Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

Kemal Potter (Chapter 2 : Ayahku Mengerjaiku dengan Gaya)


Setelah kejadian yang cukup menegangkan di Pasar Sihir tadi pagi, aku mulai belajar sedikit mantra sihir dari buku. Yang paling dasar adalah membuat barang terbang. Pasti gampang, pikirku. Dan tentu saja aku tak pernah tahu betapa salahnya aku sebelum aku melihat efeknya sendiri.

Wingardium Leviosa” kataku membaca mantra sambil mengayun tongkat ke asbak.

Hasilnya diluar dugaanku, asbak itu melayang dengan cepat tepat ke mukaku. Hidungku terhantam dengan keras. Uji coba pertamaku menggunakan sihir berakhir dengan aku berlutut di tanah sambil mengelus-elus hidung.

“Kemal, tidur sana, besok pagi kau kan harus bangun cepat! Sedang apa kau di lantai?” Itu ibuku, dia sudah selesai mencuci piring.

“Hiyaa henthaar.” Maksudku, iyaaa bentaar.

“Hah apa?”

“Henthhaar aggyy!!”

“Entah apa yang kau bilang, cepat tidur sana!”

Aku males membantah lagi (lagian susah membantah dengan hidung seperti ini). Aku naik ke kamarku dan tidur-tiduran di kasur. Seperti anak kecil, aku sulit tidur jika besok adalah hari yang spesial. Aku tak sabar melihat sekolah sihir itu, dan aku juga tak sabar memakai sihir dengan bebas disana. Kami, para penyihir, memang dibatasi memakai sihir jika di dunia muggle.

Setelah agak lama, aku akhirnya sukses tertidur. Aku bermimpi tentang aku yang berada di sekolah sihir. Awalnya mimpi itu menyenangkan, lalu semua berubah ketika muncul seseorang yang sepertinya pernah kulihat. Dia mulai merusak segalanya. Kemudian dia menghampiriku, dan dari tongkat sihirnya keluar cahaya hijau….

Aku terbangun tepat sebelum aku mati di mimpi. Keringat mencucuri kepalaku. Sinar hijau itu pasti mantra pembunuh, aku pernah melihatnya di beberapa buku. Mantra yang sangat dilarang.

Aku mencoba mengingat-ingat mimpiku tadi, tapi semua kabur. Saat berpikir keras, aku sadar ada suara langkah pelan di luar kamarku. Badanku menegang. Dengan takut aku memegang tongkatku. Siapapun itu, pasti dia punya maksud tak baik. Aku tak tahu apa ada gunanya tongkat sihir ini karena satu-satunya mantra yang bisa kulakukan adalah menerbangkan benda ke mukaku. Tapi ini lebih baik daripada tak ada apa-apa.

Kenop pintu berputar pelan. Aku semakin tegang. Tongkatku bergetar di tanganku. Lalu pintu kamar terbuka perlahan. Dari balik kegelapan keluarlah…..pantat? Hanya pantat tanpa badan atau kaki. Apa-apaan itu?

Dengan bingung aku mendekati pantat itu. Apakah ini semacam hantu jenis baru. Kuulurkan tangan dengan pelan untuk menyentuhnya, dan saat itulah muncul kepala yang melayang di langit sambil menjulurkan lidah.

“AAAHHHH!!”

“Ahahaha! Kemal, ini ayah!” Kepala itu adalah ayah. Dan pantat itu….itu pantat ayah. Dia melepas kain entah dari mana dan kini seluruh tubuhnya muncul.

“A…ayah, apa-apaan itu?” tanyaku, masih shock.

Ayah memegang kain itu di tangannya. “Ini Nak, adalah jubah tak terlihat. Diwariskan dari kakekmu kepadaku. Kini kuwariskan kepadamu.”

Aku menerimanya dengan bingung, “Tapi, untuk apa ini?”

“Yaah, kau bisa memakainya untuk mengerjai orang dengan gaya,” katanya.

“Dengan gaya, maksudmu seperti yang kau lakukan tadi? Wow, itu sangat gaya.”

Dia tertawa kecil lalu pergi keluar kamar. Malam yang aneh, ayahku mengerjaiku dengan trik-hantu-pantat lalu tiba-tiba memberikan salah satu barang paling berharga dalam dunia sihir. Aku memasukkan jubah itu ke koper lalu mencoba kembali tidur.

Untungnya kali ini tak ada mimpi lagi. Aku tidur dengan nyenyak, terlalu nyenyak malah karena menurut ayahku aku sangat sulit dibangunkan sampai-sampai dia berpikir untuk memakai mantra penyiksaan Crucio untuk membangunkanku.

Ibuku membuat sarapan favoritku, roti panggang dengan telur (ya, standarku memang rendah). Ibuku mulai mengabsen satu persatu apakah ada barang yang lupa atau tidak.

