Aku bergerak mendekati kelinci itu dengan hati-hati.
Kucoba tidak mengejutkan dia. Tanganku memegang potongan wortel untuk memancingnya
mendekat.
“Bagus, bagus, ayo sini.”
Kelinci itu berhenti sejenak, tapi lalu mendekati
tanganku dengan waspada.
“Hahaha!! Mati kau!!” Kukeluarkan parangku dan
kusabetkan ke arah kelinci itu. Tapi ternyata kelinci itu lebih lincah dari
perkiraanku. “Sialan! Jangan lari!!”
Aku berlari-lari sambil mengejar kelinci dengan
parang di tangan untuk beberapa saat sebelum sebuah anak panah menancap tepat
di tubuh hewan malang itu. Nafasku ngos-ngosan, “Bima, itu kan buruanku!”
Bima keluar dari balik semak. “Kau terlalu lama.
Yang lain bisa kelaparan tahu. Ayo kita kembali. Ambil kelincinya.”
Aku mau protes, tapi Bima sudah berbalik dan
meninggalkan tempat itu.
Tadinya aku dan Bima pergi mencari makanan kaleng
tambahan di mini market terdekat, tapi karena bosan makan makanan yang sama
terus, aku mengusulkan untuk mencari hewan untuk diburu. Bima mengatakan
mungkin ada kelinci liar di hutan kecil dekat kota, dan dia benar. Tapi
menangkap kelinci ternyata butuh usaha yang sangat besar. Dalam satu jam, kami
hanya bisa menangkap dua ekor.
“Bau banget,” keluhku ketika mengikat kelinci yang
bersimbah darah itu agar lebih mudah dibawa.
“Ayo cepat, mungkin pasukan pemerintah itu sudah
datang ke tempat kita.” Bima mulai berlari-lari kecil.
Pasukan yang dimaksud adalah Unit Rahasia Sektor
1077 yang dibentuk oleh pemerintah dalam menghadapi masalah virus zombie ini.
Mereka berencana mengevakuasi kami dari gedung tempat kami tinggal sekarang
tepat hari ini.
Masalahnya, teman-temanku belum kembali. Zico pergi
mencari kekasihnya di kota tempat kami berasal ditemani Ali dan Rere. Aku tak
mungkin meninggalkan mereka dan pergi ke tempat aman begitu saja. Jika harus
memilih, aku lebih baik kembali ke kota untuk mencari mereka bertiga. Medina,
yang juga sudah berpetualangan bersama dengan mereka, sepertinya sependapat
denganku.
Pendapat Bima bertentangan denganku. Dia mengatakan
kalau aku dan Medina harus ikut karena kami terbukti berguna bagi kelompok.
Lagipula tidak ada jaminan mereka masih selamat. Alasan itu hanya membuatku
semakin ingin pergi mencari mereka. Aku rasa aku harus kabur diam-diam saat
para tentara melakukan evakuasi nanti.
Kami kembali ke gedung. Belum ada tanda-tanda
pasukan penyelamat itu. Kami memutar lewat jalan belakang dan masuk dari pintu
rahasia.
Intan menyambut kami, “Bagaimana?”
Bima mengeluarkan plastik berisi makanan-makanan
kaleng, “Nih, gak ada masalah kok. Cuma dua atau tiga zombie yang harus kami
lawan. Enteng.”
“Ditambah sedikit bonus.” Aku menunjukkan dua
kelinci yang berhasil kami dapatkan. Muka Intan merengut jijik, tapi diambilnya
juga.
“Kenapa kau buru makhluk imut kayak gini sih?”
Aku mengangkat bahu, “Untuk bertahan hidup.
Ngomong-ngomong, dimana Medina?”
Intan menunjuk kamar tempat biasanya Medina tidur
lalu pergi membawa kelinci itu ke dapur. Bima duduk istirahat sambil melepas
busur dari pundaknya.
Aku mengetuk pintu kamar Medina. “Siapa?”
“Kemal.”
“Apa kodenya?”
Aku terkejut, “Kau serius soal itu?”
“Ya, jadi....apa kodenya?”
Aku terbatuk canggung, “Kurasa aku cocok jadi personil
One Direction.”
Bima dibelakangku menahan tawa. Medina membuka pintu
sambil tertawa sadis, “Tak kusangka kau benar-benar akan mengatakan itu?”
Medina sudah sangat berbeda jika dibandingkan saat
kami harus melawan zombie dalam perjalanan. Kakinya yang sempat terluka parah
sudah kembali normal. Penampilannya sudah lebih rapi sehingga terlihat sedikit
feminim. Lalu karena banyak teman, dia juga mulai ceria lagi. Dan ternyata
kalau sudah ceria begitu, aku baru tahu kalau dia ternyata orang yang sangat
iseng, seperti yang dia lakukan barusan.
