Aku terbangun dengan kepala yang sangat sakit.
“Aagghhh...” Aku mau mengelus kepalaku, tapi
tanganku tak bisa digerakkan. Bukan hanya tanganku, seluruh badanku juga tak
bisa digerakkan. Aku terikat di sebuah kursi. Apa yang terjadi?
Kuamati sekeliling. Aku kenal tempat ini. Ini adalah
ruang bawah tanah di rumahku, tempat kami biasa menaruh barang-barang bekas.
Seseorang berdiri di depanku. Aku mendongak melihat
siapa gerangan yang mengikatku di rumahku sendiri. Bukan seseorang, ada tiga
orang disini. Mereka semua memakai kacamata hitam dan jas hitam. Lebih mengejutkan
lagi, seseorang hanya memakai celana dalam!
Si tanpa celana mendekatiku. Tiba-tiba saja dia
memukulku dengan keras. Kepalaku yang sudah pusing makin parah saja.
“Dimana celanaku?”
Aku perlu beberapa saat untuk memproses
pertanyaannya, “Hah?”
Tanggapan yang salah karena dia mulai memukulku
lagi.
“Kutanya sekali lagi. Dimana celanaku?” bisiknya
dengan nada mengancam.
“Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau
bicarakan..” kataku lemas dipukul terus.
Si tanpa celana membuka kacamatanya dan menatap
mukaku lekat-lekat. Dia punya muka sadis yang sering kulihat di film-film
tentang mafia. Dia mendecak marah lalu menjetikkan jarinya. Salah seorang di
belakangnya maju sambil mengeluarkan sebuah foto dari jasnya.
Aku mengamati fotonya, “Itu gambar sebuah celana...”
Foto itu memang menunjukkan gambar celana pendek biru dengan motif bunga-bunga
bewarna kuning. Sepertinya aku pernah melihatnya.
“Ya,” kata si tanpa celana tidak sabar, “itu celana
kesukaanku dan aku tahu kau memilikinya. Sekarang dimana celanaku itu?”
“Kenapa kau pikir celananmu ada di rumahku? Aku
bukan pencuri celana.”
Tanpa celana menjetikkan jarinya sekali lagi. Kali
ini orang yang satu lagi mengeluarkan kertas dari saku jasnya dan membacanya
dengan nada datar, “Pada tanggal satu Agustus, kau memasukkan laundry dari 'Bersih Selalu', tempat yang sama dimana Bos Reynald memasukkan baju kotornya.”
Aku mengangkat alis, “Lalu?”
Dia meneruskan membaca, “Dua hari kemudian, kau
mengambil laundry itu. Tanggal itu juga seharusnya saat Bos Reynald mengambil
laundry.”
Lalu tiba-tiba kenyataan menghantamku. Celana dia
tidak sengaja masuk ke dalam laundry-ku. Tempat cuci itu memang sering membuat
kesalahan seperti ini. Pantas saja aku merasa pernah melihat celana aneh itu.
Si tanpa celana sepertinya bisa membaca pikiranku,
“Kurasa kau sudah mengerti. Aku Reynald, dan itu celana kesayanganku. Aku tak
bisa memakai celana lain sebelum menemukannya. Jadi sekarang jawab,” Dia
mengeluarkan pistol, “dimana celanaku?”
Aku menelan ludah melihat pistol itu. Sejujurnya,
itu tak membantuku mengingat dimana celana itu sama sekali.
“Darimana kau tahu aku yang mengambil celanamu. Bisa
saja orang lain kan,” kataku membela diri.
“Ohh cewek yang bekerja di tempat cuci itu berhasil
mengingat di cucian siapa dia menaruh celanaku sebelum, kau tahu, kami
membereskannya,” jawab Reynald lalu tertawa diikuti dua orang lainnya.
“Kau....kau membunuhnya?”
“Kami membereskan tempat itu. Sangat parah, cucian
tergeletak dimana-mana. Pantas saja cucian sering tertukar.”
“Oohhh.” Aku bernafas lega.
“Lalu setelah itu kami membunuhnya.”
Aku tegang lagi.
Reynald menarik pelatuk pistolnya, “Kami akhirnya
berhasil menemukanmu dan membuatmu pingsan. Nah, sekarang kesempatan terakhir,
dimana celanaku? Atau kau akan kubuat lebih dari pingsan.”
“Tunggu, tunggu sebentar,” Aku mulai panik, “Aku
memang ingat pernah melihat celana itu, tapi aku yakin tak memakainya. Aku
menaruhnya di.....ooohhh!!”
Aku akhirnya ingat. Saat itu aku merasa celana ini sangat
norak, jadi aku bermaksud memberikannya sebagai sumbangan.
“Kurasa aku menyumbangkannya..”
Reynald mendekatkan mukanya kepadaku, “Apa?”
“Aku menyumbangkannya.”
Pukulan mendarat lagi di pipiku. “Kau menyumbangkan
celana favoritku?” kata Reynald marah.
Aku mengerang, “Aku tidak tahu itu celana siapa.”
Reynald berjalan mondar-mandir sambil menggerutu.
Lalu dia kembali berbicara padaku, “Baiklah, kau ingat siapa yang memegang
celanaku sekarang?”
“Ya, ya. Aku ingat. Aku memberikannya pada pengemis
yang sering lewat di rumahku.”
“Oke,” Reynald berbalik, “Habisi dia.” Para
pengawalnya mengeluarkan pistol dan menodongkan kepadaku.
