Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Farandi Memiliki Senjata Terkuat (Petualangan di Zombie Apocalypse 2 Part Final)


baca part sebelumnya di sini.

“Awas di sampingmu!!” teriakku pada Ali. Ali menghajar zombie yang sudah sangat dekat dengannya itu. Jalannya masih sedikit terpincang, jelas sekali kakinya belum pulih sempurna.

Indra dan yang lain sudah berlari jauh di depan. Aku sendiri sedikit terhambat karena harus menggendong Farandi yang masih pingsan. Ali dan Rere mengawalku dari para zombie.

Kenapa aku harus repot-repot menggendong anak ini? Aku bisa saja meninggalkannya di situ dalam keadaan pingsan. Siapa yang peduli akan keselamatannya. Aku masih tak bisa memaafkannya atas kematian Medina.

Tapi aku memang tak tega, apalagi setelah semua ini terjadi. Jika bukan karena dia, kami bahkan tak akan bisa keluar dari motel itu.

“Itu dia..” kataku dengan terengah ketika melihat helikopter itu. Tapi suasananya tak bagus. Lapangan itu didatangi zombie hampir dari segala arah. Dari jauh, aku bisa melihat si pilot sedang mempertahankan helikopternya dengan susah payah. Sangat jelas terlihat kalau dia tak ingin lama-lama menunggu di situ.

Indra dan Clara yang sudah di depan mulai membantu si pilot. Zico juga membantu sebisanya dengan satu tangan. Aku mempercepat langkahku walaupun itu sangat sulit. Siapa sangka anak SMP cukup berat?
“Re, pergi duluan! Aku akan menemani Kemal,” kata Ali.

Kukira Rere akan mengucapkan sesuatu yang menggugah hati seperti “aku tak akan meninggalkanmu” atau semacamnya, tapi dia malah langsung lari sambil berkata, “Oke, hati-hati ya!” Ali terlihat sedikit sedih.

Walaupun mereka semua sudah terbiasa menghadapi zombie, kami jelas kalah jumlah. Zombie yang datang semakin banyak saja. Belum lagi angin yang mulai kencang. Helikopter harus diterbangkan sesegera mungkin.

“Cepat!!” Indra berteriak sambil menebas zombie. “Kita tak punya banyak waktu!”

Karena banyaknya zombie, pilot helikopter tiba-tiba saja sudah terkepung oleh mayat hidup itu. Aku dengan takut melihat ketika salah seorang zombie berhasil menggigitnya dari belakang. Kami semua tak bisa berbuat apa-apa ketika para zombie lain mengerumuninya dan menutupi suara teriakannya.

“Bagaimana ini? Pilot kita mati!” kataku.

Ali di depan berhasil menjatuhkan dengan mudah zombie kakek tua, “Entahlah, aku....oh tidak.” Ali melihat sesuatu yang mengerikan. Dan aku dengan cepat tahu apa.

Dua zombie liar berlari dengan kencang ke arah kami. Mereka berdua sepertinya pasangan, karena memakai couple dress. Betapa romantisnya, bahkan ketika jadi zombie pun mereka selalu bersama.

Ali tak akan bisa menangani mereka sendirian. Kutinggalkan Farandi di pinggir jalan, lalu mengeluarkan senjataku sendiri. Sisa peluru di pistolku tinggal tiga buah. Aku juga memegang parang.

“Kau habisi yang cowok, aku yang cewek,” kataku pada Ali.

“Apa? Kau saja yang cowok! Masa kau ngambil yang enak mulu.”

Aku melihatnya tak percaya, “Kau sadar gak sih kita bakal ngelawan zombie? Ini bukannya mau pedekate sama cewek.”

“Ya sudah, kau saja yang melawan cowok. Kan sama saja.”

“Oke oke, terserah aja,” kataku capek.

Aku bersiap menunggu zombie liar itu mendekat. Ketika kira-kira sudah berada dalam jarak tembak, aku memakai semua peluru pistolku untuk menembak kepalanya.

Harus kuakui kalau aku bukanlah yang paling hebat soal menembak. Dari tiga peluru, aku berhasil melukai dahinya sekali. Bukan hasil yang bagus.

Tapi untungnya aku bisa dibilang cukup berpengalaman melawan zombie liar. Triknya adalah menghindar sesedikit mungkin. Ketika terjangannya meleset, saat itulah zombie itu bisa diserang. Aku berhasil menghujamkan parangku ke kepalanya dan membantingnya ke tanah.

Ali tidak seberuntung itu. Tebasannya kurang dalam sehingga zombie perempuan itu masih bisa melawan. Dia mengayun-ayunkan tangannya secara liar dan tak sengaja berhasil menjatuhkan senjata yang dipegang Ali.

