Aku berlari-lari kecil mencari tempat berteduh dari hujan kecil yang tiba-tiba saja turun. Aku tak menyangka acara perpisahan salah satu seniorku di kantor bisa selama ini. Sekarang sudah jam 10 malam, dan aku yakin tidak ada lagi angkot jam segini. Tahu begitu, aku numpang nginap di rumah temanku saja tadi.
Lalu aku melihat seorang wanita sedang berdiri di depan salah satu warung yang sudah tutup. Sepertinya dia juga berteduh dari hujan. Karena ini sudah sangat malam, maka yang kupastikan terlebih dahulu adalah apa wanita itu punya kaki atau tidak. Setelah memastikan dia berpijak di tanah, aku jadi lebih lega.
Sialnya, hujan semakin deras saja. Maka aku memutuskan untuk ikut berteduh dengannya dan mungkin memanggil taksi.
Dengan sedikit canggung, aku mengambil posisi di sebelahnya. Aku sudah siap-siap saja kalau dia melihatku dengan aneh atau malah menjauh dariku. Wajar saja kalau cewek merasa tidak enak jika bersama cowok asing, apalagi saat sudah larut seperti ini.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Dia menyapaku dengan ramah, “Kehujanan juga?”
“Ya, haha.” Diperlakukan ramah seperti itu malah membuatku kaget dan menjawab dengan agak malu.
“Hujannya awet banget ya. Aku jadi gak bisa pulang juga,” katanya sambil merasakan hujan dengan tangannya. “Mana angkot udah gak ada lagi.”
Setelah yakin kakinya ada, aku mulai memperhatikan wanita disebelahku ini dengan lebih cermat. Dia memakai jilbab yang dirangkai dengan bergaya. Mukanya terlihat cerah, tipe-tipe orang yang akan tersenyum sangat lebar terhadap lelucon yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Dia tidak terlalu tinggi, kira-kira hanya sebahuku.
Karena dia tadi menyebut angkot, aku jadi teringat untuk memesan taksi. Kukeluarkan handphoneku dan mulai menelpon taksi.
Sekilas, aku melihat wanita itu menatapku, tapi dia buru-buru melihat ke depan lagi dengan malu. Aku merasa tahu penyebabnya.
“Ya, saya pesan dua taksi ya,” kataku di telepon. Wanita itu terkejut, tapi kemudian tersenyum senang, senyuman yang lebar dan manis.
“Maaf ya, hapeku mati dan tadi aku bingung harus bagaimana,” katanya.
Aku tersenyum saja, “Ya gak papa. Rumahmu jauh?”
“Ya begitulah. Aku tadi terlalu asyik belanja sampai lupa waktu.”
Wah, sangat tipikal wanita ya. Kalau sudah belanja, semuanya dilupakan.
Tak lama kemudian, satu taksi datang. Karena merasa bisa menunggu, aku menyuruhnya duluan. Dia awalnya menolak, tapi aku tahu itu hanya basa-basi.
“Terima kasih ya,” katanya lagi.
“Ya sama-sama. Tapi saranku saja, mungkin lain kali kau sebaiknya tidak terlalu akrab dengan cowok asing.” Aku bilang begitu karena merasa sikap ramahnya itu bisa berbahaya.
“Haha, kau tidak terlihat jahat kok.”
“Banyak orang jahat yang terlihat baik lho.”
“Tapi kau baik kok,” katanya tersenyum sambil masuk taksi. “Nasihatmu tetap akan kusimpan.”
Lalu dia pergi. Beberapa saat kemudian aku baru sadar kalau aku belum tahu namanya. Walaupun begitu, entah kenapa aku merasa lebih bersemangat malam itu.
Dua hari kemudian, aku terjebak hujan lagi, dan aku berteduh di tempat yang sama. Ini kan seharusnya musim panas, kenapa hujan melulu sih. Global Warming benar-benar nyata ya.
“Wah, kita bertemu lagi.”
Itu wanita yang sama-sama terjebak denganku dulu. Kali ini dialah yang berlari-lari karena kehujanan. Dia telihat senang melihatku.
“Aku baru saja berpikir bakal aneh kalau aku bertemu denganmu lagi, dan ternyata memang benar,” katanya dengan sedikit tertawa.
Dia mengulurkan tangan untuk mengajak bersalaman, “Hai, namaku Iffah. Terima kasih sudah membantuku kemarin.”
“Kemal,” kataku sambil menjabatnya, “belanja lagi?”
“Haha, yah begitulah. Aku hanya sedang ingin jalan-jalan keluar.”
“Oh, sedang ada masalah?” tanyaku, tapi lalu aku merasa terlalu mencampuri urusan pribadinya. “Maaf aku terlalu banyak bertanya.”