Aku berteriak dengan panik, “Tunggu! Tunggu! Aku
tahu dimana tempat pengemis itu. Lepaskan aku dan akan kutunjukkan jalan
kesana!”
Reynald melihat kepadaku, sepertinya dia sedang
berpikir. Setelah agak lama, dia berkata, “Oke, lepaskan dia. Tapi awas kalau
kau salah.” Reynald kembali memakai kacamatanya dan keluar dari ruangan itu.
Pengawalnya membuka ikatanku dan dengan kasar menarikku ke mobil mereka.
Rasanya sangat aneh aku berada satu mobil dengan
tiga orang dewasa berjas hitam dan memakai kacamata hitam. Ini seperti adegan
dalam film mafia-mafia. Kecuali tentu saja biasanya dalam film si bos memakai
celana.
“Itu, itu dia rumahnya...” Aku menunjuk salah satu
gubuk kecil di pinggir sungai. “Aku pernah melihatnya disitu.”
“Oke,” Reynald sudah akan turun dari mobil ketika
aku menghentikannya.
“Hei tunggu. Biar aku saja yang turun.”
“Kenapa?” tanyanya.
“Karena kau tidak pakai celana. Lagipula aku tidak
mau orang lain jadi takut melihat kita datang.”
“Baiklah, tapi kau akan ditemani Scarface.”
Orang yang duduk disebelahku mengangguk. Kami berdua
turun dan menuju gubuk itu.
“Jadi, kenapa kau dipanggil Scarface?” tanyaku
supaya suasana tidak terlalu kaku.
“Karena ada bekas luka di perutku,” jawabnya datar.
“Tapi, Scarface kan artinya....ah sudahlah.” Aku
mengetuk pintu gubuk itu. Yang keluar bukan pengemis tersebut. Mungkin ini
istrinya.
“Permisi Bu, Bapak ada?”
Ibu itu bingung melihatku ditemani orang berjas
hitam, “Bapak lagi di toilet. Tuh yang di pinggir sungai.”
“Apa Ibu tahu tentang celana pendek biru dengan
motif bunga kuning punya Bapak?”
“Oh, ya iyalah,” katanya, “Tadi Bapak pakai celana
itu ke toilet.”
Ya ampun. Aku sebenarnya tidak mau mengganggu orang
yang sedang ada di toilet, tapi Scarface sepertinya tidak mau menunggu, jadi
kini kami menuju toilet itu.
Dibilang toilet pun, itu sebenarnya hanya bilik
kecil tanpa atap yang penggunanya bisa buang hajat langsung ke sungai. Aku mengingatkan
diriku sendiri tidak akan berenang lagi di sungai jika selamat dari situasi
ini.
Saking pendeknya dinding yang membatasi toilet itu,
kami bisa melihat wajah pak pengemis tersebut sedang ngeden dengan nikmatnya.
Celana pendek biru itu digantung begitu saja di dindingnya.
Aku menyapa dengan canggung, “Hai Pak.” Rasanya aneh
menyapa orang yang jelas-jelas sedang buang air besar.
“Ngghh oh hai Dik! Makasih lho soal celananya. Ada
apa ini?” Dia mulai bingung melihat Scarface berdiri dengan seramnya di sebelahku.
“Begini Pak, saya ingin meminta celana yang saya
kasih. Boleh ya Pak?”
Dia diam.
“Pak? Saya ambil ya celananya.”
Tanganku dipukul keras ketika aku bermaksud
mengambil celana itu. Ya ampun, itu tangan yang dipakai buat cebok gak?
“Jangan. Saya suka celana ini. Adik kan banyak punya
celana lain di rumah.”
“Masalahnya, itu bukan celana saya Pak. Jadi saya
gak boleh sembarangan kasih.”
Aku mencoba mengambil celananya lagi, tapi dia kali
ini memegang erat celana itu, tidak mau melepasnya.
“Pak, lepasin Pak!”
“Gak mau!!”
Jika ada orang lewat, pasti dia akan sangat heran
melihat ada dua orang tarik-tarikan celana norak di depan toilet sambil diawasi
orang berjas hitam.
“Ini punya saya pokoknya!!” teriak Bapak itu.
Scarface ternyata mulai muak melihat kami dan menarik keluar pistolnya.
Diarahkannya ke Bapak itu.
Si pengemis kaget dan mengangkat tangan, menyebabkan
dia kehilangan keseimbangan. Bapak itu jatuh kebelakang, menabrak dinding dan
jatuh ke sungai. Bilik toilet itu ikut jatuh bersamanya.
Aku terdiam sebentar melihat kekacauan itu. Yah
paling tidak, celana biru itu kini berada di tanganku.
Kami kembali ke mobil. Aku menyerahkan celana itu,
“Jangan bunuh aku ya.”
Untungnya, suasana hati Reynald membaik. Dia
mengambil celananya lalu pergi begitu saja, meninggalkanku sendirian.
Sejak saat itu, aku sedikit takut untuk memasukkan
cucian ke laundry, tapi kadang rasa malas untuk mencuci baju sendiri
mengalahkan rasa takutku. Tentu saja aku pindah ke tempat laundry yang lain.
Hari ini panas, tapi aku terpaksa keluar untuk
mengambil laundryku.
“Aahhh...” Rasanya jauh lebih enak ketika aku sudah
menghidupkan AC di kamar. Aku mulai membongkar laundry untuk memasukkannya ke
lemari baju.
Saat itulah, aku menyadari yang membuat nafasku
berhenti sesaat. Sebuah celana biru bermotif bunga kuning tercampur di antara
baju-bajuku.