“Baiklah, sekarang apa ide kalian?” tanya Bima
ketika yakin kami sudah aman dari kejaran zombie.
“Kembali ke kota sana dan mencari yang lain,”
jawabku, “Simpel kan?”
“Tidak akan sesimpel itu kurasa,” Medina menambahkan
dengan optimis. “Tapi memang itu rencana yang kami punya sekarang.
“Kalau begitu kita harus cari kendaraan kan? Tak
mungkin jalan kesana.”
“Ya, setahuku akan makan waktu dua hari jika kita berjalan
kaki. Aku jelas tidak menyarankan itu,” kataku.
Kami melanjutkan perjalanan sambil mencari mobil
yang bisa digunakan. Karena tidak ada Zico yang bisa menghidupkan mobil
walaupun tanpa kunci (aku penasaran bagaimana Zico belajar cara maling seperti
itu), kami terpaksa mencari mobil dengan kunci yang ditinggalkan di dalam.
Sejauh ini hasilnya nihil.
“Sepertinya kita harus ganti strategi. Kita ambil
mobil yang ada di rumah-rumah saja. Kuncinya pasti ada di dalam rumah kan,”
saranku.
Medina menunjuk sebuah rumah dengan mobil terparkir
di depannya, “Bagaimana kalau yang itu?”
“Ya, itu cukup bagus.”
Mobil itu terkunci. Berarti kami harus mencari ke
dalam rumah. Pintu rumahnya terbuka sedikit. Terlihat noda darah di dekatnya.
Itu tanda kami harus waspada.
Bima masuk duluan dengan panah di tangannya. Karena
gorden ditutup, rumah itu gelap.
“Bau apa ini?” Medina menutup hidungnya. Bau
menyengat memang memenuhi rumah itu. Tidak lama, kami menemukan sumber bau itu.
Di ruang keluarga, tergeletak sisa-sisa tubuh yang sepertinya berasal dari
wanita dewasa.
Aku menahan diri agar tidak mual. Kami terus mencari
kunci mobil itu.
“Sssttt...” Bima memberi tanda dengan tangannya.
Suara erangan zombie terdengar di salah satu kamar. Perlahan kami masuk ke
kamar itu.
Zombie itu berupa gadis yang mungkin baru berusia
delapan atau sembilan tahun. Kamar ini sendiri dipenuhi banyak poster Justin
Bieber, yang menjelaskan semua yang terjadi di rumah ini. Aku jadi tidak tega
membunuh zombie kecil itu, tapi Bima tanpa perasaan menembakkan busurnya.
Zombie itu jatuh tak bergerak.
“Lebih baik daripada kita membiarkan dia menjadi
zombie.” Bima lalu berbalik dan mencari kunci mobil itu lagi.
Aku mau menyusulnya, tapi kulihat Medina masih
tertegun di kamar itu.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Rasanya menyedihkan aja anak sekecil
ini menjadi korban virus zombie...” Medina berbisik. Dia sepertinya menahan
tangis.
Aku menarik tangannya agar keluar dari kamar itu, “Lebih
baik kau bantu cari kunci supaya tidak mikir yang aneh-aneh.”
Dia mengangguk lalu pergi mencari ke ruangan lain.
Aku sendiri mencari lagi ke ruang keluarga, mencoba sekeras mungkin untuk tidak
melihat sisa-sisa mayat itu.
Akhirnya aku berhasil menemukan kunci mobil itu di
dalam laci. “Hei! Aku berhasil menemukannya!”
Bima datang dan mengambil kuncinya. “Akan kusiapkan
mobil, kalian carilah sesuatu yang bisa dibawa, mungkin makanan atau
semacamnya.”
Aku dan Medina menuju dapur. Tidak banyak yang bisa
diambil kecuali beberapa makanan kaleng. Di kulkas, tertempel foto keluarga
itu. Anak yang menjadi zombie itu diapit oleh ibu dan ayahnya. Mereka tampak
bahagia.
