Kemal si Blogger Iseng

show them all you're not the ordinary type

The Conjuring (Part 5 : Latihan)


(Ali)

Aku menguap lebar banget. Ibuku sampai berkomentar, “Wih, kayak black hole.” Aku hanya cuek sambil menggaruk-garuk punggungku.

Tadi malam aku benar-benar tertidur lelap. Pertarungan melawan Kevin dan Gin Gin, khususnya sebelum Zico dan Niko datang membantu, sangat melelahkan. Kasihan tubuhku, dia diciptakan untuk tahan main game, bukan untuk pertarungan seperti ini.

Aku sempat berbincang-bincang dengan Kemal kamarin sebelum kembali ke rumah, dan kami berdua agak menyesal sudah bicara terlalu cepat. Kalau dipikir lagi, yang akan kami ikuti ini perkara hidup mati. Hal seperti ini seharusnya dipikirkan dengan lebih mendalam dan menghitung untung ruginya.

Dan setahuku, kami tidak mendapat untung sama sekali, kecuali mungkin bisa bertemu dewa (yang mungkin bisa tetap terjadi jika kami mati).

Kugaruk kepalaku sembari berjalan keluar. Aku mengambil koran pagi di depan pintu rumah.

Nafasku tertahan ketika melihat salah satu beritanya sekilas. Dan sialnya, itu berarti koran itu berubah menjadi besi dan jatuh menghantam kakiku.

“Aduh, aduh. Sial.” Sambil terjingkat-jingkat, aku membawa koran itu ke meja makan. Berita tersebut menampilkan foto yang memperlihatkan bayangan sebuah makhluk besar di sebuah sungai. Makhluk yang menyerupai Loch Ness.

“Apa-apaan ini? Apa ini beneran?”

Foto itu jauh lebih jelas daripada foto-foto Loch Ness sebelumnya yang biasanya kabur, walaupun tetap tidak terlihat secara keseluruhan. Ditulis kalau ada warga sekitar sungai sedang ketakutan karena sering mendengar suara aneh di saat malam. Kini ditambah foto yang secara tidak sengaja diambil orang lewat itu. Warga pun gempar.

Biasanya aku cukup tertarik dengan hal misterius semacam ini. Tapi mengingat apa yang terjadi semalam, aku punya firasat aneh ini berhubungan dengan turnamen nanti. Aku jelas tidak mau melawan orang yang bisa menggunakan Loch Ness.

“Kenapa kok baca beritanya merengut gitu?” tanya ibuku yang sedang memasak telor untuk sarapan.

Aku buru-buru melipat koran itu, “Gak papa. Aku mau ke tempat Kemal dulu ya.”

“Eh, makan dulu dong.”

“Masih kenyang. Kemarin kebanyakan makan indomie.”

“Paling gak mandi dulu dong.”

“Ih, cuma ke tempat Kemal kok. Bentar juga balik.”

“Gosok gigi dulu!” katanya sedikit marah.

Aku merengut. Seandainya saja ibuku tahu kalau aku sedang menghadapi masalah yang lebih besar daripada kesehatan gigi. Tapi harus kuakui di saat seperti ini, ibuku lebih mengerikan dibanding Loch Ness.

Malas-malasan, aku menuju ke kamar mandi. Kubuka pintunya.

“Hei.”

“AAAHHHHHH!!!” teriakku.

Aku hampir terkena serangan jantung melihat Pak Moes sedang duduk santai di kloset kamar mandiku.

“Kenapa Li?” tanya ibuku dari dapur.

“Eh, enggak. Cuma kecoa!” Aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. “Apa yang kau lakukan disini?”

“Oh maaf. Aku hanya ingin memberitahu kalau kita akan latihan sebelum turnamen. Nanti malam berkumpul di lapangan dekat warung Pak Moes ya. Jam 10-an.”

“Kau tahu, kau bisa masuk dari pintu depan seperti orang normal lain kali. Ngomong-ngomong, latihan apa?”

“Aku sudah meminta temanku untuk membawa beberapa orang dari timnya untuk latih tanding bersama kita. Ini adalah latihan pertama dan terakhir sebelum turnamen.”

“Apa? Memangnya turnamennya kapan?”

“Lusa.”

“Ta...tapi, aku belum siap mental!”

“Karena itu, datanglah latihan.” Pak Moes dengan santai bersandar dan melipat kakinya. “Aku ingin bertanya sesuatu kalau boleh?”

“Eh, apa?”

“Kenapa kekuatanmu adalah koran menjadi besi. Kekuatan ini biasanya didapat dari sifat khusus pemiliknya. Apa hubunganmu dengan koran?”

“Oh, itu. . .” Aku bersandar ke pintu kamar mandi, “ceritanya panjang.”

“Yah, aku cukup nyaman disini.”

“Oke oke. Itu karena. . . aku pernah jadi loper koran saat kecil.”

Hening.

“Wow, itu cerita yang sangat panjang,” komentar Pak Moes. “Kenapa kau jadi loper koran?”

