baca part sebelumnya disini.
Kata-kata yang pertama keluar dari mulut
Ali sungguhlah bodoh, “Niko? Niko yang itu?” Aku menyuruhnya diam dengan
canggung, tapi terlambat. Farandi sudah curiga duluan.
“Tunggu? Kalian juga kenal dia?”
tanyanya.
Rere melihatku, jelas sekali dia ingin
aku yang menjelaskan semua. “Yaa....kami sempat bertemu dengannya..kira-kira...”
“Kira-kira? Dimana dia sekarang?”
Tak ada yang menjawab. Farandi melihat
kami tidak percaya. Dia sepertinya sudah tahu jawabannya dari diamnya kami, tapi
tetap meminta kami mengatakannya langsung.
Akhirnya Rere yang menjawab, “Dia tidak
selamat dari zombie. Maaf.”
Farandi tertunduk lesu. Aku bersyukur
Rere tidak bilang kalau akulah orang yang mendorongnya ke kumpulan zombie. Aku
memang punya alasan kuat untuk melakukan itu, mengingat dia hampir membunuhku
juga, tapi cerita itu pasti akan membuat Farandi marah.
Suasana hening lagi. Keadaan tidak enak
itu dipecahkan oleh suara gedoran di pintu. Zombie akhirnya naik kesini.
“Nanti lagi ceritanya. Kita pergi dulu
dari sini,” kataku.
“Tapi bagaimana?” tanya Medina, “Tidak
ada jalan turun.”
Kami kembali lagi ke masalah utama,
mencari cara pergi dari gedung ini. Bisa-bisa atap ini menjadi perangkap
kematian kalau kami tak segera menemukan solusi. Gedoran yang makin keras tidak
membantu memecahkan masalah.
“Turun lewat tangga saja!” kata Farandi
tiba-tiba.
“Tidak bisa, Ali masih memakai kursi
roda.” Rere tidak setuju.
“Masa bodo dengan dia. Aku memikirkan
keselamatan diriku sendiri!”
Kata-katanya membuatku kesal, “Kami
tidak akan meninggalkan siapa-siapa disini. Kalau mau pergi, pergi saja.”
“Oke,” katanya menantang. “Berikan aku
senjata dan aku akan pergi.”
Aku melihat ke Ali untuk meminta
pendapat, tapi dia hanya mengangkat bahu. Aku mengeluarkan satu pistol kecil.
“Jika kuberikan ini, kau janji tidak
akan menembak kami?”
“Tidak ada untungnya untukku.” Farandi
mendengus marah.
Aku percaya padanya. Kuberikan senjata
itu, dan saat itu juga dia langsung berlari ke tangga, meninggalkan kami.
Rere terlihat bersalah, “Aku tak mengira
anak itu masih bertahan hidup selama ini. Niko memang sempat mengatakan ingin mencarinya
setelah semua ini terjadi.”
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.
“Yah, kami bertemu kalian.”
Oke, sekarang akulah yang merasa
bersalah.
Tapi tak ada waktu untuk itu. Pintu
tangga darurat sepertinya bisa didobrak kapanpun. Aku benar-benar tidak tahu
harus berbuat apa.
Gedoran terjadi lagi, dan kini makin
keras.
“Ngg, tidakkah sebaiknya kita ganjal
dulu pintunya?” saran Medina.
Aku melihat ke sekeliling, mencari
sesuatu untuk menahan pintu, tapi nihil. Atap ini benar-benar kosong, tak ada
benda yang cukup berat yang bisa jadi penahan. Atau....
“Ali!!” teriakku.
“Ya?” jawabnya sedikit kaget.
“Kau tidak mau terjadi apa-apa pada Rere
kan?”
“Tentu saja! Aku rela mati untuknya!”
Jawaban itu membuat Rere sedikit tersipu.
“Aku juga rela kau mati asal tidak terjadi
apa-apa pada Medina.”
“Bagu....eh apa?”
“Maaf ya.”
Aku mendorong kursi rodanya ke depan
pintu sebagai penahan. “Woi Mal!! Apa-apaan ini??”
“Sebentar aja kok!! Tahan aja pintunya!”
Aku lagu meninggalkannya, tidak mempedulikan teriakan-teriakan mengejek. Aku
bergabung dengan Medina dan Rere untuk mencari jalan keluar.
“Jadi...bagaimana?” Aku bertanya
kemajuan mereka.
Medina menggeleng, “Tidak ada jalan lagi
selain tangga itu.”
“Tapi bagaimana dengan Ali?” tanya Rere.
Aku berpikir keras. Apakah aku bisa menggendong
Ali sambil menuruni tangga? Tidak, itu tidak mungkin. Turun sendiri saja sulit
di ketinggian seperti ini, apalagi jika membawa orang.
Apa pilihan lain? Apakah kami bisa
melawan? Mungkin jika kami membiarkan zombie masuk satu per satu...
“Kita lawan?” saranku.
Rere jelas tidak setuju, “Kau gila? Apa
kau tidak lihat berapa banyaknya mereka?”
“Biarkan mereka masuk satu per satu.
Jujur saja, aku tak bisa melihat cara lain selain turun tangga dan meninggalkan
Ali. Aku tak mungkin menggendongnya turun. Peluang hidup lebih besar jika kita
melawan. Apa kau mau kita meninggalkan Ali?”
“Tidak...” jawab Rere pelan.
“Nah, kecuali kalian berdua mau pergi
sendiri ke bawah sekarang, kita lebih baik bertarung.”
“Aku tak akan pergi jika kau tidak
pergi!” kata Medina.
Aku tersenyum padanya, lalu berpaling
pada Rere, “Bagaimana denganmu?”
Dia diam sejenak, lalu menjawab dengan
pasrah, “Baiklah, kita lawan.”
Setelah sepakat, kami kembali ke Ali.
Rere sempat marah padaku karena membiarkan Ali menjadi penahan pintu, tapi hei,
paling tidak sampai sekarang zombie belum masuk karenanya.
Aku memberi instruksi pada Medina, “Buka
pintunya sesedikit mungkin, buat agar zombie hanya bisa masuk satu per satu.”
Medina mengangguk lalu mengambil posisi.
Sementara itu cuaca pun mulai memburuk. Gerimis turun dan angin mulai kencang.
Sepertinya keadaan terus melawan kami.
Medina terlihat tegang saat berkata
padaku, “Siap?”
Aku memegang pisau di tangan dan pistol
di kantung untuk berjaga-jaga. Rere berjaga di dekat Ali sambil memegang parang.
Ali sendiri memegang pistol dan bersiap membantu dari jauh.
Tak ada waktu lagi untuk ragu. Kuberi
tanda pada Medina agar dia membuka pintunya.
Rencana kami berantakan dengan cepat.
Zombie pertama yang menerobos masuk adalah zombie liar. Dia menabrak pintu
dengan kerasnya hingga Medina terlempar ke belakang dan membuat pintu terbuka
lebar.
Aku dengan panik langsung menembakkan
senjataku melihat zombie yang dengan liarnya ingin memakanku. Kurasa hanya
dengan membunuh satu zombie itu, aku telah menghabiskan tiga peluru.
Zombie-zombie lain masuk. Dalam sekejap
atap itu sudah dipenuhi zombie. Medina mengabaikan tugasnya yang harusnya
menahan pintu dan mulai menghajar zombie yang berada dalam jangkauannya.
Aku juga tidak menunggu lagi. Zombie
berjenggot yang mendekatiku kujatuhkan dan aku menghampiri musuh yang lain.
Tidak ada lagi zombie liar, tapi melawan zombie biasa yang berjumlah banyak
sama menyusahkannya.
Suasana sangat kacau. Bunyi tembakan
terdengar dan sayatan di daging memenuhi telingaku. Aku tidak sempat
memperhatikan bagaimana keadaan yang lain karena zombie-zombie ini tidak
memberiku kesempatan untuk bernafas.
Aku terpaksa berlari-lari, berusaha
untuk tidak terkepung. Sebisa mungkin aku hanya akan melawan jika zombie berada
di depanku, dan bukannya di sekelilingku.
Setelah menghancurkan kepala zombie
ketigaku, aku melihat ke sekeliling. Medina sedang melarikan diri dari tiga
zombie yang mengejarnya. Rere dan Ali saling menjaga sebaik mungkin, tapi
perlahan zombie-zombie mulai mendekatinya. Aku sendiri kini terpojok ke pinggir
atap.
Dalam hati, aku merasa inilah akhir
hidup kami. Tak ada harapan lagi.
Tunggu, suara apa itu? Samar-samar aku
mendengar sesuatu yang makin lama makin keras.
Lalu terdengarlah suara tembakan entah
dari mana. Zombie-zombie di depanku langsung roboh begitu saja. Kepala mereka
semua terkena tembakan.
Angin tiba-tiba saja menjadi sangat
kencang. Bunyi yang tadi kudengar kini sangat jelas dan keras. Itu adalah bunyi
helikopter. Tembakan itu berasal dari dua orang yang menembak dengan cermat
dari sisi pintu helikopter.
Lebih mengejutkannya lagi, aku kenal
kedua orang itu. Yang pertama adalah ninja teman Medina bernama Clara, lalu
yang satunya lagi adalah satpam kesayangan kami semua, Zico.
Zico berhasil menjatuhkan pengejar
Medina dari jarak jauh. Harus kuakui, akurasi tembakannya jauh melebihi kami
semua. Clara, yang kukira hanya cewek lemah, ternyata juga penembak jitu.
Setelah berhasil menembak zombie di dekat Rere, dia menurunkan tali gantung.
“Naik!!” teriaknya dari atas.
Helikopter itu menjaga jaraknya cukup
dekat ke atap, tapi angin yang berhembus kencang, ditambah masih banyaknya
zombie yang masuk membuatku sedikit ragu.
“Naik saja!!” teriak Clara lagi, “Kami
akan menghabisi zombie yang mendekat.”
Aku berlari ke Ali, “Kau bisa memanjat
tangga itu dengan satu kaki?”
Dia awalnya ragu, tapi memaksakan
terlihat percaya diri, “Tentu saja. Kau kira aku lemah?”
Aku membantu memapahnya ke arah tangga.
Ali berhasil meraih tangga itu, lalu dengan perlahan dan susah payah, dia naik
ke helikopter. Sementara menunggu, aku membantu Rere mengalahkan zombie.
Kutusuk satu zombie wanita di belakang kepalanya, sementara zombie lain yang
berada di dekatku jatuh ditembak, entah oleh Clara atau Zico.
Zico menarik Ali ke dalam helikopter.
Sekarang giliran Rere yang memanjat naik. Ketika sudah setengah jalan, Medina
langsung menyusul. Aku kini sendirian di bawah.
Zombie tidak habis-habisnya masuk. Aku
terpaksa menghabiskan peluru terakhirku pada zombie yang sudah sangat dekat
denganku.
“Kemal, naik!!” teriak Medina setelah
dia masuk ke helikopter.
Aku menebas zombie terakhir, membiarkan
pisauku tetap di kepalanya, dan berbalik untuk menaiki tangga. Saat aku mulai
memanjat, kakiku tiba-tiba ditarik. Kulihat salah satu zombie berhasil memegang
kakiku.
Kutendang-tendang mukanya agar dia tidak
bisa menggigit. Tendangan terakhirku berhasil merontokkan beberapa giginya dan
dia pun melepaskan pegangannya.
“Jalan saja!!” aku berteriak pada orang
di atas.
Clara memberi tanda pada pilot.
Perlahan-lahan helikopter mulai naik. Aku bisa melihat banyak zombie melihatku
sambil mengangkat tangan ke atas, mencoba meraihku tanpa daya.
Aku lega untuk sesaat. Menaiki tangga helikopter
ketika helikopter tersebut terbang di udara ternyata sangat mengerikan. Tangga
menjadi melambai secara tak terkendali dan aku harus berpegangan dengan saat
erat agar tidak jatuh. Pada akhirnya, Zico dan yang lain harus menarik tangga
ke atas karena aku tidak berani bergerak.
“Kau sungguh berat tahu,” kata Zico
ketika aku naik ke helikopter.
Aku harus menenangkan jantungku yang
berdetak sangat keras sebelum akhirnya aku berterima kasih. Tapi Zico
menolaknya.
“Aku belum memaafkanmu soal Tori. Hanya
saja, aku juga tak mau meninggalkan kalian begitu saja.”
“Kami bertemu dia di pinggiran kota,”
kata Clara. Kepalanya masih diperban akibat cedera ledakan di markas
sebelumnya. “Dia mengatakan kalian ada di rumah sakit dan bersedia memandu kami
kesana. Untunglah kami tiba pada waktunya.”
“Clara!!” Itu Medina yang berteriak.
Mereka lalu berpelukan ala cewek melepas rindu. Aku tidak percaya dia baru saja
menyelamatkan nyawa kami tadi.
Kulihat di kursi depan, ada Intan dan
seorang pilot dengan baju tentara. Di bajunya terpasang nama Indra.
“Dimana Bima?” tanya Intan saat
melihatku.
Aku bertukar pandang dengan Medina. Aku
benar-benar tidak suka menceritakan kabar ini padanya. Pertama Niko, sekarang
Bima, berapa banyak lagi orang harus bertanya padaku tentang kematian orang
lain.
Medina melihat keresahanku dan
memutuskan dia sendiri yang akan memberitahu Intan. Intan awalnya shock, lalu
dia hanya diam tanpa berkata apa-apa. Untungnya, setelah semua kejadian tadi,
aku pun belum mau membicarakan orang yang sudah tidak ada.
“Jadi, kemana kita sekarang?” tanya Ali.
Zico tidak mau menjawab, jadi Clara yang
berbicara, “Kita akan kembali ke markas rahasia. Lebih aman disana.”
“Jangan terlalu cepat senang,” kata
pilot Indra tiba-tiba. “Angin sedang sangat kencang. Aku takut kita harus
mendarat dulu.”
Memang, cuaca yang semakin memburuk saja
membuat helikopter ini kadang bergoyang dengan menyeramkan. “Jadi bagaimana?”
tanyaku.
Indra diam sejenak, “Kita akan mendarat
disana.” Dia menunjuk sebuah lapangan yang kosong. “Berlindung di bangunan
sekitar sampai cuaca membaik.”
Itu rencana yang lebih baik daripada
menunggu helikopter jatuh karena angin kencang. Yang lain juga setuju. Jadi
Indra, dengan sangat hati-hati, mendaratkan helikopter di tengah-tengah
lapangan.
Aku memapah Ali turun. Indra memimpin di
depan sambil memegang senjata yang cukup besar, aku tidak tahu apa namanya.
Zico masih diam saja.
“Bangunan itu cukup bagus.” Indra
menunjuk sebuah rumah yang cukup besar.
Bunyi helikopter memancing zombie-zombie
di sekitar kami. Indra dengan mudah menghabisi musuh yang berada di jalur kami,
sementara Clara dan Zico berjaga-jaga di samping.
“Jangan sampai keluar dar barisan!”
perintah Indra. Tidak perlu disuruh menurutku.
Pelan tapi pasti, kami berhasil mencapai
rumah itu. Jendelanya ditutup kayu dan pintunya dikunci. Indra mendobraknya
dengan sekali tendang. Wow, orang ini benar-benar hebat.
“Waspada. Mungkin masih ada zombie
disini.”
Kami mengecek masing-masing kamar. Rumah
itu aman, tidak ada tanda-tanda mayat hidup berkeliaran. Aku langsung duduk
dengan lega di salah satu sofa. Ali dibawa ke kamar oleh Rere untuk mengecek
lukanya.
Indra datang mendekatiku, “Kau benar-benar
dalam masalah besar tadi.”
“Ya, terima kasih sudah datang. Kau
hebat.”
“Kau harus berterima kasih pada temanmu
disana. Dia penembak yang bagus.”
Aku melihat ke arah Zico yang duduk diam
melihat keluar. Dia masih menyalahkanku atas apa yang terjadi dengan Tori.
Hujan sudah turun dengan derasnya.
Medina tertidur di salah satu kamar bersama Intan dan Clara. Ali dan Rere
berada di kamar yang lain. Indra pun tertidur pulas di salah satu sofa. Hanya
Zico lah yang masih terjaga.
Lama-kelamaan, bunyi hujan dan rasa
lelah membuatku tertidur. Itu tidur paling nyaman dalam beberapa hari ini.
Bersambung....ke part 13.
0 komentar:
Posting Komentar