“Seandainya saja Justin Bieber tidak membuat semua
kekacauan ini...” Medina melihat foto itu dengan mata sedikit berair.
“Apa yang akan kau lakukan jika bertemu Justin
Bieber?”
“Entahlah. Aku akan memukulnya berkali-kali kurasa.
Tapi aku tak enak memukul cewek kecil seperti dia.”
“Hahaha, bagus juga tuh.”
Medina sedikit tersenyum, “Ayo, kita kembali ke
Bima.”
Sesuatu mengganjal di pikiranku, “Ayahnya dimana ya?”
Medina menjawabnya dengan mengangkat bahu. Kami lalu
masuk ke dalam mobil dan pergi dari rumah yang menyedihkan itu.
“Tunggu!! Berhenti di depan itu!”
Kami sudah memasuki jalan tol ketika aku melihat
sesuatu yang familiar. Mobil yang kami pakai untuk pergi pertama kali ke tempat
persembunyian terlihat berhenti di pinggir jalan.
Aku dan Medina bergegas turun untuk melihat keadaan.
“Dimana mereka?” tanya Medina melihat mobil kosong
itu. Aku sama bingungnya dengan dia.
“Lihat ini,” Bima menyusul kami, “Ada beberapa
lubang tembakan di bagian pintu.”
“Apa?”
Benar saja, terlihat bekas peluru di beberapa
tempat. Aku dan Medina saling pandang. Kami tahu memikirkan hal yang sama :
Niko.
Sebelum sampai ke tempat persembunyian, kami harus
berhadapan dengan Niko, dokter yang dulu sempat menolong kami tapi berubah
karena dendam. Saat itu mobil kami juga ditembak sehingga terjadi kecelakaan.
Medina adalah yang paling terkena dampaknya karena kakiknya terluka parah saat
itu.
Tapi itu tidak mungkin. Niko sudah mati, aku sendiri
yang membunuhnya di rumah itu. Rere juga sudah membuat kuburannya.
Lagipula jika diteliti lebih dalam, bekas lubang
peluru berbeda-beda, seperti ditembakkan oleh senjata yang beragam.
“Sial. Mungkin ini ada hubungannya dengan
bandit-bandit itu,” kata Bima.
Medina melihat Bima dengan heran, “Bandit? Bandit
apa?”
“Aku pernah bertemu dengan mereka. Bandit itu hanya
kumpulan orang-orang bodoh yang akan melakukan segala cara untuk bertahan
hidup, walaupun itu termasuk membunuh orang lain dan mengambil makanannya.”
Ya ampun, aku tak menyangka masih ada orang-orang
seperti itu saat situasi seperti ini. Tapi mungkin justru karena situasi
seperti inilah sifat-sifat asli manusia mulai kelihatan.
“Jadi mereka bertemu dengan Bandit?” tanyaku.
“Mungkin. Dan melihat tidak ada orang disini, ada
dua kemungkinan yang bisa terjadi : mereka ditangkap atau kabur ke hutan sana.”
Bima menunjuk hutan di dekat jalan itu.
Aku membuka mobil itu. Sebuah handphone tergeletak dalam
keadaan mati di bawah, sepertinya terjatuh saat mereka kabur atau ditangkap.
Pantas saja aku tak pernah bisa menelpon mereka selama ini.
“Jadi bagaima.....oh sembunyi!”
Aku mendengar suara mobil mendekat dari arah
sebaliknya. Itu mungkin pertanda bagus. Mobil itu berhenti ketika melihat mobil
kami.
“Lihat, sepertinya baru ada seseorang disini.”
Terdengar seseoarang berbicara dari dalam mobil.
“Ayo kita lihat.” Mereka pun keluar dari mobil. Ada
tiga orang. Mereka semua bertato di lengan. Muka mereka keras dan menyeramkan.
Masing-masing membawa senapan laras panjang.
Bima berbisik padaku, “Bandit.”
“Apa yang kita lakukan?”
“Lawan saja. Kita bisa menghabisi mereka.”
