Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kami Melompat Dari Lantai Dua (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part 16)


baca part sebelumnya di sini.

Anjing-anjing itu bergerak dengan sangat cepat. Ketika kami baru mau menjauh, mereka sudah berhasil menerkam salah satu dari kami. Intan tergigit di tangan oleh salah satu anjing. Dia terjatuh, tapi tak bisa apa-apa karena anjing yang satunya mulai menerkamnya juga. Teriakan takutnya menyayat perasaanku.

“Intaan!!!” teriak Clara. Dia bergerak mencoba menolongnya tapi kutahan.

“Tak ada yang bisa kita lakukan. Ayo pergi dari sini!”

“Tapi...tapi...” Air mata mengalir deras di pipinya. Dia melihat dengan putus asa ke Intan yang sudah tak memberontak lagi.

“Cepat!! Kita tak akan selamat jika tak kabur!!”

Rere ternyata berpikir lain. Tiba-tiba saja dia sudah di depanku dan berlari ke arah anjing itu. Ketika sudah dekat, dia menembak salah satu anjing. Tapi karena tangannya bergetar, anjing itu justru tertembak di  badan.

Dia melihat ke Rere dengan ganas dan mulai mengejarnya. Ali menarik Rere di saat terakhir untuk menghindarinya. Aku mencoba menembak anjing itu, tapi dia sangat lincah. Ini terlalu sulit.

“Mundur!! Tidak usah dilawan!” teriakku pada yang lain.

Anjing itu kali ini menyerangku. Aku memberanikan diri untuk menunggu sampai anjing itu cukup dekat denganku. Kutancapkan pisauku ke kepalanya ketika dia mencoba menerkam. Dorongan dari anjing itu sanggup membuatku terjatuh, tapi paling tidak anjing itu sudah mati.

“Bagus Kem, sekarang satu lagi,” kata Ali.

“Tidak!! Kita kabur saja!”

“Tapi....”

Muka Ali berubah pucat ketika melihat si Bos keluar dari kamarnya. Dia membawa salah satu zombie yang diikat di tangan kirinya, dan senjata laras panjang di tangan kanannya.

“Oke, kita kabur,” kata Ali berubah pikiran. Dia menarik tangan Rere dan kabur. Farandi malah sudah pergi duluan.

“Ayo Clara!!” teriakku lagi.

Clara mengapus air matanya dan mulai berlari mengikutiku.

Tapi itu hanya sesaat karena si Bos berhasil menembak kaki Clara. Dia terjatuh sambil mengerang memegang kakinya.

“Sial!!” Aku menembak membabi buta ke arah si Bos. Dia bersembunyi di balik kamarnya.

“Kau tak apa-apa?” tanyaku.

Clara menggeleng, “Kakiku...”

“Aku melihatnya kok. Ngg...ayo kupapah.”

“Kemal!! Anjing!!” teriak Clara.

Kukira dia mencaciku, ternyata anjing yang tadi menyerang Intan kini mulai berlari ke kami.

“Jangan tingalkan aku!!” kata Clara histeris.

“Tidak akan.” Aku menembak ke arah anjing itu dan berhasil mengenai badannya. Gerakannya terhenti tapi dia tidak mati.

“Kem, tendang anjing itu ke sudut lorong!” kata Clara.

“Apa?”

“Tendang anjing itu!”

“Kau stress ya?” Tapi aku lalu melihat Farandi sudah siap dengan granat di tangan. Ya ampun, ini anak punya berapa bahan peledak sih.

Aku bergerak ke anjing itu, dan sebelum dia bisa bereaksi, aku menendangnya sekeras mungkin. Itu lebih mudah daripada menusuknya. Anjing itu terlempar ke dinding. Saat itulah Farandi melempar granatnya.

“Pergi dari situ! Cepat!!” teriak Farandi.

Aku tak perlu disuruh dua kali. Aku menggendong Clara dan dengan cepat berlari menjauh. Ketika Granat itu meledak, panasnya masih terasa di punggungku. Angin ledakannya menghempaskanku dan telingaku berdengung keras. Tapi paling tidak aku masih hidup.

Ali menghampiriku, “Kau tidak apa-apa?”

“Selain hampir mati karena ledakan, kurasa tak apa-apa. Bantu aku memapah Clara.”

Ali menaruh tangan Clara di sepanjang pundaknya dan membantunya berdiri. “Sekarang bagaimana?”

“Sesuai rencana awal, kita kembali ke tempat kita disekap pertama kali. Semoga Indra dan Zico ada di sana.”

Saat kami berjalan ke sana, terlihatlah keadaan kacau yang kami ciptakan dengan melepas zombie di dalam motel ini. Mayat dimana-mana. Beberapa zombie terlihat sedang memakan badan seorang prajurit. Farandi dan Rere menghabisi zombie yang mengalangi jalan kami.