“Buku bacaan?”

“Bawa.”

“Celana dalam?”

“Tentu saja bawa. Mana mungkin aku lupa itu.”

“Bawa saja sedikit banyak, mana tau perlu.”

“Perlu buat apa? Buat dijadiin layangan? Ini juga udah banyak kok.”

Ibuku diam sejenak, “Yakin gak mau tambah lagi celana dalamnya? Nanti kalau kurang gawat lho.”

“Ya ampun Bu, aku gak akan dikeluarkan dari sekolah kalau kurang celana dalam.”

“Ya deh ya.”

Setelah selesai makan dan mandi, aku diantar ayahku ke stasiun kereta. Saat aku melihat karcisku, aku sadar ada yang aneh. “Peron setengah? Apa ada peron setengah?”

“Lihat saja nanti.” Kata ayahku.

Aku menurunkan barangku dari mobil. Awalnya aku bingung bagaimana membawa barang sebanyak ini, lalu ayahku menjentikkan jari dan muncullah peri rumah. Aku jelas kaget, “Apa muggle tak bisa melihatnya?”

“Tidak. Ada sihir yang melingkupinya. Ibumu juga tak bisa melihatnya.”

Peri kecil itu mengangkat banyak barang dengan mudah. Lebih tepatnya dia membuatnya melayang. Muggle disekitarku tidak menunjukkan keterkejutan, mungkin ini pun tak bisa mereka lihat.

Aku mengikuti peri itu pergi. Dia lalu berhenti di depan toilet umum stasiun. Aku berbisik ke ayah, “Aku tak tahu peri juga buang air.”

“Apa maksudmu? Inilah peronmu.”

“Hah? Di toilet?”

Dia menggelengkan kepala. “Peron setengah itu ada di antara toilet cewek dan toilet cowok. Kau hanya perlu menerobos dinding di tengah itu.”

Peri itu bergerak duluan. Dia berlari dengan kencang sambil membawa barang ke arah dinding ……dan dia menghilang!

“Apa menteri sihir tak bisa membuat gerbang yang lebih bagus lagi?” protesku. Setelah memastikan tak ada yang melihat, aku berlari ke dinding. Aku seketika tembus ke stasiun yang lebih besar. Suasananya juga jauh lebih ramai. Kereta model tua yang masih memakai cerobong asap bersiap-siap akan pergi.

Ayahku muncul di belakang. “Peri itu akan memasukkan barangmu. Kau lebih baik lekas naik. Here, take some money.”

Ayah member beberapa keeping emas. Jelas bukan Rupiah.

“Berhati-hatilah disana. Jangan terlalu sering belajar, ingat main juga.” Nasihat yang sangat bagus. Aku akan selalu mengingatnya. Aku pamit pada ayah lalu naik ke kereta mencari tempat duduk.

Kereta itu ternyata berisi ruangan-ruangan kecil yang bisa diisi empat orang. Kebanyakan sudah diisi. Aku lalu melihat Fika di salah satu ruangan, jadi aku masuk kesitu. Dia sedang duduk bersama seorang laki-laki.

“Hei, ingat aku?”

Fika melihatku lalu tersenyum. “Tentu saja, kau kan yang membakar toko buku itu.”

Aku duduk salah tingkah, “Darimana kau tau? Kukira kau sudah pulang.”

“Aku kembali lagi karena melihat ada keributan. Lalu kulihat kau dan ayahmu lari dengan panik.” Fika terkikik pelan. Bagus, harga diriku sudah hancur bahkan sebelum aku sampai sekolah. “Oh ya, ini Ridho.”

Aku menyalaminya. Ridho berambut lurus hitam yang dipotong pendek. Giginya agak maju kurasa, dan mukanya cukup dipenuhi jerawat. “Pacar?”

“Ya begitulah,” Fika tersenyum, “Kami berdua sama-sama diterima di Hogwarts.”

Wah, salah ruangan nih. Kalau begini aku cuma akan mengganggu mereka pacaran. Untunglah saat itu ada seorang lagi cewek yang masuk ke ruangan itu. Dia sepertinya tahun pertama juga. Rambutnya dipotong pendek, dan badannya juga pendek. Selain itu, dia cukup cantik.

“Hai, kalian baru masuk tahun ini?”

“Ya begitulah,” Kataku. Aku harus terlihat keren sekarang. Ini akan berpengaruh pada masa depan. “Namaku Kemal, kau siapa?” kataku dengan cara yang paling macho.

“Aku Iis. Hei, aku tahu kau!”

“Oh benarkah?” kataku kegirangan. Sebegitu terkenalkah aku?

“Kau yang membakar buku di pasar sihir!”

Harga diriku hancur.

0 komentar:

Posting Komentar