baca episode sebelumnya di sini
“Kurasa kau sudah gila.” Itulah responku
ketika Clara mengatakan rencananya untuk kembali ke motel malam ini.
“Kenapa gila??”
“Kenapa katamu? Kau lihat sendiri kalau
tempat itu masih dipenuhi zombie.”
“Memang, tapi lebih cepat lebih baik.
Aku tak suka pergi kemana-mana tanpa kelompok seperti ini.”
“Ini kan baru dua hari, dan belum ada
sesuatu aneh yang terjadi. Lebih baik kita di sini beberapa hari lagi, lalu
pergi mencari Ali.”
“Dengar ya,” Clara memijit kepalanya
karena capek berdebat, “ini juga salah satu alasanku mau kembali ke sana. Jika
kita bisa menghubungi markas dari sana, mereka mungkin akan mengirimkan
bantuan. Indra sudah pernah melakukannya. Kita bisa memakai bantuan itu untuk
mencari Ali.”
Aku memang ingat Indra pernah bilang
kalau ada semacam ruang komunikasi di motel itu tempat dia meminta helikopter
datang. Tapi aku juga teringat fakta dia pergi meninggalkan kami begitu saja.
Clara sepertinya mengerti pikiranku, “Hei,
kalaupun Indra menolak, masih ada dua temanmu lagi kan? Mereka pasti akan
memaksa jika tahu kita masih selamat.”
Memang, masih ada Rere dan Zico di sana.
Tapi jikapun Rere kembali, itu pasti hanya karena dia ingin menyelamatkan Ali.
Sedangkan aku masih bermasalah dengan Zico karena kasus Tori.
“Kau yakin?” tanyaku sekali lagi. “Kita
aman di sini.”
“Kita tidak aman di sini!!” teriaknya. “Pada
akhirnya kita tidak aman. Kau lihat apa yang terjadi pada Medina dan Intan kan?”
Mau tak mau, hatiku terluka lagi ketika
dia menyebut nama Medina. Beberapa hari ini, aku masih melihatnya dalam tidur.
Rasanya sangat aneh dia tak ada lagi di sini. Dan itu membuatku sedikit
depresi.
“Baiklah,” kataku menyerah. “Jadi apa
rencananya?”
Clara tersenyum, membuatku merasakan
firasat buruk.
“Jika aku mati karena ini, akan
kupastikan aku mengejarmu sebagai zombie,” kataku sembari Clara memberiku
beberapa kembang api yang kami temukan di rumah seseorang sehari sebelumnya.
“Berhenti mengomel, kau hanya perlu
memastikan kalau zombie-zombie itu bisa melihatmu. Lalu kau bisa bersembunyi
dan menyusulku ke rumah.”
“Yah, tapi kau lupa kalau aku akan
memancing puluhan zombie.”
Clara tak mempedulikan keluhanku dan
memberikan pemantik. “Nyalakan semua kembang api itu sekitar 10 menit lagi. Aku
akan mencari posisi yang pas untuk menerobos masuk.”
Dia juga memberikan aku sebuah pistol
dan menyimpan satu untuk dirinya sendiri. “Pelurunya tinggal sedikit. Gunakan
hanya jika perlu.”
“Maksudmu ketika aku dikepung puluhan
zombie?” tanyaku sarkastik.
Clara tersenyum mengejek, “Tenang, kau
akan baik-baik saja.”
Tentu saja dia bisa bilang begitu. Kan
bukan dia yang harus menjadi umpan di sini. Tapi Clara tak menungguku
menggerutu dan pergi dari tempat persembunyian kami.
Sepuluh menit kemudian, aku memulai
rencana. Sebenarnya itu bukan kembang api, tapi lebih seperti mercon roket yang
akan menembakkan cahaya terang ke langit diiringi bunyi keras. Ketika aku
menyalakan kembang api pertama, suaranya sangat keras sampai kupingku agak
berdengung.
Sesuai rencana, zombie-zombie tertarik
oleh bunyi itu. Dalam sekejap banyak zombie sudah megikutiku. Aku menyalakan
satu kembang api lagi agar menarik lebih banyak zombie dari motel. Sekilas aku
melihat bayangan masuk ke hotel. Kurasa itu Clara.
Sekarang aku hanya perlu kabur dari
sini. Kutinggalkan sebuah kembang api yang paling besar menyala dalam sumbunya.
Itu akan memberikan waktu untukku bersembunyi sebelum para zombie mendekat ke
sumber suara.
Aku sedang berlari ke salah satu halaman
rumah ketika kudengar suara mobil. Aku berhenti untuk menoleh. Jangan-jangan
itu Ali?
Sebuah van putih besar mendekat. Van itu
digambari logo aneh, seperti rambut bob yang dikelilingi pedang. Seseorang
keluar, tapi aku tak kenal siapa dia. Sepertinya dia tertarik dengan bunyi
kembang api yang kunyalakan.
Untunglah dia tak melihatku karena kaget
dengan banyaknya zombie yang dihadapinya. Lalu tiba-tiba saja, zombie liar
menerkamnya dari belakang. Aku buru-buru sembunyi lebih dalam ke semak-semak,
melihat dengan keringat dingin.
Aku tak tahu dia siapa, tapi aku merasa
dia sangat sial karena datang di saat yang paling tidak tepat. Itu membuatku
sedikit bersalah. Sesuatu yang terjadi padanya bisa saja terjadi padaku tadi.
Zombie-zombie melewatiku tanpa sadar.
Aku mencoba sebisa mungkin tidak menimbulkan suara ketika bergerak dari satu
rumah ke rumah lainnya.
Aku mencapai rumah yang paling dekat
dengan motel. Dari sini, aku hanya bisa menerobos paksa. Kulihat ada sekitar
tiga zombie yang harus kubunuh.
Kutarik nafas dalam-dalam, lalu aku
melompat keluar. Zombie pertama kubunuh secara tiba-tiba dari belakang. Dia tak
bisa melakukan apa-apa. Satu lagi zombie yang mendekat berhasil kujatuhkan
sebelum kutusuk kepalanya.
Zombie terakhir agak menyusahkan karena
badannya sangat tinggi. Dia hampir saja menjangkau dengan tangannya yang
panjang, tapi aku berhasil menahannya dengan tusukan ke badannya. Dia masih
hidup dan meronta-ronta.
Sambil menahannya dengan satu tangan,
aku mengeluarkan pistol dan memasukkan moncongnya ke mulut si zombie. Kepalanya
meledak dengan cukup keras, tapi zombie-zombie lain lebih tertarik dengan bunyi
kembang api yang tadi kunyalakan. Aku berhasil masuk ke dalam motel.
Di dalam sudah ada beberapa zombie yang
terbunuh. Pasti ulah Clara. Sekarang aku harus mencari dimana kamar komunikasi
itu.
Ternyata itu tidak sulit karena setelah
beberapa saat, aku mendengar suara teriakan Clara dari salah satu kamar. Aku
buru-buru masuk ke sana. Clara sedang memakai headphone dan memutar-mutar suatu
alat yang mirip radio.
“Apa maksudmu mereka tak ada di sana??”
teriaknya lagi.
“Hei tenangla....tunggu, apa?”
Suara di radio itu terputus-putus, “Indra.....tak
ada.....hilang kontak....”
“Bicara yang benar dasar bodoh!!” Clara
berkata tak sabar. Tapi kemudian, sambungan itu terputus. Clara melempar
headphone dengan kesal.
“Ada apa?” tanyaku.
“Mereka mengatakan tak ada helikopter
untuk menjemput sekarang. Satu-satunya helikpoter yang masih berfungsi adalah
yang dipakai Indra, tapi mereka belum sampai di sana.”
“Mana mungkin,” kataku tak percaya, “mereka
kan sudah pergi sejak beberapa hari yang lalu.”
“Itulah makanya. Kurasa dia berbohong
pada kita.”
Masa sih mereka sampai setega ini? Aku
malah merasakan firasat buruk kalau ada sesuatu yang lain.
Tiba-tiba radio berbunyi lagi. Clara
buru-buru memasanga headphone-nya. “Markas? Di sini Clara.”
Suaranya statis untuk sesaat , tapi
setelah itu terdengar suara orang yang sangat kukenal. “Hei, kalian di sana?”
“Zico!!” teriakku. Clara memberiku
sebuah headphone juga. “Zico? Kau selamat? Bagaimana dengan yang lain?”
“Wah...akhirnya....sudah dua hari....”
Suaranya terputus-putus. “Kami....terpaksa.....tentara......beliebers....”
“Apa? Aku tidak mengerti. Suaramu
putus-putus.”
Suaranya statis lagi untuk sesaat, “....hati-hati.....you....him...oh......Medina....”
Ketika aku mendengar dia bicara tentang
Medina, aku langsung bereaksi, “Medina? Medina apa?”
Tapi suaranya kali ini benar-benar
putus. “Zic? Zic? Clara, tak bisakah kau melakukan sesuatu?”
Tapi Clara hanya terdiam. Mukanya
terlihat pucat. “Oh tidak....”
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Ini situasi terburuk. Mereka dalam
bahaya.”
“Kenapa? Jelaskan padaku apa yang
terjadi sebenarnya!”
Clara melihatku, “Begini, ada beberapa
organisasi yang terlibat dalam penyebaran virus zombie ini. Mereka adalah
kelompok beliebers yang sangat loyal pada Justin Bieber. Di Indonesia, ada
beberapa kelompok seperti itu. Pasukan Unit Rahasia Sektor 1077 sedang berperang
melawan salah satu yang paling kejam.”
“Mereka sangat mengerikan,” lanjut
Clara, “orang-orang yang tak segan memakai manusia sebagai bahan percobaan.
Mereka juga terus mencari orang-orang yang bukan kelompoknya dan mengubah
mereka menjadi zombie. Tujuan mereka jelas membuat Bieber menjadi pemimpin
dunia.”
“Kelompok yang sedang kami perangi bernama
Sword of Beliebers, dipimpin oleh seseorang yang saking menyeramkannya tak ada
yang berani memanggil nama aslinya. Kami memanggilnya dengan sebutan
You-Know-Him.”
Aku masih mencoba mencerna cerita itu, “Tadi
sepertinya Zico ada menyebut nama itu...”
“Pasti Indra yang menyuruhnya memakai
nama itu,” kata Clara. “Itu berarti mereka secara tak sengaja masuk ke wilayah
Sword of Beliebers dan harus bersembunyi. Kalau mereka sampai tertangkap, bisa
berbahaya.”
“Ma..maksudmu?”
“Mereka tak akan dibunuh langsung. Bisa
saja mereka dijadikan bahan percobaan, dan jelas sekali mereka akan mengorek
informasi tentang URS 1077 dari Indra.”
“Kalau begitu kita harus ke sana!”
kataku.
Clara menggigit bibir tanda ragu.
“Hei, kita harus membantu mereka!!”
“Yahh...tapi tak semudah itu. Mereka tak
akan bisa membiarkan kita masuk dengan mudah. Setahuku mereka hanya mengizinkan
van khusus kelompok mereka yang bisa pergi ke wilayah itu.”
“Tapi tetap sa....eh tunggu.” Tiba-tiba
aku teringat sesuatu.
“Kenapa?”
“Apa?” tanya Clara.
“Apa logo kelompok mereka adalah rambut
bob dengan hiasan pedang?”
Clara tampak terkejut, “Bagaimana kau
tahu?”
Ini benar-benar kebetulan yang
menguntungkan. Kuceritakan pada Clara saat aku menyalakan kembang api.
“Jadi jika firasatku benar, van itu masih
ada di sana...dikelilingi banyak zombie,” kataku.
Clara berpikir sebentar, “Mungkin ini
bisa berhasil. Kita hanya perlu memakai van itu dan masuk ke wilayah mereka
kan? Berisiko, tapi mungkin berhasil.”
“Kita harus tinggalkan pesan pada Ali.
Cepat atau lambat mereka akan ke sini.”
Clara mengangguk. Dia lalu keluar untuk
mencari sesuatu yang bisa dijadikan pesan.
Aku terdiam di kamar. Sebentar lagi kami
akan mencoba menyusup ke organisasi yang mulanya menyebarkan virus ini. Mungkin
saja, kami bisa menemukan sesuatu yang lain di sana, seperti cara untuk
menyembuhkan semua orang yang sudah menjadi zombie sekalipun.
Ketika aku sibuk merenung, suara di
radio keluar lagi. Aku buru-buru memakai headphone.
“Zico? Ini kau?”
Hanya terdengar statis. Aku mencoba
memutar-mutar di radio tanpa tahu fungsinya. Seandainya Clara belum keluar
tadi.
Pada akhirnya, hanya terdengar satu kata
sebelum radio itu mati lagi.
“....tolong...”