baca part sebelumnya disini.
“Bagaimana ini?” bisik Medina, panik.
Mereka semakin dekat, dan aku tak tahu
harus melakukan apa lagi, “Jangan dibunuh ya.”
Kami meloncat dari tempat persembunyian.
Saat mereka kaget dengan kemunculan tiba-tiba itu, aku menembak kaki salah satu
dari mereka sementara Medina melakukan hal yang sama terhadap temannya.
“AAHHH!!” Mereka berdua jatuh sambil
mengucapkan semua nama binatang yang mereka tahu dengan keras.
“Oke, sekarang.” Kami secepatnya berlari
ke ruang generator.
Ruangan itu terletak di pojok tempat
parkir. Untungnya tidak ada zombie disitu sehingga kami dapat menyalakannya
tanpa gangguan. Ruangan parkir itu menjadi terang.
Medina mengambil tali yang disangkut di
ruangan itu, “Buat ikat para bandit.”
Aku mengangkat bahu tanda tidak
keberatan. “Ayo kita kembali ke atas.”
Bandit-bandit itu masih
menyumpah-nyumpah saat kami kembali.
“Kubunuh kalian!! Awas saja nanti!”
“Hei diam, kalau tidak kutembak lagi
kakimu.” Aku mengeraskan suaraku agar tidak terlihat takut. Kuikat tangan
mereka dengan paksa. Dengan begini, kami akan aman. Atau begitulah yang kukira.
“Kenapa kalian? Kenapa tiba-tiba terang?”
Terdengar suara seseorang dari luar
tempat parkir. Ternyata masih ada teman mereka.
“Disini!! Ada orang selain kita!! Bunuh
mereka!!” teriak salah satu bandit. Aku menendang badan mereka karena kesal.
“Diam, dasar sialan!!”
“Kem, kita harus cepat ke atas,” kata
Medina yang terlihat cemas dengan situasi ini.
Aku mengikuti dia lari ke atas. Di
bawah, bandit yang kuikat berteriak-teriak marah menunjukkan kemana kami kabur.
Pintu bawah yang dibanting terbuka menandakan bahwa temannya ini sudah mulai
mengejar.
Aku menghentikan Medina, “Tunggu.”
“Apa?”
“Dia cuma sendiri. Kita berdua bisa
mengatasinya.”
Aku sudah mau menghadapinya ketika
bandit itu mengeluarkan sesuatu yang membuat keberanianku lenyap. AK-47 yang
bisa menembakkan peluru jauh lebih cepat daripada handgun yang kupegang, dan
sebuah bom molotov.
“Ya ampun, lari!!”
Ketika melihat kami, dia menembak
membabi buta. Aku dan Medina harus merunduk untuk menghindari terjangan peluru.
Aku membalas tembakannya ketika dia
berhenti. Kakinya terpeleset di anak tangga saat mencoba menghindar. Kami
mengambil kesempatan itu untuk lari.
“Kita harus berpencar,” saranku.
“Apa? Tidak.”
“Dengar dulu, kau lari aja ke tempat
Rere, lindungi dia disana. Aku akan mengalihkan perhatiannya supaya mengejarku
ke lantai yang lain.”
Aku berhenti di pintu lantai dua, “Kau
terus aja naik.”
“Tapi...ini berbahaya.”
“Tak ada waktu untuk berdebat. Aku bakal
baik-baik aja. Cepat!”
Medina memberiku tatapan cemas terakhir
sebelum melanjutkan pelarian ke atas. Aku sendiri menunggu waktu yang tepat
sampai bandit itu bisa melihatku lari ke lantai dua.
“Hei, jangan kabur!!” Saat aku mendengar
itu, aku langsung kabur. Sesuai rencana, dia mengikutiku ke lantai dua. Bandit
ini sepertinya terlalu bodoh untuk menyadari kalau Medina sudah tidak
bersamaku.
Aku lari sedikit lalu berbalik menunggu.
