Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Mencari Kebahagiaan


Aku menyusun dokumen-dokumen di meja sementara para karyawan lain pergi meninggalkan ruangan. Satu lagi rapat selesai. Rapat yang memberitahukan kalau perusahaan yang kubawahi ini mengalami peningkatan pendapatan.
Hanya saja, aku tak bisa merasa sesenang para kolegaku yang lain. Entah kenapa, aku merasa tidak sebahagia dulu ketika pertama kali aku menduduki jabatan ini.
Asistenku, Asha, sepertinya memperhatikan mood-ku yang sedang turun. “Ada apa Pak? Bapak kelihatan kurang sehat?”
Aku melihatnya, “Perusahaan kita baik-baik saja kan?”
“Bukan hanya baik, kita jauh lebih baik dari sebelumnya,” kata Asha sumringah. “Perusahaan ini terus berkembang dan itu bagus kan?”
“Ya memang, tapi...” Aku mendesah.
“Ada apa Pak?” Asha terlihat bingung dengan sikapku.
“Aku merasa...aku merasa tidak sebahagia dulu. Saat aku pertama kali menjadi direktur utama, aku sangat bahagia dengan pekerjaanku. Tapi setelah terbiasa, aku tak merasa seperti itu lagi.”
Asha terdiam. Aku melambaikan tangan menyuruh dia melupakan kata-kataku tadi. “Mungkin aku hanya sedang lelah.”
“Kalau begitu, apa yang kira-kira membuat Bapak bahagia?” tanyanya.
Anehnya, aku tak bisa langsung menjawab pertanyaan itu.
“Mungkin Bapak punya hobi yang sekarang jarang Bapak lakukan karena sibuk?” lanjutnya.
“Hmmm...” Setelah kupikir-pikir lagi, sebelum semua kesibukan ini, aku tak pernah lagi mengikuti perkembangan sepakbola. Padahal dulu aku sangat suka bergadang untuk menonton klub favoritku, Barcelona, bermain. Jika timnas Indonesia main di Gelora Bung Karno, aku selalu menabung agar bisa menonton langsung. Kuutarakan hal itu pada Asha.
“Kalau begitu, bagaimana kalau Bapak mengambil cuti dan menonton timnas main? Kalau tidak salah minggu ini ada pertandingan melawan Malaysia,” saran Asha.
Aku merasa semangatku sedikit naik. “Benar juga. Asha, tolong minta seseorang agar memesankan tiket pertandingan itu.”


