Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Ali Mencoba Menjadi Agen Rahasia (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 14)


baca part sebelumnya disini.

Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Semuanya terasa tidak nyata. Apakah itu baru saja terjadi? Apa benar Farandi baru saja menembak Medina?

Medina tak bergerak. Darahnya menggenangi lantai. Ini seperti mimpi burukku yang paling buruk.

Farandi terlihat sama tidak percayanya denganku, “A...aku...aku tak sengaja...” Mukanya memucat.

Aku mendorongnya dengan kasar ke samping, lalu berlari ke arah Medina. Clara berlutut di sampingnya dengan sangat pucat.

“Kemal....Medina...” katanya terbata-bata.

Aku melihat lukanya. Darah terus mengucur keluar. “Panggil Rere!!” teriakku.

Tak ada yang bergerak. Mereka hanya melihatku dengan sedih.

“Cepat panggil Rere!! Dia masih bisa diselamatkan!!”

Bahkan saat aku mengatakan itu, aku tahu itu semua salah. Nafas Medina sudah berhenti. Dia sudah tiada.
Aku merunduk. Air mata tak terbendung lagi keluar dari mataku.

“A...maafkan aku...” kata Farandi.

Pistol Medina terjatuh di sampingnya. Kuambil pistol itu dan kuarahkan pada Farandi.

“Kemal, tenang dulu!” seru Indra. “Kita tak bisa berbuat seenaknya sekarang!”

“Diam!! Kau lihat apa yang dia lakukan! Dia membunuh Medina!”

“Aku tahu, tapi.... posisi kita sekarang tak menguntungkan..”

“Aku tak peduli! Akan kubunuh dia, lalu kubunuh mereka semua!” Aku benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Sekarang di kepalaku hanya ada balas dendam.

Farandi menjatuhkan senjatanya. Dia terlihat sangat ketakutan. “Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku...”

“Aku tak mau mendengar alasanmu.” Aku menarik pelatuk, siap menembak.

Farandi secara mendadak berlari, mencoba keluar dari rumah. Aku mencegatnya dan berhasil menjegal kakinya. Kutahan badannya di lantai, lalu kuarahkan pistol ke kepalanya.

“Tunggu dulu!” erangnya. “Jika kau menembakku, teman-temanku akan membunuh kalian semua!”

“Sudah kubilang, aku tak peduli!” Kutempelkan moncong pistolku ke dahinya. Aku siap menembak.
Tiba-tiba aku merasakan pukulan di belakang leherku. Lalu semuanya menjadi gelap.



Aku terbangun dengan perasaan sangat bingung. Aku tak tahu dimana ini dan apa yang sedang terjadi. Lalu beberapa saat kemudian, aku teringat kejadian tertembaknya Medina. Kesedihan menghantamku dengan hebat.

Kulihat sekeliling. Aku berada di ruangan yang sangat kosong. Tak ada perabotan ataupun hiasan. Yang ada hanyalah jendela, tapi itu pun sudah dijeruji. Ini seperti penjara.

“Maaf soal pukulan itu.”

Itu Indra. Dia duduk dengan bersandar di dinding. Ada juga Zico dan Ali di sana.

“Apa maksudmu?” tanyaku.

“Aku yang memukulmu sampai pingsan agar kau tidak berbuat macam-macam.”

“Macam-macam katamu?” Kemarahanku kembali meledak. “Dia pantas dibunuh. Lagipula ini dimana? Dan apa yang terjadi dengan yang lain?”

“Tenanglah. Aku melakukan itu agar kita semua selamat.” Indra menghadapku, kali ini duduk bersila. “Begini, aku membuat kesepakatan dengan Farandi agar dia memastikan keselamatan kita semua. Sebagai gantinya, kini kita bergabung dengan mereka.”

“Bergabung dengan mereka?? Aku lebih baik mati!”

“Terserah kalau kau mau mati. Aku sih tidak,” komentar Zico pelan.

Aku melihatnya dengan kesal. Dalam hati, aku sedikit merasa semua kejadian sebelumnya adalah kesalahan Zico yang berkeliaran seenaknya. “Jadi, mereka punya lagu Queen di sini?”

