(Ali)
Aku menguap lebar banget.
Ibuku sampai berkomentar, “Wih, kayak black
hole.” Aku hanya cuek sambil menggaruk-garuk punggungku.
Tadi malam aku benar-benar
tertidur lelap. Pertarungan melawan Kevin dan Gin Gin, khususnya sebelum Zico
dan Niko datang membantu, sangat melelahkan. Kasihan tubuhku, dia diciptakan
untuk tahan main game, bukan untuk pertarungan seperti ini.
Aku sempat
berbincang-bincang dengan Kemal kamarin sebelum kembali ke rumah, dan kami
berdua agak menyesal sudah bicara terlalu cepat. Kalau dipikir lagi, yang akan
kami ikuti ini perkara hidup mati. Hal seperti ini seharusnya dipikirkan dengan
lebih mendalam dan menghitung untung ruginya.
Dan setahuku, kami tidak
mendapat untung sama sekali, kecuali mungkin bisa bertemu dewa (yang mungkin
bisa tetap terjadi jika kami mati).
Kugaruk kepalaku sembari
berjalan keluar. Aku mengambil koran pagi di depan pintu rumah.
Nafasku tertahan ketika
melihat salah satu beritanya sekilas. Dan sialnya, itu berarti koran itu
berubah menjadi besi dan jatuh menghantam kakiku.
“Aduh, aduh. Sial.” Sambil
terjingkat-jingkat, aku membawa koran itu ke meja makan. Berita tersebut
menampilkan foto yang memperlihatkan bayangan sebuah makhluk besar di sebuah
sungai. Makhluk yang menyerupai Loch Ness.
“Apa-apaan ini? Apa ini
beneran?”
Foto itu jauh lebih jelas
daripada foto-foto Loch Ness sebelumnya yang biasanya kabur, walaupun tetap
tidak terlihat secara keseluruhan. Ditulis kalau ada warga sekitar sungai
sedang ketakutan karena sering mendengar suara aneh di saat malam. Kini
ditambah foto yang secara tidak sengaja diambil orang lewat itu. Warga pun
gempar.
Biasanya aku cukup
tertarik dengan hal misterius semacam ini. Tapi mengingat apa yang terjadi
semalam, aku punya firasat aneh ini berhubungan dengan turnamen nanti. Aku
jelas tidak mau melawan orang yang bisa menggunakan Loch Ness.
“Kenapa kok baca beritanya
merengut gitu?” tanya ibuku yang sedang memasak telor untuk sarapan.
Aku buru-buru melipat
koran itu, “Gak papa. Aku mau ke tempat Kemal dulu ya.”
“Eh, makan dulu dong.”
“Masih kenyang. Kemarin
kebanyakan makan indomie.”
“Paling gak mandi dulu
dong.”
“Ih, cuma ke tempat Kemal
kok. Bentar juga balik.”
“Gosok gigi dulu!” katanya
sedikit marah.
Aku merengut. Seandainya
saja ibuku tahu kalau aku sedang menghadapi masalah yang lebih besar daripada
kesehatan gigi. Tapi harus kuakui di saat seperti ini, ibuku lebih mengerikan
dibanding Loch Ness.
Malas-malasan, aku menuju
ke kamar mandi. Kubuka pintunya.
“Hei.”
“AAAHHHHHH!!!” teriakku.
Aku hampir terkena
serangan jantung melihat Pak Moes sedang duduk santai di kloset kamar mandiku.
“Kenapa Li?” tanya ibuku
dari dapur.
“Eh, enggak. Cuma kecoa!”
Aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. “Apa yang kau lakukan disini?”
“Oh maaf. Aku hanya ingin
memberitahu kalau kita akan latihan sebelum turnamen. Nanti malam berkumpul di
lapangan dekat warung Pak Moes ya. Jam 10-an.”
“Kau tahu, kau bisa masuk
dari pintu depan seperti orang normal lain kali. Ngomong-ngomong, latihan apa?”
“Aku sudah meminta temanku
untuk membawa beberapa orang dari timnya untuk latih tanding bersama kita. Ini
adalah latihan pertama dan terakhir sebelum turnamen.”
“Apa? Memangnya turnamennya
kapan?”
“Lusa.”
“Ta...tapi, aku belum siap
mental!”
“Karena itu, datanglah
latihan.” Pak Moes dengan santai bersandar dan melipat kakinya. “Aku ingin
bertanya sesuatu kalau boleh?”
“Eh, apa?”
“Kenapa kekuatanmu adalah
koran menjadi besi. Kekuatan ini biasanya didapat dari sifat khusus pemiliknya.
Apa hubunganmu dengan koran?”
“Oh, itu. . .” Aku
bersandar ke pintu kamar mandi, “ceritanya panjang.”
“Yah, aku cukup nyaman
disini.”
“Oke oke. Itu karena. . .
aku pernah jadi loper koran saat kecil.”
Hening.
“Wow, itu cerita yang
sangat panjang,” komentar Pak Moes. “Kenapa kau jadi loper koran?”
“Yaahh, ayahku menghilang.