“Ngg...Kem, bantuin bisa gak?”

“Kau bodoh! Lawan cewek aja kalah!” Aku buru-buru berlari ke arahnya, tapi sebelum aku sampai, zombie itu sudah mati duluan. Clara muncul dengan pistolnya dan menembak jatuh zombie itu.

“Indra menyuruhku membantu kalian. Ayo cepat! Tak ada waktu lagi!” katanya.

“Tunggu, siapa yang akan menerbangkan helikpoternya?”

“Indra bisa menerbangkannya.”

Oh ya, aku lupa ketika pertama kali aku bertemu dengannya, dia menerbangkan helikopter. Aku bisa melihat Rere sedang membantu Zico naik ke helikopter sementara Indra bersiap-siap di tempat kemudi.

“Oke, kalian pergi duluan, aku akan menggendong Farandi,” kataku.

“Ngomong-ngomong soal itu, mana dia?”

Aku melihat ke tempat aku tadi meninggalkan Farandi. Atau paling tidak, ke tempat seharusnya aku meninggalkannya karena sekarang dia tak ada.

“Si sialan itu....jangan-jangan dia kabur...” Aku menggeram marah. Setelah susah payah yang kulakukan.

“Ya sudahlah,” kata Ali tidak peduli, “jika dia memang mau kabur biarkan saja. Lebih baik kita prioritaskan keselamatan kita lebih dulu.”

Benar juga. Toh dari awal aku memang tidak suka dengan keberadannya. “Kalau begitu ayo.”

Clara sudah berlari duluan di depan dan aku serta Ali mengikutinya. Rasanya menyenangkan tidak perlu menggendong orang lagi. Kini aku juga bisa membantu mengalahkan zombie yang menghalangi.

Ketika aku sedang sibuk memukul kepala zombie sampai hancur, aku mendengar teriakan Clara. Awalnya aku tak bisa melihatnya, tapi ternyata bukanlah zombie yang menjadi masalah Clara sekarang.

“Oh tidak, itu si Bos...” kata Ali dengan suara bergetar.

Si bos bajak laut itu menahan leher Clara dengan sebelah tangan kaitnya dan memegang pistol di tangan satunya, dengan moncong ke arah kepala Clara.

Aku dengan putus asa mencoba bernegoisasi, “Hei...jangan sakiti dia...”

“Diam!” dia berteriak. “Dan jangan bergerak, atau cewek ini mati. Jatuhkan senjata kalian.”

Aku saling pandang dengan Ali dengan ragu. Kami bukan dalam posisi bisa menawar, tapi jika kami menurutinya begitu saja, kami semua akan mati. Si bos ini tidak terlihat seperti orang pemaaf, apalagi setelah kami membuat markasnya porak poranda.

Lalu tiba-tiba saja aku mendengar suara baling-baling helikopter. Masa sih....

Helikopter di lapangan itu terbang begitu saja. Mereka lalu pergi menjauh.

 “Mereka meninggalkan kita!!” kataku tak percaya. “Indra dan Zico...”

“Rere juga...” Ali bergumam dengan sedih. Dia terlihat lebih kaget.

“Hahahaha!!” si Bos sepertinya sangat senang dengan keadaan itu, “bahkan temanmu lebih mementingkan dirinya. Memang begitulah cara bertahan di dunia ini.”

Aku tahu angin memang sudah sangat kencang, dan jika mereka tak segera menerbangkan helikopter bisa-bisa angin akan terlalu kencang untuk terbang. Tapi aku masih tak percaya mereka meninggalkan kami begitu saja. Hal ini membuat semangatku merosot drastis. Kini apa yang harus kami lakukan?

Bos sialan itu tak memberi kami meratap berlama-lama, “Nah, jatuhkan senjata kalian.”

“Ugh..” Aku tak punya pilihan lain selain melakukan perintahnya. Clara sama sekali tak bisa melawan.

Ali terlihat lebih merana daripadaku. Kurasa dia malah tak mendengar sama sekali apa yang dikatakan si Bos.

“Hei kau!! Jatuhkan senjatamu!” perintah Bos lagi.

“Li!” aku memanggilnya, “aku tahu kau patah hati dan semacamnya, tapi jika kau tak meletakkan senjatamu sekarang, bukan hanya hati taruhannya.”

Ali melihatku dengan pandangan paling menyedihkan yang pernah kulihat, tapi kali ini dia menurut. Dibantingnya senjatanya ke tanah.

“Bagus,” kata si Bos sambil tersenyum jahat.

Aku kini bukan hanya cemas karena kami tak bersenjata, tapi karena zombie yang di lapangan kini menuju arah kami.