“Tidak.” Zico menunjukkan lengan kirinya....yang sudah tidak ada.

“Mereka memotongnya. Dan ternyata berhasil.” Zico menjelaskan. Dia sepertinya masih menahan sakit. Perban di potongan tangannya juga masih merah.

“Tanganmu dipotong? Ya ampun...” Aku tak bisa membayangkan jika harus tanganku yang dipotong.

“Jadi, begitulah,” lanjut Indra. “Hanya dengan membuat kesepakatan seperti itu kita bisa menyelamatkan Zico dan mengobati yang lain.”

“Yang lain?” Aku tersadar lagi. “Kemana yang lain?”

“Rere dan para cewek dikurung di kamar berbeda,” jawab Ali. “Kuharap mereka tidak apa-apa.”

“Bagaimana....bagaimana dengan Medina? Apa dia....”

Ali menggeleng sedih, “Maaf Kem, tapi Medina memang tak bisa diselamatkan lagi. Sebelum kesini, Rere dan Clara meminta izin menguburnya di halaman rumah itu.”

Bodohnya aku yang sempat berharap kalau dia masih hidup. Kini harapan itu justru membuatku makin depresi.

“Sekarang apa?” tanyaku. Aku tak mau kami hanya diam di sini. Tidak melakukan apa-apa hanya membuatku makin menderita karena memikirkan Medina. “Apa kita benar-benar hanya tunduk pada mereka?”

Indra memberi tanda agar aku mengecilkan suara. “Tentu saja tidak. Ini justru kesempatan kita untuk menghancurkan mereka dari dalam. Kami menunggumu bangun dari tadi. Sekarang, kita bisa bergerak.”

“Bagaimana kita keluar dari sini?”

Indra melihat ke Ali yang tersenyum bangga. “Tenang. Aku tahu bagaimana cara membuka kunci dengan....ini.” Dia menunjukkan sebuah kawat. “Aku sempat mengambilnya sebelum kita keluar dari rumah itu.”

Ali berjalan terpincang-pincang ke pintu. Lalu dia memuntir-muntir kawatnya dan memasukkan ke lubang kunci.

“Sejak kapan kau bisa membuka kunci dengan kawat?”

“Baru sekarang. Ini pertama kalinya aku mencoba, katanya.

Hening.

“Kau yakin bisa?” tanyaku dengan ragu.

“Aku sudah berkali-kali melihanya di film action. Para agen rahasia melakukannya dengan sangat mudah. Kali ini, akulah si agen rahasia. Percaya saja padaku.”

Aku melihat ke Indra yang sepertinya merasa tak ada salahnya membiarkan Ali mencoba.

Kepercayaan pada Ali berakhir setelah dia tak juga mampu membukanya setelah heboh mengutak-atik selama 30 menit. “Kenapa gak bisa? Harusnya sekarang udah kebuka,” gerutunya.

“Hidup ini tak semudah TV ya?” ejekku.

Ali tidak mempedulikannya dan terus mencoba. Tiba-tiba saja keajaiban terjadi. Terdengar bunyi klik yang menandakan kunci terbuka. Kami bertiga yang tadinya sudah pasrah dan mencari jalan lain kaget. Sebaliknya, Ali sangat bangga, walaupun dia tak bisa menutupi kalau dia juga sempat kaget.

“Tuh kan! Apa kubilang! Kuncinya kebu....UGH!!”

Pintu mendadak terbuka dari luar dan menghantam Ali tepat di muka. Farandi mengintip masuk, “Ternyata kalian memang di sini...”

Kami semua berdiri dengan waspada (kecuali Ali yang terbaring dengan hidung memerah). Darahku mendidih hanya dengan melihat Farandi. Indra sepertinya tahu niatku dan berhasil menahanku sebelum aku menerjang Farandi.

“Tenanglah!” katanya tegas.

“Minggir! Dia membunuh Medina! Akan kuhajar bocah itu!”

