Baca part sebelumnya disini.
“Suara apa itu?” tanya Tori.
“Kurasa Zico dan Rere. Sudah kubilang
mereka akan datang menolong kita.” Aku mengintip dari jendela, tapi tidak
terlihat apa-apa kecuali zombie dari jauh mulai mendekat karena tertarik bunyi
tembakan. “Apa yang mereka pikirkan? Menyerang dengan terang-terangan begini?”
“Memang ada pilihan lain? Lebih bagus
menyerang langsung kan.”
“Tidak juga. Mereka bisa menyelinap
pelan-pelan. Menyerang tanpa tahu jumlah musuh seperti ini bisa berbahaya.”
“Tapi, pahlawan kan seperti itu,” kata
Tori.
Tori sepertinya menganggap Zico seperti
pahlawan di film-film yang tidak pernah kena tembakan walau musuh mengepung.
Masalahnya, aku bukan hanya
mengkhawatirkan jumlah musuh yang dihadapi, tapi juga jumlah zombie yang kini
mendekat karena kekacauan ini.
Terdengar suara orang lari-lari ke
bawah. Benar juga, masih ada banyak orang lagi diatas.
“Sekarang saatnya!” kataku.
“Apa?”
“Kita kabur dari sini. Lalu bantu mereka
dari belakang.”
Tori berdiri, “Tapi bagaimana? Pintunya
dikunci.”
“Kita dobrak saja. Saat kekacauan
seperti ini, pasti mereka tidak akan mendengar suaranya.”
Aku mengambil jarak, lalu berlari
menghantamkan badan ke pintu. Masih belum terbuka.
“Oke, sekali lagi.” Aku berlari lagi. Tiba-tiba
saja, pintunya dibuka oleh pengawal botak yang tadinya menjaga pintu depan. Aku
tidak bisa menghentikan lariku.
Aku menabraknya dengan keras hingga kami
berdua terjatuh keluar ruangan.
“Sialan!! Ngapain kalian bangsat!!
An.....”
Aku tidak menunggunya menyelesaikan
umpatannya dan menghajar mukanya sekeras mungkin. Kutarik pistolku, lalu
kutembak kakinya. Dia berteriak kesakitan. Memang sepertinya itu terlalu kejam,
tapi aku memilih melakukan itu daripada dia membunuhku saat kami mencari jalan
keluar.
Kupanggil Tori, “Ayo. Tapi tetap tenang.”
Dia mengangguk dan mengikutiku keluar.
Para bandit berkonsentrasi pada pintu depan sehingga kami bisa berkeliaran
dengan mudah. Suara adu tembak membuatku sangat khawatir dengan Zico dan Rere.
Aku harus secepatnya membantu mereka.
Kami tidak bertemu siapa-siapa. Aku
memutuskan untuk mengecek ruangan di lantai ini sebelum membantu mereka, mana
tahu ada sesuatu yang berguna.
Kubuka pintu paling ujung di koridor
tersebut. Tidak ada apa-apa kecuali banyak kertas dan mesin fotokopi, yang
kurasa tak akan berguna di situasi seperti ini.
Aku memeriksa pintu sebelahnya.
Terkunci. Hmm, biasanya kan kalau terkunci, berarti ada sesuatu yang berharga
kan?
Kudobrak pintu itu, membuat Tori heran, “Kau
sedang apa? Ayo kita bantu mereka.”
“Sebentar.” Dengan sekali hantaman lagi,
pintu itu terbuka lebar.
Didalamnya tidak ada senjata yang
berharga atau semacamnya, tapi ada seorang ibu-ibu tertidur dengan pulas.
Mungkin itu sandera juga. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri.
“Bu! Bu! Bangun, kita kabur dari sini!”
Kugoyangkan badannya dengan keras. Matanya terbuka sedikit. “Ayo Bu. Disini
tidak aman!!”
“HIYAAA!!”
Ibu itu bangun lalu langsung menendangku
dengan keras. Kekuatan tendangannya bahkan sampai membuatku terlempar jauh
kebelakang. Aku terbatuk-batuk saat mencoba bangun. Kaget dan rasa sakit
bercampur.
Kini wanita setengah tua itu sudah
bangun, dan dia terlihat marah. “Enak saja kau panggil Ibu! Panggil aku Kakak!!
Namaku Hune! Aku bos disini!”
Apa? Bos mereka
adalah ibu-ibu setengah baya yang ingin dipanggil kakak? Yah, paling tidak aku
tahu kalau dia memang kuat.
Tori membantuku bangun. Aku melihat
keadaan sekitar ruangan, tidak ada senjata. Kucoba menggertak dia.
