.
Indra mengangkat bahu, “Memang benar
sih. Dialah yang meminta mereka tidak membunuh kita, serta mengobati yang
terluka. Kalau tak ada dia kita tak akan selamat.”
“Aku tak percaya dia. Dia pembunuh!”
Farandi maju ke arahku. Tatapannya
sangat marah. “Kau membunuh kakakku, jangan kira aku sudah melupakan itu. Apa
kau tahu betapa sulitnya hidupku setelah kami berpisah. Aku harus bergabung
dengan orang-orang seperti ini hanya untuk bertahan hidup!”
“Niko mau membunuh kami!” balasku tak
mau kalah. “Itu dimana situasi kalau bukan dia yang mati, maka akulah yang
mati.”
“Aku lebih memilih kau mati kalau boleh
jujur.”
Aku hampir saja memukulnya kalau saja
lagi-lagi tidak ditahan Indra.
Farandi melanjutkan kata-katanya, “Aku
benci kalian. Tapi aku juga benci orang-orang ini. Lagipula aku mengakui kalau
aku salah telah menembak temanmu yang bernama Medina itu.”
“Jangan sebut namanya!” teriakku kesal.
“Aku tak sengaja! Dia mengendap-endap
dari belakang dan aku menekan senjataku begitu saja. Aku sangat takut saat itu.”
Aku diam, tak tahu harus merespon apa.
Memang benar aku masih sangat marah dengannya, tapi aku juga merasa ini
sebagian salahku. Jika dilihat lagi, dia hanyalah bocah yang ketakutan dalam
menjalani kehidupan di dunia penuh zombie ini. Dan akulah yang membunuh
kakaknya.
“Baiklah,” kataku akhirnya, “kita tunda
ini untuk sementara. Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Farandi mengeluarkan serangkaian kunci
dari kantongnya, “Aku mencuri ini. Harusnya ini bisa membuka semua pintu di
gedung ini. Masalahnya aku tak tahu kunci mana untuk pintu mana.”
“Kita perlu senjata,” potong Indra. “Akan
ada banyak orang di sini dan kita tak bisa apa-apa tanpa senjata.”
“Aku tahu dimana mereka menyimpan
senjata kalian. Ikuti aku, tapi perlahan dan jangan sampai ketahuan.”
“Kami tahu itu,” kataku. “Ayo pimpin
jalan.”
Farandi mengintip keluar untuk
memastikan aman. Zico bangun dengan susah payah hanya dengan satu tangan. Semua
kejadian ini membuatku sulit beradatasi dengan keadaan Zico yang baru.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tak perlu mencemaskan aku. Asal kita
keluar dari sini, aku akan baik-baik saja.”
Aku lalu melihat ke Ali, “Bagaimana
dengan kakimu?”
“Aku sempat mendapat perawatan tambahan
oleh Rere, dan aku juga sudah banyak istirahat, jadi kurasa tak apa-apa.”
Seperti ingin memperlihatkan kakinya yang sudah sembuh, Ali
menghentak-hentaknya ke lantai. Dari ekspresinya, kurasa dia belum sesembuh
itu.
“Kalian siap? Ikuti aku.” Farandi
bergerak dengan hati-hati. Kami mengikutinya dengan waspada sambil memasang
kuping baik-baik.
Ali berbisik, “Dimana Rere dan yang
lain?”
Farandi menunjuk ke atas, “Mereka berada
satu lantai di atas. Mau ke mana dulu? Senjata atau mereka?”
“Lebih baik senjata dulu,” kata Indra. “Agar
lebih mudah selanjutnya.”
“Kalau begitu ke sini.” Kami berbelok di
lorong depan. Lorong itu sendiri mengarah ke banyak kamar.
“Kita dimana sebenarnya?” tanyaku. Aku
tak tahu kami dibawa kemana sebelumnya karena pingsan.
“Motel,” jawab Zico singkat. “Tapi
kurasa banyak barangnya sudah dipindahkan.”
“Memang, tapi ini hanya sementara,” kata
Farandi. Dia lalu memberi tanda sembunyi. Ada dua orang bersenjata sambil
menjaga salah satu ruangan.
“Yang itu?” bisik Indra. Farandi
mengangguk.
“Sekarang bagaimana kita bisa melewati
mereka?” tanya Ali.
Farandi memberi tanda agar kami tetap
diam. Lalu dengan senormal mungkin, dia keluar dari tempat persembunyian ke
arah mereka.
“Mau apa kau?” kata salah satu penjaga
dengan curiga.
Tanpa basa-basi, Farandi menarik
pistolnya dan menembak mereka berdua. Para penjaga itu tak sempat bereaksi
karena sangat terkejut. Pistol Farandi dilengkapi peredam suara sehingga tidak
menimbulkan keributan.
Kami berdua menyusulnya setelah diberi
tanda.
“Kau kejam juga...” kata Ali melihat
para penjaga itu terbaring tak bergerak.
“Aku melakukannya agar kita selamat,”
jawabnya. Aku melihatnya sedikit gemetar. Pasti dia sendiripun tak suka
melakukan semua ini.
Farandi mulai mencoba-coba kunci ke
pintu, “Kita harus cepat sebelum ada yang datang ke sini.”
“Kalau begitu, begini saja,” Zico
tiba-tiba menarik Farandi dan menendang pintu itu hingga terbuka dengan keras.
“Apa yang kau lakukan?” Indra
menahannya. “Itu terlalu ribut.”
Tapi tak ada tanda-tanda ada orang lain
yang mendengarnya. “Tuh kan? Ayo kita cepat ambil senjata kita.”
“Jangan sembarangan lain kali! Ini
masalah hidup mati!” kata Indra ke Zico. Tapi Zico tidak peduli dan melewatinya
begitu saja.
Aku juga ikut masuk. Ruangan itu sama
kosongnya dengan tempat kami dikurung tadi. Ada satu pintu lagi yang menuju
kamar lain. Sedangkan senjata kami dikumpulkan pada satu kotak di sudut
ruangan.
“Bagus!” Aku mengambil pisau dan pistol
kecilku, lalu menyimpan beberapa pistol lain untuk Rere, Clara dan Intan. Tak
lupa kami mengambil beberapa amunisi.
Zico tidak mengambil senjata api dan
lebih memilih parang. “Dengan kondisi seperti ini, aku tak akan bisa membidik
dengan benar.” Begitulah alasannya.
“Hei,” kata Ali, “kamar ini isinya apa?
Pintunya tak dikunci.”
Farandi melihatnya, “Aku juga tidak
tahu. Aku tak pernah diizinkan masuk ke kamar itu.”
Ali membuka pintu itu dan melihat ke
dalamnya. Dia terdiam.
“Ada apa?” Diamnya Ali membuatku penasaran.
Kuintip ke kamar itu, dan isinya sangat mengejutkan.
Zombie. Dan bukan satu atau dua, tapi
puluhan. Semuanya terkurung dalam jeruji besi di satu ruangan besar.
Teman-temanku yang lain sama kagetnya denganku ketika melihatnya.
“Kenapa mereka mengurung zombie di sini?”
tanya Ali.
Indra masuk dan memeriksa jeruji itu. “Mereka
menyiapkannya untuk menyerang orang. Tapi ini bagus, aku punya rencana.”
Dia tersenyum, dan aku merasa tak akan
suka rencananya.
“Kita lepaskan mereka di dalam gedung. Kita
akan memanfaatkan keributa untuk menyelamatkan para cewek dan kabur dari sini.
Ini saatnya mereka merasakan mengerikannya rencana mereka sendiri.”
Bersambung.....ke part 15.
0 komentar:
Posting Komentar