“Lepaskan Clara,” kataku.

“Oh tidak semudah itu.”

“Apa kau tidak lihat keadaan sekitarmu?” Aku kehilangan kesabaran. “Kita dikepung banyak zombie. Lepaskan Clara, dan kami berjanji akan membantumu keluar dari masalah ini. Lalu kita berpisah, tanpa mengganggu sama lain. Bagaimana?”

Bos sialan itu memperlihatkan pose pura-pura berpikir yang menyebalkan, “Hmm bagaimana ya? Kau sudah menghancurkan markasku dan semua anak buahku. Tidak mengganggu satu sama lain? Oh kurasa tidak...ya, TIDAK!!”

Dia mendorong Clara ke depan dengan keras. Clara kehilangan keseimbangan dan jatuh. Si Bos mengarahkan senjatanya ke Clara lagi.

“Satu orang dulu..”

“JANGAN!!” teriakku.

Aku hanya melihatnya sekilas. Ketika si Bos hampir menarik pelatuknya, sebuah benda melayang ke arahnya. Benda yang sangat kuat. Benda yang konon saking kuatnya bisa menghancurkan apa saja. Benda itu...adalah Nokia 3310.

Handphone mengerikan itu menghantam muka si Bos dengan keras, dan dia terlempar ke belakang. Dia tak bergerak lagi. Kekuatan hantaman Nokia 3310 terlalu mengerikan.

Aku melihat ke arah handphone itu dilemparkan. Farandi dengan muka pucat berdiri di sana.

“Kau punya Nokia 3310 selama ini?” tanyaku masih kaget.

Dia berjalan dengan lemas, “Ya begitulah. Itu senjata andalanku.”

“Ngg, terima kasih...” kataku dengan sedikit malas. Aku dilema, dia memang penyebab meninggalnya Medina, tapi dia baru saja menghindarkan kami dari kematian.

Farandi cuek saja dan pergi ke tempat si Bos tergeletak. Dia mengeluarkan pisaunya. Sepertinya dia akan memastikan si Bos mati.

Aku tak peduli apa yang akan dia lakukan. Aku mengecek Clara.

“Kau tidak apa-apa?”

Dia sedikit terbatuk-batuk, “Tak apa-apa. Ayo kita pergi dari sini.”

Gerombolan zombie makin mendekat, kami harus segera pergi. Tapi kemana? Sakit hati karena ditinggalkan kembali menusukku.

Yang jelas, kami memang harus pergi ke suatu tempat untuk sekarang. Aku membantu Clara berdiri lalu berteriak ke Ali dan Farandi, “Hei, ayo pergi. Ikuti aku, kita cari tempat persembunyian.”

“Tunggu sebentar,” kata Farandi. Dia berlutut dan siap menusukkan pisaunya ke kepala si Bos.

Tapi yang terjadi di luar dugaan. Kait tangan si Bos lebih dulu menusuk ke bahunya. Dia masih hidup.

“Hhh, jika aku akan mati, kalian akan kubawa.” Si Bos mengeluarkan semacam detonator dari kantongnya dan menekannya.

Farandi berhasil menikam kepala si Bos, tapi kait masih menyangkut di bahynya. “Dia membawa bom di tubuhnya!” katanya sambil mengerang kesakitan.

Posisiku terlalu jauh. “Ali, selamatkan Farandi!!”

Ali tak perlu disuruh dua kali. Dia dengan sedikit panik mencoba melepaskan kait itu. Farandi berteriak nyaring ketika kait itu terlepas. Setelah itu Ali memapah Farandi dan membawanya menjauhi mayat si Bos.

Ali dan Farandi berlari tidak terlalu jauh ketika bom itu meledak. Aku dan Clara merunduk menghindari angin ledakan.

“Ali!!” teriakku memanggil. Aku tak bisa melihat mereka. Ledakan membuat debu bertebangan dan menutupi pandangan. Selain itu, suara ledakan bom juga menarik lebih banyak lagi zombie.

“Kita harus pergi. Sekarang.” Clara menarik tanganku.

“Tapi...Ali dan Farandi?”

Seorang zombie menyerangku dari balik asap. Aku harus menendangnya menjauh sebelum Clara membunuhnya.

“Tak ada waktu!!”

Aku melihat sekali lagi ke arah asap. Jika mereka masih hidup, aku tak bisa melihatnya. Dengan kesal, aku berteriak sekali lagi, “Jangan mati!!!”

Clara kini berlari duluan, “Ayo!”


Aku mengikutinya, meninggalkan kepulan asap dan banyak zombie di belakang.

0 komentar:

Posting Komentar