Ketika dia hendak masuk, aku menembakkan pistolku. Tapi bandit itu bereaksi
cepat dan berlindung. Sebagai balasannya, dia melempar bom molotov ke arahku.
“Sialaan!!!” Aku melompat mencoba
menghindar. Bom itu jatuh di dekatku dan dengan cepat membakar sebagian tempat.
Tidak cukup sampai disitu, dia
mengeluarkan pistolnya lagi. Aku dengan panik kembali lari. Untungnya, asap
dari api membuatnya sulit melihatku. Aku berbelok dan masuk ke salah satu
kamar, berharap dia kehilanganku.
Aku menahan nafas. Suara langkah kaki
melewati pintu itu. Bagus, dia tidak melihatku masuk kesini.
Pada saat aku bisa menarik nafas lega,
barulah aku sadar kamar yang kumasuki. Kamar mayat.
Kamar itu dipenuhi rak-rak besar di
dindingnya. Setauku disanalah mereka menyimpan mayat agar tidak membusuk. Satu
mayat yang ditutupi selimut seluruhnya terbaring di tempat tidur. Pantas saja
kamar ini bau.
Aku belum bisa keluar, paling tidak
sampai yakin bandit itu pergi. Yah, lihat sisi positifnya, paling tidak mayat
di kamar ini tidak bergerak dan memakan orang.
Tiba-tiba saja selimut tempat mayat itu
berbaring terangkat. Mayat itu bangun.
“AAHHH!!” Aku berteriak kaget dan menyiapkan senjata.
“WAAAA!!” Mayat itu balas berteriak.
Eh, balas berteriak?
“Zico!!” Aku tak percaya apa yang
kulihat. Satpam yang selama ini kami cari itu ternyata tidur di kamar mayat.
Kulihat Zico sama kagetnya.
“Kemal, kenapa kau disini?”
“Kau sendiri? Kenapa di kamar mayat?”
Jawaban Zico tertunda karena bandit itu
sepertinya mendengar suara teriakanku. Dia mencoba mendobrak pintu yang
kukunci.
“Ada apa ini?” tanya Zico heran.
“Bandit. Bantu aku membereskannya.”
Pintu terdobrak terbuka dan bandit itu
masuk.
“Sekarang!!”
Aku dan Zico mendorong tempat tidur
beroda yang tadi ditiduri Zico ke arah bandit itu. Dia tak sempat menghindar.
Ranjang itu menabraknya dengan keras. Senjata yang dia pegang terlempar dari
tangannya.
Zico mengambil senjata itu. “Kita bunuh
aja nih?”
“Jangan!” kataku, “Aku tak mau membunuh
orang. Kunci saja dia di kamar mayat.”
Zico melempar bandit itu dengan paksa ke
kamar mayat lalu mengunci pintunya. “Hilang deh tempat berlindungku.”
“Tempat berlindung? Kau selama ini
berlindung di kamar mayat?”
“Hei, tempat itu adalah tempat yang
sangat aman. Tak ada yang memeriksanya. Kau hany perlu tahan pada baunya.
Ngomong-ngomong, kenapa kau ada disini?”
“Akan kujelaskan sambil jalan. Kita lebih
baik ke lantai empat sekarang.”
Aku menceritakan semuanya, dari kejadian
kebakaran di gedung tempat persembunyian, sampai saat Ali tertembak.
“Karena itu kami ke rumah sakit. Sekarang
Rere sedang mencoba mengeluarkan peluru dari kakinya,” kataku menyelesaikan.
“Tunggu, kapan kau bertemu Rere?”
Aku lupa belum memberitahu hal penting
itu, “Kami bertemu Rere di dekat kampus. Dia bersama Tori.”
Zico berhenti. “Apa?”
“Dia bersama Tori.”
“Kalian bertemu Tori??” Ekspresi Zico
berubah menjadi campuran antara kaget dan senang.
“Ya. Dia bertemu Rere saat mencarimu.”
“Dimana dia sekarang? Di lantai empat?”
Zico sudah sumringah.