“Yaahh, ayahku menghilang. Jadi aku perlu uang saat itu.”

Pak Moes menundukkan kepala. “Oh, semoga dia berisitirahat dengan tenang.”

“Tidak tidak. Dia tidak mati. Dia menghilang. Kejadiannya sangat aneh, dia menghilang begitu saja. Kami sedang makan di sebuah restoran, dia masuk ke kamar mandi dan puff. . .dia menghilang. Sampai sekarang aku juga tidak mengerti apa yang terjadi.”

Ekspresi Pak Moes berubah.

“Apa kau yakin dia tidak. . . yah, kabur mungkin?” tanya Pak Moes.

“Tidak. Aku menyusul dia sekitar 1 menit setelah dia masuk karena ingin pipis juga. Tapi dia sudah tidak ada.”

Kini dia hanya diam, membuatku curiga.

“Hei, jangan bilang kau tahu sesuatu tentang ayahku?”

Sebelum dia sempat menjawab, sebuah ketukan di pintu mengagetkanku.

“Kok lama banget sih di dalam? Ibu mau pake juga nih!” teriak ibuku, kini agak menggedor.

“Bentar, lagi flashback!!”

“Ibu juga mau flashback. Gantian dong.”

Aku melihat lagi ke Pak Moes, dan dia sudah tidak ada disana. Saat itu juga ibuku masuk dengan kasar.

“Sana keluar, gantian.” Dia melemparku keluar. Aku tidak sempat kesal. Setelah ibuku menutup pintu, aku buru-buru pergi keluar, ke tempat Kemal.




“Kau melihat Loch Ness dan Pak Moes di kamar mandi?”

“Bukan, ya ampun. Kau dengar kata-kataku gak sih?” kataku kesal.

“Kau bicara terlalu cepat tahu!”

Aku mengatakan lagi apa yang telah terjadi pagi ini, termasuk perubahan ekspresi Pak Moes saat aku menceritakan ayahku. Kemal terlihat berpikir.

“Hmm, itu memang aneh. Kenapa Loch Ness muncul di sungai? Seharusnya kan di danau.”

“Kau tidak merasa curiga kalau Pak Moes tahu sesuatu tentang ayahku?”

“Ya, itu juga. Dan. . .” Kemal berhenti. “Oh, dia datang lagi.”

“Siapa. . . OH SIAL!!”

Fathia berlari menuju arahku. Dia melompat untuk memeluk, yang kuhindari dengan sedikit bergeser ke samping. Dia jatuh menghantam tanah.

“Jangan peluk-peluk aku!” bentakku.

Fathia, yang mana juga adalah mantan pacarku, merengut. “Aku masih sayang tahu!!”

“Aku tidak! Pergi sana.”

“Kenapa kau tidak mau balikan denganku??”

“Ya, kenapa tuh?” komentar Kemal ikut-ikutan.

“KARENA KAU GILAAA!!”

Dibilang seperti itu, Fathia makin merengut. “Aku akan membuatmu suka padaku lagi. Lihat saja. Di turnamen nanti, aku akan membuatmu jatuh hati.”

Dia terus berteriak sambil pergi menjauh.

Eh tunggu, turnamen?

“Ya ampun, jangan bilang dia juga ikut turnamen??” kata Kemal seakan-akan mengatakan pikiranku.

Aku shock. “Aku berharap tidak akan melawannya.”

“Apa ya kira-kira kekuatannya?”

“Jadi orang menyebalkan mungkin, aku tak tahu.”

Walaupun kubilang begitu, aku kepikiran juga. Sial, aku benar-benar butuh latihan nanti malam. Semoga saja itu bisa membangkita kepercayaan diriku.




Dan. . . .disinilah aku, sangat tidak percaya diri setelah melihat Kemal, Zico dan Frank dibantai oleh seorang cewek. Cewek yang sangat kuat.

“Bagus Tephi,” kata mas-mas yang juga merupakan staff dewa bernama Paolo. Tephi yang dibilang adalah salah satu anggota timnya. Dia membawa satu orang lagi, namanya adalah Risfan, cowok kribo gempal yang terlihat sangat menikmati pembantaian ini.

“Begini saja nih? Ini sih bukan latihan untukku.” Kata Tephi.

Pak Moes menoleh ke arahku, “Giliranmu. Ayo maju.”

“Apa kau gila?? Apa kau tidak melihat dia mengalahkan mereka bertiga dengan mudah?”

Aku tidak bercanda. Kekuatan Tephi sebenarnya simpel, menukar apa yang di tangannya dengan benda yang dilihatnya. Tapi secara praktek, dia menggunakannya secara pintar. Tephi menyimpan banyak bom ukuran kecil yang bisa dia tukar kapanpun dia mau.

Kemal dikalahkannya dalam 2 menit. Tephi menukar bat baseball yang Kemal buat dengan bom. Bom tersebut meledak di tangannya.