Jadi aku perlu uang saat itu.”
Pak Moes menundukkan
kepala. “Oh, semoga dia berisitirahat dengan tenang.”
“Tidak tidak. Dia tidak
mati. Dia menghilang. Kejadiannya sangat aneh, dia menghilang begitu saja. Kami
sedang makan di sebuah restoran, dia masuk ke kamar mandi dan puff. . .dia
menghilang. Sampai sekarang aku juga tidak mengerti apa yang terjadi.”
Ekspresi Pak Moes berubah.
“Apa kau yakin dia tidak.
. . yah, kabur mungkin?” tanya Pak Moes.
“Tidak. Aku menyusul dia
sekitar 1 menit setelah dia masuk karena ingin pipis juga. Tapi dia sudah tidak
ada.”
Kini dia hanya diam,
membuatku curiga.
“Hei, jangan bilang kau
tahu sesuatu tentang ayahku?”
Sebelum dia sempat
menjawab, sebuah ketukan di pintu mengagetkanku.
“Kok lama banget sih di
dalam? Ibu mau pake juga nih!” teriak ibuku, kini agak menggedor.
“Bentar, lagi flashback!!”
“Ibu juga mau flashback. Gantian dong.”
Aku melihat lagi ke Pak
Moes, dan dia sudah tidak ada disana. Saat itu juga ibuku masuk dengan kasar.
“Sana keluar, gantian.”
Dia melemparku keluar. Aku tidak sempat kesal. Setelah ibuku menutup pintu, aku
buru-buru pergi keluar, ke tempat Kemal.
“Kau melihat Loch Ness dan
Pak Moes di kamar mandi?”
“Bukan, ya ampun. Kau
dengar kata-kataku gak sih?” kataku kesal.
“Kau bicara terlalu cepat
tahu!”
Aku mengatakan lagi apa
yang telah terjadi pagi ini, termasuk perubahan ekspresi Pak Moes saat aku
menceritakan ayahku. Kemal terlihat berpikir.
“Hmm, itu memang aneh.
Kenapa Loch Ness muncul di sungai? Seharusnya kan di danau.”
“Kau tidak merasa curiga
kalau Pak Moes tahu sesuatu tentang ayahku?”
“Ya, itu juga. Dan. . .”
Kemal berhenti. “Oh, dia datang lagi.”
“Siapa. . . OH SIAL!!”
Fathia berlari menuju
arahku. Dia melompat untuk memeluk, yang kuhindari dengan sedikit bergeser ke
samping. Dia jatuh menghantam tanah.
“Jangan peluk-peluk aku!”
bentakku.
Fathia, yang mana juga
adalah mantan pacarku, merengut. “Aku masih sayang tahu!!”
“Aku tidak! Pergi sana.”
“Kenapa kau tidak mau
balikan denganku??”
“Ya, kenapa tuh?” komentar
Kemal ikut-ikutan.
“KARENA KAU GILAAA!!”
Dibilang seperti itu,
Fathia makin merengut. “Aku akan membuatmu suka padaku lagi. Lihat saja. Di
turnamen nanti, aku akan membuatmu jatuh hati.”
Dia terus berteriak sambil
pergi menjauh.
Eh tunggu, turnamen?
“Ya ampun, jangan bilang
dia juga ikut turnamen??” kata Kemal seakan-akan mengatakan pikiranku.
Aku shock. “Aku berharap
tidak akan melawannya.”
“Apa ya kira-kira
kekuatannya?”
“Jadi orang menyebalkan
mungkin, aku tak tahu.”
Walaupun kubilang begitu,
aku kepikiran juga. Sial, aku benar-benar butuh latihan nanti malam. Semoga
saja itu bisa membangkita kepercayaan diriku.
Dan. . . .disinilah aku,
sangat tidak percaya diri setelah melihat Kemal, Zico dan Frank dibantai oleh
seorang cewek. Cewek yang sangat kuat.
“Bagus Tephi,” kata
mas-mas yang juga merupakan staff dewa bernama Paolo. Tephi yang dibilang
adalah salah satu anggota timnya. Dia membawa satu orang lagi, namanya adalah
Risfan, cowok kribo gempal yang terlihat sangat menikmati pembantaian ini.
“Begini saja nih? Ini sih
bukan latihan untukku.” Kata Tephi.
Pak Moes menoleh ke arahku,
“Giliranmu. Ayo maju.”
“Apa kau gila?? Apa kau
tidak melihat dia mengalahkan mereka bertiga dengan mudah?”
Aku tidak bercanda.
Kekuatan Tephi sebenarnya simpel, menukar apa yang di tangannya dengan benda
yang dilihatnya. Tapi secara praktek, dia menggunakannya secara pintar. Tephi
menyimpan banyak bom ukuran kecil yang bisa dia tukar kapanpun dia mau.
Kemal dikalahkannya dalam
2 menit. Tephi menukar bat baseball
yang Kemal buat dengan bom. Bom tersebut meledak di tangannya.
Zico sedikit lebih baik.
