baca part sebelumnya di sini.
Anjing-anjing itu bergerak dengan sangat
cepat. Ketika kami baru mau menjauh, mereka sudah berhasil menerkam salah satu
dari kami. Intan tergigit di tangan oleh salah satu anjing. Dia terjatuh, tapi
tak bisa apa-apa karena anjing yang satunya mulai menerkamnya juga. Teriakan
takutnya menyayat perasaanku.
“Intaan!!!” teriak Clara. Dia bergerak
mencoba menolongnya tapi kutahan.
“Tak ada yang bisa kita lakukan. Ayo
pergi dari sini!”
“Tapi...tapi...” Air mata mengalir deras
di pipinya. Dia melihat dengan putus asa ke Intan yang sudah tak memberontak
lagi.
“Cepat!! Kita tak akan selamat jika tak
kabur!!”
Rere ternyata berpikir lain. Tiba-tiba
saja dia sudah di depanku dan berlari ke arah anjing itu. Ketika sudah dekat,
dia menembak salah satu anjing. Tapi karena tangannya bergetar, anjing itu
justru tertembak di badan.
Dia melihat ke Rere dengan ganas dan
mulai mengejarnya. Ali menarik Rere di saat terakhir untuk menghindarinya. Aku
mencoba menembak anjing itu, tapi dia sangat lincah. Ini terlalu sulit.
“Mundur!! Tidak usah dilawan!” teriakku
pada yang lain.
Anjing itu kali ini menyerangku. Aku
memberanikan diri untuk menunggu sampai anjing itu cukup dekat denganku.
Kutancapkan pisauku ke kepalanya ketika dia mencoba menerkam. Dorongan dari
anjing itu sanggup membuatku terjatuh, tapi paling tidak anjing itu sudah mati.
“Bagus Kem, sekarang satu lagi,” kata
Ali.
“Tidak!! Kita kabur saja!”
“Tapi....”
Muka Ali berubah pucat ketika melihat si
Bos keluar dari kamarnya. Dia membawa salah satu zombie yang diikat di tangan
kirinya, dan senjata laras panjang di tangan kanannya.
“Oke, kita kabur,” kata Ali berubah
pikiran. Dia menarik tangan Rere dan kabur. Farandi malah sudah pergi duluan.
“Ayo Clara!!” teriakku lagi.
Clara mengapus air matanya dan mulai
berlari mengikutiku.
Tapi itu hanya sesaat karena si Bos
berhasil menembak kaki Clara. Dia terjatuh sambil mengerang memegang kakinya.
“Sial!!” Aku menembak membabi buta ke
arah si Bos. Dia bersembunyi di balik kamarnya.
“Kau tak apa-apa?” tanyaku.
Clara menggeleng, “Kakiku...”
“Aku melihatnya kok. Ngg...ayo kupapah.”
“Kemal!! Anjing!!” teriak Clara.
Kukira dia mencaciku, ternyata anjing
yang tadi menyerang Intan kini mulai berlari ke kami.
“Jangan tingalkan aku!!” kata Clara
histeris.
“Tidak akan.” Aku menembak ke arah
anjing itu dan berhasil mengenai badannya. Gerakannya terhenti tapi dia tidak
mati.
“Kem, tendang anjing itu ke sudut
lorong!” kata Clara.
“Apa?”
“Tendang anjing itu!”
“Kau stress ya?” Tapi aku lalu melihat
Farandi sudah siap dengan granat di tangan. Ya ampun, ini anak punya berapa
bahan peledak sih.
Aku bergerak ke anjing itu, dan sebelum
dia bisa bereaksi, aku menendangnya sekeras mungkin. Itu lebih mudah daripada
menusuknya. Anjing itu terlempar ke dinding. Saat itulah Farandi melempar
granatnya.
“Pergi dari situ! Cepat!!” teriak
Farandi.
Aku tak perlu disuruh dua kali. Aku
menggendong Clara dan dengan cepat berlari menjauh. Ketika Granat itu meledak,
panasnya masih terasa di punggungku. Angin ledakannya menghempaskanku dan
telingaku berdengung keras. Tapi paling tidak aku masih hidup.
Ali menghampiriku, “Kau tidak apa-apa?”
“Selain hampir mati karena ledakan,
kurasa tak apa-apa. Bantu aku memapah Clara.”
Ali menaruh tangan Clara di sepanjang
pundaknya dan membantunya berdiri. “Sekarang bagaimana?”
“Sesuai rencana awal, kita kembali ke
tempat kita disekap pertama kali. Semoga Indra dan Zico ada di sana.”
Saat kami berjalan ke sana, terlihatlah
keadaan kacau yang kami ciptakan dengan melepas zombie di dalam motel ini.
Mayat dimana-mana. Beberapa zombie terlihat sedang memakan badan seorang
prajurit. Farandi dan Rere menghabisi zombie yang mengalangi jalan kami.
