baca part sebelumnya disini.
Aku melihat Zico, Ali dan Rere sedang berlari dengan
tergesa-gesa. Wajar saja, berpuluh-puluh zombie mengejar mereka.
Ali berhenti, terlihat sekali sangat kecapekan, “Aku
tidak kuat lagi....”
“Terus lari!” Itu Zico yang berbicara, “Kita bahkan
belum menemukan Tori.”
“Tapi....aku tak sanggup lagi...” Ali terjatuh, dan
dalam sekejap sudah dikelilingi zombie-zombie.
“Ali!! Tidaaakkk!!” Rere berteriak histeris. Zico
menahannya agar tidak menolong Ali.
“Jangan! Dia sudah tidak bisa diselamatkan!”
“Tapi...tapi....”
“Kau mau kita mati juga?”
Zombie-zombie itu mendekat. Zico susah payah menarik
Rere agar terus menjauh.
Lalu tiba-tiba terdengar lagu yang sangat populer
dari Psy, Gangnam Style. Semua zombie-zombie itu berjoget. Zico dan Rere
awalnya bingung, tapi kemudian ikut berjoget juga.
Aku terbangun dari tidurku. Sungguh mimpi yang aneh.
Lagu Gangnam Style mengalun dari radio di sampingku. Aku lupa tadi menyetel
kaset Psy yang kudapat dari toko kaset sebelum berisitirahat.
Luka di kepalaku sudah kuobati seadanya, tapi kadang
masih terasa pusing. Mungkin itu juga salah satu penyebab mimpi aneh itu, tentu
saja faktor kekhawatiranku terhadap Zico, Ali dan Rere juga berpengaruh.
Setelah kematian Bima, aku dan Medina menemukan
tempat peristirahatan di salah satu rumah kosong. Mungkin karena masih shock,
Medina terus saja berdiam diri di kamar, dan imbasnya kami menunda dulu
pencarian ini. Sekarang sudah hari ketiga kami tinggal disini. Bahan makanan
sudah hampir habis.
Aku memainkan hape yang ditinggalkan mereka di
mobil. Aku sudah mengeceknya sebelum ini. Tidak ada hal yang penting, kecuali
Rere dan Ali dengan narsisnya foto-foto di belakang sementara Zico menyetir.
Itu pasti sebelum mereka dihadang bandit.
Suara petir bergemuruh diluar. Aku menyibak gorden
di jendela. Lagi-lagi turun hujan. Sudah dua hari ini hujan turun terus, dan
makin lama makin deras saja.
Aku keluar kamar untuk mengecek Medina. Ketika aku
masuk kamar, dia sedang menulis sesuatu di buku. Dia buru-buru
menyembunyikannya ketika sadar aku sedang memperhatikannya.
Aku memutuskan tidak bertanya tentang buku itu, “Bagaimana
keadaanmu sekarang?”
“Sudah baik kok. Kurasa kita bisa berangkat ke
kampus sekarang.”
“Santai saja hari ini. Hujan masih deras banget, dan
aku masih cemas soal bandit itu. Kalau hujan sudah reda, aku akan memeriksa
keadaan diluar sekaligus mencari makan.”
“Apa aku harus ikut?”
Dia bertanya, berarti sebenarnya dia tidak mau ikut.
Setelah lama berpetualang dengan Medina, aku tahu jika dia ingin sesuatu, dia
akan keras kepala memintanya.
“Tidak perlu. Kau disini saja. Toh, ini hanya
melihat-lihat keadaan.”
Dia mengangguk dan melompat ke ranjangnya. Aku pergi
keluar supaya bisa membiarkannya melakukan yang dia suka.
Hujan sepertinya sudah mau reda, jadi kuambil pistol
dan golok sebagai senjata. Sebisa mungkin aku tidak akan menggunakan pistol.
Bunyinya bisa menarik zombie lain.
Saat hujan memasuki tahap gerimis, aku langsung
keluar rumah. Kupikir mungkin dengan sedikit gerimis seperti ini, aku bisa
lebih mudah bersembunyi.
Karena hujan, udara menjadi sangat dingin. Aku
menyesal tidak membawa jaket saat pergi dari markas. Kuharap aku bisa menemukan
jaket saat mencari makan nanti.
Aku berjalan dengan waspada. Kalau tidak salah aku
sempat melihat minimarket di dekat sini. Sejauh ini tidak terlihat adanya
bandit. Beberapa zombie berkeliaran, tapi dengan mudah aku bisa menghindarinya.
Itu dia minimarketnya. Aku melihat ke sekeliling.
Setelah memastikan aman, aku masuk ke toko itu.
Di dalam hanya ada satu zombie yang memakai baju
kasir. Ini tidak akan sulit. Aku menyabet kakinya hingga dia terjatuh, lalu
menusuk kepalanya berkali-kali hinga dia tidak bergerak.
Kini saatnya mencari makanan. Banyak makanan yang
sudah diambil oleh orang lain. Mungkin bandit itu pernah kesini. Tapi mereka
tidak memeriksa bagian gudang. Aku menemukan banyak makanan kaleng disana.