“Eh, apa kau mendengar sesuatu yang aneh?” tanya Ali tiba-tiba.

“Aku mendengar banyak suara tembakan sih.”

“Bukan, ini seperti bunyi...helikopter.”

Aku awalnya bingung, tapi setelah mencoba lebih berkonsentrasi, Ali sepertinya benar.

“Ali, coba tahan Clara sebentar. Aku mau melihat keadaan,” kataku lalu berlari ke jendela. Aku mencoba melihat ke langit-langit luar. Sekilas memang terlihat helikopter. Tapi siapa yang mengendalikan helikopter itu? Masa sih Indra?

“Hei, kita tak punya banyak waktu!!” bentak Farandi.

Aku menoleh ke arahnya kesal. “Ya, aku ta..”

Tiba-tiba dari kamar di dekatku keluar sebuah prajurit. Kami sama-sama melihat dengan bingung, lalu terburu-buru menyiapkan senjata masing-masing.

Terdengar letusan senjata dan prajurit di depanku ambruk ke tanah. Aku melihat siapa yang menyelamatkanku.

“Zico! Indra!” kataku lega. Mereka masih hidup. Indra-lah yang menembak tadi.

“Hai.” Zico menjawab singkat. Wajahnya terlihat sangat lelah.

“Kenapa kalian tidak di bawah?” tanya Ali.

“Keadaan di bawah sangat kacau,” kata Indra.  “Para prajurit tidak bisa melawan banyaknya zombie. Kami lolos dengan untung-untungan. Kenapa dengan Clara? Dan mana Intan.”

Kami semua terdiam. Mengingat cara mati Intan, aku yakin beberapa malam berikutnya aku pasti bermimpi buruk. Kalau aku masih hidup sih.

“Aku tak apa-apa.” Clara melepaskan diri dari Ali. “Kakiku tertembak, tapi pelurunya hanya menyerempet kakiku. Aku bisa berjalan sendiri. Intan tak selamat.”

Zico dan Indra hanya diam seperti mendengar berita buruk bukan hal yang aneh sekarang.

“Kau yakin?” tanya Ali yang punya pengalaman dengan tertembaknya kaki.

“Ya. Jadi bagaimana kita lolos dari sini?”

“Aku punya kabar bagus dan kabar buruk,” ujar Indra tersenyum. “Sebelum kami ke sini, kami menemukan sebuah ruangan yang sepertinya tempat untuk berkomunikasi dengan tempat lain. Ada radio dan semacamnya. Dan bagusnya, aku berhasil menghubungi markas pusat untuk mengirim helikopter ke sini.”

Aku teringat helikopter yang kulihat tadi. “Oke, itu kabar bagus. Jadi kabar buruknya apa?”

“Karena gedung di sekitar motel ini tinggi, helikopter tidak bisa mendekat dari atas. Seingatku ketika naik mobil ke sini, ada lapangan sepak bola kecil di dekat sini. Pasti di situlah dia mendarat.”

“Jadi itu berarti kita harus keluar motel ini dulu,” simpul Rere. “Dan pintu keluar ada di bawah, dikelilingi banyak zombie.”

Indra mengangkat bahu, “Yah, itu kabar buruknya. Apa kau tahu jalan keluar lain?” Dia bertanya pada Farandi.

“Tidak,” kata Farandi. “Setahuku ada pintu belakang. Tapi itu juga terletak di lantai bawah.”

Aku mendapat ide, “Tunggu, aku sepertinya tahu jalan lain.”

“Di mana?”

“Tadi si bodoh ini meledakkan kamar Bos,” kataku menunjuk Farandi. “Kamar itu terletak di ujung lorong. Mungkin saja ledakannya melubangi dinding.”

“Dan itu jalan keluar kita! Bagus Kemal.” Indra tersenyum. “Ayo kalau begitu. Kita tak boleh membuang waktu.”

“Mereka di sini!!” Teriakan itu menghentikan kegembiraan kami. Empat orang prajurit naik datang dari bawah. Kulihat dua dari mereka sudah tergigit dengan parah. Sialnya lagi, mereka memancing zombie-zombie naik ke atas juga.

Mereka tak memberi kesempatan kami berpikir karena langsung menembak ke segala arah. Kami tunggang langgang mencari tempat sembunyi dan balas menembak. Aku dan Zico bersembunyi di balik pintu kamar. Zico tidak memegang pistol, jadi akulah yang harus membalas serangan itu.

Aku melihat salah satu prajurit jatuh begitu saja. Kurasa dia akhirnya mati karena kehabisan darah.  Temannya melihatnya dan menembaki kami lagi, kali ini dengan lebih putus asa.

Indra berhasil melubangi kepala salah satu dari mereka. Tinggal dua lagi.

“AAGGGHHH!!”