“Eh, apa kau mendengar sesuatu yang
aneh?” tanya Ali tiba-tiba.
“Aku mendengar banyak suara tembakan
sih.”
“Bukan, ini seperti bunyi...helikopter.”
Aku awalnya bingung, tapi setelah
mencoba lebih berkonsentrasi, Ali sepertinya benar.
“Ali, coba tahan Clara sebentar. Aku mau
melihat keadaan,” kataku lalu berlari ke jendela. Aku mencoba melihat ke
langit-langit luar. Sekilas memang terlihat helikopter. Tapi siapa yang
mengendalikan helikopter itu? Masa sih Indra?
“Hei, kita tak punya banyak waktu!!”
bentak Farandi.
Aku menoleh ke arahnya kesal. “Ya, aku
ta..”
Tiba-tiba dari kamar di dekatku keluar
sebuah prajurit. Kami sama-sama melihat dengan bingung, lalu terburu-buru
menyiapkan senjata masing-masing.
Terdengar letusan senjata dan prajurit
di depanku ambruk ke tanah. Aku melihat siapa yang menyelamatkanku.
“Zico! Indra!” kataku lega. Mereka masih
hidup. Indra-lah yang menembak tadi.
“Hai.” Zico menjawab singkat. Wajahnya
terlihat sangat lelah.
“Kenapa kalian tidak di bawah?” tanya
Ali.
“Keadaan di bawah sangat kacau,” kata
Indra. “Para prajurit tidak bisa melawan
banyaknya zombie. Kami lolos dengan untung-untungan. Kenapa dengan Clara? Dan
mana Intan.”
Kami semua terdiam. Mengingat cara mati
Intan, aku yakin beberapa malam berikutnya aku pasti bermimpi buruk. Kalau aku
masih hidup sih.
“Aku tak apa-apa.” Clara melepaskan diri
dari Ali. “Kakiku tertembak, tapi pelurunya hanya menyerempet kakiku. Aku bisa
berjalan sendiri. Intan tak selamat.”
Zico dan Indra hanya diam seperti
mendengar berita buruk bukan hal yang aneh sekarang.
“Kau yakin?” tanya Ali yang punya
pengalaman dengan tertembaknya kaki.
“Ya. Jadi bagaimana kita lolos dari
sini?”
“Aku punya kabar bagus dan kabar buruk,”
ujar Indra tersenyum. “Sebelum kami ke sini, kami menemukan sebuah ruangan yang
sepertinya tempat untuk berkomunikasi dengan tempat lain. Ada radio dan semacamnya. Dan bagusnya, aku berhasil menghubungi markas pusat untuk mengirim
helikopter ke sini.”
Aku teringat helikopter yang kulihat
tadi. “Oke, itu kabar bagus. Jadi kabar buruknya apa?”
“Karena gedung di sekitar motel ini tinggi,
helikopter tidak bisa mendekat dari atas. Seingatku ketika naik mobil ke sini,
ada lapangan sepak bola kecil di dekat sini. Pasti di situlah dia mendarat.”
“Jadi itu berarti kita harus keluar
motel ini dulu,” simpul Rere. “Dan pintu keluar ada di bawah, dikelilingi
banyak zombie.”
Indra mengangkat bahu, “Yah, itu kabar
buruknya. Apa kau tahu jalan keluar lain?” Dia bertanya pada Farandi.
“Tidak,” kata Farandi. “Setahuku ada
pintu belakang. Tapi itu juga terletak di lantai bawah.”
Aku mendapat ide, “Tunggu, aku
sepertinya tahu jalan lain.”
“Di mana?”
“Tadi si bodoh ini meledakkan kamar Bos,”
kataku menunjuk Farandi. “Kamar itu terletak di ujung lorong. Mungkin saja
ledakannya melubangi dinding.”
“Dan itu jalan keluar kita! Bagus Kemal.”
Indra tersenyum. “Ayo kalau begitu. Kita tak boleh membuang waktu.”
“Mereka di sini!!” Teriakan itu
menghentikan kegembiraan kami. Empat orang prajurit naik datang dari bawah.
Kulihat dua dari mereka sudah tergigit dengan parah. Sialnya lagi, mereka
memancing zombie-zombie naik ke atas juga.
Mereka tak memberi kesempatan kami
berpikir karena langsung menembak ke segala arah. Kami tunggang langgang
mencari tempat sembunyi dan balas menembak. Aku dan Zico bersembunyi di balik
pintu kamar. Zico tidak memegang pistol, jadi akulah yang harus membalas
serangan itu.
Aku melihat salah satu prajurit jatuh
begitu saja. Kurasa dia akhirnya mati karena kehabisan darah. Temannya
melihatnya dan menembaki kami lagi, kali ini dengan lebih putus asa.
Indra berhasil melubangi kepala salah
satu dari mereka. Tinggal dua lagi.
“AAGGGHHH!!”
Terdengar suara teriakan. Tembakan
prajurit itu mereda, jadi kuambil kesempatan itu untuk melihat apa yang
terjadi.