“Apa? Tidak. Aku tak mau membunuh manusia yang masih
hidup. Lagipula aku mengkhawatirkan Medina. Kita kabur saja.”
Bima sepertinya tidak setuju, tapi dia memutuskan
tidak mau berdebat sambil berbisik begini.
Kami mengambil kesempatan lari ke hutan sementara
mereka memeriksa mobil kami yang terparkir beberapa meter dari tempat kami
bersembunyi sekarang. Sebisa mungkin kami bergerak cepat tanpa menghasilkan
suara. Saat sudah hampir masuk hutan, mereka akhirnya menyadari keberadaan
kami.
“Itu mereka!!” teriak salah satu dari para bandit
itu. Terdengar letusan senapan tapi meleset.
“Ayo cepat!” Aku menarik Medina agar lari lebih
cepat. Mereka mulai mengejar kami masuk ke dalam hutan.
Terdengar bunyi senapan lagi, dan kali ini mengenai
pohon di sampingku. Itu membuat kami berlari lebih cepat.
“Zombie!” Medina berteriak. Di depan kami, satu
zombie menghalangi jalan. Bima bergerak cepat. Dia mengambil anak panah dan
menusukkannya ke kepala zombie itu.
Satu zombie mendekatiku dari balik pohon. Aku kaget,
tapi masih sempat menebasnya.
“Mereka ada di mana-mana,” kata Medina yang juga
mengalahkan satu zombie.
Memang, ternyata hutan ini penuh dengan zombie yang
terpancing oleh suara tembakan tadi. Kini kesulitan pun meningkat dua kali
lipat. Tapi bagusnya, para bandit itu juga harus melawan zombie sambil mengejar
kami. Tembakan pistol terdengar beberapa kali, entah untuk membunuh zombie atau
membunuh kami.
Aku memenggal zombie yang mendekat, lalu menunjuk ke
sebuah pohon besar. “Disana. Kita sembunyi dibalik pohon itu.”
Kami berhasil mencapai tempat itu dan berhenti
sejenak. Nafasku memburu, dua temanku yang lain sama saja. Untunglah
zombie-zombie itu seperti tidak bisa melihat kami disini. Aku hanya berharap
bandit-bandit itupun tidak melihat kemana kami pergi diantara kekacauan ini.
Kami menahan nafas ketika bandit-bandit itu mulai
mendekat.
“Aku yakin mereka lari kesini,” kata salah satu dari
mereka. Aku memegang erat senjataku. Jika kami ketahuan, aku tak punya pilihan
lain kecuali menyerang mereka.
“AAAHHH!!”
Aku kaget. Zombie liar entah darimana berlari dan
menerkan dalah satu dari mereka. Yang lain kabur sambil menyumpah-nyumpah,
meninggalkan teman mereka sendirian menjadi santapan para zombie.
Bima memberi tanda agar kami bergerak lagi. Kami berlari
menuju ke sebuah dakian kecil. Kalau kami berhasil memanjat kesana, kami akan
aman dari zombie-zombie ini. Masalahnya, dakian itu licin karena lumpur.
Bima mencoba duluan. Dia berhasil memanjat dalam
percobaan pertama walaupun sedikit terpeleset. “Oke, sini biar kubantu.” Bima
mengulurkan tangan dari atas. Medina memegangnya dan Bima menariknya ke atas.
“Ayo, cepat! Zombie sudah menyadari kehadiran kita!”
Zombie-zombie memang mulai mengejar kami lagi. Aku
memanjat dengan panik sambil Bima menarikku sekuat yang dia bisa. Bodohnya,
kakiku terpleset dan harus terjatuh lagi ke bawah. Bima ikut tertarik jatuh.
“Sial!” Dengan cepat dia mencoba naik lagi. Zombie
sudah sangat dekat. Aku harus melawan dulu.
Kepala zombie di dekatku meledak. Aku terkaget,
seseorang menembak zombie ini dari atas. Bukan Medina, dan juga bukan Bima yang
masih berusaha naik lagi. Ada seorang wanita paruh baya yang memegang shotgun.
