Pagi ini sangat cerah. Di luar angin bertiup sepoi-sepoi, menemani kicauan burung yang bernyanyi di ranting pohon. Bunga di pinggir jalan bermekaran. Karena masih pagi, belum ada suara bising dari mobil-mobil yang melintas. Kupu-kupu melintas di depanku saat aku membuka jendela untuk merasakan cahaya pagi.
“Haahh, ini benar-benar hari yang sempurna untuk.....internetan!”
Kututup jendela itu dan kunyalakan laptopku. Aku penasaran dengan kelanjutan film yang kutonton secara online kemarin malam. Lalu aku juga harus meng-update blog-ku, bercanda dengan temanku di media sosial, dan kulanjutkan lagi dengan menonton video-video kucing lucu di Youtube. Ini akan jadi hari yang sempurna.
Kupasang modem ke laptopku. Sinyalnya terlihat bagus. Tuh kan, sudah kubilang ini akan menjadi hari yang sempurna.
Kutekan tombol ‘Connect’. Lho, kok gak nyambung ya? Kucoba tekan berkali-kali. Sial, kenapa pula nih modem? Kucoba lagi, kali ini dengan melepaskan modemnya dulu, lalu memasukkannya lagi. Hasilnya nihil.
“Maaf Mas, jaringannya lagi bermasalah. Besok baru bisa lagi,” kata mbak-mbak operator di seberang telepon ketika aku mencoba mengadu.
“Besok? Besok? Mana bisa saya hidup sehari tanpa internet Mbak!!”
Mbak-mbak itu mencoba menjelaskan dengan ramah, tapi di telingaku dia terdengar seperti sedang menyanyikan lagu kematian. Aku menutup telepon dengan kesal karena merasa tidak ada gunanya juga marah-marah.
Lalu aku berpikir, apa ya yang bisa kulakukan sekarang? Lima menit kemudian, aku tersadar kalau tak ada satu pun kegiatan yang terpikirkan olehku yang tidak melibatkan internet. Mau nonton TV, biasanya juga streaming. Mau baca berita, biasanya lihat online terus. Mau main game, biasanya juga main game online melulu.
Saat itu juga aku menguatkan tekad. “Aku tak bisa begini terus. Aku harus mencari wi-fi di dekat sini.”
Aku tahu di dekat sini ada rumah makan padang yang menyediakan wi-fi juga. Buru-buru kucek dompetku, yah lumayanlah masih ada 50 ribu. Aku memasukkan laptopku ke tas dan pergi ke rumah makan itu.
Tempat itu tidak terlalu ramai. Aku memilih salah satu meja dan mencoba bersikap sopan dengan memesan makanan terlebih dahulu sebelum menanyakan password wi-fi mereka. Tentu saja aku memesan makanan yang sesuai dengan budget-ku.
“Ngg Mas, password wi-finya apa ya? Mau kerjain tugas.” Aku gak tahu kenapa harus bohong, cuma aku segan aja bilang kalau aku lagi pengen lihat video kucing di youtube.
“Oh, passwordnya ‘rendangmantap’,” kata mas-mas itu. Buset, passwordnya masakan padang banget ya. Tapi aku tak mempedulikannya karena sudah girang duluan melihat sinyal wi-fi yang muncul di laptopku.
Hanya saja kenyataan tak sesuai harapan. Internetnya sangat lambat. Membuka google aja lama, gimana kalau mau lihat video? Aku emang pernah dengar gosip kalau wi-fi di restoran-restoran itu lambat, tapi aku tak menyangka separah ini. Maka sambil makan rendang, aku menangis depresi.
Tapi aku tak mau menyerah begitu saja. Aku kali ini mencoba ke kafe Starbucks yang wi-finya terkenal bagus. Aku tak tahu semahal apa kopinya, tapi yang penting beli satu aja kan?
Sampai di sana, aku tersadar akan mengerikannya dunia pergaulan anak muda. Harga kopi yang paling murah saja sudah di luar jangkauanku. Herannya, masih banyak aja orang yang beli. Kopi macam apa yang mereka jual? Apa yang memakai darah unicorn sampai bisa seenak itu? Apapun itu, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali mencari alternatif lain.
Aku berputar-putar sebentar sebelum akhirnya berhenti di depan salah satu kampus ternama di kota ini. Setahuku kampusku memiliki wi-fi juga, tapi sangat lambat. Kampus ini pasti memiliki wi-fi yang bagus, kan terkenal sih.
Aku masuk lalu duduk di salah satu teras gedung kuliah. Ternyata benar, ada sinyal wi-fi yang muncul. Dengan harapan tinggi, aku mencoba menyambungkannya. Tersambung. Dalam hati, aku berteriak girang dan memuja-muja dewa wi-fi.
Kucoba membuka situs youtube. Anehnya, yang terbuka justru halaman yang menunjukkan kita harus memasukkan nomor induk mahasiswa dan password. Mampus, aku kan bukan mahasiswa kampus ini.
Dengan putus asa, aku melirik kanan kiri. Ketika ada seorang mahasiswi yang lewat, aku bertanya dengan bersemangat, “Mbak, minta nomor induk sama password dong!!”
Mahasiswi itu melihatku terkejut. Dan bukannya memberi yang kuminta, dia justru terlihat ketakutan dan mempercepat jalannya. Aku terus mengejarnya.