“Heh, kami berdua dan kau sendiri. Kau
bahkan tidak bisa memiliki senjata, memangnya kau bisa apa?”
Dia tersenyum mengejek. Lalu dengan
kecepatan idiluar dugaan, dia berhasil melucuti pistol dari tanganku. Aku
bahkan tidak sempat bereaksi.
“Lihat? Aku sudah terlatih untuk bergerak
cepat ketika obral baju,” kata Hune bangga. “Selain itu, dulu aku juga sabuk
hitam di karate. Pistol dan senjata hanya untuk orang lemah.”
Hune menghajarku di muka dan aku pun
terjatuh lagi. Sial, dia terlalu kuat. Aku tidak pernah latihan bela diri,
paling mentok cuma nonton film kungfu dan mencoba mempraktekannya. Aku juga
tahu pasti kekuatan ibu-ibu saat obral, mereka sangat mengerikan. Jika Hune
sudah terlatih dari situ, maka peluang menang kami kecil.
Aku tak boleh kalah disini. Aku berdiri
lagi dan mencoba menggertak lebih keras, “Kau meremehkan kami. Aku adalah
master Jijutsu dan Aikido. Temanku disini dulunya preman kelas kakap. Dia
pernah menghabisi 12 polisi sendirian hanya dengan menggunakan tangan kirinya.”
Tori kaget karena tiba-tiba dilibatkan,
tetapi dia mencoba mendukung ceritaku dengan membuat mukanya lebih kejam.
Gagal.
Hune tertawa dan sudah bersiap menghajar
kami lagi. Tapi raut mukanya berubah menjadi takut.
Awalnya kukira gertak sambalku berhasil,
ternyata yang dia takutkan bukan kami, tapi sesuatu dibelakang kami.
Tori menarikku tepar di saat zombie
melompat dari belakang mencoba menerkamku. Dia meleset dan terjatuh kedalam
ruangan. Hune terjebak. Kami mundur ke pojok koridor, sama terjebaknya.
Tiga zombie lagi naik ke atas, beberapa
dengan merayap. Hune memanggil-manggil pengawalnya untuk menolong. Tapi tak ada
yang datang.
“Ayo, kita harus menerobos zombie-zombie ini. Tetap dekat denganku,”
kataku pada Tori. Kukeluarkan pisauku. Untungnya dua zombie memutuskan untuk
berbelok ke ruangan tempat Hune terus berteriak. Kalau hanya satu zombie sih
gampang.
Atau begitulah yang kupikir, sampai aku
sadar kalau itu zombie liar. Dia berlari dengan gila ke kami.
“Awas! Menghindar!!”
Tori tidak sepenuhnya bisa menghindar.
Zombie itu berhasil menerkam tangannya dan menggigitnya.
“KYAAA!!”
Dalam panik, aku berhasil menusukkan
pisauku ke kepala zombie itu. Dia terjatuh tak bergerak.
Tori menangis melihat tangannya yang
kini bersimbah darah, “Oh tidak...tidak....”
“Tenang!! Rere bisa mengobatinya nanti.”
“Kau tidak lihat aku digigit??”
bentaknya. “Aku akan menjadi zombie!”
“Tenanglah, kita punya penangkal virus
itu di rumah sakit. Kau akan sembuh asal kita bergerak cepat.”
“Benarkah?” Tori terlihat tidak terlalu
percaya, tapi paling tidak dia berhenti menangis.
Aku mengangguk dan memimpin jalan ke
tangga. Keadaan sepertinya sangat kacau dibawah. Aku berjalan siaga jika saja
masih ada bandit lain atau zombie. Mayat orang dan mayat zombie bercampur di
dekat pintu depan. Satu-satunya yang masih bergerak hanyalah satu zombie yang
sedang memakan bandit.
Pemandangan yang memualkan, aku ingin
segera cepat keluar dari sini. Kuambil pistol dari tangan bandit yang sudah
mati, lalu menembak zombie terakhir di kepala. Bagaimana mungkin Zico dan Rere
melakukan ini semua?
Kami keluar dari bangunan itu dan
mencari mereka. Terdengar suara siulan dari belokan. Zico melambai ketika kami
melihat.
Tori berlari ke Zico lalu memeluknya.
“Kukira kau sudah mati...” kata Tori.
“Enak aja. Aku ini jago tahu.” Zico
tersenyum.
Aku menunggu adegan mesra itu berakhir
sebelum marah-marah pada Zico, “Apa sih yang kau pikirkan? Menyerang dari
depan, membawa zombie kesana, kami hampir mati tahu!”