Aku tertunduk lesu ketika berjalan pulang. Apanya yang bikin bahagia? Melihat timnas dikalahkan Malaysi di kandang sendiri malah membuatku makin depresi. Padahal aku sudah semangat menantikan pertandingan ini.
Ketika mengendarai mobil dalam perjalanan pulang, aku melewati toko buku yang cukup ramai. Mungkin tak ada salahnya jika aku melihat-lihat apakah ada buku yang bisa membantu menaikkan semangatku ini. Kuparkirkan mobilku dan masuk ke toko buku.
Di rak Best Seller, aku melihat sebuah buku dipajang agar terlihat mencolok. Buku itu berjudul ‘Pengisi Jiwa’. Hmm, sepertinya itu salah satu buku yang ditulis oleh ustad kondang. Sampul bukunya memperlihatkan komentar-komentar dari artis terkenal yang menunjukkan betapa kerennya buku satu ini. Setelah berkeliling sebentar, aku memutuskan membeli buku itu.
Sampai di rumah, aku membuka buku itu sambil duduk-duduk di teras halaman. Istriku, Iffah, sedang menjemur baju, bertanya sambil lalu, “Bagaimana pertandingannya?”
“Jangan tanya.”
“Wah, tumben beli buku?” katanya.
“Tidak kenapa-kenapa kok, hanya ingin mencari perubahan suasana.”
Iffah melewatiku, tapi berhenti sejenak ketika dia teringat sesuatu. “Oh, tadi ibumu telpon kesini.”
Aku mengangkat alis, “Kenapa?”
“Kenapa katamu?” Iffah tertawa pelan. “Apa salahnya jika ibu menelpon anaknya. Telponlah dia sekali-kali.”
“Iya iya.” Aku melanjutkan bacaanku.
Ada sebuah artikel menarik di buku ini. Dikatakan kalau kebahagiaan terbesar bukanlah yang sesuatu yang kita dapatkan, tapi sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain. Kekayaan tidak akan memuaskan kita. Justru saat seperti itulah kita harus berbagi pada yang membutuhkan.
Kupikirkan lagi hal ini. Mungkin inilah jawaban akan masalahku. Aku sudah merasa cukup dengan diriku sendiri dan kini saatnya membantu orang lain. Aku menelpon Asha untuk mempersiapkan sebuah acara amal bagi keluarga kurang mampu. Kukatakan padanya ini sebagai syukuran berkembangnya perusahaan kami.
Seminggu kemudian, seperti yang sudah dijadwalkan, kami mengadakan acara amal di lingkungan perusahaan. Aku mengundang semua keluarga mampu di lingkungan sekitar untuk datang dan bersenang-senang. Aku meminta Asha untuk menyediakan banyak makanan dan acara yang semenarik mungkin agar semua orang bisa senang-senang.
Acara berjalan lancar. Banyak orangtua yang membawa anaknya. Untunglah aku juga sudah memerintahkan Asha untuk membeli banyak hadiah yang akan diserahkan untuk anak-anak itu ketika mereka pulang nanti. Acara itu lebih meriah dengan adanya karaoke umum dimana semua orang bisa bernyanyi. Para karyawanku memaksaku untuk bernyanyi juga. Aku merasa mereka menyesalinya ketika mendengarku menyenandungkan lagu ‘Bukan Pilihan’ dari Iwan Fals.
Aku mencoba mengobrol sebanyak mungkin denga warga yang kuundang untuk mendengar komentar mereka akan acara ini. Hampir semuanya merasa senang dan berterima kasih dengan kemurahan hatiku.
Jujur saja, aku tak merasa murah hati. Aku memang membayar semua ini dengan uang perusahaan, tapi aku melakukannya lebih agar aku merasa bahagia daripada melihat orang lain senang. Dan aku merasa masih ada sesuatu yang mengganjal ketika melihat kemeriahan ini. Tapi aku tak tahu apa.
Acara itu pun berakhir. Aku bergabung dengan Asha dalam membagikan hadiah kepada para anak-anak yang dibawa. Mereka terlihat bahagia sekali, padahal aku hanya memberikan mainan murah dari toko barang bekas. Salah satu anak perempuan berteriak senang ketika mendapatkan boneka Barbie. Dia berlari ke ibunya untuk memamerkan mainan barunya.
Ibu. Bagaimana kabarnya sekarang? Aku sudah lama tidak mengobrol dengannya. Bahkan terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat ulang tahun kakakku. Kami semua berkumpul di rumah untuk merayakannya kecil-kecilan. Tapi saat itu hatiku tidak di sana. Aku sibuk menelpon untuk memastikan pekerjaan selesai.
Aku tersadar aku sangat kurang memperhatikan ibuku. Padahal ayah sudah tidak ada, dan saudaraku yang lain juga sibuk bekerja. Lalu aku teringat bahwa ibuku beberapa kali menelpon ke rumah, tapi aku selalu tak pernah ada. Aku sengaja tak memberitahu nomor handphone-ku karena itu hanya untuk kerja.
Anak kecil itu melambaikan tangannya ke padaku. Kubalas lambainnya sambil tersenyum. Dia lalu menggandeng tangan ibunya dan pergi sambil tetap memainkan boneka itu.
“Sebentar ya Asha, aku ada perlu.” Aku meninggalkan Asha membagikan mainan sendirian sementara aku pergi ke tempat yang sepi lalu menelpon rumah ibuku.
“Halo?” Suaranya terdengar dari seberang.
“Halo ibu? Ini Roni Bu.”
“Oohh Roni! Kemana aja? Ibu telpon selalu gak ada di rumah,” kata ibuku. Nada suaranya terdengar gembira.
“Maaf Bu, Roni sibuk mulu. Bagaimana kabar ibu?”
Kami mengobrol semua yang terlewatkan. Aku menceritakan bagaimana pekerjaanku. Ibuku terdengar sangat bangga ketika kubilang aku cukup sukses menjalankan perusahaanku. Hatiku terasa sedikit lebih lega.
“Hati-hati tuh jangan terlalu capek. Kamu kan dari dulu gampang sakit,” kata ibu.
Dasar ibu. Sudah sebesar ini pun, aku masih saja dianggapnya anak kecil. Tapi aku tak merasa tersinggung, justru aku merasa senang. “Hahaha, Roni sehat-sehat aja kok ini.”
Obrolan itu terganggu ketika Asha memanggil. Aku lupa masih ada rapat terakhir untuk membahas hasil acara amal ini.
“Maaf ya Bu, Roni masih ada urusan.”
“Ya. Oh...Roni,” panggilnya saat aku hampir menutup telepon.
“Ya?”
“Kapan Roni senggang? Ibu sudah nabung supaya kita dan kakak-kakakmu bisa jalan-jalan ke pantai dekat sini.”
Aku memikirkan penawaran itu. “Roni punya ide yang lebih baik. Nanti Roni hubungi lagi ya.”
Kumatikan telepon itu lalu bergabung dengan yang lain dan memulai rapat. Diam-diam aku berbisik pada Asha, “Carikan tiket ke Bali ya.”


“Wah, pantai di Bali bagus-bagus ya?” kata ibuku senang.
“Ya dong Bu, kan Roni yang pilih tempatnya,” kataku.
“Sebenarnya, Iffah yang memilih pantai ini Bu,” kata istriku sambil memukul tanganku dengan bercanda. “Lagipula di sini ada tempat makan yang bagus.”
Kakak-kakakku malah sudah duluan mencari meja di restoran bernama Bumbu Nusantara. Iffah mengatakan lebih baik kami makan di sini karena ibu pasti lebih suka makan-makanan Indonesia dibanding makanan barat.
Aku sendiri menyukai tempat ini. Memilih The Bay Bali memang pilihan yang bagus. Pantainya bagus dan banyak aktifitas di sekitar pantai yang bisa dilakukan. Aku baru kali ini merasakan enaknya tidak perlu memikirkan pekerjaan sama sekali.
Selama ini, aku sibuk dengan pekerjaanku. Dan secara tak sadar, itu membuatku tak bahagia. Aku tak merasakan kebahagiaan seperti dulu lagi.
Kini, aku tahu apa kebahagiaan terbesarku. Itu bukanlah mendapat banyak uang dari pekerjaan atau membantu orang yang tidak kukenal. Walau memberiku kesenangan, tapi hal-hal tersebut hanya sementara. Kebahagiaan terbesarku adalah melihat ibuku tertawa senang dikelilingi saudara-saudaraku. Yup, kebahagiaan terebesarku adalah ketika ibuku bahagia.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letter of Happiness : Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!

0 komentar:

Posting Komentar