“Oh tidak apa-apa. Hanya saja, ibuku baru saja memberi anjingku kepada orang lain. Dan itu membuatku agak kesal.”
Aku, sebagai orang yang suka dengan yang imut-imut, langsung kaget. “Sayang sekali. Anjing jenis apa?”
“Maltese. Imut-imut gitu deh. Sayang ibuku tidak sependapat.”
“Aku suka anjing yang imut!” kataku mungkin agak terlalu bersemangat. Iffah menatapku dengan sama bersemangatnya.
“Ya kan? Apa kau punya anjing?”
“Tidak, tapi suatu saat aku ingin punya satu. Aku tidak terlalu tahu jenis-jenis anjing sih.”
Iffah tampak berpikir sesaat, “Kau tahu, di dekat sini ada kafe yang buka 24 jam. Kita ke sana yuk, ngobrolin anjing sambil nunggu hujan. Punggungku pegal nih kalau berdiri terus.”
“Boleh juga,” kataku senang.
“Nanti aku yang akan pesan taksi untukmu, balasan untuk kemarin, haha.”
Lalu kami berlari-lari kecil menuju kafe agar tidak terlalu basah.
Aku melihat terus nomor Iffah di handphoneku. Setelah pembicaraan dari kafe kemarin, aku meminta nomornya dengan alasan jika aku ingin tanya-tanya tentang anjing nantinya. Kenyataannya aku hanya senang jika bisa berbincang dengan dia lagi. Dia sangat menyenangkan. Banyak bicara memang, tapi cocok denganku yang sulit mencari topik pembicaraan sehingga obrolan kami menyambung terus.
Dari kemarin sebenarnya aku ingin mengirim pesan sms ke dia, tapi aku tak tahu mau bilang apa dan aku takut dibilang agresif. Sekarang suasananya sedang mendukung karena hujan turun, dan aku dengan sengaja menunggu angkot di tempat biasa kami bertemu. Tapi aku tetap tak berani mengirim pesan itu.
Saat aku sudah menyerah dan mau memasukkan handphone ke kantong, sebuah pesan masuk. Dari Iffah.
“Hujan lagi nih, hehehe”
Aku jelas mengambil kesempatan itu. Kubalas pesannya, “Ya nih. Sekarang aku nunggu di tempat kemarin lagi, hahaha.”
Pesanku dibalas beberapa menit kemudian, “Oh ya, aku juga sedang menuju ke sana. Sampai jumpa kalau begitu.”
Entah kenapa mendengar dia mau ke sini, aku jadi panik. Kuperiksa baju dan rambutku, yang tentu saja berantakan. Saat aku mencoba merapikan sebisa mungkin, dia datang. Kali ini memakai payung dan memegang bungkusan besar di tangannya.
“Tumben pakai payung,” kataku.
“Haha, ya. Aku kan belajar dari kesalahan.”
“Hmm, belanja lagi?”
“Ya, untuk adikku.” Dia melipat payungnya dan berteduh bersamaku. “Besok hari ulang tahunnya dan orangtua kami terlalu sibuk dengan urusan mereka, jadi aku yang membelikan kado.”
“Kakak yang baik,” kataku sambil mengintip bungkusannya. Kurasa itu baju.
“Kau punya adik?” tanyanya.
“Ya, ada tiga. Tapi aku bukan kakak yang sebaik dirimu.”
Iffah tertawa. Lho kok dia ketawa? Padahal itu benar. Aku sih tidak pernah membelikan kado untuk adikku. Malah yang ada aku menyuruh mereka membelikan kado untukku saat aku ulang tahun.
Iffah meluruskan punggungnya. Kemarin dia memang sempat bilang kalau punggungnya sering pegal sehingga teman-temannya suka mengejeknya.
“Kurasa kau harus melakukan sesuatu dengan punggungmu itu,” kataku. Dia membalas candaan itu dengan muka yang dibuat-buat marah.
“Hei, jangan ikut-ikutan mengejek dong.”
Kami lalu tertawa bersama. Saat itulah sebuah angkot berhenti di dekat kami, menunggu penumpang. Itu satu-satunya angkot yang lewat sini, dan itu berarti angkutan kami berdua. Aku merasa belum ingin naik karena masih ingin mengobrol.
Dan sepertinya, Iffah berpikiran sama.
“Aku tidak buru-buru nih,” katanya.
“Hmm, kafe?”
“Oke.”
Aku tidak bertemu dengannya lagi seminggu ini. Cuacanya juga cerah terus. Sepertinya aku hanya bisa bertemu dengan dia saat hujan. Aku tertawa sendiri dengan pikiran itu.