Farandi masuk dan menyuruhku diam, “Kalau kau berisik begitu, yang lain bisa mendengar kita. Aku di sini untuk membantuk kalian.”

“Oh ya? Kami tak memerlukan bantuanmu,” kataku dengan sinis.

Ali duduk sambil menggosok-gosok hidungnya, “Lagipula kenapa kau tiba-tiba ingin membantu kami? Itu mencurigakan tahu.”

“Aku sudah membantu kalian sebelumnya. Ingat, karena aku membujuk bos makanya kalian masih hidup sekarang.” Farandi membela diri.

Indra mengangkat bahu, “Memang benar sih. Dialah yang meminta mereka tidak membunuh kita, serta mengobati yang terluka. Kalau tak ada dia kita tak akan selamat.”

“Aku tak percaya dia. Dia pembunuh!”

Farandi maju ke arahku. Tatapannya sangat marah. “Kau membunuh kakakku, jangan kira aku sudah melupakan itu. Apa kau tahu betapa sulitnya hidupku setelah kami berpisah. Aku harus bergabung dengan orang-orang seperti ini hanya untuk bertahan hidup!”

“Niko mau membunuh kami!” balasku tak mau kalah. “Itu dimana situasi kalau bukan dia yang mati, maka akulah yang mati.”

“Aku lebih memilih kau mati kalau boleh jujur.”

Aku hampir saja memukulnya kalau saja lagi-lagi tidak ditahan Indra.

Farandi melanjutkan kata-katanya, “Aku benci kalian. Tapi aku juga benci orang-orang ini. Lagipula aku mengakui kalau aku salah telah menembak temanmu yang bernama Medina itu.”

“Jangan sebut namanya!” teriakku kesal.

“Aku tak sengaja! Dia mengendap-endap dari belakang dan aku menekan senjataku begitu saja. Aku sangat takut saat itu.”

Aku diam, tak tahu harus merespon apa. Memang benar aku masih sangat marah dengannya, tapi aku juga merasa ini sebagian salahku. Jika dilihat lagi, dia hanyalah bocah yang ketakutan dalam menjalani kehidupan di dunia penuh zombie ini. Dan akulah yang membunuh kakaknya.

“Baiklah,” kataku akhirnya, “kita tunda ini untuk sementara. Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Farandi mengeluarkan serangkaian kunci dari kantongnya, “Aku mencuri ini. Harusnya ini bisa membuka semua pintu di gedung ini. Masalahnya aku tak tahu kunci mana untuk pintu mana.”

“Kita perlu senjata,” potong Indra. “Akan ada banyak orang di sini dan kita tak bisa apa-apa tanpa senjata.”

“Aku tahu dimana mereka menyimpan senjata kalian. Ikuti aku, tapi perlahan dan jangan sampai ketahuan.”

“Kami tahu itu,” kataku. “Ayo pimpin jalan.”

Farandi mengintip keluar untuk memastikan aman. Zico bangun dengan susah payah hanya dengan satu tangan. Semua kejadian ini membuatku sulit beradatasi dengan keadaan Zico yang baru.

“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.

“Tak perlu mencemaskan aku. Asal kita keluar dari sini, aku akan baik-baik saja.”

Aku lalu melihat ke Ali, “Bagaimana dengan kakimu?”

“Aku sempat mendapat perawatan tambahan oleh Rere, dan aku juga sudah banyak istirahat, jadi kurasa tak apa-apa.” Seperti ingin memperlihatkan kakinya yang sudah sembuh, Ali menghentak-hentaknya ke lantai. Dari ekspresinya, kurasa dia belum sesembuh itu.

“Kalian siap? Ikuti aku.” Farandi bergerak dengan hati-hati. Kami mengikutinya dengan waspada sambil memasang kuping baik-baik.

Ali berbisik, “Dimana Rere dan yang lain?”

Farandi menunjuk ke atas, “Mereka berada satu lantai di atas. Mau ke mana dulu? Senjata atau mereka?”

“Lebih baik senjata dulu,” kata Indra. “Agar lebih mudah selanjutnya.”