“Itu bukan kami,” kata Zico. “Saat kami
tiba, sudah ada truk disana. Orang-orang didalamnya turun lalu mulai menembak
membabi buta. Mereka bahkan membawa dua zombie dan membiarkannya masuk kedalam.”
“Apa? Maksudmu, ada orang selain kita di
kota ini?”
Zico mengangguk, “Bandit lain tepatnya.
Mereka sepertinya dendam terhadap kelompok itu, entah kenapa. Setelah berhasil
menarik lebih banyak zombie, mereka pergi begitu saja. Saat kami mau mencari,
kalian sudah keluar duluan.”
Aku tidak tahu mana yang lebih
mengerikan, masih ada bandit lain atau fakta mereka menggunakan zombie untuk
menyerang lawannya.
“Tidak ada gunanya memikirkan itu
sekarang, kita punya urusan yang lebih mendesak.” Aku melihat pada Tori. Zico
terlihat tidak senang.
“Apa? Apa yang mereka lakukan padamu?”
“Bukan para bandit itu...” Tori
menunjukkan luka gigitannya.
“Kau digigit??” Rere shock.
“Tenang,” kataku, “Medina punya kaset
Queen. Kita cuma harus membawanya ke rumah sakit dan mencari tape player.”
Zico masih terlihat cemas, “Oke, dari
sini ke rumah sakit kira-kira 30 menit. Kita harus cepat tapi tetap hati-hati
karena bandit-bandit masih berkeliaran.”
Kami semua bergegas pergi dari situ.
Saat aku melihat bangunan itu untuk terakhir kali, aku melihat anak SMP yang
membawaku tadi keluar dengan ketakutan. Entah bagaimana dia bertahan hidup. Dia
tidak melihat kami dan pergi ke arah yang berlawanan. Aku sempat kasihan, tapi
sekarang tak ada yang bisa kulakukan.
Kami berlari dari satu gang ke gang
lain, mencoba menghindari jalan besar. Sepanjang perjalanan, kami hanya bertemu
dua zombie dan itu bisa dengan mudah diatasi.
Rumah sakit mulai terlihat, mungkin hanya
tinggal lima menit lagi.
“Tunggu...” Tori menghentikan kami. Dia
terlihat sangat lelah. “Aku tidak bisa berlari lagi.”
Lebih gawat lagi, badannya mulai
menghitam dan matanya memerah. Rere sepertinya juga mengkhawatirkan itu.
“Keadaanya sudah sangat parah. Kita
harus cepat.”
Zico mendekat, “Sini biar kubantu
berjalan.”
Tori meresponnya dengan jatuh ke tanah.
Kami semua kaget, tapi Zico-lah yang paling panik.
“Kenapa dia?”
“Sepertinya dia sudah mau berubah...”
kataku.
“Mana mungkin? Ini baru setengah jam!”
Memang, tapi Bima juga berubah hanya
dalam waktu 4 jam, dan yang menggigit Tori kali ini adalah zombie liar.
“Mungkin, mungkin sekarang virus itu
semakin cepat menyebar...”
Zico menggendong Tori, “Ayo!! Kita harus
lebih cepat!!”
Aku berlari di depan untuk berjaga-jaga
jika kami bertemu zombie. Rere berada di dekat Zico untuk terus memeriksa
keadaan Tori. Dia terlihat mau menangis.
“Zico!! Dia tidak bernafas!”
Aku melihat ke belakang dengan ngeri.
Zico menurunkannya dan memberi nafas buatan.
“Kau tidak boleh mati!” Zico berteriak
pada Tori, “Kita baru bertemu, tolong jangan lakukan ini!!”
Tapi sebanyak apapun Zico memberi nafas
buatan, Tori tetap tidak bernafas. Rere menggeleng sambil meneteskan air mata,
pertanda Tori sudah tiada. Zico tidak bisa berbicara saking shocknya.
Aku mendekatinya, “Zic...kita tidak bisa
membiarkan dia berubah kan?”
Dia tidak menjawab.
Kukeluarkan, “Biar aku yang lakukan.”
“Tidak tunggu!” Zico menghentikanku. “Biar
aku saja. Dia tanggung jawabku.”
Aku mengangguk. Kuajak Rere yang
menangis terisak-isak untuk menjauh dari sana. Kami hanya akan melihatnya dari
jauh.
Aku bisa melihat Zico bergetar karena
sedih saat dia mengangkat pistolnya. Dia ragu untuk sesaat, tapi akhirnya
menarik pelatuknya.
Saat itulah hujan turun lagi. Hujan itu
membasahi kami dan Zico yang kini berlutut karena menangisi kekasihnya.
Bersambung......ke part 10.
0 komentar:
Posting Komentar