Zico sedikit lebih baik. Dia berhasil membuat Tephi harus menghindari serangan robotnya. Tapi Zico ceroboh dengan menunggangi robot itu. Dalam sekejap, Zico malah jadi menunggangi bom. Dan dia pun kalah.

Frank kalah ketika gitarnya ditukar dengan bom. Dia kalah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Apa yang harus kulakukan melawan cewek ini?

“Maju saja sudah!” perintah Pak Moes. Aku maju dengan takut-takut. Tephi melihatku dengan serius.

“Oke mulai!” teriak Paolo.

Aku tahu Tephi akan mengubah koranku menjadi bom. Aku bergerak cepat dan merobek koran jadi potongan kecil itu lalu melemparkannya ke Tephi. Kutahan nafasku.

Tephi menghindari koran besi itu. Dia tersenyum, “Boleh juga.”

Sambil memutari dia, aku melemparkan koran lagi. Tapi sebelum kulempar, koran itu berubah menjadi bom. Aku berguling-guling menghindarinya. Sial, reaksi Tephi sangat cepat.

“Hei,” katanya tiba-tiba.

“Ngg, apa?”

“Kau menyimpan koran cadangan di kantongmu tuh.”

“Yaa, terus kena. . .oh sial.”

Bukan koran, yang ada justru bom di kantongku. Aku merasakan hawa panas ketika bom itu meledak. Ingatanku cukup kabur setelahnya.



“Hei bangun.”

Aku melihat Kemal sedang menggoyangkan badanku. Untuk sesaat, aku bingung apa yang terjadi. Lalu aku ingat pertarungan itu.
Dadaku terasa sakit luar biasa, pasti akibat ledakan di kantong. Oh bagus, bajuku rusak parah. Walaupun aku tak mati karena ledakan, ibuku akan membunuhku karena aku merusak baju bagus.

Aku  melihat Zico (yang kelihatan kesal) dan Frank (yang kelihatan seperti orang mabuk) duduk di sekitarku. Niko terlihat tidak apa-apa.

“Apa kau menang melawan Tephi?” tanyaku padanya.

“Tidak juga. Kami hanya sama-sama tidak bisa menyerang karena aku bisa menghilang dan aku tidak bisa memukulnya saat menghilang.”

“Yah, paling tidak kita tahu siapa yang bisa melawan Tephi nanti,” kata Pak Moes. “Kurasa kalian sudah tahu inti dari latihan ini.”

“Hmm, diledakkan itu sakit?” tebak Kemal.

“Maksimalkan kekuatan kalian, itulah inti latihan ini. Tephi tidak menggunakan kekuatan secara membabi buta sepeti kau dan Zico lakukan. Ali sudah cukup bagus, tapi masih ceroboh menyimpan koran di kantong setelah tahu kekuatannya. Frank . . .yah, Frank harus lebih berusaha.”

Aku menunduk. Jika di turnamen nanti semua lawan seperti Tephi, kami hampir pasti tidak punya kesempatan.

“Jadi, apa yang harus kami lakukan?” tanyaku.

“Mulai sekarang, pikirkan cara untuk memaksimalkan kekuatan kalian.” Dia berdiri dan mulai menunjuk kami satu per satu.

“Ali, caramu menggunakan koran sebagai shuriken tadi sudah bagus. Jangan lupakan kau bisa menggunakan kelenturan koran sebelum merubahnya jadi besi.”

“Kemal, kau tidak perlu selalu mengeluarkan senjata. Pikirkan benda-benda yang bisa merepotkan lawan saat bertarung. Jangan lupa, menulis bisa memakan waktu. Belajar menulis lebih cepat.”

“Frank, kunci seranganmu adalah serangan cepat. Jangan sampai lawan menyerangmu duluan sebelum kau memainkan musik. Mungkin kau bisa mulai dengan musik yang mudah dimainkan tapi bisa mempengaruhi lawan. Carilah lagu semacam itu.”

“Zico, belajarlah menggunakan robotmu dari jauh. Kekuatan dan ukuran robotmu sudah menjadi keuntungan, ditambah senjata yang dimilikinya. Jangan memukul lawan membabi buta. Belajarlah menganalisa situasi dan tahu kapan harus bertahan.”

“Dan terakhir Niko. Kekuatanmu cukup merepotkan karena kau tak bisa menyerang dengan tangan kosong saat menghilang. Siapkanlah senjata, apapun yang bagus untuk serangan jarak dekat. Belajar untuk berjalan pelan dan tidak terdeteksi sama sekali.”

Kami semua diam. Wow, Pak Moes ternyata cukup hebat soal ini. Aku sudah meremehkannya. Aku melihat Zico dan Kemal sudah mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan. Sebaliknya, Niko dan Frank masih terlihat takut.


“Bersiaplah,” kata Pak Moes lagi, “Turnamen akan mulai lusa. Kalian harus siap saat itu.”



Bersambung. . . 

1 komentar:

Keren .. Lanjutkan

 

Posting Komentar