“Mbak, tolong mbak, saya perlu banget wi-fi. Tolong saya Mbak!” Aku memegang tangannya. Mahasiswi itu terlihat lebih ketakutan melihat mukaku.
“Satpam!!” teriaknya. Dan aku ditendang keluar kampus. Pantat sakit, hati pun sakit karena belum bisa internetan.
Aku sudah hampir menyerah ketika aku melewati masjid di salah satu komplek rumah. Aku ingat temanku pernah mengatakan kalau masjid ini unik karena memiliki wi-fi. Mungkin ini adalah jawaban atas doaku.
Tapi masa sih aku ke masjid hanya untuk internetan? Aku merasa tak enak hati. Aku lalu pergi untuk mengambil wudhu dan shalat. Mungkin itulah pertama kalinya aku shalat di masjid.
Setelah selesai berdoa, aku pergi ke teras masjid. Di sana ada beberapa pemuda dan bapak-bapak yang sedang berkumpul untuk mengaji bersama. Aku jadi malu sendiri ketika mereka sedang membuka kitab suci Al-Quran sedangkan aku membuka kitab suciku sendiri, yaitu laptop. Aku mengecek sinyal wi-fi masjid ini. Semoga bagus.
TIDAK ADA SINYAL WI-FI!! APA-APAAN INI??
Masa sih temanku bohong supaya aku mau pergi ke masjid? Kurasa dia tidak sebaik itu. Aku dengan malu-malu bertanya pada pengurus masjid soal ini.
“Oh, karena mau ada pengajian akbar, wi-finya dimatiin dulu hari ini,” katanya. Pengajian akbar, itu jelas tindakan bagus. Tapi mematikan wi-fi? Bagiku itu adalah tindakan yang patut diganjar dosa besar.
Aku akhirnya menyerah dan pulang ke rumah. Mungkin di rumah ada yang bisa kukerjakan untuk mengisi waktu. Seperti...belajar atau olahraga. Memikirkannya saja sudah membuatku hampir menangis.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu yang membuat jantungku berhenti sesaat. Antena wi-fi. Di rumah salah satu tetanggaku. Mungkin...mungkin.....
Aku duduk di trotoar depan rumah itu lalu membuka laptop. Sinyal wi-fi terlihat jelas. Aku dengan takut-takut mencobanya. Tersambung. Dan aku bisa membuka situs di internet dengan lancar.
Rasanya aku melayang. Akhirnya, ada wi-fi yang bisa digunakan. Walaupun ini berarti aku mencuri wi-fi orang, aku tak peduli. Banyak yang harus kulakukan.
Aku sekilas melihat orang yang kucuri wi-finya melihatku dari jendela rumah. Dia terlihat tidak senang dengan kehadiranku, tapi hatiku sudah sekeras batu. Kupasang headset di laptopku agar tidak mendengar keluhan apapun.
30 menit berikutnya kulalui dengan memuaskan. Aku menonton satu episode dan meng-update blog-ku. Aku mengintip ke arah jendela. Si pemilik wi-fi itu masih ada di sana. Dia melihatku sebentar dengan kesal.
Tiba-tiba saja mukanya berubah panik. Dia menggerak-gerakkan lengannya menunjuk sesuatu sambil berteriak. Karena headset, aku tak tahu dia bicara apa. Aku lalu menoleh ke arah yang dia tunjuk.
Sebuah mobil besar sedang menuju ke arahku. Aku sempat melihat sopirnya yang sepertinya tertidur sebelum semuanya berubah gelap.
Aku terbangun di sebuah tempat yang didominasi warna putih. Tempatku berbaring sebelumnya sangat empuk dan hangat, seperti kasur yang baru saja dijemur.
“Di mana aku?” tanyaku bingung.
“Kau di surga, wahai manusia...”
Aku terkejut ketika melihat seorang laki-laki yang sangat ganteng tiba-tiba berbicara dari arah belakangku. Ada sesuatu yang aneh di punggungnya.
“Apa itu...sayap? Kau ini malaikat?”
Dia melihat ke sayapnya lalu mengangguk, “Memang benar ini sayap. Maaf kalau terlihat kotor, aku lupa mencucinya pagi ini. Dan ya, aku malaikat.”
Bukan hanya fakta kalau malaikat mencuci sayapnya yang membuatku kaget, tapi juga kata-katanya sebelumnya.
“Kau bilang ini di mana?”
“Di surga.”
“Maksudmu....aku...”
“Ya,” dia tersenyum, “kau mati dan masuk surga.”
Aku perlu waktu untuk mencerna ucapannya ini. Jadi, aku sudah mati sekarang. Dan aku sekarang berada di surga. Aneh banget kan? Mana mungkin aku masuk surga. Memangnya apa yang sudah kulakukan?
Malaikat itu menjawab semuanya seakan-akan bisa membaca pikiranku, “Kau masuk surga karena hidupmu hanya dihabiskan di kamar dengan laptopmu sehingga tak pernah berbuat jahat.”
“Wow,” komentarku kagum.
“Dan ini surga, kau bisa meminta apapun yang kau mau.”
“Benarkah?” tanyaku bersemangat, “Bisakah aku meminta laptop dan wi-fi?”
Malaikat itu mengangkat alisnya, lalu mukanya kembali cerah. “Oh, di surga tidak ada wi-fi.”
Aku melihatnya dengan pandangan kosong. Kata-kata ‘tidak ada wi-fi’ bergaung di telingaku.
Ini bukan surga. Ini neraka.
0 komentar:
Posting Komentar