Dia berhasil membuat Tephi harus menghindari serangan robotnya. Tapi Zico
ceroboh dengan menunggangi robot itu. Dalam sekejap, Zico malah jadi
menunggangi bom. Dan dia pun kalah.
Frank kalah ketika
gitarnya ditukar dengan bom. Dia kalah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Apa yang harus kulakukan
melawan cewek ini?
“Maju saja sudah!”
perintah Pak Moes. Aku maju dengan takut-takut. Tephi melihatku dengan serius.
“Oke mulai!” teriak Paolo.
Aku tahu Tephi akan
mengubah koranku menjadi bom. Aku bergerak cepat dan merobek koran jadi
potongan kecil itu lalu melemparkannya ke Tephi. Kutahan nafasku.
Tephi menghindari koran
besi itu. Dia tersenyum, “Boleh juga.”
Sambil memutari dia, aku
melemparkan koran lagi. Tapi sebelum kulempar, koran itu berubah menjadi bom.
Aku berguling-guling menghindarinya. Sial, reaksi Tephi sangat cepat.
“Hei,” katanya tiba-tiba.
“Ngg, apa?”
“Kau menyimpan koran
cadangan di kantongmu tuh.”
“Yaa, terus kena. . .oh
sial.”
Bukan koran, yang ada
justru bom di kantongku. Aku merasakan hawa panas ketika bom itu meledak.
Ingatanku cukup kabur setelahnya.
“Hei bangun.”
Aku melihat Kemal sedang
menggoyangkan badanku. Untuk sesaat, aku bingung apa yang terjadi. Lalu aku
ingat pertarungan itu.
Dadaku terasa sakit luar
biasa, pasti akibat ledakan di kantong. Oh bagus, bajuku rusak parah. Walaupun
aku tak mati karena ledakan, ibuku akan membunuhku karena aku merusak baju
bagus.
Aku melihat Zico (yang kelihatan kesal) dan Frank
(yang kelihatan seperti orang mabuk) duduk di sekitarku. Niko terlihat tidak
apa-apa.
“Apa kau menang melawan
Tephi?” tanyaku padanya.
“Tidak juga. Kami hanya
sama-sama tidak bisa menyerang karena aku bisa menghilang dan aku tidak bisa
memukulnya saat menghilang.”
“Yah, paling tidak kita
tahu siapa yang bisa melawan Tephi nanti,” kata Pak Moes. “Kurasa kalian sudah
tahu inti dari latihan ini.”
“Hmm, diledakkan itu sakit?”
tebak Kemal.
“Maksimalkan kekuatan
kalian, itulah inti latihan ini. Tephi tidak menggunakan kekuatan secara
membabi buta sepeti kau dan Zico lakukan. Ali sudah cukup bagus, tapi masih
ceroboh menyimpan koran di kantong setelah tahu kekuatannya. Frank . . .yah,
Frank harus lebih berusaha.”
Aku menunduk. Jika di
turnamen nanti semua lawan seperti Tephi, kami hampir pasti tidak punya
kesempatan.
“Jadi, apa yang harus kami
lakukan?” tanyaku.
“Mulai sekarang, pikirkan
cara untuk memaksimalkan kekuatan kalian.” Dia berdiri dan mulai menunjuk kami
satu per satu.
“Ali, caramu menggunakan
koran sebagai shuriken tadi sudah
bagus. Jangan lupakan kau bisa menggunakan kelenturan koran sebelum merubahnya
jadi besi.”
“Kemal, kau tidak perlu
selalu mengeluarkan senjata. Pikirkan benda-benda yang bisa merepotkan lawan
saat bertarung. Jangan lupa, menulis bisa memakan waktu. Belajar menulis lebih
cepat.”
“Frank, kunci seranganmu
adalah serangan cepat. Jangan sampai lawan menyerangmu duluan sebelum kau
memainkan musik. Mungkin kau bisa mulai dengan musik yang mudah dimainkan tapi
bisa mempengaruhi lawan. Carilah lagu semacam itu.”
“Zico, belajarlah
menggunakan robotmu dari jauh. Kekuatan dan ukuran robotmu sudah menjadi
keuntungan, ditambah senjata yang dimilikinya. Jangan memukul lawan membabi
buta. Belajarlah menganalisa situasi dan tahu kapan harus bertahan.”
“Dan terakhir Niko.
Kekuatanmu cukup merepotkan karena kau tak bisa menyerang dengan tangan kosong
saat menghilang. Siapkanlah senjata, apapun yang bagus untuk serangan jarak
dekat. Belajar untuk berjalan pelan dan tidak terdeteksi sama sekali.”
Kami semua diam. Wow, Pak
Moes ternyata cukup hebat soal ini. Aku sudah meremehkannya. Aku melihat Zico
dan Kemal sudah mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan. Sebaliknya,
Niko dan Frank masih terlihat takut.
“Bersiaplah,” kata Pak
Moes lagi, “Turnamen akan mulai lusa. Kalian harus siap saat itu.”
Bersambung. . .
1 komentar:
Keren .. Lanjutkan
Posting Komentar