“Dia tidak ikut kesini,” kataku ragu. “Aku
menyuruhnya tetap di dekat kampus jika tiba-tiba kau muncul.”
“KAU MENINGGALKANNYA SENDIRIAN??”
Aku terkaget dengan suara Zico yang
tiba-tiba meninggi.
“Kenapa kau meninggalkannya? Apa kau
tidak sadar bahaya diluar sana?” bentak Zico.
“Kami tidak membawanya karena tidak enak
dan supaya ada orang ketika kau muncul di kampus,” kataku beralasan. “Aku kan
tidak tahu kau disini.”
Zico memegang kepalanya dengan frustasi.
“Aku akan kesana.”
“Apa? Tunggu dulu!”
“Apa lagi? Aku kan kesini memang untuk
mencari dia,” kaya Zico.
“Aku tahu. Paling tidak, kau harus
ketemu dulu dengan yang lain di lantai empat. Mereka juga khawatir dengan
keadaanmu tahu.”
Zico mendesah, “Oke oke.”
Kami berjalan ke ruang operasi dalam
diam. Medina terlihat duduk sambil memegang pistol. Dia senang melihatku dan
terkejut ketika melihat Zico ada bersamaku.
“Bagaimana kau bisa bertemu dengan
Kemal?”
Aku yang menjawab, “Dia tidur di kamar
mayat?”
“Apa?”
“Aku sudah sampai di kampus sekitar tiga
hari yang lalu,” kata Zico. “Tapi aku tak menemukan siapapun disana, dan dengan
adanya bandit dimana-mana, aku terus kabur. Sebenarnya tidur di kamar mayat
cukup nyaman.”
Baru kali ini aku mendengar seseorang
bilang kalau dia nyaman tidur di kamar mayat. “Bagaimana Ali?” tanyaku.
Medina menjawab dengan gelengan, “Rere
tidak membiarkanku masuk. Katanya bisa mengganggu konsentrasi.”
Saat itulah Rere keluar. Dia terlihat
sangat capek, tapi tersenyum senang. “Tenang saja, Ali bakal baik-baik
saja....lho Zico??”
Zico dengan lelah menjelaskan lagi
bagaimana dia bisa ketemu denganku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
kami berlima bersama lagi.
“Ali akan sadar tidak lama lagi. Tapi
mungkin dia tidak akan bisa berjalan untuk beberapa saat,” jawab Rere ketika
kutanya lagi kondisi Ali.
“Yah, bisa saja lebih buruk kan?” kataku
mencoba optimis.
“Bagus. Bisa kita pergi sekarang? Aku
khawatir dengan Tori,” potong Zico. Dia masih terlihat sedikit kesal.
“Tidak bisa,” sahut Rere ragu, “Ali
masih harus beristirahat. Lebih baik dia tetap disini untuk sementara.”
“Tidak masalah. Aku pergi saja sendiri
kesana. Beritahu saja dimana kalian meninggalkannya.”
Ada nada sarkastis pada kata-kata Zico
dan hal itu membuatku merasa bersalah. “Oke oke, akan kuantar kau kesana.”
“Sebentar.” Giliran Medina yang protes, “Masa
kalian mau pergi begitu saja? Bagaimana kalau ada bandit kesini lagi.”
“Kami hanya akan pergi kesana, menjemput
Tori, lalu kembali kesini lagi. Tidak akan lama kok.”
“Ayo cepat Kem!” Zico sudah mulai
berjalan ke arah tangga darurat. Aku mengejarnya.
“Santai aja kali Zic. Kami baru
meninggalkannya sebentar, memangnya apa yang bakal terjadi?”
Terdengar suara mobil diluar. Aku dan
Zico bergegas melihat melalui jendela. Ada satu mobil pickup terbuka baru saja
lewat. Di belakangnya terlihat beberapa bandit lagi sambil membawa senjata
berat.
Tunggu, mereka sepertinya membawa
sandera. Ada seorang wanita berjalan dengan tangan terikat. Itu......Tori. Zico
melihatku dengan tatapan ingin membunuh.
Bersambung......ke part 8.