Aku menengok ke dalam kamar. Baju-baju berserakan di
tempat tidur. Sepertinya dia dapat banyak tambahan baju dari teman-teman
barunya.
Medina menyadari pandanganku dan dia langsung
menarikku masuk. Pintu ditutup lalu dikunci, “Aku sedang siap-siap untuk pergi.
Kita jadi mencari Rere dan yang lain kan?”
Aku ragu, “Kau yakin?”
“Kenapa?”
“Maksudku, kau terlihat sangat senang disini. Kau
juga punya teman baru seperti Intan atau....siapa namanya yang suka jalan tanpa
suara kayak ninja itu?”
“Clara.”
“Ya itu. Apa kau yakin mau ikut aku juga?”
Dia terdiam. Sayup-sayup terdengar suara seseorang
meminta Bima mengambilkan tabung gas untuk diganti.
“Aku memang merasa nyaman disini. Mereka semua juga
baik denganku. Tapi, Zico, Ali, dan Rere sudah seperti keluargaku. Mereka sudah
pernah menolongku saat aku sangat kritis. Aku tak mau meninggalkan mereka begtu
saja, pasti aku akan menyesal nanti.”
“Kau tahu kan itu berarti kita harus hidup susah
payah lagi seperti sebelum kesini?”
“Asal bersama kalian, tidak apa-apa kok.”
Aku tersenyum senang. Sepertinya sudah tidak ada
keraguan lagi padanya. “Oke, kalau begitu siapkan bajumu yang mau kau bawa.”
“Nah, mana menurutmu yang harus kubawa?” Medina
menunjukkan dua baju yang harus kupilih. Yang satu bergambar tengkorak memakai
bunga (aku juga tak tahu apa maksudnya itu) dan yang satu lagi memiliki motif
norak dengan warna yang bercampur-campur. Satu lagi fakta yang kuketahui soal
Medina, selera pakaiannya aneh.
“Lebih bagus kalau....”
Terdengar ledakan keras. Kami secara refleks tiarap
di lantai sambil menutup kuping. Gedung bergetar, serpihan-serpihan debu jatuh
dari langit-langit.
“Apa yang terjadi?” tanya Medina.
Kupingku masih mendengung karena kerasnya ledakan
itu. Aku menggeleng dan memberi isyarat agar Medina tetap di kamar itu
sementara aku mencari tahu keluar.
Pemandangan diluar sungguh kacau. Dinding-dinding
rusak dan api mulai menyebar ke perabotan. Gedung ini kebakaran. Kulihat Bima
terbatuk-batuk mencoba memadamkan api dengan jaketnya, tapi tak berguna. Bima
melihatku mendekat.
“Tabung gas meledak, bisa-bisanya di saat seperti
ini. Kita harus keluar dari gedung!” perintahnya. Orang-orang sudah berlarian
panik kesana kemari, beberapa mencari teman, yang lain mencoba menyelamatkan
barang berharga sebelum keluar.
Aku kembali ke kamar, “Ayo kita keluar! Gedung ini
terbakar.”
Medina dengan cepat memasukkan baju ke dalam tas
ranselnya. Asap mulai masuk ke dalam kamar. “Cepat cepat!!”
“Oke, ayo!”
Kami bergegas menuju pintu keluar. Bima, bermodalkan
satu pemadam api, masih mencoba memadamkan api sehingga yang lain bisa sedikit
lebih mudah untuk kabur.
“Mana Clara?” tanya Medina pada Bima.
Dia menggeleng, “Clara juga ada di dapur saat itu
terjadi.”
“Kita harus mengeceknya!!” Medina berlari begitu
saja ke arah dapur. Bima memanggil menyuruhnya kembali, tapi dia tidak mau
dengar. Aku mengikutinya dengan putus asa.
Keadaan dapur jauh lebih buruk. Hampir semua barang
sudah dilalap api. Koki kami, seorang wanita setengah baya yang baik,
tergeletak tak bergerak. Perih rasanya melihatnya, tapi kami tak mampu
menyelamatkannya lagi.
Asap membuatku pusing, ditambah lagi hawa panas
disekeliling. Rasanya aku ingin secepatnya keluar dari sini.
“Kemal, disini!!” Medina berteriak. Di dekatnya,
tergeletak Clara yang tak sadarkan diri. Kepalanya berdarah, tapi dia masih
bernafas. Aku berlari ke arah jendela dapur dan mencoba membukanya. Tapi agak
tersangkut.
“Bantu aku. Jendela ini lumayan besar, mungkin kita
bisa keluar dari sini saja,” kataku. Medina mengangguk dan membantuku
mengangkat jendela itu hingga terbuka.
Siapa sangka, itu hanya membuat suasana semakin
memburuk. Zombie-zombie yang mendengar suara ledakan itu sudah mengepung gedung
kami. Ketika aku membuka jendela, zombie langsung menyeruak masuk. Aku mundur
karena kaget. Zombie-zombie itu memanjat masuk melalui jendela.