Makanya aku kaget ketika menemukan dia di sebuah bangku taman. Aku biasanya duduk di situ sambil makan es krim yang dijual dekat sini.
Aku hendak menyapanya ketika menyadari sesuatu yang berbeda. Iffah tidak tersenyum seperti biasanya. Justru kali ini kebalikannya, dia terlihat sehabis menangis.
Aku jadi bingung harus melakukan apa. Aku tidak pernah tahu harus melakukan apa jika ada cewek yang menangis. Apalagi ini Iffah yang menangis, wanita yang baru dikenalnya beberapa kali walaupun dia entah kenapa terasa jauh lebih bersahabat untuk sekedar kenalan.
Setelah lama mondar-mandir di tempat, aku memutuskan mendekatinya. Aku pura-pura terkejut melihatnya. Iffah juga sepertinya terkejut ketika melihatku. Dia buru-buru mengelap air matanya.
“Hai Kemal,” katanya sambil tersenyum. “Tumben ya kita ketemu di sini?”
“Ya ya. Boleh aku duduk di situ?”
Iffah menggeser duduknya menandakan kalau dia mengizinkan aku duduk di sebelahnya.
“Soal kata-katamu tadi, aku juga kaget kita bertemu di sini,” kataku. “Aku malah mengira kita tak akan bertemu kalau tidak hujan.”
Iffah tertawa. Tapi rasanya berbeda. Dia tidak tertawa seriang sebelumnya, dan itu rasanya agak aneh. Selama ini aku selalu bertemu dia yang ceria, jadi aneh rasanya melihat dia sedih.
“Jadi...kau ada masalah?”
Iffah menunduk dan terdiam. Aku jadi merasa aku salah sudah bertanya.
“Ngg, jika kau tak mau bicara juga tak apa-apa,” kataku cepat-cepat.
Dia melihatku lalu tersenyum, “Tidak kok. Aku hanya sedang mengalami masalah dengan orangtuaku.”
“Oh..” Sesuai dugaa, aku tak tahu harus bicara apa. Keadaan jadi hening untuk sesaat.
“Kadang aku merasa orangtuaku hanya memikirkan mereka,” kata Iffah tiba-tiba. “Tidak memikirkan bagaimana perasaan anak-anak ketika mereka bertengkar.”
Aku tetap diam, masih takut salah bicara. Tapi kurasa aku bisa mengerti apa yang dia maksud.
“Mereka...mereka terus saja bertengkar.” Iffah mulai terisak lagi, membuatku makin bingung. “Dan mereka bertengkar di depan adik-adikku. Apa mereka tidak berpikir tentang kami? Kenapa mereka harus seegois itu?
Dia lalu menutup mukanya dan mulai menangis. Aku hanya terdiam. Seseorang lewat di depan kami dan melihatku dengan pandangan mencela. Mungkin dikiranya akulah yang membuatnya menangis.
“Hmm, tenanglah,” kataku akhirnya. “Semuanya akan membaik setelah ini.”
Tapi dia terus menangis. Aku melihat ke kanan kiri dengan canggung. Akhirnya, aku memutuskan untuk merangkulnya.
Iffah awalnya kaget, tapi kemudian ikut merangkulku, tidak mengetahui kalau mukaku mungkin sudah sangat merah.
“Tenanglah,” kataku lagi. “Bagaimanapun juga, mereka tetap orangtua. Mereka pasti tetap menyayangi kalian.”
Dia terus terisak beberapa menit setelahnya, tapi perlahan dia menjadi tenang. Lalu dia melepas rangkulan dan tersenyum kepadaku. Senyumnya terasa lebih hangat sekarang.
“Terima kasih. Aku memang baru mengenalmu, tapi kau terasa seperti sahabat lama,” katanya.
Tepat seperti yang kupikirkan!
“Kau mau kubelikan es krim?” tanyaku.
“Wah kau baik sekali, boleh dong!”
“Aku hanya basa-basi sih.....tapi okelah.” Aku menuju tempat penjual es krim diiringi tawa kecil Iffah.
Saat aku kembali ke sana sambil memegang dua es krim, hujan mulai turun.
“Tuh kan bener, kita cuma bisa ketemu saat hujan!” seruku.
“Haha, ayo kita berteduh. Sini es krimnya.”
Dia mengambil satu es krim dan menarik tanganku. Kami berlari sambil bergandengan tangan.
Ketika aku melihatnya lagi, dia sedang berdiri di tempat pertama kami bertemu.
“Kenapa kau diam di situ?” tanyaku padanya, “Kan sedang tidak hujan. Tidak ada angkot yang lewat sini?”
Iffah tersenyum padaku, “Aku sedang menunggu kau.”
0 komentar:
Posting Komentar