Terdengar suara teriakan. Tembakan prajurit itu mereda, jadi kuambil kesempatan itu untuk melihat apa yang terjadi.

Temannya yang tadi mati kini sudah berubah menjadi zombie dan menggigitnya di bahu. Satu prajurit lain terlihat panik sampai-sampai dia tidak melihat zombie mengendap di belakangnya. Dia tertangkap dan dalam sekejap sudah menjadi makanan banyak zombie.

“Sekarang!!” teriak Indra. Kami semua keluar dari tempat persembunyian dan lari ke tempat ledakan sebelumnya.

Benar saja. Dinding lorong itu hancur lebur, menampakkan keadaan di luar. Sepertinya langit mendung lagi dan angin mulai kencang. Satu lagi tanda kalau kami harus keluar secepatnya dari sini sebelum angin terlalu kencang untuk helikopter terbang.

Aku dan Indra mengecek lubang itu terlebih dahulu. Jarak ke bawah kira-kira dua lantai.

“Ini tidak masalah jika kita jatuh dengan benar,” kata Indra. “Kita harus lompat ke arah kumpulan semak-semak di bawah. Itu akan mengurangi benturan. Oh, sepertinya sudah ada yang melakukannya duluan.”

Indra menunjuk ke semak yang terlihat baru dijatuhi sesuatu. Aku merasakan perasaan merinding.

“Bos sialan itu masih hidup,” kataku.

“Kita tidak ada waktu untuk mengkhawatirkannya sekarang. Siapa duluan?” tanya Indra.

Aku melihat ke bawah lagi. “Ngg, silahkan.”

Indra tersenyum, lalu tanpa takut-takut, dia langsung melompat. Aku melihat dia berhasil memposisikan badannya agar punggungnya yang menimpa semak. Memang rasanya semak itu berhasil menahan badannya dengan baik.

Dia menepuk-nepuk daun dari badannya. “Selanjutnya!”

Clara melompat dengan berani. Bahkan dengan kakinya yang masih terluka, dia berhasil mendarat dengan selamat. Aku jadi merasa malu karena takut. Jadi aku melompat berikutnya. Aku sempat panik ketika jatuhku tidak terlalu bagus, tapi aku tak apa-apa. Hanya merasa pergelangan tangan sedikit terkilir.

“YOLO!!!” teriak Ali ketika melompat. Aku menutup muka melihat tingkah anak ini.

“Kau tahu, kalau kau benar-benar mati tadi, aku akan menertawakanmu,” kataku.

“Tapi aku tak apa-apa kan?” Dia nyengir-nyengir. Rere sudah melompat duluan sebelum Ali. Kini hanya Farandi di atas.

“Buruan!!” teriakku.

Farandi terlihat pucat ketika melihat ke bawah. “A...aku takut ketinggian.”

“Apa?” tanyaku tak percaya. “Dan kau baru bilang sekarang?”

“Kita terlibat masalah terus! Mana mungkin aku sempat bilang!!”

“Sudah sudah, jangan bertengkar,” kata Rere menenangkan kami berdua. “Farandi, lompat saja. Tidak akan apa-apa kok.”

Farandi masih saja terlihat takut. Dia terdiam di tepi lubang. Badannya gemetar.

“Cepat dong dasar....AWAS!!” teriakku melihat bayangan di balik badan Farandi. Itu zombie.

Farandi kaget ketika zombie itu memegangnya. Dia mencoba melepaskan diri, tapi dia lupa kalau dia sedang berada di tepi lubang. Kakinya terpeleset. Farandi terjatuh dari atas dengan zombie masih meemgang tangannya.

Arah jatuh Farandi tidak mengarah ke semak.  Aku menahan nafas ketika melihat dia terbanting ke tanah dengan mengerikan.

Zico mengambil parangnya dan membunuh zombie yang memegang Farandi. Lalu dia mengecek keadaan Farandi. Kulihat kepalanya mengucurkan darah.

“Bagaimana?” tanya Clara dengan takut.

“Dia tak sadarkan diri,” kata Zico. “Dan tangan kanannya patah. Tapi secara keseluruhan dia tak apa-apa.”
“Bagaimana mungkin tak sadarkan diri dan tangan patah bukan apa-apa?” sindir Ali.

“Dia hidup. Itu bagus kan?”

“Papah dia,” perintah Indra. “Tak ada waktu lagi.”

Aku paham apa yang dimaksud Indra. Angin sudah sangat kencang. Belum lagi banyak zombie yang datang dari segala arah. Sepertinya keributan yang kami buat memancing mereka.

Aku menggendong Farandi di punggung. “Aku sendiri saja. Kau bantu yang lain membunuh zombie,” kataku pada Ali.


Ali mengangguk dan bergabung dengan yang lain menghabisi zombie yang menghalangi jalan kami. Dengan perlahan, kami menuju lapangan tempat helikopter itu mendarat.




Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar