Fandi dengan gugup memasuki ruangan itu. Ini pertama kalinya dia akan bertemu dengan orang-orang yang akan melakukan ekspedisi besar ke hutan amazon bersamanya. Fandi langsung duduk di kursi. Orang-orang yang berada dalam ruangan ini hanyalah dia, dua orang pria lain dan satu wanita yang dari tadi mendengarkan musik dari handphone. Mereka semua terlihat gugup.
Salah seorang pria menyapanya, “Hai, namaku Alan.”
“Fandi.” Mereka saling berjabat tangan.
“Rasanya hebat ya, kita bisa terpilih sebagai wakil Indonesia untuk penjelajahan besar ini,” kata Alan.
“Memang, tapi aku juga gugup dengan apa yang menanti kita disana.”
Alan tertawa, “Aku dan temanku juga dari tadi membicarakan itu. Soalnya wilayah yang akan kita jelajahi kan masih sangat misterius.”
Obrolan mereka terputus dengan masuknya seseorang. Orang itu berbadan kekar. Dia sepertinya sudah makan asam garam dalam hal penjelajahan seperti ini. Yang lain segera duduk di tempat masing-masing dan menunggu dengan tenang.
“Selamat datang bagi kalian yang sudah terpilih untuk mengikuti ekspedisi Amazon ini. Namaku Lamda.” Suaranya berat, tapi nadanya riang, seakan-akan dia benar-benar senang melihat para penerusnya. “Seperti yang kalian ketahui, kita akan bergabung dengan kelompok peneliti alam dari Brazil dan akan menjelajahi wilayah yang sebelumnya masih misterius.Pertama-tama aku ingin tahu siapa nama kalian dan kenapa kalian ingin mengikuti penjelajahan ini. Ayo, perkenalkan diri kalian.”
Setelah hening agak lama, Alan menunjuk tangan, “Nama saya Alan Milado. 26 tahun. Motivasi saya mengikuti penjelajahan ini karena ingin menjadi orang yang dicatat dalam sejarah sebagai penemu hewan-hewan baru disana.”
Satu ruangan bertepuk tangan. Lamda mengangguk senang, “Motivasi yang bagus. Kita memang mungkin akan menemukan banyak sesuatu yang baru disana. Oke, yang lain? Bagaimana denganmu?”
Lamda menunjuk Fandi. Fandi sedikit terkejut, tapi berdiri juga.
“Ngg, nama saya Fandi Ramadhan. Umur 25 tahun.”
“Apa motivasimu mengikuti ekspedisi ini?” tanya Lamda.
Fandi berpikir sebentar, “Karena aku suka alam.”
Lamda menunggu, lalu tersadar Fandi tidak ingin mengatakan apa-apa lagi. “Hanya itu?”
“Yaahh sebenarnya aku merasa ada hal lain...” kata Fandi sedikit bingung, “Tapi aku lupa apa.”
Lamda akhirnya menyuruhnya duduk. Dia lalu melanjutkan menanyai dua orang lainnya.
“Lho, kurasa ada satu orang dari kalian yang belum datang.” Lamda melihat kami. “Bukannya seharusnya ada lima orang.”
Fandi, yang belum mengenal satu sama lain, hanya diam karena tidak tahu. Tapi dia memang ingat ada lima orang yang akan dipilih.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Semuanya menengok ke belakang.
“Ahh, kamu ya orang yang satu lagi?” tanya Lamda.
***
5 bulan yang lalu.
“Kau terlalu banyak membaca tahu? Dan bukannya itu buku anak kecil?” kata Rizki ketika mereka sedang istirahat makan siang. Fandi terlambat merespon karena sedang asyik mendalami buku bergambar yang dia pegang.
“Ngg, oh maaf. Kau bilang apa tadi?”
Rizki mendesah. “Sudahlah. Tapi aku tidak percaya kau benar-benar mengikuti lomba untuk menjalani ekspedisi berbahaya itu.”
Fandi menutup bukunya, “Tidak terlalu berbahaya jika kita punya persiapan kok.”
“Tapi itu amazon! Ada anakonda raksasa disana! Mereka akan menelanmu hidup-hidup.”
Fandi tertawa pelan, “Ya ampun, kau terlalu banyak menonton film. Tidak ada ular yang sebesar itu. Yah, memang ular disana cukup besar juga sih, tapi seperti yang kubilang tadi, kita akan baik-baik saja jika ada persiapan.”
“Dasar kau ini, benar-benar tidak takut alam liar ya?”
“Aku bukan tidak takut, tapi aku juga suka dengan alam dan hewan-hewan, makanya aku mau kerja di kebun binatang ini. Kau sendiri kenapa?”
“Karena aku perlu uang, sesimpel itu.” Rizki mengunyah rotinya lagi. Fandi kini ikut makan bersama dia.
“Kenapa kau tidak coba hutan Indonesia dulu sih?” tanya Rizki tiba-tiba.
“Sudah pernah beberapa kali saat kuliah. Lagipula, aku harus ke Amazon.”
“Kenapa?”
Fandi terdiam, “Entahlah, pokoknya harus kesana.”
“Dasar orang aneh. Terserahmu saja deh. Belum tentu juga kan kamu yang terpilih nanti.”
***
4 tahun yang lalu.
Fandi mengelus kepalanya terus sehingga mengundang pertanyaan dari dosen yang sedang mengajar.
“Fandi, kamu kenapa? Mulai mengantuk ya?”
Fandi terkejut, “Eh, tidak kok Pak.”
“Perhatikan pelajaran!!”
“Ma..maaf Pak.”
Dosen mulai menuliskan rumus-rumus lagi di papan. Fandi mengeluh bosan di dalam hati. Siapa sangka mengambil jurusan Biologi berarti harus mempelajari Matematika juga. Dia tidak terlalu suka Matematika.
Teman dekatnya, Ali, berbisik pelan, “Kau kenapa sih?”
“Tidak apa-apa,” balas Fandi sambil berbisik juga. “Hanya saja luka di kepalaku kadang sakit sendiri.”
“Oh, luka yang kau dapat dari kecil itu ya?”
“Ya.” Fandi diam-diam mengelus lagi lukanya.
“Memangnya kau kenapa sih waktu itu?”
“Aku tidak terlalu ingat, tapi sepertinya kecelakaan mobil.”
“Kau tidak ingat tentang kecelakaan mobil yang kau alami? Wow, aku tak menyangka betapa pelupanya dirimu,” sindir Ali.
“Berisik ah!”
“Ali! Fandi! Kalau kalian berisik juga, sebaiknya kalian keluar saja!” Dosen itu berteriak dari depan. Mereka berdua diam saja selama sisa kelas itu.
***
8 tahun yang lalu
Fandi terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak saat mobil memelan memasuki pekarangan rumah kakeknya.
“Bangun juga akhirnya. Sana ambil barang di belakang,” perintah ibunya. Tidak seperti biasa, mereka kali ini akan menghabiskan liburan akhir semester di rumah kakeknya. Sudah lama sekali sejak dia kesini, mungkin saat dia masih berumur 6 atau 7 tahun. Biasanya kakek dan neneknya lah yang berkunjung ke rumah.
Fandi turun dari mobil dan melihat ke sekeliling. Tempat ini benar-benar berbeda dengan yang dia ingat. Dia cukup yakin dulu di dekat rumah kakek ada hutan yang cukup seram. Sekarang hutan tersebut sudah dipenuhi rumah-rumah.
Ibunya mendekati Fandi, “Kangen ya? Dulu kau suka kali main di hutan itu.”
“Ah masa sih?”
“ Ya dong, sambil membawa buku bergambar yang masih kau simpan itu. Kau ini dulu lincah banget.”
Fandi diam saja. Dia tidak terlalu ingat masa kecilnya, mungkin karena kecelakaan itu. Dia menurunkan barang dari mobil. Tak lupa dia mengambil majalah satwa yang tadi dibacanya di mobil.
***
18 tahun yang lalu
Ayah mengendarai mobil sambil sesekali melihat ke belakang. “Bagaimana, kau nyaman kan?”
“Ya. Tenang aja,” kata Fandi. Tangannya masih belum bisa digerakkan dengan leluasa dan kepalanya masih diperban. Menurut ibunya, luka di kepalanya adalah yang paling parah.
“Kalau ada apa-apa, bilang aja sama Ibu ya.” Ibunya duduk disampingnya. Fandi senang-senang saja dengan itu karena dia bisa manja-manja selama perjalanan pulang ke rumah.
“Aku jadi tidak enak karena merepotkan kakek dan nenek,” kata ibu. “Padahal kita sekali-sekali kesana, tapi justru terjadi hal seperti ini.”
“Yang penting Fandi tidak apa-apa,” jawab ayah. Fandi memilih tidak berkomentar soal itu walaupun dia merasa sedikit bersalah.
“Memangnya aku kenapa sih? Aku tidak begitu ingat. Apa aku membuat masalah?” tanya Fandi.
Ibunya menjawab dengan halus, “Tidak kok. Kau hanya perlu lebih hati-hati lain kali. Jangan membaca buku saat sedang berjalan. Kata dokter, luka di kepalamu membuat kau kehilangan beberapa memori sementara, tapi semuanya akan baik-baik saja.”
Fandi merenung, “Hmm, aku masih ingat Ayah dan Ibu.”
Ibunya tersenyum, “Bagus, itu yang paling penting. Ayo, sekarang kau tidur saja.”
“Ah, tapi sepertinya melupakan sesuatu.”
“Apa?”
Fandi berpikir keras, “Entahlah. Aku tidak ingat.”
“Mungkin kau mencari buku ini.” Ibu mengambil sebuah buku dari tasnya. “Kau mengalami kecelakaan ketika membaca buku itu. Apa itu buku punya temanmu?”
Fandi mengambil buku bergambar yang berjudul ‘Keindahan Amazon’. Dia melihat-lihat isinya, dan dalam sekejap perasaannya dipenuhi rasa senang.
“Aku tidak ingat...” katanya. Walaupun begitu, dia berjanji akan menjaga buku itu baik-baik.
***
18 tahun yang lalu (dua bulan sebelumnya)
“Hati-hati di jalan ya! Jangan pulang malam lagi!” teriak Ibu dari dalam rumah. Ibu sedang asyik memasak bersama nenek, sedangkan ayah membaca koran. Fandi menemukan kakeknya sedang duduk-duduk di depan rumah.
“Eh Fandi. Mau kemana Nak?” tanya kakek.
“Mau ke hutan Kek. Main-main disana bersama teman.”
“Hati-hati. Jangan main terlalu jauh dan pulang terlalu malam.”
“Iya!!” Fandi melambai-lambai pada kakeknya lalu berlari keluar halaman rumah. Hutan itu terletak di seberang jalan. Dia melihat ke kiri dan kanan. Jalanan cukup sepi, tapi mobil kadang justru lewat dengan kecepatan tinggi.
Setelah memastikan aman, Fandi menyebrang jalan. Dibukanya buku bergambar yang kemarin diberikan temannya itu. Fandi tadi malam menemukan kumbang yang menyamar dengan sempurna di batang pohon sehingga mereka tidak melihatnya kemarin. Pasti dia akan terkejut jika melihatnya, pikir Fandi.
Dari jauh, mobil melaju kencang ke arahnya. Fandi tersadar dari lamunannya, lalu berlari kecil ke seberang. Tapi kakinya menghantam batu dan buku tersebut terlempar ke tengah jalan.
Tanpa pikir panjang, Fandi berlari mengambil bukunya. Sementara itu, pengendara mobil tersebut kaget karena melihat anak kecil yang tiba-tiba melompat lagi ke tengah jalan. Dia mencoba mengerem mobilnya, tapi terlambat.
***
18 tahun yang lalu (dua bulan dan satu hari sebelumnya)
Fandi menemukan tempat yang bagus untuk bersembunyi. Awalnya, dia hanya lari tanpa arah karena ibunya menyuruh dia menghabiskan sayurnya. Dia lalu secara tak sengaja menemukan tempat yang indah di dalam hutan.
Ada tempat duduk kecil di bawah pohon, jadi dia duduk disana sambil menikmati pemandangan yang ada. Angin sejuk, lalu bunga-bunga merah tumbuh di dekat semak-semak. Belum lagi bunyi burung yang mendamaikan hatinya. Bahkan dia bisa mendengar suara sungai kecil di dekat situ. Ini benar-benar tempat indah untuk bersembunyi.
“Hei, itu tempatku.”
Fandi terkejut mendengar suara itu. Di dekat pohon, bersembunyi malu-malu, ada seorang gadis seumurannya. Dia memegang sebuah buku bergambar.
“Apa maksudnya tempatmu?”
“Aku selalu membaca buku disitu,” katanya. “Kau mengambil tempatku.”
“Kursi ini cukup untuk kita berdua. Kau duduk saja di sebelahku.”
Anak itu diam, mungkin menunggu Fandi pergi. Setelah beberapa saat, dia akhirnya menyerah dan duduk di sampingnya.
Fandi teringat ibunya sering memperingatkan dia untuk berkenalan dengan taman baru, “Namaku Fandi. Kau siapa?”
Gadis itu diam dan mulai membaca buku.
Merasa kesal karena dicuekin, Fandi tidak mempedulikannya dan mulai melihat-lihat burung disekitar situ.
“Wendi Melati.”
“Eh apa?” Fandi kaget karena anak itu tiba-tiba berbicara.
“Namaku Wendi Melati.”
Fandi baru kali ini berkenalan dengan orang yang menyebutkan nama lengkapnya, jadi dia mengulang namanya, “Aku Fandi Ramadhan.”
Gadis itu diam lagi.
Karena penasaran, Fandi mengintip buku yang dia pegang. Dilihatnya gambar-gambar indah tentang hutan dan burung-burung yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Wow, itu gambar apa?”
Wendi melihatnya, “Ini hutan Amazon. Aku suka melihat-lihat gambarnya.”
“Yah, aku bisa mengerti. Lihat burung itu, cantik sekali.”
“Itu burung Rio Branco. Mereka sudah hampir punah.”
“Benarkah? Sayang sekali. Apa ikan ini juga?” Fandi menunjuk gambar ikan bergigi tajam yang berenang di sungai.
Untuk pertama kalinya, Wendi tersenyum. “Itu ikan Piranha. Dia bisa memakan semua dagingmu dalam sekejap.”
“Mana mungkin ikan sekecil ini bisa makan aku...”
“Semuanya mungkin.”
Fandi diam sejenak, “Kau tahu banyak ya soal ini. Keren.”
Bukannya menjawab, Wendi malah melihat Fandi dengan tatapan aneh. Fandi pun bertanya heran, “Kenapa?”
“Tidak. Teman-temanku semuanya mengejekku karena aku suka membaca tentang hutan. Cuma kau yang memujiku,” katanya.
“Masa sih? Menurutku kau keren. Aku juga suka hutan Amazon ini, walaupun ikannya menyeramkan.”
Wendi tertawa lagi. Mereka lalu bersama-sama melihat buku itu. Fandi terus bertanya, sementara Wendi menjawab yang dia tahu. Tak terasa langit mulai gelap.
“Aku harus pulang. Nanti Ibuku marah kalau aku pulang terlalu malam. Lagipula, aku sudah lapar.”
Wendi terlihat sedih. Fandi buru-buru menghiburnya, “Besok kita main lagi disini ya. Aku dan orangtuaku masih lama pulangnya kok.”
“Benar?” Wendi langsung ceria lagi.
“Tentu saja. Aku suka membaca buku itu. Lagipula aku juga masih ingin banyak tahu.”
Fandi sudah bersiap-siap pulang, tapi Wendi menghentikannya. “Nih.”
“Apa?”
“Kau boleh meminjam bukuku. Tapi besok harus dikembalikan.”
“Wah, makasih!” Fandi menerimanya dengan senang, “Kau baik sekali.”
“Kau berjanji besok akan kesini lagi?”
“Tentu saja.”
“Bagaimana kalau kau lupa? Atau kau ternyata harus pulang ke rumahmu besok?”
Fandi tersenyum, “Oke, begini saja. Kalau aku lupa, atau sesuatu terjadi dan kita tak bisa bertemu besok, mari kita bertemu di tempat lain.”
Wendi bingung, “Dimana?”
“Disini.” Fandi menunjuk bukunya, “Amazon. Kita bertemu di Amazon. Lalu kita berdua bisa melihat lebih banyak lagi hewan-hewan cantik.”
Gadis itu tersenyum senang, “Ya. Janji ya kita bakal ketemu di Amazon nanti?”
“Aku janji. Kita akan bertemu disana. Sudah ya, kau juga lebih baik pulang, daaahhh.” Fandi pun pergi meninggalkannya.
***
Masa kini.
“Lho, kurasa ada satu orang dari kalian yang belum datang.” Lamda melihat kami. “Bukannya seharusnya ada lima orang.”
Fandi, yang belum mengenal satu sama lain, hanya diam karena tidak tahu. Tapi dia memang ingat ada lima orang yang terpilih.
Saat itulah terdengar ketukan di pintu. Semuanya menengok ke belakang.
“Ahh, kamu ya orang yang satu lagi?” tanya Lamda.
“Ya Pak. Maaf telat,” kata wanita yang baru datang itu.
“Tidak masalah. Siapa namamu?”
Fandi melihat senyum wanita itu, dan tiba-tiba saja dia ingat motivasi terbesarnya ingin pergi ke Amazon.
“Nama saya Wendi Melati.”
0 komentar:
Posting Komentar