Hariman dengan malas mengeluarkan alat-alat untuk berjualan sehari-harinya, yaitu terpal yang cukup besar, gerobak dan alat panggangan. Hariman bekerja sebagai penjual jagung bakar di pinggir jalanan, dan dia selalu membuka warungnya saat matahari terbenam.
Ditahannya terpal tersebut dengan bambu di setiap sisinya dan diikat dengan tali agar tidak lepas. Lalu dia memanaskan panggangannya dengan arang. Sambil menunggu panas, Hariman menyiapkan jagung-jagung yang akan dijual beserta olesan-olesan untuk membuatnya lebih lezat.
Setelah selesai, dia duduk menunggu pelanggan. Inilah yang tidak disukai Hariman. Warung Hariman berdiri di tempat yang cukup gelap sehingga kebanyakan pelanggannya adalah pasangan-pasangan muda yang ingin bermesraan.
Hariman bisa saja membeli lampu untuk menerangi warungnya, tapi dia sengaja membiarkannya. Walaupun tidak suka caranya, hanya dengan beginilah dia bisa mendapat cukup banyak uang untuk istri dan anaknya. Lokasi warungnya yang di pinggir jalan kemungkinan tidak akan menarik perhatian banyak orang atau keluarga yang ingin makan. Hanya anak-anak muda yang ingin bermesraanlah yang mau makan disini.
Hariman mendesah. Rasanya sangat tidak enak mencari nafkah dengan memanfaatkan dosa orang lain.
Pelanggan pertama datang. Sesuai dugaan, pasangan anak muda yang datang dengan motor tanpa memakai helm. Mereka memesan jagung bakar dan es teh manis lalu mencari tempat di pojokan. Hariman tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan disana.
Beberapa pelanggan lagi datang dan dalam sekejap Hariman sudah harus menyibukkan diri untuk memenuhi pesanan. Dia tidak mau berpikir aneh-aneh lagi. Memang beginilah takdir yang harus dia jalani. Yang penting baginya adalah membawa pulang uang untuk keluarga, tak peduli bagaimana caranya.
"Pa, gimana kerjaannya?"
Hariman terkejut mendengar suara itu. Itu adalah anak perempuannya yang masih berumur delapan tahun, namanya Husna.
"Kok Husna disini?" tanya Hariman kaget.
"Hihihi," dia tertawa pelan, "Husna jalan-jalan bentar, mau llihat Ayah kerja."
"Jangan keluar malam-malam sendirian! Bahaya!" Hariman berkata padanya. Rumah mereka memang tidak terlalu jauh dari sini, tapi jalanan terlalu gelap dan bahaya bagi anak kecil berkeliaran sendirian. "Mana Ibu?"
"Ibu di rumah. Ibu gak mau temenin Husna kesini, katanya dia gak suka lihat tempat Ayah kerja, makanya Husna pergi diam-diam."
Hariman terdiam. Ternyata sama dengannya, istrinya pun tidak suka dengan warung jagung ini. Lalu Hariman tersadar kalau dia tidak mau anaknya melihat pelanggan-pelanggannya yang bermesraan disitu.
"Ayah antar pulang yuk," kata Hariman cepat-cepat.
Husna justru melihat-lihat warungnya yang membuat Hariman makin panik. Dia berkata, "Oh pantes aja Ibu gak suka dengan warung ini?"
Hariman menelan ludah, "Kenapa emangnya?"
"Tempatnya gelap!! Gak enak makan di tempat gelap!"
Hariman menarik tangan Husna menjauh dari warungnya. Husna berkata lagi, "Ayah beli aja lampu."
"Iya Nak. Nanti deh."
"Kalau udah terang, nanti pasti Ibu mau kesana. Terus kita makan jagung bareng deh."
Hariman terdiam lagi. Dia merenungkan kata-kata Husna selama perjalanan kembali dari rumah. Mau sampai kapan dia bekerja seperti ini? Dia malu kepada dirinya, malu kepada istrinya, dan terutama malu kepada anaknya yang masih polos. Memanfaatkan anak-anak muda yang di mabuk asmara agar berbuat dosa bukanlah cara yang dia inginkan untuk memberi makan keluarganya. Dia memutuskan akan mencoba membuat warung jagung itu menjadi tempat makan yang lebih baik.
Esoknya dia membeli lampu-lampu dan beberapa hiasan untuk membuat warung itu lebih meriah. Kini tempat itu terang, tidak ada lagi tempat untuk pasangan muda yang diam-diam ingin mencari kesempatan dalam gelap.
Sekarang dia hanya bisa menunggu. Dia takut pelanggannya akan berkurang drastis, tapi paling tidak, hatinya kini lebih tenang.
Sebuah mobil menepi. Dari situ keluar keluarga dengan dua orang anak. "Wah, untung disini ada tempat makan jagung bakar. Capek juga bawa mobil terus. Pesan jagung empat ya Pak."
Hariman senang bukan kepalang. Dia menyiapkan jagung pesanan dengan senang. Tidak lama kemudian, datang lagi satu keluarga besar yang kebetulan lewat. Bukan itu saja, orang-orang yang tinggal dekat situ pun kini mau makan di warung jagung Hariman.
"Biasanya gelap, saya kan jadi gak enak makan disini," komentar salah seorang dari mereka.
Ternyata selama ini Hariman salah. Dia sebelumnya takut orang-orang tidak mau makan di warungnya dan memutuskan untuk menjadikan warungnya tempat pacaran anak muda. Ternyata pelanggan justru lebih banyak datang dengan keadaan seperti ini. Yang lebih penting, kini dia tidak merasa malu dengan pekerjaannya.
Dia bersyukur anaknya mengingatkannya dengan polos betapa tidak sukanya dia pada dirinya yang dulu. Dia bersyukur mau mencoba melakukan pekerjaan ini lewat sisi 'terang'. Besok dia akan membawa istri dan anaknya untuk makan jagung bakar bersama.
0 komentar:
Posting Komentar