Temannya yang tadi mati kini sudah
berubah menjadi zombie dan menggigitnya di bahu. Satu prajurit lain terlihat
panik sampai-sampai dia tidak melihat zombie mengendap di belakangnya. Dia
tertangkap dan dalam sekejap sudah menjadi makanan banyak zombie.
“Sekarang!!” teriak Indra. Kami semua
keluar dari tempat persembunyian dan lari ke tempat ledakan sebelumnya.
Benar saja. Dinding lorong itu hancur
lebur, menampakkan keadaan di luar. Sepertinya langit mendung lagi dan angin
mulai kencang. Satu lagi tanda kalau kami harus keluar secepatnya dari sini
sebelum angin terlalu kencang untuk helikopter terbang.
Aku dan Indra mengecek lubang itu
terlebih dahulu. Jarak ke bawah kira-kira dua lantai.
“Ini tidak masalah jika kita jatuh
dengan benar,” kata Indra. “Kita harus lompat ke arah kumpulan semak-semak di bawah.
Itu akan mengurangi benturan. Oh, sepertinya sudah ada yang melakukannya
duluan.”
Indra menunjuk ke semak yang terlihat
baru dijatuhi sesuatu. Aku merasakan perasaan merinding.
“Bos sialan itu masih hidup,” kataku.
“Kita tidak ada waktu untuk
mengkhawatirkannya sekarang. Siapa duluan?” tanya Indra.
Aku melihat ke bawah lagi. “Ngg,
silahkan.”
Indra tersenyum, lalu tanpa takut-takut,
dia langsung melompat. Aku melihat dia berhasil memposisikan badannya agar
punggungnya yang menimpa semak. Memang rasanya semak itu berhasil menahan
badannya dengan baik.
Dia menepuk-nepuk daun dari badannya. “Selanjutnya!”
Clara melompat dengan berani. Bahkan
dengan kakinya yang masih terluka, dia berhasil mendarat dengan selamat. Aku jadi
merasa malu karena takut. Jadi aku melompat berikutnya. Aku sempat panik ketika
jatuhku tidak terlalu bagus, tapi aku tak apa-apa. Hanya merasa pergelangan
tangan sedikit terkilir.
“YOLO!!!” teriak Ali ketika melompat.
Aku menutup muka melihat tingkah anak ini.
“Kau tahu, kalau kau benar-benar mati
tadi, aku akan menertawakanmu,” kataku.
“Tapi aku tak apa-apa kan?” Dia
nyengir-nyengir. Rere sudah melompat duluan sebelum Ali. Kini hanya Farandi di
atas.
“Buruan!!” teriakku.
Farandi terlihat pucat ketika melihat ke
bawah. “A...aku takut ketinggian.”
“Apa?” tanyaku tak percaya. “Dan kau
baru bilang sekarang?”
“Kita terlibat masalah terus! Mana
mungkin aku sempat bilang!!”
“Sudah sudah, jangan bertengkar,” kata
Rere menenangkan kami berdua. “Farandi, lompat saja. Tidak akan apa-apa kok.”
Farandi masih saja terlihat takut. Dia
terdiam di tepi lubang. Badannya gemetar.
“Cepat dong dasar....AWAS!!” teriakku
melihat bayangan di balik badan Farandi. Itu zombie.
Farandi kaget ketika zombie itu
memegangnya. Dia mencoba melepaskan diri, tapi dia lupa kalau dia sedang berada
di tepi lubang. Kakinya terpeleset. Farandi terjatuh dari atas dengan zombie
masih meemgang tangannya.
Arah jatuh Farandi tidak mengarah ke
semak. Aku menahan nafas ketika melihat
dia terbanting ke tanah dengan mengerikan.
Zico mengambil parangnya dan membunuh
zombie yang memegang Farandi. Lalu dia mengecek keadaan Farandi. Kulihat
kepalanya mengucurkan darah.
“Bagaimana?” tanya Clara dengan takut.
“Dia tak sadarkan diri,” kata Zico. “Dan
tangan kanannya patah. Tapi secara keseluruhan dia tak apa-apa.”
“Bagaimana mungkin tak sadarkan diri dan
tangan patah bukan apa-apa?” sindir Ali.
“Dia hidup. Itu bagus kan?”
“Papah dia,” perintah Indra. “Tak ada
waktu lagi.”
Aku paham apa yang dimaksud Indra. Angin
sudah sangat kencang. Belum lagi banyak zombie yang datang dari segala arah.
Sepertinya keributan yang kami buat memancing mereka.
Aku menggendong Farandi di punggung. “Aku
sendiri saja. Kau bantu yang lain membunuh zombie,” kataku pada Ali.
Ali mengangguk dan bergabung dengan yang
lain menghabisi zombie yang menghalangi jalan kami. Dengan perlahan, kami
menuju lapangan tempat helikopter itu mendarat.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar