baca part sebelumnya di sini.
“Awas di sampingmu!!” teriakku pada Ali.
Ali menghajar zombie yang sudah sangat dekat dengannya itu. Jalannya masih
sedikit terpincang, jelas sekali kakinya belum pulih sempurna.
Indra dan yang lain sudah berlari jauh
di depan. Aku sendiri sedikit terhambat karena harus menggendong Farandi yang
masih pingsan. Ali dan Rere mengawalku dari para zombie.
Kenapa aku harus repot-repot menggendong
anak ini? Aku bisa saja meninggalkannya di situ dalam keadaan pingsan. Siapa
yang peduli akan keselamatannya. Aku masih tak bisa memaafkannya atas kematian
Medina.
Tapi aku memang tak tega, apalagi
setelah semua ini terjadi. Jika bukan karena dia, kami bahkan tak akan bisa
keluar dari motel itu.
“Itu dia..” kataku dengan terengah
ketika melihat helikopter itu. Tapi suasananya tak bagus. Lapangan itu
didatangi zombie hampir dari segala arah. Dari jauh, aku bisa melihat si pilot
sedang mempertahankan helikopternya dengan susah payah. Sangat jelas terlihat
kalau dia tak ingin lama-lama menunggu di situ.
Indra dan Clara yang sudah di depan
mulai membantu si pilot. Zico juga membantu sebisanya dengan satu tangan. Aku
mempercepat langkahku walaupun itu sangat sulit. Siapa sangka anak SMP cukup
berat?
“Re, pergi duluan! Aku akan menemani
Kemal,” kata Ali.
Kukira Rere akan mengucapkan sesuatu
yang menggugah hati seperti “aku tak akan meninggalkanmu” atau semacamnya, tapi
dia malah langsung lari sambil berkata, “Oke, hati-hati ya!” Ali terlihat
sedikit sedih.
Walaupun mereka semua sudah terbiasa
menghadapi zombie, kami jelas kalah jumlah. Zombie yang datang semakin banyak
saja. Belum lagi angin yang mulai kencang. Helikopter harus diterbangkan
sesegera mungkin.
“Cepat!!” Indra berteriak sambil menebas
zombie. “Kita tak punya banyak waktu!”
Karena banyaknya zombie, pilot
helikopter tiba-tiba saja sudah terkepung oleh mayat hidup itu. Aku dengan
takut melihat ketika salah seorang zombie berhasil menggigitnya dari belakang.
Kami semua tak bisa berbuat apa-apa ketika para zombie lain mengerumuninya dan
menutupi suara teriakannya.
“Bagaimana ini? Pilot kita mati!”
kataku.
Ali di depan berhasil menjatuhkan dengan
mudah zombie kakek tua, “Entahlah, aku....oh tidak.” Ali melihat sesuatu yang mengerikan. Dan
aku dengan cepat tahu apa.
Dua zombie liar berlari dengan kencang
ke arah kami. Mereka berdua sepertinya pasangan, karena memakai couple dress. Betapa romantisnya, bahkan
ketika jadi zombie pun mereka selalu bersama.
Ali tak akan bisa menangani mereka
sendirian. Kutinggalkan Farandi di pinggir jalan, lalu mengeluarkan senjataku
sendiri. Sisa peluru di pistolku tinggal tiga buah. Aku juga memegang parang.
“Kau habisi yang cowok, aku yang cewek,”
kataku pada Ali.
“Apa? Kau saja yang cowok! Masa kau ngambil
yang enak mulu.”
Aku melihatnya tak percaya, “Kau sadar
gak sih kita bakal ngelawan zombie? Ini bukannya mau pedekate sama cewek.”
“Ya sudah, kau saja yang melawan cowok.
Kan sama saja.”
“Oke oke, terserah aja,” kataku capek.
Aku bersiap menunggu zombie liar itu
mendekat. Ketika kira-kira sudah berada dalam jarak tembak, aku memakai semua
peluru pistolku untuk menembak kepalanya.
Harus kuakui kalau aku bukanlah yang
paling hebat soal menembak. Dari tiga peluru, aku berhasil melukai dahinya
sekali. Bukan hasil yang bagus.
Tapi untungnya aku bisa dibilang cukup
berpengalaman melawan zombie liar. Triknya adalah menghindar sesedikit mungkin.
Ketika terjangannya meleset, saat itulah zombie itu bisa diserang. Aku berhasil
menghujamkan parangku ke kepalanya dan membantingnya ke tanah.
Ali tidak seberuntung itu. Tebasannya
kurang dalam sehingga zombie perempuan itu masih bisa melawan. Dia
mengayun-ayunkan tangannya secara liar dan tak sengaja berhasil menjatuhkan
senjata yang dipegang Ali.
“Ngg...Kem, bantuin bisa gak?”
“Kau bodoh! Lawan cewek aja kalah!” Aku
buru-buru berlari ke arahnya, tapi sebelum aku sampai, zombie itu sudah mati
duluan. Clara muncul dengan pistolnya dan menembak jatuh zombie itu.
“Indra menyuruhku membantu kalian. Ayo
cepat! Tak ada waktu lagi!” katanya.
“Tunggu, siapa yang akan menerbangkan
helikpoternya?”
“Indra bisa menerbangkannya.”
Oh ya, aku lupa ketika pertama kali aku
bertemu dengannya, dia menerbangkan helikopter. Aku bisa melihat Rere sedang
membantu Zico naik ke helikopter sementara Indra bersiap-siap di tempat kemudi.
“Oke, kalian pergi duluan, aku akan
menggendong Farandi,” kataku.
“Ngomong-ngomong soal itu, mana dia?”
Aku melihat ke tempat aku tadi
meninggalkan Farandi. Atau paling tidak, ke tempat seharusnya aku
meninggalkannya karena sekarang dia tak ada.
“Si sialan itu....jangan-jangan dia
kabur...” Aku menggeram marah. Setelah susah payah yang kulakukan.
“Ya sudahlah,” kata Ali tidak peduli,
“jika dia memang mau kabur biarkan saja. Lebih baik kita prioritaskan
keselamatan kita lebih dulu.”
Benar juga. Toh dari awal aku memang
tidak suka dengan keberadannya. “Kalau begitu ayo.”
Clara sudah berlari duluan di depan dan
aku serta Ali mengikutinya. Rasanya menyenangkan tidak perlu menggendong orang
lagi. Kini aku juga bisa membantu mengalahkan zombie yang menghalangi.
Ketika aku sedang sibuk memukul kepala
zombie sampai hancur, aku mendengar teriakan Clara. Awalnya aku tak bisa
melihatnya, tapi ternyata bukanlah zombie yang menjadi masalah Clara sekarang.
“Oh tidak, itu si Bos...” kata Ali
dengan suara bergetar.
Si bos bajak laut itu menahan leher
Clara dengan sebelah tangan kaitnya dan memegang pistol di tangan satunya,
dengan moncong ke arah kepala Clara.
Aku dengan putus asa mencoba
bernegoisasi, “Hei...jangan sakiti dia...”
“Diam!” dia berteriak. “Dan jangan
bergerak, atau cewek ini mati. Jatuhkan senjata kalian.”
Aku saling pandang dengan Ali dengan
ragu. Kami bukan dalam posisi bisa menawar, tapi jika kami menurutinya begitu
saja, kami semua akan mati. Si bos ini tidak terlihat seperti orang pemaaf,
apalagi setelah kami membuat markasnya porak poranda.
Lalu tiba-tiba saja aku mendengar suara
baling-baling helikopter. Masa sih....
Helikopter di lapangan itu terbang
begitu saja. Mereka lalu pergi menjauh.
“Mereka
meninggalkan kita!!” kataku tak percaya. “Indra dan Zico...”
“Rere juga...” Ali bergumam dengan
sedih. Dia terlihat lebih kaget.
“Hahahaha!!” si Bos sepertinya sangat
senang dengan keadaan itu, “bahkan temanmu lebih mementingkan dirinya. Memang
begitulah cara bertahan di dunia ini.”
Aku tahu angin memang sudah sangat
kencang, dan jika mereka tak segera menerbangkan helikopter bisa-bisa angin
akan terlalu kencang untuk terbang. Tapi aku masih tak percaya mereka
meninggalkan kami begitu saja. Hal ini membuat semangatku merosot drastis. Kini
apa yang harus kami lakukan?
Bos sialan itu tak memberi kami meratap
berlama-lama, “Nah, jatuhkan senjata kalian.”
“Ugh..” Aku tak punya pilihan lain
selain melakukan perintahnya. Clara sama sekali tak bisa melawan.
Ali terlihat lebih merana daripadaku.
Kurasa dia malah tak mendengar sama sekali apa yang dikatakan si Bos.
“Hei kau!! Jatuhkan senjatamu!” perintah
Bos lagi.
“Li!” aku memanggilnya, “aku tahu kau
patah hati dan semacamnya, tapi jika kau tak meletakkan senjatamu sekarang,
bukan hanya hati taruhannya.”
Ali melihatku dengan pandangan paling
menyedihkan yang pernah kulihat, tapi kali ini dia menurut. Dibantingnya
senjatanya ke tanah.
“Bagus,” kata si Bos sambil tersenyum
jahat.
Aku kini bukan hanya cemas karena kami
tak bersenjata, tapi karena zombie yang di lapangan kini menuju arah kami.
“Lepaskan Clara,” kataku.
“Oh tidak semudah itu.”
“Apa kau tidak lihat keadaan sekitarmu?”
Aku kehilangan kesabaran. “Kita dikepung banyak zombie. Lepaskan Clara, dan
kami berjanji akan membantumu keluar dari masalah ini. Lalu kita berpisah,
tanpa mengganggu sama lain. Bagaimana?”
Bos sialan itu memperlihatkan pose
pura-pura berpikir yang menyebalkan, “Hmm bagaimana ya? Kau sudah menghancurkan
markasku dan semua anak buahku. Tidak mengganggu satu sama lain? Oh kurasa
tidak...ya, TIDAK!!”
Dia mendorong Clara ke depan dengan
keras. Clara kehilangan keseimbangan dan jatuh. Si Bos mengarahkan senjatanya
ke Clara lagi.
“Satu orang dulu..”
“JANGAN!!” teriakku.
Aku hanya melihatnya sekilas. Ketika si
Bos hampir menarik pelatuknya, sebuah benda melayang ke arahnya. Benda yang
sangat kuat. Benda yang konon saking kuatnya bisa menghancurkan apa saja. Benda
itu...adalah Nokia 3310.
Handphone mengerikan itu menghantam muka
si Bos dengan keras, dan dia terlempar ke belakang. Dia tak bergerak lagi.
Kekuatan hantaman Nokia 3310 terlalu mengerikan.
Aku melihat ke arah handphone itu
dilemparkan. Farandi dengan muka pucat berdiri di sana.
“Kau punya Nokia 3310 selama ini?”
tanyaku masih kaget.
Dia berjalan dengan lemas, “Ya
begitulah. Itu senjata andalanku.”
“Ngg, terima kasih...” kataku dengan
sedikit malas. Aku dilema, dia memang penyebab meninggalnya Medina, tapi dia
baru saja menghindarkan kami dari kematian.
Farandi cuek saja dan pergi ke tempat si
Bos tergeletak. Dia mengeluarkan pisaunya. Sepertinya dia akan memastikan si
Bos mati.
Aku tak peduli apa yang akan dia
lakukan. Aku mengecek Clara.
“Kau tidak apa-apa?”
Dia sedikit terbatuk-batuk, “Tak
apa-apa. Ayo kita pergi dari sini.”
Gerombolan zombie makin mendekat, kami
harus segera pergi. Tapi kemana? Sakit hati karena ditinggalkan kembali
menusukku.
Yang jelas, kami memang harus pergi ke
suatu tempat untuk sekarang. Aku membantu Clara berdiri lalu berteriak ke Ali
dan Farandi, “Hei, ayo pergi. Ikuti aku, kita cari tempat persembunyian.”
“Tunggu sebentar,” kata Farandi. Dia
berlutut dan siap menusukkan pisaunya ke kepala si Bos.
Tapi yang terjadi di luar dugaan. Kait
tangan si Bos lebih dulu menusuk ke bahunya. Dia masih hidup.
“Hhh, jika aku akan mati, kalian akan
kubawa.” Si Bos mengeluarkan semacam detonator dari kantongnya dan menekannya.
Farandi berhasil menikam kepala si Bos,
tapi kait masih menyangkut di bahynya. “Dia membawa bom di tubuhnya!” katanya
sambil mengerang kesakitan.
Posisiku terlalu jauh. “Ali, selamatkan
Farandi!!”
Ali tak perlu disuruh dua kali. Dia
dengan sedikit panik mencoba melepaskan kait itu. Farandi berteriak nyaring
ketika kait itu terlepas. Setelah itu Ali memapah Farandi dan membawanya
menjauhi mayat si Bos.
Ali dan Farandi berlari tidak terlalu
jauh ketika bom itu meledak. Aku dan Clara merunduk menghindari angin ledakan.
“Ali!!” teriakku memanggil. Aku tak bisa
melihat mereka. Ledakan membuat debu bertebangan dan menutupi pandangan. Selain
itu, suara ledakan bom juga menarik lebih banyak lagi zombie.
“Kita harus pergi. Sekarang.” Clara
menarik tanganku.
“Tapi...Ali dan Farandi?”
Seorang zombie menyerangku dari balik
asap. Aku harus menendangnya menjauh sebelum Clara membunuhnya.
“Tak ada waktu!!”
Aku melihat sekali lagi ke arah asap.
Jika mereka masih hidup, aku tak bisa melihatnya. Dengan kesal, aku berteriak
sekali lagi, “Jangan mati!!!”
Clara kini berlari duluan, “Ayo!”
Aku mengikutinya, meninggalkan kepulan
asap dan banyak zombie di belakang.
0 komentar:
Posting Komentar