“Kalau begitu ke sini.” Kami berbelok di lorong depan. Lorong itu sendiri mengarah ke banyak kamar.

“Kita dimana sebenarnya?” tanyaku. Aku tak tahu kami dibawa kemana sebelumnya karena pingsan.

“Motel,” jawab Zico singkat. “Tapi kurasa banyak barangnya sudah dipindahkan.”

“Memang, tapi ini hanya sementara,” kata Farandi. Dia lalu memberi tanda sembunyi. Ada dua orang bersenjata sambil menjaga salah satu ruangan.

“Yang itu?” bisik Indra. Farandi mengangguk.

“Sekarang bagaimana kita bisa melewati mereka?” tanya Ali.

Farandi memberi tanda agar kami tetap diam. Lalu dengan senormal mungkin, dia keluar dari tempat persembunyian ke arah mereka.

“Mau apa kau?” kata salah satu penjaga dengan curiga.

Tanpa basa-basi, Farandi menarik pistolnya dan menembak mereka berdua. Para penjaga itu tak sempat bereaksi karena sangat terkejut. Pistol Farandi dilengkapi peredam suara sehingga tidak menimbulkan keributan.

Kami berdua menyusulnya setelah diberi tanda.

“Kau kejam juga...” kata Ali melihat para penjaga itu terbaring tak bergerak.

“Aku melakukannya agar kita selamat,” jawabnya. Aku melihatnya sedikit gemetar. Pasti dia sendiripun tak suka melakukan semua ini.

Farandi mulai mencoba-coba kunci ke pintu, “Kita harus cepat sebelum ada yang datang ke sini.”

“Kalau begitu, begini saja,” Zico tiba-tiba menarik Farandi dan menendang pintu itu hingga terbuka dengan keras.

“Apa yang kau lakukan?” Indra menahannya. “Itu terlalu ribut.”

Tapi tak ada tanda-tanda ada orang lain yang mendengarnya. “Tuh kan? Ayo kita cepat ambil senjata kita.”

“Jangan sembarangan lain kali! Ini masalah hidup mati!” kata Indra ke Zico. Tapi Zico tidak peduli dan melewatinya begitu saja.

Aku juga ikut masuk. Ruangan itu sama kosongnya dengan tempat kami dikurung tadi. Ada satu pintu lagi yang menuju kamar lain. Sedangkan senjata kami dikumpulkan pada satu kotak di sudut ruangan.

“Bagus!” Aku mengambil pisau dan pistol kecilku, lalu menyimpan beberapa pistol lain untuk Rere, Clara dan Intan. Tak lupa kami mengambil beberapa amunisi.

Zico tidak mengambil senjata api dan lebih memilih parang. “Dengan kondisi seperti ini, aku tak akan bisa membidik dengan benar.” Begitulah alasannya.

“Hei,” kata Ali, “kamar ini isinya apa? Pintunya tak dikunci.”

Farandi melihatnya, “Aku juga tidak tahu. Aku tak pernah diizinkan masuk ke kamar itu.”

Ali membuka pintu itu dan melihat ke dalamnya. Dia terdiam.

“Ada apa?” Diamnya Ali membuatku penasaran. Kuintip ke kamar itu, dan isinya sangat mengejutkan.

Zombie. Dan bukan satu atau dua, tapi puluhan. Semuanya terkurung dalam jeruji besi di satu ruangan besar. Teman-temanku yang lain sama kagetnya denganku ketika melihatnya.

“Kenapa mereka mengurung zombie di sini?” tanya Ali.

Indra masuk dan memeriksa jeruji itu. “Mereka menyiapkannya untuk menyerang orang. Tapi ini bagus, aku punya rencana.”

Dia tersenyum, dan aku merasa tak akan suka rencananya.


“Kita lepaskan mereka di dalam gedung. Kita akan memanfaatkan keributa untuk menyelamatkan para cewek dan kabur dari sini. Ini saatnya mereka merasakan mengerikannya rencana mereka sendiri.”



Bersambung.....ke part 15.

0 komentar:

Posting Komentar