“Ya ampun. Kita kembali ke pintu keluar!!” Kuangkat
Clara, tapi zombie itu sudah semakin mendekat. Medina mengambil panci dan
menghantamnya tepat di kepala. Itu memberikan waktu agar kami bisa kabur.
Medina terbatuk-batuk sementara aku dengan susah
payah mencari jalan diantara asap yang makin tebal saja. “Disana, ayo!” Aku menunjuk
sebuah pintu.
Tapi asap sudah memenuhi udara, dan Medina menjadi
lemas karenanya. Dia terjatuh sambil terus terbatuk. Aku terpaksa berhenti dan
menurunkan Clara agar bisa melawan zombie yang terus mengejar.
Kuambil pisau kecil yang selalu kusimpan di
kantongku. Sebelum zombie itu bisa menyerang, aku melompat duluan ke arahnya.
Kutusukkan pisau itu ke kepalanya berkali-kali sampai dia jatuh tidak bergerak.
Tapi masalah tak berhenti disitu. Banyak lagi zombie
yang kini memanjat melalui jendela itu. Aku membantu Medina berdiri, “Ayo,
bertahan sedikit lagi.”
Dia mengangguk, tapi badannya terlihat sangat lemas.
Asap ini bahkan sudah mulai mempengaruhiku. Kupaksakan untuk mengangkat Clara
dan berjalan lagi ke pintu keluar.
Suara erangan zombie yang berbeda dari yang lain
menambah rasa panikku. Itu zombie liar. Satu zombie liar memanjat masuk dan
berlari ke arah kami. Aku tak punya tenaga untuk melawan.
Suara tembakan menggema dan zombie itu terjatuh,
begitu juga dengan zombie-zombie lain. Beberapa orang dengan baju tentara
lengkap bermunculan. Mereka pasukan yang kami tunggu.
Salah satu dari mereka membantu kami keluar. Aku
menarik nafas lega, rasanya udara segar sangat enak. Tapi aku tak bisa santai
terlalu lama. Banyak lagi zombie yang mengepung kami. Para pasukan pemeritah
itu menyuruh orang-orang masuk ke dalam truk tentara yang bisa memuat banyak
orang.
“Biar aku yang membawanya,” kata pasukan itu padaku,
dia lalu menggantikanku menggendong Clara, “Kalian juga cepat naik ke truk.”
Aku dan Medina saling bertatapan. Kami tahu ini
kesempatan untuk kabur. Jika kami mengambil jalan kecil yang ada di arah lain
dari truk itu, pasti mereka tidak akan mengetahuinya. Masalahnya, kami harus
berhadapan dengan banyak zombie.
“Kau masih bisa?” tanyaku pada Medina. Dia
mengangguk. Udara segar sudah membuatnya kuat lagi.
Kuambil parang yang tergeletak di dekat situ. Tak
ada waktu lagi untuk mengambil pistol. Kami harus menerobos dengan satu senjata
ini.
“Baiklah, ikuti dari belakang ya.” Aku mulai berlari
menuju jalan kecil itu. Satu zombie mendekat, dan kutusuk kepalanya. Aku
menyabet kaki-kaki tiga zombie lain yang menghalangi jalan. Kami tidak perlu
membunuh mereka, saat ini kami hanya perlu kabur.
“Itu satu lagi.” Medina menunjuk satu zombie yang
tepat berdiri menghalangi jalan kecil itu. Zombie yang lain sudah cukup jauh,
kami tinggal menghabisi satu ini.
Sebelum aku berhasil menjatuhkannya, anak panah
melesat menembus kepalanya.
“Oh sial,” kataku mengingat siapa lagi yang suka
merebut mangsa orang selain Bima. Kami ketahuan.
“Kalian kira bisa pergi berdua saja?” tanyanya
sambil menyimpan busurnya ke punggung.
“Dengar ya,” kataku marah, “kami akan pergi kesana
apapun katamu. Kau tidak bisa menghalangi kami.”
“Aku tidak mencoba menghalangimu. Aku akan ikut.”
“Apa?”
Bima melempar satu pistol kepadaku dan Medina. “Aku
sudah memberi Intan handphone untuk terus memberi kabar kepadaku. Kita temukan
temanmu, lalu pergi ke tempat pasukan itu membawa Intan. Tak ada yang protes
kan?”
Aku melihat ke Medina. Dia juga sama bingungnya.
Tapi seperti yang Bima bilang, mana mungkin aku protes dengan bertambahnya satu
bantuan.
“Oke, terserah kau saja. Ayo pergi, sebelum zombie
lain menyadari keberadaan kita.”
Kami bertiga menyusuri jalan kecil itu, meninggalkan
gedung lama kami menghilang dilalap api.
Bersambung....ke part 2.
2 komentar:
Kemal Potter-nya gak dilanjutin lagi?
nanti-nanti deh
lagi males
Posting Komentar