Aku hendak keluar ketika kudengar suara pintu depan
dibuka. Dengan cepat aku bersembunyi.
Langkah kakinya waspada, itu jelas bukan zombie.
Tidak sengaja salah satu makanan kalengku terjatuh.
Orang itu kaget dan menembak ke arahku.
“Sial!!” Aku merunduk sambil terus menghindar. Dia
sepertinya belum tahu pasti dimana aku. Kulempar satu kaleng ke seberang untuk
mengalihkan perhatiannya. Dia terjebak dan menembak ke arah yang salah. Aku
berhasil memutar ke belakangnya. Tapi aku tidak jadi menembaknya karena
ternyata orang itu sangat kukenal.
“Ali!!”
Dia terkaget dan berbalik sambil menodongkan
senjatanya. Saat dia sadar itu aku, mukanya berubah lega.
“Kemal! Ya ampun, kukira siapa.”
“Kenapa kau disini? Dimana Zico dan Rere?”
Ali menurunkan senjatanya, “Bandit sialan! Kami
terpisah karenanya.”
Cerita Ali terpotong karena kami mendengar suara
mobil diluar. Kami berdua langsung bersembunyi di balik kasir. Terdengar suara
orang diluar.
“Aku mendengar sesuatu disini!”
“Tidak ada siapa-siapa. Kau mungkin mengkhayal. Kita
kembali saja.”
Suara mobil itu menjauh.
“Lebih baik kita bicarakan ini di tempat lain. Aku
juga khawatir dengan Medina,” kataku.
“Medina juga ikut denganmu?”
“Ya, dia menunggu di salah satu rumah. Kita kesana
saja.”
Kami keluar dari minimarket lalu kembali ke rumah.
Untunglah kami tidak bertemu dengan bandit selama perjalanan pulang.
Medina menyambutku dengan todongan pistol ketika aku
baru masuk. Dia melihatku dan mendesah lega.
“Kukira kau bandit. Aku mendengar mereka diluar tadi
dan....ya ampun Ali!! Kau selamat!”
Ali melambai, “Halo Medina.”
“Dimana Rere? Zico? Apa mereka ditangkap bandit?”
“Tenang dulu,” kataku pada Medina. “Biarkan Ali bercerita
pelan-pelan.”
Kami semua duduk di ruang tamu. “Baiklah, aku mulai
darimana?” tanya Ali.
“Bagaimana kalian bisa terpisah?”
“Cerita itu sedikit memalukan sebenarnya. Ketika
kami sedang di jalan raya, kami terpaksa berhenti sementara ke pinggir jalan.”
“Ya kami menemukan mobil kalian!” kataku teringat
lagi, “Apa yang terjadi? Apa bandit menyuruh kalian berhenti?”
“Aku sakit perut.”
“Apa?”
“Aku sakit perut. Jadi aku memint Zico untuk menghentikan
mobil sementara aku melakukan ‘panggilan alam’ di hutan karena pom bensin masih
sangat jauh.”
Baiklah, itu bukan jawaban yang kuharapkan. “Tapi
kami menemukan banyak bekas tembakan di mobil kalian.”
“Nah itu dia. Saat aku sedang melakukan ‘panggilan
alam’ itu, tiba-tiba saja aku mendengar banyak suara tembakan. Aku buru-buru
kembali, tapi mereka sudah tidak ada. Justru ada banyak bandit disana.”
“Aku melarikan diri entah kemana,” lanjut Ali, “Karena
takut mereka mendengar, aku pergi ke kota ini dengan berjalan kaki. Setelah itu
pun aku tak bisa keluar dari kota. Bandit dan zombie ada dimana-mana, apalagi
aku hanya sendiri. Jadi aku bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain sampai
aku bertemu denganmu.”
Hening sesaat ketika kami mencoba memproses cerita
Ali.
“Jadi kau tidak tahu kemana Rere dan Zico?” tanya
Medina.
Ali menggeleng, “Kurasa jika mereka lolos dari sana,
mereka akan tetap mengikuti rencana semula, yaitu kembali ke kampus.”
“Itu berarti kita tetap harus kesana.” Aku
menyimpulkan, “Kita harus segera keluar dari kota ini.”
“Bukankah sudah kubilang bandit ada dimana-mana
tadi? Para bandit menjaga jalan keluar kota. Belum lagi masih banyak zombie
berkeliaran. Bahkan di salah satu bagian kota, banyak sekali zombie berkumpul. Bagaimana
kita bisa kabur dari sini?”
“Berapa banyak zombie-zombie itu?” tanyaku.
“Banyak sekali. Mungkin hampir setengah penduduk
kota berkumpul di satu tempat, entah kenapa.”
“Aku tak mau melawan zombie sebanyak itu,” Medina
angkat suara.
Aku berpikir sebentar, lalu menemukan sebuah ide gila.
“Kita membutuhkan dua mobil. Satu yang sangat berisik dan satu yang sangat
kuat.”
Bersambung......ke part 5.
0 komentar:
Posting Komentar