Dia menembak beberapa kali lagi dan menjatuhkan
zombie-zombie lain. Itu memberiku waktu untuk memanjat. Kami semua berhasil
naik ke atas.
“Terima kasih,” kataku penuh kelegaan.
“Nanti saja. Ayo kita ke rumahku dulu.”
Kami saling melihat satu sama lain, sedikit tidak
yakin.
“Aku punya makanan di rumah,” katanya lagi. Perut
kosongku sudah cukup untuk membuat keputusan.
Rumah wanita
itu terletak di pinggiran jalan lain, mungkin jalan alternatif ke kota. Sejauh
kulihat, tidak banyak rumah disitu, mungkin hanya tiga atau empat, itupun
letaknya agak jauh. Dia mempersilahkan kami masuk.
“Maaf tempatnya kotor,” katanya. Biasanya orang
berkata itu untuk berbasa-basi, tapi tempat ini memang sangat kotor. Sampah
dimana-mana. Kurasa pada saat zombie apocalypse, orang jadi lebih malas
membersihkan rumah.
“Terima kasih Bu....”
“Panggil saja aku Dira. Aku sudah lama tidak
menerima tamu. Padahal tadi aku ke hutan untuk mencari makanan.”
Aku melihat sekeliling. Di dinding ada foto Dira
dengan sebuah bocah. Dira menyadari yang kulihat, “Oh, itu anakku. Kami hanya
tinggal berdua disini.”
“Dimana suami Ibu?” tanya Medina.
“Meninggal sekitar lima tahun yang lalu.”
“Oh maaf.”
Dia tertawa kecil, “Tidak apa-apa kok. Aku bisa
menjaga diri sendiri. Shotgun ini juga dulunya milik suamiku.”
“Dimana anak ibu?”
Aku langsung sadar kalau aku menanyakan hal yang
salah melihat ekspresi Dira yang berubah 180 derajat menjadi sangat sedih.
“Yah, sekarang aku hanya tinggal sendiri,” jawabnya
serak.
Medina seperti mau menamparku karena membuat ibu itu
sedih. Aku sendiri merasa sangat malu. Tapi Dira mencoba mencairkan suasana
lagi, “Kalian lapar? Aku punya beberapa makanan di dapur, tidak banyak sih.”
“Tidak perlu repot-repot Bu,” kata Bima.
“Ah, gak repot kok. Sebentar ya.” Dira lalu
meninggalkan kami ke dapur.
Setelah semua masalah reda, aku baru sadar kalau aku
sangat kebelet pipis.
“Mau kemana?” tanya Medina yang melihatku berdiri
dari kursi.
“Toilet bentar,” kataku. Aku tidak enak bertanya
pada Dira, jadi kucari saja sendiri. Aku melihat pintu ke kamar tidur terbuka
sedikit. Kamar itu juga punya kamar mandi dalam, jadi aku masuk saja untuk
buang air sebentar.
Aku baru saja mau kembali ketika mendengar suara
benturan dari dalam lemari. Awalnya kukira cuma tikus, tapi benturan itu
terdengar lagi, kini makin keras.
Karena penasaran, aku membuka lemarinya.
“Aahh!!” teriakku kaget ketika zombie bocah meloncat
keluar dari dalamnya. Tapi ketika dia hendak menerkamku, gerakannya terhenti.
Rantai besi mengikat lehernya ke gantungan baju sehingga dia tidak bisa
bergerak lebih jauh.
Aku ingat dia. Anak ini adalah anak Dira. Kenapa dia
ada dalam lemari? Apa Dira yang mengikatnya?
Pukulan keras menghantam bagian belakang kepalaku.
Rasa sakit menjalar dengan cepat, dan aku kehilangan kesadaran. Kata-kata
terakhir yang kudengar adalah suara Dira yang berkata dengan dingin, “Maaf kau
harus melihatnya.”
Lalu pandanganku gelap seutuhnya.