baca part sebelumnya disini.
Sudah jelas, Zico-lah yang paling
menentang saran Indra. “Tidak. Aku tak mau memakai cara mereka yang membuat
Tori terbunuh.”
Oh, ternyata akhirnya Zico tidak
menyalahkanku lagi.
“Walaupun Kemal juga bersalah,”
sambungnya.
Yah, lupakan kata-kataku tadi.
Tapi aku pun sependapat dengan Zico.
Menurut pengalamanku, zombie di dalamlah gedung bukanlah sesuatu yang baik.
Saat di rumah sakit, kami harus meledakkan lorong agar bisa kabur. Tori
meninggal karena hal ini. Bahkan Medina....semuanya berawal dari masuknya
anjing zombie ke rumah.
“Zico benar. Ini terlalu berbahaya,”
kataku.
“Aku mengerti maksud kalian, tapi apa
kalian punya saran lain agar kita bisa kabur dari sini? Bahkan dengan adanya
Farandi, kita tak bisa berkeliaran seenaknya,” kata Indra.
Kami semua diam.
Indra mengangguk senang, “Benar kan? Ayo
kita lakukan saja dan berharap yang terbaik.”
“Tunggu!” Ali menghentikannya. “Kita harus
menemukan Rere dan yang lain dulu. Sangat berbahaya jika kita mencarinya dengan
banyak zombie berkeliaran.”
Aku sedikit kaget Ali bisa bicara masuk
akal, tapi dia memang benar. Indra juga berpikir hal yang sama.
“Memang sih, tapi ini kesempatan kita selama
mereka belum sadar.” Dia lalu bertanya pada Farandi, “Apa kau tahu dimana
mereka kan?”
“Ya, begitulah,” jawabnya.
“Oke, kau pergilah bersama Farandi. Akan
kutunggu 15 menit sebelum aku membuka jeruji para zombie ini.”
“15 menit??” seru Ali tidak percaya.
“Apa itu tidak terlalu cepat?”
“Sudah kubilang tadi, kita tak bisa
berlama-lama. 15 menit dan kau sudah harus kembali ke sini. Kalau tidak, kita
bertemu di tempat tadi kita dikurung, dengan zombie sudah berkeliaran
tentunya.”
Ali tahu itu sangat merepotkan, apalagi
dengan anggapan bahwa kamar Rere disekap pasti dijaga. Tapi dia juga tahu tak ada waktu untuk
memprotes.
“Baiklah,” katanya mantap. “Farandi,
tunjukkan jalan.”
“Aku juga ikut,” kataku. “Lebih baik
kita bertiga jika terjadi pertarungan. Biar Zico dan Indra yang mengurus
disini.”
Aku melihat ke Indra untuk persetujuan,
dan dia sepertinya merasa itu tak masalah.
Farandi keluar kamar duluan, “Oke. Ayo
ikuti aku. Dan ingat, tetap diam.”
“Aku tahu aku tahu.” Aku dan Ali pun
mengikutinya, meninggalkan Indra dan Zico agar mereka bisa lebih akrab dengan
para zombie.
Sepanjang lorong kamar, kami tidak
menemukan banyak orang. Hanya ada satu orang, dia datang dari arah tangga, lalu
masuk ke kamar yang sepertinya sangat ribut. Kutebak mereka sedang minum-minum
dan mabuk. Bagus, jika zombie-zombie dilepas, mereka akan sangat kesulitan.
Setelah merasa aman, kami keluar dari tempat persembunyian, lalu menuju ke
tangga.
“Sial, merunduk!!” bisik Farandi
tiba-tiba.
Saat kami mau naik ke atas, seseorang
muncul. Orang ini berbadan besar dan terlihat kasar. Dia sepertinya mau
bergabung dengan teman mereka di kamar itu. Tapi sebelum kami sempat
bersembunyi, dia lebih dulu melihat kami.
“Hei anak baru, apa yang kau lakukan
disini??? Bukankah itu para tahanan kita?” katanya sedikit keras.
Farandi mengarahkan pistolnya ke kami.
“Ya...aku mau membawa dia ke bos.”
“Memangnya bos mau apa dengan mereka?”
“Mana kutahu. Apa kau mau menantang
perintah bos?” gertak Farandi.
Dia menggeram kesal. “Jaga bicaramu
padaku, anak baru.” Tapi dia menyingkir juga untuk memberi kami jalan.
Setelah lewat, Farandi langsung
menyerangnya dari belakang dengan pisau. Ditusuknya pisau itu di bagian
punggung. Laki-laki besar itu terjatuh dari tangga, dan tergeletak di lantai
dengan darah mengucur.
Aku melihatnya kasihan, “Apa itu perlu?”
“Bisa saja dia nanti memberitahu
temannya di kamar. Kita tak boleh mengambil resiko.”
“Apa kau memang semudah ini membunuh
orang?” tanyaku menyindir.
“Entahlah, coba tanya dirimu sendiri.”
Untuk sesaat, aku benar-benar berpikir
akan memukulnya. Ali merasakan perubahan suasana itu dan menengahi, “Sudah
sudah, bagaimanapun juga dia sudah mati. Ayo kita terus jalan.”
Tiba-tiba saja pukulan menghantam Ali
tepat di pipinya, melemparkan dia satu meter ke samping. Aku yang masih kaget
dengan apa yang terjadi langsung di dorong menabrak pinggiran tangga.
Orang itu masih hidup, dan dengan nafsu
membunuh yang mengerikan dia menerjang Farandi setelah menjatuhkan kami berdua.
Farandi tak sempat bereaksi. Dia dihantam dengan seluruh berat badan orang
besar itu. Laki-laki itu menahan badannya dan mencekiknya.
Setelah pulih dari kekagetan, aku
menarik pisauku sendiri dan menyerang bagian belakangnya lagi. Dia mengerang
kesakitan, tapi tak melepas cekikannya pada Farandi. Daya tahan orang ini
sangat mengerikan.
Kukeluarkan pistolku. Mungkin akan ribut
dan memancing keributan, tapi kalau begini terus Farandi akan mati.
Pikiran itu hinggap lama di kepalaku. Biar saja dia mati, dia juga sudah membunuh
Medina. Aku memegang pistol, tapi tak bisa menembak.
Lalu entah darimana, Ali mengambil pot
bunga dan memukulkannya ke kepala orang itu. Dia mengerang memegang kepalanya.
Saat itulah Farandi menendangnya dengan keras. Dia sekali lagi tergeletak.
Farandi terbatuk-batuk sambil memegang
lehernya. Perasaan bersalah melandaku. Aku hampir membiarkannya mati. Farandi
menunjuk ke orang besar itu.
Sepertinya dia sadar kalau kalah jumlah.
Dengan merangkak, dia mencoba kabur ke kamar tempat banyak teman-temannya. Ali
mengambil pot sekali lagi dan kini menghangtam kepalanya hingga pot itu pecah.
Si badan besar kini benar-benar tak bergerak, entah mati atau hanya pingsan.
Pintu kamar terbuka. Kami sempat
bersembunyi di saat-saat akhir. Dari dalamnya keluarlah seseorang dengan muka
merah. Dia melihat temannya diam di lantai berlumuran darah. Kukira dia akan
berteriak waspada, ternyata dia malah tertawa. “Hahaha, lihat si Daril, dia
pingsan duluan sebelum mabuk!” Setelah itu dia menutup lagi pintu kamar dan
melanjutkan pesta. Wow, orang mabuk benar-benar bodoh.
Farandi, walaupun nafasnya masih
memburu, kembali memimpin jalan ke atas. Ali mendekatiku dan berbisik, “Kenapa
kau tadi ragu-ragu?”
Aku membalas dengan diam. Aku tak mau
terlihat seperti orang yang senang dengan kematian orang lain, tapi memang yang
kulakukan tadi bertentangan dengan itu.
Ali sepertinya mengerti pikiranku.
“Pokoknya, kita harus saling membantu sekarang. Urusan dendam atau apa, kita
pikirkan nanti. Jangan ragu lagi. Yang penting pergi dari sini.”
Aku mengangguk, lalu kami menyusul
Farandi.
Penjagaan di lantai atas lebih ketat.
Banyak orang mondar-mandir kesana kemari. “Mereka semua prajurit andalan bos
yang menjaga kantornya. Hati-hati.”
“Berarti, kantornya di lantai ini juga?”
tanyaku.
“Setahuku, kantornya berada di dekat
kamar tempat para cewek ditahan.”
Kami ingin melakukan ini sediam mungkin, tapi
waktu yang diberikan Indra makin menipis. Jadi aku katakan pada mereka, “Kita
serang terang-terangan saja.”
“Aku juga berpikir begitu,” kata
Farandi. Suaranya masih sedikit serak. “Tak ada waktu lagi.”
Ali menyiapkan pistolnya. “Dalam
hitungan tiga. Satu...dua....”
“TAHANAN KABUR!!”
Teriakan itu berasal dari bawah. Semua
orang di sana langsung waspada. Mereka berlari menuju tangga. Kami pasti
ketahuan.
“TIGA!!” teriakku.
Aku dan Farandi keluar dari tempat
persembunyian dan menembak. Kami lebih unggul sementara karena mereka kaget
dengan kemunculan kami yang tiba. Sayangnya Ali tak memanfaatkan peluang itu.
“Aku lupa isi peluru...” katanya, lalu
buru-buru memasukkan peluru ke pistolnya. Ini kedua kalinya dia melakukan hal
serupa. Sebelumnya dia menembak zombie dengan pistol kosong saat kami mencoba
mengambil obat untuk...yah, Medina.
“Dasar bodoh!!” Aku tak sempat marah
dengannya lebih lama, karena kini prajurit yang selamat dari serangan mendadak
kami mulai menyerang. Aku dan Farandi terpaksa menyebar untuk menghindar dari
serangan.
Aku bersembunyi di balik tempat sampah
besar. Berkali-kali rentetan peluru menghantam tempat sampah. Rasanya
menyedihkan sekali kalau hidupku dilindungi tempat sampah.
Ali tak bergerak dari tempat semula
karena para musuh juga datang dari arah tangga. Untunglah para musuh hanya bisa
naik maksimal dua orang, jadi Ali dengan mudah membuat mereka kesulitan.
Aku berkali-kali mencoba membalas, tapi
kami jelas kalah jumlah. Dan lagi, mereka lebih terlatih dengan senjata
daripada kami semua. Berkali-kali aku hampir terkena tembakan. Ini benar-benar
gawat.
“AAHH, ZOMBIEE!!” Lagi-lagi terdengar
teriakan dari bawah. Apa? Apa Indra dan Zico sudah melepaskan para zombie. Para
prajurit berhenti menembak karena kaget. Ali mengambil kesempatan itu untuk
pindah ke tempatku.
“Penjaga di bawah diserang zombie!”
katanya panik. “Beberapa sudah mencoba naik. Bagaimana ini?”
Aku melihat ke Farandi yang sibuk
menembak dan memegang bom untuk mencari saran.
Eh, bom?
Farandi melemparnya ke dekat para
prajurit bersembunyi. Bom itu meledak dengan kekuatan mengerikan. Kupingku
rasanya berdentum sangat keras. Angin ledakan melemparkan aku dan Ali ke
belakang.
Hasilnya bagus. Prajurit mati
dimana-mana. Jika ada yang selamat, mereka jelas tak bisa melawan lagi. Ledakan
itu juga menghancurkan dua kamar terdekat. Aku hanya berharap Rere tidak ada di
salah satu kamar itu.
“Apa kau bisa tidak meledakkan banyak
sesuatu?” tanyaku setengah berteriak. Kupingku berdengung karena ledakan tadi.
Ali dibelakangku malah masih menutup telinga sambil meringkuk.
Farandi sepertinya tidak peduli. “Ayo,
kita kehabisan waktu.”
Walaupun kesal, harus kuakui dia benar.
Lagipula karena aksinya tadi, kami akhirnya bisa pergi mencari Rere dan yang
lain.
Saat kami pergi, aku sempat melihat
salah satu zombie naik ke atas. Dia melihat makanan gratis bergelimpangan dan
mulai memakan salah satunya.
“Sial, kita harus cepat!” kataku.
Farandi menuju ke salah satu kamar.
“Yang ini sepertinya.”
“Oke, kita dobrak saja!” Aku dan Ali
mulai menendangnya bersamaan. Pada tendangan ketiga, pintu menjeblak terbuka.
Rere, Intan dan Clara ada di sana.
Mereka duduk di pojok ruangan dengan ketakutan. Rere akhirnya melihat kami.
“Ali, Kemal...tadi aku mendengar
ledakan...”
“Ya,” aku menunjuk Farandi. “Salahkan
dia.”
Ali langsung memeluk Rere dengan lega.
Aku membayangkan Medina ada bersama mereka, duduk ketakutan juga. Tapi dia
sudah tidak ada.
Kugeleng-gelengkan kepala untuk mengusir
kesedihan. “Ayo semuanya, kita keluar dari sini.”
“Dimana Indra dan Zico?” tanya Intan.
“Mereka...entahlah. Yang pasti ada di
bawah. Oh ya, disana juga ada zombie.” kataku.
Intan bingung dengan jawabanku.
“Zombie?”
“Nanti saja. Ayo cepat.”
Intan menarik Clara bangun. Kuberikan
mereka masing-masing senjata. Kami keluar dari kamar itu. Untunglah zombie
belum ke sini, atau mereka hanya sedang memakan prajurit yang kami bunuh tadi.
“Di mana kamar bos-mu?” tanyaku pada
Farandi.
Dia menunjuk kamar yang sepertinya
paling besar di motel itu. “Kenapa?”
“Mumpung di sini, ayo kita habisi dia
juga. Dia kan awal semua keributan ini.”
Farandi mendadak tampak pucat. “Jangan!
Dia orang yang sangat mengerikan. Aku tak berani melawannya.”
“Ya ampun Far,” kata Ali, “kenapa kau
takut? Kita memiliki lebih banyak orang. Dia tidak akan bisa apa-apa.”
“Tapi..”
“Kemal benar. Ayo kita habisi dia.” Ali
langsung memimpin jalan duluan menuju kamar si bos. Kurasa dia ingin kelihatan
keren di depan Rere.
Kami semua kini berkumpul di depan kamar
itu. “Siap?” tanya Ali. Dia lalu membuka pintu itu. Kami mengarahkan senjata.
Aku baru kali ini melihat orang yang
sangat mirip dengan bajak laut di kartun-kartun. Orangnya besar tinggi. Sebelah
matanya ditutup satu dengan eye-patch. Lalu
sebelah tangannya sudah berubah menjadi kait. Tapi penampilan bajak laut itu
tidak cocok dengan baju tentara yang dia pakai. Oh ya, jenggot yang dikepang
juga agak tidak cocok.
Orang ini mungkin orang paling aneh yang
pernah kulihat. Tapi bukan itu yang paling aneh. Di sebelahnya ada dua zombie
yang terikat, tanpa tangan dan mulut yang dipotong bagian rahang bawah hingga
dia tak bisa menggigit. Baunya sangat memuakkan.
Dia melihat kami, lalu berbicara dengan
suara dalam, “Jadi...keributan di luar memang ulah kalian..”
Saat dia bicara, ada hawa dingin
mengerikan yang menyusuri tubuhku. Walaupun dengan jenggot seperti itu, entah
kenapa dia terlihat sangat mengintimidasi. Bahkan walaupun kami lebih banyak,
dia berbicara dengan tenang.
“Farandi,” katanya lagi. “Bukankah kau
bilang mereka bisa dimanfaatkan. Karena itu aku mau menolong mereka.”
Farandi menelan ludah, tapi dia
memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, kau bukan bos-ku lagi.”
“Begitu...” Dia menggumam pelan, lalu
melihat kami satu per satu. Sepertinya dia menyadari bahwa pandanganku terpaku
pada zombie di sebelahnya.
“Oh ini? Tips untuk kalian, zombie yang
tangannya digigit dan mulutnya di potong, akan menjadi zombie yang tidak
memiliki lagi nafsu memakan. Dan malah, jika kita berada di dekatnya, kita tak
akan diserang zombie lain. Mereka sangat berguna.”
Aku melihatnya dengan jijik, “Oke,
terima kasih buat tipsnya. Sekarang menyerahlah, kau sudah kalah.”
Dia tertawa. “Aku selalu memiliki
persiapan untuk apapun.”
“Jangan bergerak!!” teriak Ali. Dia
mengarahkan pistolnya ke bos.
“Oh, aku tak perlu bergerak. Begini, di
lemari sana, aku menyimpan anjing zombie untuk berjaga-jaga.” Dia menunjuk
sebuah lemari di pinggir ruangan. Lemari aneh yang tak punya pegangan tangan.
“Lalu?” tanyaku takut-takut.
“Dan lemari itu akan dibuka jika aku
menekan....tombol ini.”
Dia menekan sebuah tombol kecil di meja,
dan kemudian bersembunyi di balik meja. Lemari terbuka, menampakkan dua anjing
zombie yang mengeluarkan liur dari mulutnya. Mereka melihat kami, dan
memutuskan kami mungkin adalah cemilan yang enak.
“AWAS!!”
Bersambung.....ke part 16.
0 komentar:
Posting Komentar